Alkohol dan Kejujuran

jaedo

“Jeff, udah anjir. lo udah habisin berapa botol itu.” Johnny berusaha mengambil botol keempat yang hendak diminum oleh Jeffrey.

“Diem dulu kenapa sih, John. Gue udah lama gak minum, ya gak bro?” Jeffrey menyenggol lengan Dikta. Dikta tak menggubrisnya namun ia menatap Johnny dan memberi isyarat untuk membiarkan Jeffrey.

Sekitar jam delapan tadi mereka berlima sepenuhnya sadar, mereka mengobrol dan bercanda cukup lama. Mengingat sudah lama sekali kelimanya tidak berkumpul seperti sekarang, sudah pasti banyak sekali bahan obrolan yang muncul karena itu. Diawali dengan kecurigaan Atuy terhadap Dikta yang menonton film tak senonoh sehingga jarang sekali masuk kuliah pagi, Dikta hanya tertawa mendengar itu sembari berucap “Ngaco aja lo tuy. Lo kali itu mah.” Berbeda sekali dengan respon Johnny yang terlihat sangat tidak nyaman dengan kecurigaan itu, ia terus-terusan menginjak kaki Atuy tiap kali Atuy mengintrogasi Dikta dengan berbagai pertanyaan yang tak masuk akal.

Hingga sekarang tepat pukul satu pagi, nampak beberapa botol bekas minuman yang telah mereka habiskan. Theo yang memiliki toleransi paling rendah terhadap alkohol sudah terkapar di kasur Johnny padahal ia hanya meminum beberapa gelas saja. Atuy yang memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol nampak berbeda hari ini, ia baru meminum satu botol namun sekarang sudah tertidur pulas disamping Theo. Berbeda lagi dengan Jeffrey yang sampai sekarang masih memaksakan dirinya untuk terus meminum beberapa botol yang tersisa.

“Jeff, anjir udah ngaco gini ngomongnya masih aja minum.” Johnny terus-terusan memperingati Jeffrey agar ia berhenti menegak botol minuman tersebut, namun nihil, ucapan Johnny sama sekali tak didengar oleh Jeffrey. Sekarang ia malah mendekati Dikta dan memegang kedua pipi Dikta menggunakan kedua telapak tangannya. Dikta sontak kaget, ia berusaha melepaskan namun tak bisa.

“Ini Dikta bukan? hehehe.” Jeffrey memanggil dikta dengan senyum cengengesan yang tak karuan, dengan jarak sedekat ini jelas sekali Dikta dapat mencium aroma alkohol dari mulut Jeffrey.

“Jeff anjir.” Johnny mulai kesal dan langsung menarik tubuh Jeffrey agar menjauh dari Dikta. Jeffrey langsung menepis Johnny dan kembali mendekati Dikta. “Ini orang Mirip Dikta yaa, tapi masa Dikta disamping gue?”

“Udah biarin, John. Kita lihat ini anak mau ngapain.” Jawab Dikta pada akhirnya.

“Gue tuh kangen banget sama Alea Hahaha.”

Satu kalimat yang keluar dari mulut Jeffrey membuat Dikta dan Johnny yang mendengarnya langsung terdiam. Ini adalah bahasan paling sensitif bagi mereka berlima, dan sekarang Jeffrey dengan pengaruh alkoholnya berani membuka bahasan mengenai itu.

“Jeff...” Johnny kembali memanggil Jeffrey supaya ia sadar dengan apa yang barusan ia ucapkan.

“Kangen Alea banget.” Lanjut Jeffrey. Tatapannya kosong sembari memainkan botol minuman yang ia pegangi.

“Yaudah samperin.” Jawab Dikta setelah itu.

Mendengar itu Jeffrey langsung mengarahkan pandangannya kepada Dikta lalu ia tertawa kencang. Namun tawanya berbeda dengan tawa beberapa jam yang lalu, siapapun yang mendengarnya pasti paham ada luka balik tawa tersebut.

“Tapi... Gue lebih kangen Dikta.” Lanjut Jeffrey pelan dan menunduk.

“Kangen ngopi sama Dikta, kangen makan di warteg bareng Dikta, kangen nganterin Dikta ke Fakultas buat ketemu pak Dekan, Kangen main ke rumah Dikta, kangen bercandain Dikta.”

Dikta membuang napas beratnya ketika mendengar itu semua dari mulut Jeffrey. Ingin sekali ia merangkul Jeffrey dan mengakui bahwa ia pun merindukan semua itu, bahkan sangat.

“Awalnya gue pikir kehilangan Alea bakal kerasa sakit banget hati gue. Tapi ternyata kehilangan sahabat yang selalu bareng-bareng terasa lebih menyakitkan Hahaha.” Lagi dan lagi Jeffrey tertawa.

“Jeff, udah-udah. Lo udah mabok banget, tiduran aja yuk.”

“Biarin, John. Dia udah gak minum lagi kok. Udah biarin dulu aja, gue mau denger penjelasan dia yang selama ini gue tolak.” Mendengar itu akhirnya Johnny menyerah.

Mereka berdua mendengarkan semua ocehan Jeffrey, memang benar ketika mabuk, bagian otak yang berfungsi untuk menahan manusia mengekspresikan semua perasaanya di shut down secara otomatis oleh alkohol, terbukti sekarang dengan Jeffrey yang mengeluarkan semua perasaan yang ia tahan dari dulu.

“Ingat cewek yang selalu gue ceritain pas maba sama kalian? Yang gue suka dari awal ketemu dia, bahkan kalian suruh gue buat tembak dia sebelum diambil orang? Hahahaha iya itu Alea, sial banget itu Alea. Sial banget waktu itu baru satu langkah gue usaha gue buat deketin dia, ternyata Alea lebih dulu pacaran sama Dikta, sial banget bahkan gue belum sempat deketin dia, sial banget kenapa harus Alea, sial Hahahaha.”

“Jeff...”

“Gak apa-apa lanjut aja, Jef.”

Johnny hanya bisa pasrah dengan apa yang akan diucapkan Jeffrey selanjutnya, memang kesalahan besar mempertemukan Jeffrey dengan botol-botol yang berisikan Alkohol.

“Alea kesepian banget, tiap jam nanya kabar Dikta ke gua. Walaupun isi pesannya cuma nanyain Dikta, tapi gue senang banget seenggaknya gue ada komunikasi sama dia.” Lanjut Jeffrey.

“Tetap aja lo salah.” Gumam Johnny pelan mendengar itu.

“Kesalahan terbesar gue adalah mengikutsertakan perasaan pribadi pada saat Alea curhat, bego banget anjing tolol Jeffrey.”

Dikta menggeserkan duduknya berusaha mendekatkan lagi dirinya kepada Jeffrey, hingga sekarang ia tepat berada disamping Jeffrey. Jeffrey yang sadar akan pergerakan tersebut langsung tertawa ketika menaikan pandangannya dan bertemu wajah Dikta.

“Dikta Hahaha.” Ada air mata yang jatuh disela-sela tawanya. Tawanya perlahan berubah menjadi isakan. Jeffrey menangis tepat disamping Dikta.

“Gue kehilangan dua orang yang gue sayang sekaligus, tai anjing kalo gue masih bisa ketawa didepan orang banyak. Itu semua bohong, padahal tiap malam rasanya hati gue sakit banget mau hubungin dua orang itu, dan ujung-ujungnya gak bisa tidur sampai pagi.”

“Gue kangen Alea, tapi gue gak mau kayak gini terus sama Dikta.”

“Gue cuma mau ngerasain cinta dan persahabatan yang indah, bukan kayak gini. Tolol banget emang gue, bikin semuanya kacau.”

“Gue kangen Alea, tapi yang paling menyakitkan hati gue adalah ketika jadi orang asing bagi Dikta. Gue kangen Alea, tapi dianggap gak ada sama Dikta jauh lebih bisa bikin gue gak bisa tidur tiap malam.”

Jeffrey mengusap air matanya secara kasar, ia mengambil botol minuman yang tadinya hanya dimainkan. Namun, belum sempat Jeffrey menegak botol tersebut, Dikta sudah merampasnya duluan dari tangan Jeffrey.

“Jangan, Jeff. Lo udah minum banyak.” Dikta langsung menghabiskan sebotol minuman hingga tak bersisa. Ia tak ingin minuman itu di teguk lagi oleh Jeffrey.

“DIKTA LO GILA?!” Teriak Johnny.

Tepat pada saat itu juga tubuh Jeffrey ambruk kebawah lantai, tampaknya ia sudah benar-benar kehilangan keseimbangan dan kesadarannya.

“Gue kangen lo, Ta. kangen kayak dulu lagi.” Ucap Jeffrey terakhir sebelum ia benar-benar tertidur.

Satu menit berlalu sampai akhirnya Dikta melepaskan jaket yang ia kenakan. Dikta menyelimuti tubuh Jeffrey dengan jaketnya itu.

“Gue juga, Jeff.” Ucap Dikta pelan.

Hampir 30 menit suasana hening, Dikta dan Johnny sama-sama terdiam. Jarum jam sudah menunjuk kearah jam Dua. Keduanya menatap teman-temannya yang sudah tertidur, Theo dan Yuta yang tertidur dikasur Johnny dan Jeffrey yang tertidur dilantai.

“Ta...” Panggil Johnny pelan pada akhirnya.

“Liat tuh temen lo, si bego. Dalam keadaan mabok tetap aja gak ada pembelaan, yang keluar dari mulutnya cuma penyesalan.” Dikta menatap Jeffrey yang tertidur dengan pulas.

“Ta, lo gak seharusnya minum yang ada kadar Alkohol.” Johnny mengungkit kejadian yang barusan saja terjadi.

“Lo biasanya paling banyak minum, John. Kenapa enggak nyentuh satu gelaspun?” Tanya Dikta.

“Lagi enggak pengen aja, gak sehat.” Jawab Johnny tanpa menatap Dikta, jelas sekali ia sedang berbohong.

“Enggak enak sama gue?”

“Enggak, gak gitu, Ta.”

Dikta hanya tertawa kecil mendengar jawaban Johnny. Ia membereskan bekas-bekas botol minuman yang berserakan dilantai.

“Ini alasan gua enggak mau banyak yang tau penyakit gue, gue gak suka lihat orang lain merasa gak enak dan selalu menahan diri karena gue. Kayak contohnya sekarang, lo berusaha gak minum karena gak enak sama gue yang gak bisa minum. Contoh lainnya, Mamah gue yang selalu enggak ikut arisan dan kumpul sama temen-temennya karena harus jagain gue pas cuci darah, dan...” Ucapan Dikta terhenti sejenak, ia kembali duduk,

“Dan mungkin nanti pasangan gue yang bakal selalu menganggap gue lemah dan butuh perhatian lebih. Padahal peran cowok enggak kayak gini kan, John?”

'Ta, enggak gitu maksud gue.”

“I know Hahaha, ohiya gue hari ini HD, John. Tanpa paksaan, tanpa disuruh.” Johnny yang mendengar itu sedikit membuka mulutnya tak percaya.

“Thanks udah bilang kalau kita harus hidup tanpa penyesalan.”

“Enggak, Ta. Harusnya gue yang berterimaksih karena lo udah mau hidup tanpa penyesalan.” Johnny tersenyum menatap Dikta. Dikta tertawa kecil mendengar itu.

“Tapi, enggak bisa gue pungkiri kalau Cuci darah itu semakin kesini semakin kerasa berat, John.” Ucap Dikta jujur, ia memperlihatkan bekas tusukan jarum ditangannya yang membengkak kepada Johnny.

“Berat ya, Ta? Tahan ya... Nanti jadwal HD selanjutnya gue yang temenin dan jagain lo, supaya Mamah lo bisa ikut arisan. Gimana?” Johnny merangkul Dikta, Dikta tersenyum mendengar itu. Setidaknya ada Johnny sekarang, setidaknya ia mempunyai tempat untuk mengeluh sekarang, setidaknya ia bisa berbagi sedikit rasa sakit kepada sahabatnya itu.

“Thanks, John.”

Tanpa mereka berdua sadari, ada sepasang telinga yang mendengar semua percakapan mereka dari awal sampai akhir. Ada air mata yang mati-matian ditahan oleh orang tersebut ketika mendengar percakapan mereka mengenai penyakit Dikta dan cuci darah.

“Ta, maaf... Maaf gue gagal jadi sahabat lo, brengsek banget gue ini.” Lirihnya pelan setelah memastikan Johnny dan Dikta sudah tertidur.

-Ara