Ayah, Terima kasih.

tw // mention of death


Satu jam sudah berlalu setelah isak tangis mewarnai ruang tunggu, Haekal, Hanna, Bi Nur saat ini sudah duduk di bangku yang telah tersedia, Jay masih dengan setia berdiri menanti pintu ICU terbuka, ditambah lagi saat ini sudah hadir keempat sahabat Haekal yang turut menunggu kabar baik dari ruangan tersebut.

Isak tangis mulai mereda, tak sekeras sebelumnya, walau masih saja helaan napas berat terdengar beberapa kali, cemas dan gelisah sama sekali tak bisa ditutupi oleh semua yang berada di ruang tunggu tersebut.

Tak terkecuali dari mereka yang menunggu cemas semuanya memakai baju yang rapih selayaknya menghadiri undangan acara. Tak disangka oleh mereka, baju rapih yang dikenakan untuk datang ke acara ulang tahun Haekal, berakhir di rumah sakit ini.

Tak ada acara tiup lilin dan memotong kue seperti yang direncanakan, tak ada pula hidangan mewah yang seharusnya mereka nikmati, tak ada letusan balon iseng yang mungkin saja akan dilakukan oleh keempat sahabat Haekal. Tak pernah terbayangkan oleh semuanya, pesta kejutan tersebut akan tergantikan oleh kecelakaan tragis yang berhasil membuat 18 tahun Haekal menjadi kelabu tak berbahagia.

“Jam berapa?” bisik Reno kepada Cena yang segera melihat kepada arloji yang ia pakai, Cena tak mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan tersebut, ia hanya memperlihatkan jamnya kepada Reno, “Satu setengah jam lagi ultahnya kelar,” bisik Reno lagi terdengar prihatin setelah melirik sesaat kepada Haekal yang menunduk di bangku tunggu.

“Gak kuat gue,” bisik Jere yang berada di samping kiri Reno, terlihat juga mata Jere yang mulai berkaca-kaca, menahan agar tak jatuh butiran bening tersebut. Reno merespon itu dengan menepuk pelan bahu Jere, berusaha saling menguatkan di saat kondisi seperti saat ini.

Bagi keempat teman Haekal, ini merupakan kali pertama mereka melihat Haekal menunduk pasrah seperti sekarang, Haekal yang mereka kenal, sama sekali tak pernah terlihat sepasrah sekarang, pandangannya yang berani tak sekalipun mereka pernah lihat menunduk lemah.

Mereka sangat paham, Haekal sangat benci dikasihani, namun, untuk saat ini, tak ada lagi selain tatapan iba yang mereka bisa layangkan kepada Haekal. Terlihat jelas oleh siapapun sisi rapuh yang selama ini Haekal sembunyikan, menyadarkan keempat temannya, betapa sulit dan beratnya kehidupan yang selama ini Haekal jalani, dan menjadi hal yang wajar apabila Haekal sering kali memarahi mereka yang kurang mensyukuri kehidupan dan keluarga yang mereka miliki.

Setelah lama menanti, pada akhirnya mereka melihat pintu tersebut terbuka, dan memperlihatkan seorang dokter berusia paruh baya berjalan untuk menghampiri mereka yang sedari tadi sedang menunggu cemas. Semua pandangan tertuju kepada Dokter tersebut, begitupun dengan Haekal dan Hanna yang segera berdiri dari duduknya.

“Saya boleh bicara dengan wali pasien Jovan?” kalimat tersebut yang pertama mereka dengar, nampak juga Dokter mencari sosok yang menjadi Wali Jovan.

“Saya anaknya,” Tanpa ragu, Haekal mengangkat tangannya, dan mendekatkan dirinya kepada Dokter tersebut, sedangkan Hanna segera diam tak mengikuti Haekal, ia sadar, ia bukan termasuk ke dalam wali dari Jovan. Namun, tak lama kemudian, ia merasakan tangannya digandeng oleh seseorang untuk mengikuti langkah Haekal, saat di dilihatnya, ternyata jemari Ibu Jovan yang mengajaknya untuk mendekat kepada Dokter tersebut.

Ketiganya berdiri tepat di depan Dokter tersebut, berusaha untuk menebak arti dari mimik wajah Dokter itu, yang sama sekali tak bisa mereka temui adanya senyum yang menandakan harapan.

“Ayah saya baik-baik aja 'kan, Dok?” tanya Haekal, Dokter tersebut menatap Haekal sendu, terlihat ada keraguan untuknya menjawab pertanyaam tersebut.

“Maaf,” sepatah kata tersebut yang malah terdengar, membuat genggaman tangan Ibu Jovan kepada Hanna semakin erat seakan menguatkan dirinya untuk mendengar lanjutan dari ucapan tersebut. Haekal menggeleng pelan, mencoba memperlihatkan, bahwa bukan kata maaflah yang ingin ia dengar.

“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pasien, namun, tepatnya tadi, setelah melakukan berbagai macam tes yang menunjukan tidak ada reflek otak dari tubuh Pasien, begitupun dengan tanda-tanda vital lainnya, Pasien juga sudah tidak mampu lagi bernapas sendiri.”

“Maksudnya, Dok?”

“Pasien dinyatakan mati otak.” Ucap Dokter tersebut dengan sangat berat hati.

Seperti petir yang menyambar, satu kalimat penjelas tersebut mampu membuat napas mereka tertahan seperkian detik, otak mereka terpaksa mencerna apa yang baru saja didengar, sampai-sampai detik berikutnya Ibu Jovan hampir terjatuh karena kakinya yang tak mampu lagi menopang tubuhnya, untungnya Hanna yang sedari tadi digenggam tangannya, berhasil menahan Ibu Jovan agar tak jatuh ke lantai.

“Kami mohon maaf harus memberitahu kabar ini, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pasien, namun, Tuhan berkata lain.” Kembali Dokter tersebut menjelaskan, Haekal yang sedari tadi mendengarkan, masih berdiri diam di depan Dokter tersebut, tak begitu terlihat ekspresi apa yang ada pada wajahnya saat ini.

“Jadi Ayah saya enggak ada harapan lagi, Dok?” tanya Haekal, suaranya terdengar pelan daripada sebelumnya, dengan berat hati, Dokter tersebut mengangguk merespon pertanyaan Haekal. Melihat itu, semakin menjadi pula isak tangis dari Ibu Jovan, Jay yang tadinya berdiri kaku, segera berjalan menuju Ibu Jovan, dan membantu Hanna untuk memegangi Ibu Jovan, kemudian ia membantu agar Ibu Jovan kembali duduk di bangku sebelumnya.

“Kal,” lirih Hanna pelan, selain rasa hancur yang teramat pedih Hanna rasakan, ia juga merasakan khawatir terhadap Haekal yang sampai saat ini belum sama sekali memperlihatkan emosinya dari raut wajahnya.

Mendengar panggilan pelan tersebut, Haekal menoleh kepada Hanna yang saat ini pipinya sudah dibasahi lagi oleh air mata, samar sekali terlihat ekspresi apa yang ada di wajah Haekal saat menatap Hanna, namun, Hanna dapat melihat manik kesedihan yang mendalam dari mata Haekal. Saat ini Haekal sedang berusaha menyembunyikan rasa hancurnya di depan Hanna.

“Mah, Ayah kesakitan kalau gini terus, ya?” tanya Haekal.

Hati Hanna terasa semakin pedih saat mendengar pertanyaan tersebut, linangan air mata semakin deras membasahi kedua pipinya, kemudian Hanna mengangguk menjawab pertanyaan tersebut.

“Kalau alat-alat medisnya dilepas, Ayah sudah pasti meninggal, ya?” kembali Haekal bertanya, namun, kali ini tak satupun yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Semua yang ada di sana hanya mampu menunduk saat mendengar pertanyaan yang sangat menyakitkan tersebut.

Semua harapan sudah pupus barusan, keajaiban yang sedaritadi mereka nanti bak fana belaka yang tak akan pernah terwujudkan. Semuanya telah sirna, seakan semesta benar-benar tak mendukung kebahagiaan yang Haekal dambakan bertahan dalam waktu yang lama, seolah semua skenario sudah diatur sedemikian rumitnya untuk menghancurkan perasaan Haekal entah untuk kesekian kalinya.

Terlampau hancurnya, sampai-sampai Haekal tak mampu lagi menangisi takdir hidupnya, semua tertahan kembali membuat dadanya terasa sakit bukan main, ditambah lagi melihat sekelilingnya yang menangis perih.

“Ayah pernah bilang, kalau terjadi sesuatu yang buruk, Ayah udah bikin pernyataan kalau Ayah bersedia mendonorkan organ tubuhnya. Berarti dalam kondisi ini, ya, Dok?”

“Kal ...,” lirih Hanna lagi saat mendengar perkataan Haekal barusan.

“Ayah bilang itu, Mah, bahkan Ayah berhenti merokok untuk mempersiapkan diri kalau memang hal buruk terjadi.” jawab Haekal, Jay kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Haekal, walau sangat berat juga untuk Jay merelakan, namun, hal tersebutlah yang sudah Jovan persiapkan selama hidupnya.

“Benar, Pasien sudah mendaftarkan dirinya untuk menjadi pendonor apabila suatu saat dinyatakan mati otak. Namun, tetap saja, kami masih membutuhkan izin dari pihak keluarga terkait hal ini.” ujar Dokter menanggapi prihal pendonoran. Terlihat sangat berat sekali dari mata Hanna untuk menyetujui itu, namun, Hanna juga tersadarkan bahwa yang berhak menolak atau mengizinkan hanyalah Haekal dan Ibu Jovan, ia sama sekali tak mempunyai hak atas itu.

“Kami bisa beri waktu untuk pihak keluarga berdiskusi−”

“Saya setuju,” tanpa diduga, Ibu Jovan yang terduduk lemas di bangku tunggu, memotong perkataan Dokter, “Biarkan keinginan anak saya dilakukan, sakit sekali hati saya sebenarnya untuk merelakan, tapi ..., keinginan Jovan harus tetap dilakukan.” sambung Ibu Jovan.

Hanna yang mendengar itu, segera menatap Ibu Jovan, dari tatapannya, Hanna seperti berusaha untuk memberitahu Ibu Jovan agar memikirkan lagi terkait hal tersebut, namun, tatapan tersebut hanya dibalas dengan anggukan kecil oleh Ibu Jovan, “InsyaAllah, saya ikhlas kalau memang ini jalannya.” ucapnya lagi dilengkapi dengan rintihan rasa sakit untuk merelakan, Jay yang duduk di sampingnya dengan segera merangkul Ibu Jovan yang tangisnya semakin deras.

“Saya juga ikut setuju, Dok ...,” Haekal ikut menimpali, tatapannya kosong memandang ke arah pintu ruangan yang di dalamnya terdapat sang Ayah dengan berbagai macam alat medis yang menempel di badannya. “Tapi saya mohon, jangan sampai Ayah merasakan sakit yang teramat, ya, Dok? Sudah cukup selama ini Ayah menahan segala bentuk sakit. Tolong, perlakukan Ayah dengan sangat baik mungkin nanti ketika organ-organnya diambil ....” lanjut Haekal lagi, kali ini suaranya terdengar bergetar karena tangisnya yang berusaha ia tahan agar tak berjatuhan lagi.

Semua yang berada di lorong tersebut tak kuasa menahan tangis mereka, terlebih setelah mendengar ucapan Haekal barusan, bahkan keempat sahabat Haekal saat ini semuanya menunduk dengan tangan yang berusaha menutupi wajah mereka, bahu mereka pun ikut bergetar hebat karena tangisan.

“Kal ...,” masih Hanna mencoba menahan, setidaknya bukan saat ini untuk merelakan Jovan. Mendengar lirihan sang Mamah, Haekal menggerakkan beberapa langkah kakinya untuk mendekati sang Mamah, kemudian ia memeluk sang Mamah erat.

“Mau Haekal juga sama, Mah, mau lihat Ayah terus, tapi ..., pasti di dalam sana Ayah lagi ngerasain sakit yang bukan main dengan alat-alat medis yang ada di badannya. Dan, Ayah pasti bakalan bahagia banget karena keingannya untuk terus bermanfaat bagi yang lain terwujud. Mah, sulit sekali, berat juga, tapi ..., kita enggak bisa egois, kan?” bisik Haekal berusaha meyakinkan Mamahnya. Hanna tak menjawab, tangisnya pun semakin deras, dapat Haekal rasa dari bajunya yang basah karena tangis Hanna.

“Ya, Mah? kasihan Ayah kalau terlalu lama di dalam sana, Haekal enggak tega kalau sampai nanti Ayah ngerasain sakit yang gak ketahan lagi. Kalau memang masih ada harapan untuk Ayah, Haekal pasti akan tunggu sampai kapanpun itu, seberapapun itu akan Haekal usahakan. Tapi, Mah, sekarang kondisinya udah beda ....” kembali Haekal berusaha memberikan penjelasan kepada Hanna yang nampak masih berat untuk merelakan Jovan.

“Ya, Mah?” tanya Haekal sekali lagi, dan dirasanya sebuah anggukan dari Hanna yang terasa oleh bahu Haekal. Seulas senyum tipis terukir di bibir Haekal, sangat sakit di dalam hatinya, namun ia merasakan lega karena sudah berhasil membantu Ayahnya mewujudkan keinginan yang selama ini sudah dipersiapkan oleh Sang Ayah selama hidupnya.

Dengan sangat hati-hati, Haekal melepaskan pelukannya, dan menuntun sang Mamah untuk kembali duduk di bangku sebelumnya, bersampingan dengan Ibu Jovan.

“Sudah aman semuanya, Dok,” ujar Haekal kepada Dokter tersebut yang masih menunggu persetujuan dari semuanya.

“Baik, akan saya lakukan. Kita bisa melaksanakan operasinya sekarang juga. Saya segera memberitahukan beberapa rumah sakit yang akan menerima organ dari Pasien, dan memberikan kepada prioritas yang membutuhkan” Ucap Dokter tersebut, dan segera dibalas anggukan oleh Haekal.

“Saya pamit untuk mempersiapkan operasinya, nanti akan ada suster yang mengarahkan segala terkait persuratan dan yang lainnya, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” lanjutnya, tak lupa juga ia membungkuk untuk berterima kasih kepada semuanya yang sudah dengan lapang hati memberi izin untuk mendonorkan organ-organ yang masih layak untuk kehidupan orang lain yang membutuhkan.

Saat Dokter tersebut hendak melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruang tunggu, Hanna tiba-tiba berdiri dan menahan lengan dari Dokter tersebut, sontak langkah kaki dari Dokter tersebut terhenti.

“Dok, ini masih di hari ulang tahun anak saya,” ujar Hanna dengan suara pelannya yang semakin melemah, “Saya boleh minta tolong untuk tunda operasinya sebentar aja? Seenggaknya Jovan masih dinyatakan hidup di hari ini, Dok, kasian anak saya kalau tahun seterusnya nanti akan mengenang kematian Ayahnya tepat di hari ulang tahunnya ...,” pinta Hanna.

Dengan tatapan iba yang teramat, Dokter tersebut akhirnya mengangguk menyetujui permintaan Hanna barusan, “Baik, operasi dimulai satu jam lagi, bertepatan dengan pergantian hari. Sebagai bentuk terima kasih, saya memperbolehkan 1 orang saja untuk masuk ke dalam menemui pasien, tapi maaf, saya tidak bisa memberi waktu yang lama, karena kami harus segera mempersiapkan operasi pada pasien.”

“Terima kasih, Dok, terima kasih sekali ....”


Tepatnya di ruang yang dipenuhi berbagai macam alat-alat medis Haekal duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping ranjang besar yang tengah ditiduri oleh Ayahnya. Yang hanya bisa Haekal dengar saat ini adalah bunyi dari beberapa alat medis yang membantu Ayahnya untuk bisa bernapas hingga saat ini.

Rasanya tak tega melihat bagaimana tubuh sang Ayah ditusuki oleh berbagai jarum yang tajam itu, belum lagi dengan banyaknya perban di tubuh sang Ayah, bahkan saat ini Haekal tak bisa melihat dengan jelas bagaimana paras tenang dari wajah sang Ayah karena tertutupi oleh perban, dan pula Cervical collar yang menopang lehernya.

Haekal hanya diberi waktu sepuluh menit untuk menemui sang Ayah di ruangan ini, rasanya sepuluh menit sangatlah sedikit baginya melihat sang Ayah untuk yang terakhir kalinya. Namun, seberapapun waktu yang diberikan, Haekal hanya bisa bersyukur dan menggunakan waktunya sebaik mungkin.

“Ayah ...,” panggil Haekal pelan, walau ia tahu sampai kapanpun Jovan tak akan pernah bisa menjawab panggilannya, namun, Haekal akan tetap memanggilnya, panggilan yang selama ini Haekal dambakan, yang ternyata hanya beberapa bulan saja bisa ia ucapkan.

“Waktu berlalu begitu cepat, ya, Yah? Entah terlalu cepat berlalu, entah memang kesempatan yang diberikan untuk kita begitu singkat ...,” lanjut Haekal kembali, matanya yang sudah merah akibat tangisnya yang sedari tadi tak berhenti, menatap dengan sendu ke arah sang Ayah yang tertidur kaku di depannya.

“Saking singkat dan cepatnya, saya masih bisa ingat dengan jelas detail-detail yang sudah kita lewati. Di awali dengan pertemuan karena Darto di ruang BK, sampai sekarang kembali kita dipertemukan di ruang ICU yang dipenuhi alat-alat menyeramkan ini. Tentu, saya enggak akan ngerokok seperti biasanya, Yah, haha ...,” tawa Haekal pelan, sudut matanya kembali berair, menandakan bulir bening akan kembali hadir membasahi wajahnya.

“Ayah sudah janji mau jemput saya ke rumah, saya tunggu Ayah, tapi ternyata, jadinya saya yang temuin Ayah. Kali pertama Ayah ingkar janji kepada saya,” lagi, Haekal tak berhenti untuk mengajak Jovan berbicara, seakan-akan yang ada di depannya saat ini adalah manusia sehat yang bisa diajak komunikasi dengan normal.

“Yang ada di otak saya saat siap-siap pakai baju di rumah tadi adalah kejutan terindah di ulang tahun saya. Ada berbagai skenario jelek dari sahabat-sahabat saya yang akan memancing emosi saya, kemudian ada kue ulang tahun yang tiba-tiba datang dan dibawa oleh Ayah Mamah, setelahnya saya akan berdoa di depan kue tersebut yang mana doa saya semuanya akan tertujukan untuk kebahagian Ayah dan Mamah, kemudian bersama-sama kita akan tiup lilin di kue tersebut. Ah, indah sekali, walau ternyata itu semua hanya berakhir sebagai imajinasi yang saya ciptakan.”

“Ah Ayah, segala yang indah di hidup saya memang sulit ternyata untuk diwujudkan. Mungkin memang seperti itu kali, ya, suratan takdir yang Tuhan beri untuk saya ...,” kalimat Haekal terhenti karena air matanya yang kembali berjatuhan, walau sudah ia coba tahan sekuat tenaga.

“Ah, maaf, Ayah, saya lagi-lagi jadi anak laki-laki yang cengeng di depan Ayah,” sambungnya, dengan jemarinya yang dingin, Haekal mengusap kasar wajahnya. “Susah, Yah, untuk ditahan. Sesak sekali rasanya, Yah, izinkan saya menangis, ya, Yah?”

Hampir satu menit berlalu dengan tangisan Haekal yang tak kunjung berhenti, ia juga beberapa kali memukul dadanya untuk menyalurkan rasa sakit yang ia rasa. Tak ada tangan hangat milik Jovan yang biasanya mengusap bahu Haekal untuk menguatkannya yang sedang merasa lemah.

“Ayah ...,”

“Ayah ...,”

“Ayah ..., bukannya terlalu cepat untuk Ayah pergi meninggalkan Haekal di sini?” rintih Haekal penuh sakit disetiap kata yang ia ucap.

“Masih banyak yang belum kita lalui bersama 'kan, Yah? Bikin SIM, cobain menu kopi baru di kedai Janu, diskusi ringan waktu hujan, cobain warung pecel lele lainnya sama Mamah, bikin nasi goreng bareng-bareng, nonton piala dunia yang beberapa bulan lagi bakalan mulai, ah, Ayah ..., masih terlalu banyak yang belum selesai kita lalui bersama.”

“Bahkan untuk sekedar tiup lilin bersama, Tuhan gak kasih kita kesempatan ....”

“Walau cuma berdua di ruangan ini, saya bolehkan, Yah, rayakan ulang tahun sama Ayah, untuk yang pertama, dan terakhir kalinya ...,” dengan teramat sesak, Haekal tetap melanjutkan bicaranya kepada Jovan, dengan napasnya yang berhembus berat, Haekal masih ingin berbicara dengan Ayahnya.

Detik berikutnya, Haekal mengusap pipinya sendiri, berusaha menghentikan air matanya agar tak jatuh lagi, “Tahan, Kal, sebentar, tahan ...,” ucap Haekal pada dirinya sendiri, mencoba untuk mengontrol dirinya. Hingga pada akhirnya, tetes air matanya berhenti jatuh seperti sebelumnya, walau isaknya sesekali masih terdengar karena tangisan hebat sebelumnya.

Happy birthday to me ...,” Haekal dengan suaranya yang pelan memulai nyanyian ulang tahun seorang diri di depan Jovan yang terbaring kaku.

Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Haekal ....” sambung Haekal menyanyikan lagu tersebut dengan perasaan yang hancur. Ia benar-benar tak menyangka akan menyanyikan lagu ini seorang diri, di depan Ayahnya yang secara hukum sudah dinyatakan mati tak bernyawa lagi.

“Seharusnya tiup lilin, tapi di sini gak boleh, gak ada kue ulang tahun juga, Yah, jadi langsung doa aja, ya?” kata Haekal, kemudian ia segera menundukan kepalanya, khusu' dengan doa yang sedang ia panjatkan, sampai akhirnya, ia kembali mengangkat pandangannya, dan tersenyum kepada Jovan.

“Sudah, Yah, doanya sederhana, kok, Haekal minta ke Tuhan untuk nanti diberikan kesempatan lagi jadi anak Ayah, tanpa sedikitpun membawa celaka dan petaka seperti di kehidupan sekarang.” ucapnya masih dengan senyum yang tergambar.

“Waktunya sudah habis, Yah, Ayah harus siap-siap untuk mewujudkan keinginan terakhir Ayah, dan saya ..., harus mengikhlaskan Ayah mulai dari sekarang.”

Haekal berdiri dari duduknya, kemudian melangkah maju mendekati Jovan, dengan sangat hati-hati sekali, Haekal mengusap jemari Jovan yang masih nampak beberapa luka yang belum mengering di sana, kemudian ia mencium tangan Jovan untuk yang terakhir kalinya, segera ia jauhkan wajahnya saat dirasanya air mata kembali mendesak untuk berjatuhan lagi, khawatir air matanya yang jatuh terkena luka dari sang Ayah, dan membuat Ayahnya merasakan perih yang bertambah di sekujur tubuhnya.

“Terima kasih sudah ada di dunia ini, Ayah ..., Terima kasih selalu menjadi sosok baik bahkan sampai napas Ayah enggak berhembus lagi. Maaf ..., maafkan Haekal yang masih belum mampu membahagiakan Ayah, ampuni Haekal yang dulu sampat melukai hati Ayah. Ayah ..., sampai kapanpun, Haekal akan tetap bangga dengan Ayah, Ayah Jovan yang selamanya akan menjadi Ayah terhebat yang satu-satunya Haekal punya.”

“Ayah, maaf, ternyata Haekal memang benar definisi dari celaka yang sebenar-benarnya ada di dunia ini. Di kehidupan lainnya, Haekal janji, hanya bahagia yang akan Haekal beri untuk Ayah dan Mamah. Ayah ..., terima kasih, Haekal pamit pergi, ya?”

Dengan hati yang berat, Haekal berjalan pergi meninggalkan sang Ayah di ruangan itu, kakinya terasa berat sekali untuk melangkah pergi, pandangannya teramat kabur karena bulir bening yang membanjiri. Ingatannya hanya mampu berputar pada senyum hangat milik sang Ayah yang beberapa bulan ini menghiasi harinya, di dalam otaknya yang terputar hanyalah suara-suara menenangkan yang biasanya terucap dari bibir Ayahnya.

Sampai pada akhirnya, langkah kakinya berhasil kembali pada lorong tempat menunggu tadi, segera ia disambut oleh keempat sahabatnya yang langsung memeluk Haekal erat, menguatkan Haekal yang teramat rapuh saat ini. Tak ada lagi gengsi yang biasanya Haekal junjung tinggi, ia saat ini hanya mampu membalas pelukan sahabatnya sembari menangis terisak tanpa henti, menyalurkan segala pedihnya di depan keempat sahabatnya.

“Runtuh ..., dunia saya rasanya runtuh. Lagi lagi duka, hidup saya hanya dipenuhi duka ....” ucap Haekal di sela-sela tangisnya.

Memang benar, semua masalah yang ada di dunia ini akan terasa baik-baik saja, namun tidak apabila ditinggal mati oleh orang tua. Setiap anak akan merasa hancur tak karuan, perasaan sakit menusuk bak belati apabila membayangkan bagaimana hari esok tanpa orang tua di sampingnya. Seperti itulah yang Haekal rasa, seketika dunianya terasa runtuh berantakan setelah ditinggal mati oleh sang Ayah yang selama ini ia idam-idamkan kehadirannya.


“Operasi pengangkatan organ tubuh pasien Jovan sudah berhasil kami lakukan, tepat pada pukul 01.29, pasien dinyatakan meninggal dunia.”

IMG-20220406-WA0032

-Ara.