Bapak siapa?

Haekal, Reno, Janu, Cena, dan Jere saat ini sedang bersantai, duduk di sofa yang terdapat pada ruangan BK sekolah mereka. Guru Ekonomi yang mengajar mereka tak masuk, menyebabkan kelas IPS 2 mengalami jam pelajaran kosong sedari tadi. Kelima remaja itu memutuskan untuk berkunjung ke ruang BK, menemui Pak Jovan, dengan alibi menanyakan sesuatu, padahal maksud sebenarnya dari kelima orang ini hanyalah untuk merasakan sejuknya AC ruangan BK, dan empuknya sofa di sana.

Jovan yang sudah terbiasa dengan kehadiran kelima remaja itu yang sering kali memenuhi ruangannya, hanya bisa terkekeh saat mendengar berbagai macam alibi dari mereka. Kebetulan hari ini Jovan sedang sibuk-sibuknya merapihkan berbagai macam berkas, jadi, ia bisa meminta bantuan dari kelima remaja itu, walau pada akhirnya yang bertahan membantunya hanyalah Haekal, sedangkan empat lainnya sudah menyerah, dan memilih bermain game online di handphone milik mereka.

“Ah, kalah!” gerutu Reno kesal sembari melempar asal ponselnya pada sofa. “Pada noob banget dah team gue.” Lanjut Reno masih tak terima dengan kekalahannya barusan.

“Pertanda harus bantu saya itu,” sindir Jovan dengan tawa renyahnya. Reno yang mendengar sindirian itu langsung mengeluarkan suara kecil mirip seperti rengekan yang menolak, dan malah menyandarkan kepalanya paad Sofa, berpura-pura sangat kelelahan.

“Dasar Hama.” cetus Haekal cuek masih dengan jemari yang sibuk merapihkan berkas-berkas yang ada, Reno membelalakan matanya, merasa tak terima dengan hinaan barusan, namun, kembali ia sandarkan lagi badannya, menyadari tak ada gunannya juga melawan Haekal saat berdebat, yang hasil akhirnya sudah pasti Reno akan kalah.

“Bapak gak ngerokok, ya?” tanya Reno tertuju kepada Jovan, baru saja Jovan ingin menjawab pertanyaan itu, namun terhenti saat mendengar teriakan panik dari Jere yang mengagetkannya. “Janu Janu Janu! Bantu gue diserang lawan! Woy naik naik naik!” teriak Jere, seperti tak sadar lagi saat ini ia sedang berada di ruang BK, Bersama gurunya.

“Berisik, Bodoh!” tegur Haekal, diiringi pulpen yang melayang dan meluncur dengan sangat sempurna mengenai dahi Jere.

“Sakit banget Anj-” ringisan Jere diiringi kata-kata kasarnya tertahan saat menyadari saat ini ia masih berada di ruang BK bersama guru yang ia segani. “Sakit, Kal, sumpah, lo ah elah.” lanjut Jere dengan sebelah tangannya yang mengusap kasar wajahnya, memperlihatkan seberapa kesalnya ia saat ini karena dilempar oleh Haekal.

“Lo bacot bego, gak usah norak kalo main game.” bisik Reno pelan di telinga Jere, agar Pak Jovan tak dapat mendengarnya.

“Tau nih, berisik banget bopung.” “Norak gitu tuh, malu-maluin.” timpal Janu dan Cena dengan pandangan yang masih fokus pada layar ponsel masing-masing.

Jovan hanya geleng-geleng kepala melihat bagaimana ricuhnya persahabatan para remaja itu. Setiap kali mereka kumpul bersama Jovan, pasti saja selalu ada cekcok di antara kelimanya, kemudian dalam hitungan menit, kembali tertawa bersama seakan-akan melupakan cekcok yang terjadi sebelumnya.

Reno memutuskan bangkit dari sofa, mendekati Jovan dan Haekal yang masih sibuk merapihkan kumpulan kertas-kertas itu, ia tak membantu, hanya berjongkok menemani Haekal dan Jovan saja.

“Kok bisa, sih, Pak, enggak ngerokok?” tanya Reno masih saja penasaran dengan pertanyaannya yang barusan belum terjawab.

“Dulu ngerokok, sama seperti kalian.” jawab Jovan, tanpa melihat Reno yang saat ini menatapnya penuh rasa penasaran. “Tapi akhirnya memilih berhenti.” sambung Jovan lagi.

“Kenapa?”

“Karena mau punya organ yang sehat.” jawaban tersebut bukan berasal dari Jovan, melainkan berasal dari bibir Haekal yang menjawab.

“Hah? Serius, Pak?” Reno tak langsung percaya dengan jawaban Haekal barusan. Jovan yang tadinya sibuk dengan ratusan kertas di hadapannya, kemudian memilih berhenti sejenak, memandang Reno dan Haekal secara bergantian, kemudian mengangguk pelan sembari tersenyum hangat penuh makna.

“Kita enggak akan pernah tau bagaimana akhir dari hidup kita 'kan? Saya memutuskan untuk mendaftarkan diri saya sebagai pendonor organ, apabila suatu saat hal buruk terjadi, dan saya dinyatakan mati otak secara medis. Walau enggak ada yang tau ke depannya bagaimana, tapi, lebih baik kita mempersiapkan kematian yang bisa bermanfaat bagi makhluk hidup lainnya, bukan?” tutur Jovan menjelaskan. Baik Reno maupun Haekal, sama-sama terdiam saat mendengar jawaban itu.

“Ya siapa tau kan, seenggaknya mati pun masih bisa bermanfaat untuk yang lain. Kalau pun saya mati bukan karena mati otak, ya mungkin belum jalannya juga, Hahaha.” lanjut Jovan dengan tenang, bahkan dengan tawa yang terdengar ringan, seperti tak takut sama sekali dengan kematian.

“Sehat-sehat, ya, Pak. Maaf, saya malah berharap Bapak sehat sampai tua, dan jangan sampai ada kejadian buruk yang membuat Bapak mati otak.” respon Haekal kemudian, entah, Haekal sendiri pun bingung dengan apa yang ia rasa saat mendengar jawaban Jovan barusan, hatinya terasa tak tenang dan khawatir berlebih yang ditujukan untuk Jovan setelah mendengar jawaban barusan.

“Iya betul kata si Haekal, Bapak sehat-sehat terus ya. Saya ngeri sendiri denger kata mati otak, Pak.” ucap Reno menyetujui apa yang Haekal katakan barusan, tak lupa juga ia perlihatkan bulu-bulu yang ada ditangannya yang berdiri kepada Jovan. “Merinding saya, Pak, asli deh.” sambungnya, dengan ekspresi yang saat ini mulai dilebih-lebihkan, membuat Jovan terkekeh meresponnya.

Mereka pun melanjutkan kembali kegiatan membereskan berkas-berkas di ruangan BK, Reno yang tadinya hanya melihat saja, sekarang sudah mulai tergerak jemarinya untuk membantu Jovan dan Haekal yang hampir selesai membereskan semua berkas-berkas berantakan itu.

“Azalea kalo di rumah emang pendiem kayak di sekolah, Pak?” Tanya Reno lagi iseng, karena bagi Reno apabila mengerjakan suatu kerjaan tanpa ada obrolan, sangatlah membosankan dan membuat ia mengantuk, jadi ia terus bertanya kepada Jovan agar tak merasa bosan.

“Jam berapa?!” Malah Haekal yang tiba-tiba berdiri, mengangetkan Reno dan Jovan yang menatapnya kebingungan.

“Jam 10, tuh liat,” Jawab Reno menunjukan jam dinding di ruangan BK. Haekal seperti teringat sesuatu, ia merogoh saku celana dan bajunya, mencari sesuatu yang tampaknya tak berhasil ia dapatkan dari sana.

“Lupa bawa HP, ketinggalan di kelas, pinjam HP kamu, No.” Pinta Haekal mengulurkan tangannya, seperti tak sabaran ingin segara menghubungi seseorang dari Ponsel Reno.

“HP gue mati, abis batrenya, makanya gabut bantuin Pak Jovan sama lo.” Jawab Reno masih dengan wajahnya yang terlihat bingung sekaligus curiga dengan Haekal yang tiba-tiba panik saat ini.

“Jere-”

“Diem, dikit lagi menang.”

“Janu-”

“Sstt jangan ganggu, bentar.”

“Cena-”

“Lagi push rank.”

Mendengar berbagai penolakan itu, Haekal hanya mampu menatap geram kepada teman-temannya . Jovan kembali dibuat terkekeh dengan kelakuan 5 anak remaja itu, yang satu panik tak karuan, yang satunya lagi bosan karena ponselnya mati, dan yang tiganya lagi sudah tak peduli dunia sekitar karena sedang bermain game online.

“Mau apa, Kal?” Akhirnya Jovan bertanya, walau pandangannya saat ini masih berfokus membaca sesuatu di kertas yang ada, meneliti isi dari berkas tersebut.

“Mau numpang telpon Azalea, Pak,” Jawab Haekal, Reno yang mendengar jawaban itu berpura-pura ingin muntah, karena muak dengan kelakuan temannya yang sudah berada di level parah menjadi seorang budak cinta.

“Apa?!” Tantang Haekal tak terima dengan reaksi Reno barusan.

“Kaga, orang gue lagi kambuh maagnya.” Alibi Reno segera.

“Pakai HP saya aja, Kal, ada di atas meja. Buka aja, saya masih sibuk baca berkas dari BK lama.” Ucap Jovan menawarkan bantuan, tanpa banyak bertanya lagi, Haekal segera mengambil Ponsel milik Jovan yang terdapat di meja kerjanya.

“Pak, saya izin buka, ya?” Izin Haekal sekali lagi, Jovan hanya berdeham mengizinkan, fokusnya saat ini masih tertuju pada tumpukan berkas lama milik ruang BK.

Haekal paham, bahwa ia saat ini diberi kepercayaan untuk membuka ponsel milik Pak Jovan, maka ia juga berusaha untuk menghargai privasi dari Pak Jovan, ia segera mencari nomer Azalea, kemudian menelpon Azalea yang mempunyai janji temu dengannya.

Tak butuh waktu lama untuk Azalea mengangkat telpon tersebut, “Halo, Yah?” Terdengar suara lembut nan kecil milik Azalea di sebrang sana.

“Lea?”

“Eh? Bukan Ayah?”

“Ini Haekal, saya lupa bawa HP, Lea, jadi pinjam HP Ayah kamu. Sudah jam 10, jadi ketemu 'kan?”

“Iya ...”

“Okay, di rooftop aja, ya? Nanti kita ketemuan di tangga dekat TU, ke rooftopnya bareng saya.”

“Iya, Kal.”

“Sampai bertemu di tangga, bunga cantik, Azalea!” ucap akhiran Haekal sebelum memutuskan sambungan telpon tersebut. Ada lengkung manis yang tergambar pada bibir Haekal saat kembali menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya, sangat berbeda dengan Haekal beberapa saat barusan yang nampak datar karena Reno mengejeknya.

“Bucin, bucin, hadah, bucin depan calon mertua sendiri, gak ada takut-takutnya.” sindir Reno. Haekal yang sedang bahagia, tak terlalu menanggapi sindiran Reno kali ini, ia hanya menengok sekilas ke arah Reno, kemudian kembali tersenyum merapihkan kerah bajunya agar terlihat semakin rapih sebelum bertemu Azalea.

“Hp bapak saya letakkan di meja lagi, ya, Pak?” ucap Haekal saat akan meletakkan ponsel Jovan ke sisi semula, namun, matanya tak sengaja melihat ada pemberitahuan pesan yang masuk dari ponsel tersebut.

image

Haekal terdiam saat melihat pesan masuk itu, Haekal juga sangat yakin bahwa pesan itu berasal dari Hanna, Mamahnya, bukan Hanna yang lain. Namun, yang membuat Haekal curiga adalah isi pesan tersebut yang sangat tak biasa, melihat Mamahnya memanggil Jovan dengan sebutan “Kak Jo” membuat rasa penasaran Haekal semakin besar. Apalagi, kilas-kilas balik bagaimana perhatiannya Jovan terhadap Mamahnya, dan beberapa kejadian lain yang mencurigakan seketika berkelebat di kepala Haekal setelah tak sengaja membaca pesan masuk itu.

Haekal melihat ke depan, Jovan masih sibuk dengan berkas yang sedang ia baca dengan serius, begitupun dengan Reno yang merapihkan tumpukan berkas yang belum Haekal bereskan, karena terpotong oleh janjinya yang akan bertemu Azalea. Ketiga teman lainnya juga masih asik dengan game online, jadi, untuk saat ini, tak ada yang menyadari apabila Haekal mau memberanikan dirinya membuka isi pesan antara Mamahnya dan Jovan.

“Iya, ini memang ranah privasi Pak Jo, tapi, ini berhubungan dengan Mamah saya, jadi, Tuhan maafkan saya kali ini, ya ...” batin Haekal berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk membuka isi pesan itu, setelah beberapa detik menimang pilihan, akhirnya jemari Haekal mulai mendekat kembali ke layar ponsel Jovan, dan dengan hati-hati membuka isi pesan dari Mamahnya itu.

image

image

Semakin Haekal melihat pesan-pesan sebelumnya, semakin dibuat kaku juga tubuh Haekal rasanya. Terasa seperti mimpi saat melihat obrolan whatsapp Mamahnya dan Pak Jovan, yang mana pembahasan utama yang sering mereka bicarakan adalah Haekal, dirinya sendiri, yang mereka sebut anak kandung mereka.

Haekal tak sanggup lagi membaca pesan-pesan lainnya, napasnya terasa tercekat, tangannya gematar hebat setelah membaca pesan-pesan itu, tak lama kemudian, tanpa disengaja, tangannya menjatuhkan ponsel milik jovan ke lantai, dan menimbulkan bunyi yang cukup keras sehingga Reno dan Jovan, bahkan ketiga teman lainnya yang sedang bermain game, menyadari perubahan tiba-tiba dari Haekal yang saat ini wajahnya terlihat pucat.

“Et Hp Pak Jovan rusak dah itu gilak!” teriak Jere saat melihat ponsel tersebut terjatuh.

Jovan yang tadinya sedang membaca berkas-berkas dengan seksama, segera mengalihkan pandangannya ke arah Haekal yang sedang menatapnya dengan tatapan sangat sulit untuk Jovan deskripsikan. Jovan lihat jemari Haekal bergetar, dan mata Haekal mulai memerah, bahkan deru napas Haekal saat ini terdengar dengan jelas oleh Jovan.

“Kal?” tanya Jovan khawatir, ia bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekati Haekal untuk memastikan keadaan Haekal, begitupun dengan Reno yang juga ikut bangkit mendekati Haekal.

“Kenapa, Kal? Ada yang-” Belum sempat Jovan memegangi sisi kanan bahu Haekal, tangannnya sudah lebih dahulu ditepis kasar oleh Haekal, yang masih menatap Jovan tak percaya.

“Kal anjir?” seru Reno yang kaget dengan perlakuan Haekal barusan.

Jere yang tadinya berniat melanjutkan kegiatan main gamenya, seketika menutup ponselnya, dan ikut mendekat kepada Haekal, diikuti juga oleh Janu dan Cena yang juga merasakan ada yang tak beres dengan Haekal.

“Ada apa, Kal?” tanya Jovan ragu, ia juga ikut kaget dengan respon kasar Haekal barusan. Haekal masih diam, tak menjawab pertanyaan Jovan barusan, namun tatapannya tajam sekali mengarah kepada Jovan, emosi bercampur dengan rasa tak percaya bercampur menjadi satu kala Haekal menatap wajah Jovan.

“Haekal, saya ada salah?”

“Bapak siapa?”

Deg

Satu pertanyaan itu berhasil membungkam Jovan sekaligus membuat jantung Jovan seakan berhenti sejenak. Dilihatnya ponselnya yang terjatuh di lantai, menampakkan isi room chatnya bersama Hanna, yang mungkin saja sudah Haekal baca keseluruhan isinya.

“Kal, lo kenapa anjir?” Janu berusaha menyadarkan Haekal, yang masih menatap Jovan tajam dan tak bersahabat.

“Bapak siapa?” tanya Haekal lagi, walau suaranya pelan, namun terasa menuntut sekali untuk mendengar sebuah jawaban. Jovan tak mampu menjawabnya, ia hanya bisa diam, dan balas menatap Haekal penuh penyesalan.

“Bapak siapa?!” kali ini suara Haekal lebih tinggi dari sebelumnya, matanya yang memerah perlahan mengeluarkan beberapa tetes air dari sana, wajah pucatnya saat ini berganti merah, menahan amarahnya agar tak meledak saat ini juga.

“Bukan ... Bukan 'kan? Bapak bukan Ayah saya ... Ayah saya sudah meninggal ... ini gak mungkin, ini pasti mimpi, dan saya hanya perlu bangun dari mimpi ini.” ucap Haekal masih tak percaya dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Tak hanya Haekal, keempat temannya pun dibuat tercengang setelah mendengar ucapan Haekal barusan, mereka saling tatap tak percaya.

“Haekal ... Dengarin Bapak dulu, ya?” Jovan berusaha mendekat kepada Haekal, setidaknya untuk sejenak menenangkan anaknya itu, namun, Haekal malah mundur tiap kali Jovan mendekatkan langkahnya, seolah tak mau disentuh Jovan sedikitpun.

“Enggak mungkin, Bapak bukan Ayah saya, gak mungkin, Pak ... Enggak boleh.” sangkal Haekal tak henti, sembari masih memundurkan langkahnya agar semakin menjauh dengan Jovan.

“Maafkan saya, Kal, Maafkan Bapak, Nak, Maaf ...” pinta Jovan putus asa dengan respon Haekal yang selama ini ia takutkan, ternyata ketakutannya selama ini benar terjadi, Haekal tak menerimanya sebagai seorang Ayah yang selama ini masih hidup di dunia.

Haekal hanya menggeleng pelan saat mendengar itu, pandangannya berubah menjadi kosong saat menatap Jovan yang penuh penyesalan.

“Maafkan Bapak, Kal. Maaf ...” masih Jovan memohon ampun kepada Haekal.

“tujuh belas tahun, Bapak kemana? Saya sendiri, Mamah terpuruk sendiri, Bapak gak ada. Saya yatim, Mamah menjanda selama belasan tahun ini. Bapak telat, Bapak bukan Ayah saya. Bapak enggak pantas menjadi seorang Ayah.” ucap Haekal kemudian pergi meninggalkan ruang BK. Jovan merasakan sakit tak karuan di sekujur tubuhnya, terutama di dadanya saat mendengar ucapan Haekal barusan. Haekal benar-benar membencinya saat ini.

“Pak, saya susul ya Haekal-nya?” ucap Reno, namun Jovan menggeleng pelan merespon tawaran itu.

“Dia butuh waktu sendiri untuk mencerna apa yang terjadi, Reno.”


Haekal benar-benar kalut saat ini, ia berjalan dengan pikiran yang sangat kusut, untungnya koridor sekolah sangat sepi, karena siswa-siswi masih belajar di kelas masing-masing, sehingga ia tak perlu khawatir menabrak orang yang sedang berjalan karena langkah tak karuannya. Bayang wajah Pak Jovan terus-terusan terlintas di pikiran Haekal, membuatnya frustasi tak karuan apabila wajah dari sosok yang ia kagumi itu terlintas.

Haekal masih tak percaya, bagaimana bisa sosok yang ia kagumi, dan ia kira sebagai insan yang paling bisa memanusiakan manusia lainnya, ternyata adalah sosok yang selama ini meninggalkannya dan Mamahnya dalam keterpurukan dan kesakitan yang tiada tara.

Kecewa, tak percaya, marah, sedih, semuanya bersatu menjadi satu saat ini. Haekal hanya ingin ini adalah mimpi saja, Haekal ingin segera bangun dari mimpi aneh ini, Haekal ingin dunianya berjalan seperti biasanya.

“Kal?” panggilan pelan yang berasal dari belakangnya, berhasil menghentikan langkah Haekal. Tepat di depan tangga sepi dekat ruangan TU, Haekal mendengar suara pelan Azalea memanggilnya.

Haekal segera menoleh ke arah Azalea yang sedang berdiri menunggunya, ada senyum kecil yang tergambar di bibir mungil milik Azalea saat melihat sosok Haekal yang datang menghampirinya. Namun, sangat berbeda dengan Haekal yang sekarang menatap tajam ke arah Azalea.

Yang saat ini ada di pikiran Haekal hanyalah fakta bahwa Azalea juga anak dari Pak Jovan, yang berarti kemungkinan besar Pak Jovan meninggalkannya dan Mamahnya adalah karena sosok remaja putri di depannya ini.

Haekal benar-benar meringis saat fakta itu terpikirkan, ditambah lagi oleh fakta bahwa ia dan Azalea bisa saja sebapak.

“Kal kenapa?” tanya Azalea kebingungan saat menyadari Haekal yang tak seperti biasanya. Dilihat oleh Azalea bagaimana mata tajam itu menatapnya penuh kekesalan, ditambah lagi kepalan kuat dari tangan Haekal yang membuat Azalea kebingungan sekaligus takut dengan Haekal.

Haekal berjalan mendekat, menyisahkan hanya beberapa langkah saja. Azalea refleks mundur karena langkah mendekat itu, namun hanya beberapa langkah, punggungnya sudah menyentuh tembok sekolah, menyebabkan langkah kakinya terkunci dan tak bisa mundur lagi.

“Kal ...” lirih Azalea pelan, ia semakin takut saat ini, karena Haekal yang ada di depannya saat ini sangatlah terasa dingin dan membuatnya merasa tak nyaman, berbeda sekali dengan Haekal yang selama ini ia kenal.

“Kenapa kamu rebut Ayah saya?” tanya Haekal pelan, namun menekan disetiap katanya.

Azalea tak bisa menjawab, ia serasa tak bisa bernafas saat mendengar pertanyaan barusan, yang ia takutkan selama ini akhirnya terjadi juga, Haekal benar-benar akan membencinya karena menganggap Azalea sudah merebut sosok Ayah yang selalu Haekal idamkan.

“Kenapa, Azalea? Jawab saya!” bentak Haekal. Azalea ketakutan tak karuan karena teriakan itu, ia segera menutup telinga menggunakan kedua tangannya, matanya ikut terpejam. Beberapa kepingan masa lalu di kampung halamannya yang membuatnya trauma kembali menyerang ingatannya kala Haekal membentaknya.

Azalea benar-benar ketakutan saat ini, tangannya sudah berkeringat dingin, kakinya melemas membuatnya terduduk di lantai dengan tangan yang masih menutupi kedua telinganya.

“Kenapa kamu ambil, Lea?! Karena kamu semuanya, 'kan?! Kamu sudah tau, ya? Kenapa cuma diam? Sengaja menutupi semuanya?! Jawab saya, Lea!” Haekal yang sudah termakan emosi dan kalutnya tak mampu lagi menahan segala macam pertanyaan yang menghantui kepalanya selama berjalan tadi, Haekal merasa dunia benar-benar tak adil untuknya dan Mamah, bahkan orang-orang yang Haekal kira baik ternyata sumber dari lukanya selama ini.

“M-maaf ... hiks ...” isak Azalea sangat takut sekali. Haekal yang perlahan menyadari ketakutan berlebih dari Azalea, perlahan mundur, dan menjauh dari Azalea. Ia ingat, bahwa Azalea memiliki trauma di masa lalu, sehingga Haekal memilih untuk mundur terlebih dahulu.

“Kenapa dari jutaan perempuan di dunia ini harus kamu, Lea? Kenapa harus kamu yang buat saya jatuh hati, dan menjebak saya di situasi serumit ini.” ucap Haekal pelan, lalu meninggalkan Azalea seorang diri di korodor yang sepi itu, menangis teriasak-isak seorang diri di sana.


Haekal menghisap putung nikotin itu tanpa henti, ia melanggar janjinya, ia tak peduli lagi dengan janjinya, saat ini yang bisa menenangkannya hanyalah beberapa batang rokok saja. Harinya benar-benar kacau, semua terjadi begitu saja, membuat pandangannya kepada Pak Jovan dan Azalea seketika berubah.

Ia kecewa dengan fakta yang ada, kecewa dengan Jovan yang meninggalkannya selama ini, dan juga kecewa dengan takdirnya yang tak akan bisa melanjutkan hubungan dengan Azalea.

“Dunia bangsat! terus-terusan hidup saya dipermainkan, komedi brengsek!” umpatnya seorang diri.

image

-Ara.