Dia Haekal, Pewaris tunggal keluarga Hanasta.

tw // Sexual harassement tw // violence cw // harsh word


“Pokoknya saya gak mau tau, Pak Jovan harus ganti rugi ke saya, muka saya lebam banyak karena dia, atau saya akan perkarain ke polisi!” Teriak Darto menggebu-gebu, diiringi oleh jemarinya yang memegangi beberapa titik dari wajahnya yang memar akibat pukulan dari Jovan.

“Oh iya, sama Haekal juga harus ganti rugi karena mencemari nama baik saya di depan para siswa! Kalau enggak, saya mau dia dikeluarin dari sekolah ini!” Seolah tak mau berhenti menuntut, Darto melanjutkan ancamannya, padahal sudut kanan bibirnya sudah lebam, tapi masih saja bibirnya lincah mengambil kesempatan mendapatkan cuan dari kejadian barusan.

“Coba kamu ngomong sekali lagi,” Tantang Jovan mendekati Darto yang duduk di sofa ruangan kepala sekolah, refleks Darto menghindar hanya kerena melihat langkah Jovan mendekat, “Ngomong sekali lagi, Darto! Supaya saya bisa pukul wajah kamu lagi, sampai gigi kamu rontok dan hanya tersisa lima.” Sentak Jovan dengan intonasi suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Saya ikut, Pak, saya juga mau pukuli si Darto ini sampai tulang hidungnya patah terbagi dua.” Tak mau kalah, Haekal ikut menggertak Darto, walau harus berjalan pincang mendekati Darto.

Darto ketakutan dengan gertakan Jovan dan Haekal, detik berikutnya, Ia segera meringkuk, dan menutupi wajah menggunakan kedua tangannya. Bukan tak mungkin Jovan dan Haekal memukuli Darto di ruangan ini, mengingat tadi, ketika Jovan menghampiri Darto yang sedang menghardik Haekal, ia segera dihantam oleh berkali-kali tinjuan Jovan.

“Pak Jovan! Haekal! Bisa tenang tidak?!” Bentak Yatno, yang sedang duduk di kursi kerja kepala sekolah.

“Kalo saya bilang enggak bisa, Bapak mau apa?” Jawab Haekal dengan tengilnya, senyum sinis tersungging di bibir Jovan kala mendengar jawaban dari Haekal barusan.

“D.O aja murid kayak gini, gak ada sopan-” Ucapan Darto terhenti seketika, tepat pada saat Jovan meremas bahunya kanannya dengan kencang.

“Jangan banyak omong, Darto, sudut kanan bibir kamu itu sedang memar. Atau mau saya tambahkan sisi kirinya juga ikut memar?” Bisik Jovan tepat di telinga Darto, membuat Darto bergidik ngeri dengan ancaman barusan.

“Duduk di sana, Pak Jovan dan Haekal! Jangan ada yang main fisik lagi di ruangan saya!” Perintah Yatno, menunjuk ke arah sofa lain di sebrang sofa yang sedang diduduki Darto sendirian. Dengan langkah malas, Jovan dan Haekal berjalan ke arah sofa itu. Mereka duduk berdua, menatap tajam ke Darto yang duduk di sebrang mereka. Bapak dan Anak itu mempunyai tatapan tajam yang sangat mirip sekali dengan tatapan lemur, berhasil membuat Darto tak mampu membalas tatapan tajam itu.

“Jangan memalukan, lah, sudah enggak jaman pakai fisik sekarang. Di tambah lagi Pak Jovan kan guru, seharusnya mencontohkan yang baik kepada siswa-”

“Pak Yatno yang terhormat, Darto, alias adik kandung Pak Yatno yang duluan main fisik ke saya. Ajari dulu adik Bapak itu, baru pantas bicara seperti itu kepada Pak Jovan.” Bantah Haekal segera, bahkan disaat Pak Yatno belum selesai menyelesaikan kelimatnya.

“Kamu tuh, ya! Enggak sopan sekali sama kepala sekolah-”

“Apa, Darto? Masih berani kamu bicara?” Jovan memotong perkataan Darto. Darto segera diam, tak mau Jovan nekad memukulnya.

“Urusan saya sama Pak Darto bisa dibahas nanti, sekarang, alangkah baiknya Bapak bahas permasalahan Darto dengan Haekal. Pak, Haekal ini baru satu hari masuk sekolah, Bapak tahu sendiri 'kan, bagaimana kelalaian pihak sekolah sampai-sampai Haekal diserang sendirian oleh sekolah lain. Eh ini kok malah dihadiahi lagi sama kekerasan Fisik oleh gurunya.” Protes Jovan tak terima, kali ini Jovan tak akan mau diam melihat anak kandungnya mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum yang bahkan tak pantas disebut seorang Guru.

“Pasti ada alasan Pak Daro melakukan hal sedemikian, Pak Jovan. Enggak mungkin tiba-tiba Pak Darto menendang kaki Haekal, kalau Haekal tidak melakukan kesalahan.” Respon Yatno, nampak sekali berusaha membela Adiknya.

Tawa Haekal lepas ketika didengarnya respon itu, “Sudah besar, kok, masih aja dilindungi Kakaknya.” Cibir Haekal menanggapi ucapan Yatno barusan, bukan hal yang baru bagi Haekal dihadapi oleh Kakak-Adik yang saling melindungi untuk menutupi kesalahan masing-masing, bahkan sampai-sampai Haekal hapal dengan pola yang akan terjadi, sudah pasti kesimpulannya jadi Haekal yang salah, dan Darto yang akan mendapatkan keuntungan.

“Enggak berhak, Pak, seorang guru main fisik kepada muridnya. Murid-murid kita disayangi oleh orang tuanya di rumah, bahkan untuk mencubit sedikitpun enggak tega rasanya. Bisa-bisanya Darto menendang murid yang dijaga dengan sangat baik oleh orang tuanya, dan ini bukan sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali.” Sanggah Jovan tak terima, ia sangat berapi-api pada perdebatan kali ini, ia tak mau melepaskan Darto kali ini, kalau bisa sampai jalur hukum pun akan Jovan ladeni.

Meski sedikit takut, Darto masih ingin membela dirinya, dengan mata yang tak berani menatap Jovan yang ada disebrangnya, ia berucap, “Saya difitnah yang enggak-enggak sama Haekal, di depan murid yang lain, wajar dong saya marah. Harga diri saya dia injak-injak di depan murid lain.”

“Enggak perlu saya injak, harga diri dia 'kan memang sudah hilang, Pak.” Balas Haekal semakin mencemoohkan Darto yang kini menahan emosi, “Saya dan Azalea lihat kok tangan dia gerayangan waktu ajari salah satu siswi bermain Volly.” Sambung Haekal lagi.

Rahang Jovan semakin mengeras ketika mendengar fakta yang Haekal beberkan barusan, rasanya ingin sekali Jovan menghajar habis-habisan Darto yang sudah kelewatan kepada siswa-siswi, “Kamu harusnya malu dapat gelar seorang guru dengan tindakan enggak bermoral seperti itu, Darto.” Ucap Jovan dengan tatapan menusuknya.

“Apa benar yang diucap Haekal barusan, Pak Darto?”

“Tidak, tanya saja sama muridnya. Ada di luar ruangan kok, tadi.”

Tak lama setelah dipanggil, siswi tersebut berdiri untuk dimintai kesaksian. Jovan melihat ada yang aneh dari tingkah siswi itu, gerak-geriknya sangat mencurigakan, terlihat sangat gugup sekali memberi sebuah kesaksian.

“Kata Haekal, dia lihat kamu dipegang-pegang sama Pak Darto, apakah benar?” Tanya Yatno, siswi itu tak langsung menjawab, ia malah menunduk ketika ditanyai oleh Yatno. Jovan sangat yakin, ada yang tidak beres saat ini, entah usaha licik apalagi yang telah Darto lakukan.

“Jawab aja sejujurnya, kamu merasa saya pegang-pegang gak tadi?” Darto kali ini menambahi.

Dengan sangat ragu, siswi itu menjawab, “Enggak, saya enggak merasa di pegang-pegang ... Mungkin Haekal salah lihat ...” Jawabnya pelan, masih dengan pandangannya yang menunduk dalam. Darto tersenyum penuh kemenangan mendengar itu.

Haekal langsung berdiri dari duduknya, tak percaya dengan pengakuan teman sekelasnya itu, jelas-jelas Darto pegang-pegang tubuhnya, bisa-bisanya ia memberi keterangan bahwa Haekal hanya salah lihat. “Jangan seperti itu! Kamu harus jujur, supaya enggak ada korban lagi ke depannya.” Ucap Haekal kepada temannya, namun tak dijawab, siswi itu masih saja menunduk enggan melihat ke sekitar.

Jovan mengusap kasar wajahnya frustasi, benar saja, Darto pasti sudah terlebih dahulu mengancam siswi itu sehingga enggan memberi keterangan yang sesungguhnya terjadi.

“Dengan 'kan? Saya korban di sini, difitnah Haekal, dipukuli Pak Jovan. Saya mau ganti rugi!” Seperti sebuah kebangkitan baginya, Darto kembali menggebu-gebu karena merasa sudah menang telak kali ini.

“Kamu pasti diancam Pak Darto, iya 'kan? Enggak perlu takut, ya? Saya yang jamin ancaman dia enggak akan terjadi. Sekarang, tolong jelaskan yang sebenarnya terjadi.” Tak mau menyerah begitu saja, Jovan ikut berdiri, dan berucap lembut agar siswi itu mau mempercayainya.

“Haekal cuma salah lihat aja, Pak ...” Jawabnya masih enggan untuk jujur.

“Sudah-sudah! Sudah jelas 'kan jawaban dari korban. Ini hanya salah paham saja, Pak Darto tidak salah.” Tegas Yatno, dengan telunjuknya menunjuk ke arah sofa, agar Jovan dan Haekal duduk kembali.

“Pak Jovan ini kekeuh banget saya yang salah, sama kayak pengusaha yang selalu jadi wali Haekal, ya?” Tanya Darto penasaran.

“Maksud kamu?” Jovan tak paham dengan pertanyaan itu, Jovan tak menyadari saat ini Haekal sudah mengepal keras tangannya, Haekal sudah mengetahui maksud dari pertanyaan Darto barusan, pasti Darto akan menuduh bahwa Mamahnya merupakan wanita simpanan.

Jovan mengurungkan niatnya untuk kembali duduk, memilih mendekat kepada Daro untuk mendengar dengan jelas maksud dari pertanyaan Darto barusan.

“Ya sama kayak Pengusaha itu, mungkin sudah digoda sama Ibunya Haekal sampai-sampai mau belain yang salah. Ibunya Haekal kan dicurigai wanita enggak benar yang-”

BUG.

Sebuah tinjuan berhasil mendarat dengan mulus mengenai sisi kiri bibir Darto, Haekal yang baru saja ingin menghampiri untuk menghajar Darto terkejut, karena Jovan sudah terlebih dahulu melakukan itu.

“Sekali lagi mulut kotormu lancang ngomong yang seperti tadi, saya enggak akan ragu buat bikin kamu gak bisa bicara selamanya, Darto.” Ancam Jovan sangat serius, tangannya dengan kencang menarik kerah baju Darto, sampai-sampai Darto sangat susah untuk bernapas.

Jovan tak memedulikan teriakan dari Pak Yatno yang memintanya untuk melepaskan kerah baju Darto, emosinya sudah sangat meluap saat ini, rasanya ia ingin menghabisi Darto saat ini juga, supaya tak ada lagi manusia minim moral yang menganggu kehidupan anak dan wanita yang sangat ia cintai.

“Pak, sudah ...” Akhirnya Haekal yang turun tangan untuk mencegah Jovan mengikuti emosi, walau sebenarnya Haekal juga ingin sekali menghabisi Darto sampai tak berdaya, namun ia sadar, jika terjadi apa-apa, Jovan akan terlibat masalah besar nantinya.

“Sudah, Pak, sudah.” Kali ini Haekal mengusap pundak Jovan, menyadarkan Jovan agar tak kalah oleh emosi. Perlahan Jovan melepaskan cengkramannya yang kuat, namun tetap saja matanya menatap tajam ke arah Darto yang sedang terbatuk-batuk akibat kesulitan bernapas selama beberapa detik barusan.

“Bapak bisa dituntut melakukan kekerasan terhadap Adik saya, di sini ada CCTV, mudah sekali untuk perkarain kejadian barusan!” Bentak Yatno.

“Silahkan, saya enggak takut sedikitpun. Lebih baik masuk penjara, daripada harus diam mendengarkan mulut sampah itu berbicara.” Desis Jovan.

“Saya tuntut kamu!”

Baru saja Jovan hendak melawan, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, muncul Sarah dari pintu itu, terlihat bingung dengan keadaan di ruangan itu. Apalagi ketika dilihatnya Darto yang sudah babak belur, dan juga kemeja Jovan yang sudah tak rapih lagi.

“Ada apa Bu Sarah?” Tanya Yatno kepada Sarah.

“Ibu Haekal sedang menunggu di luar ruangan, Pak. Saya boleh minta izin supaya Ibu Haekal masuk ke ruangan Bapak?” Kata Sarah meminta izin terlebih dahulu, Haekal dan Jovan secara bersamaan menoleh ke arah Sarah, seakan tak percaya dengan perkataan Sarah barusan. Sarah hanya memberi kode dengan menganggukan kepalanya, menandakan bahwa yang ia ucap barusan adalah benar.

Berbeda dengan Haekal dan Jovan yang nampak tak percaya, Darto yang tadinya kesakitan akibat ditinju oleh Jovan, melirik Kakaknya-Yatno dengan penuh arti. Memberi kode dengan mengangkat alisnya sebelah, memberitahu Kakaknya ini akan menjadi peluang bagi mereka mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari wali murid yang akan dimintai pertanggung jawaban.

“Boleh, Pak?” Tanya Sarah sekali lagi karena tak kunjung mendapat jawaban.

Belum sempat Yatno memberi izin, terlihat seorang wanita dengan postur tubuh yang tinggi, lengkap dengan setelan rapih dan sangat terkesan mewah, berjalan dengan angkuh sembari menenteng tas bermerek yang jika ditaksir harganya mampu untuk membeli satu unit rumah.

Semua yang ada di ruangan itu seketika terdiam, memproses apa yang sedang mereka lihat saat ini. Haekal dan Jovan yang tak menyangka Hanna akan datang, Yatno dan Darto kebingungan dengan kehadiran tiba-tiba pemilik yayasan sekolah ini, yang bahkan untuk hadir rapat bersama para komite, selalu diwakili oleh staffnya.

“Enggak usah izin, ini sekolah punya saya.” Cakap Hanna datar. Matanya segera tertuju kepada Haekal yang masih kebingungan dengan kehadiran Hanna. Hanna melihat dengan seksama dari atas sampai kaki Haekal, memastikan tak ada luka berat di tubuh anaknya yang terlihat.

Setelah itu, matanya tertuju pada Jovan yang kini berdiri terpaku menatapnya, dengan kemeja yang sudah sangat berantakan, dan rambut yang tak beraturan. Hanya dari sekilas saja, Hanna sudah paham bahwa Jovan terlibat perkelahian.

“Bu Hanna?” Yatno segera tersadar, dan berdiri dari kursi kerjanya, hendak menyambut Hanna dengan penuh hormat. Namun belum sempat mendekat, Hanna sudah terlebih dahulu mengangkat tangannya, memberi tanda agar Yatno menghentikan langkah untuk mendekatinya.

Ketika melihat ke sebelah kiri, nampak seorang yang berbadan besar, dengan beberapa luka lebam di wajah, sedang menatap Hanna tak percaya. Senyum sinis terlukis di bibir Hanna kala melihat wajah penuh lebam itu.

“Yang ini, Sarah? Ini yang suka pukulin anak gue, Haekal Hanasta, pewaris tunggal keluarga Hanasta?” Tanya Hanna dengan suara yang sengaja ia kencangkan, sengaja agar seisi ruangan mendengarnya.

Betapa terkejutnya Yatno dan Darto saat mendengar itu. Keduanya serasa disambar petir di siang hari. Langsung berkelebat di kepala mereka bagaimana selama ini memperlakukan Haekal, terkhusus Darto yang sering kali terlibat perkelahian fisik dengan Haekal- yang ternyata merupakan anak dari pemilik yayasan tempat mereka bekerja, sekaligus pebisnis terkenal se-Asia.

“Mah?” Gumam Haekal tak percaya dengan pernyataan Hanna yang baru saja mengakuinya di depan orang lain, Haekal pun sangat paham, itu akan sangat berdampak untuk bisnis Mamahnya yang dikenal dunia masih lanjang dan belum mempunyai Anak.

“Pak, tolong berdiri,” Perintah Hanna kepada Darto, tanpa banyak berpikir, Darto segera berdiri dan menunduk di depan Hanna, “Kali ini anak saya kamu apakan?” Sambung Hanna bertanya. Darto tak bisa menjawab, ia tak berani mengatakan Haekal sudah ia tendang hari ini.

“Bu Hanna, maafkan guru kami, mungkin hanya kesalahpahaman saja.” Bukannya Darto, yang menjawab malah Yatno, panik sekali dari tutur katanya.

“Jadi gini Bu Hanna,” Ucap Jovan, jemarinya berusaha untuk merapihkan kancing kemeja atasnya yang terlepas, dan berusaha merapihkan sisi lain bajunya, walau percuma saja, ia tetap terlihat berantakan akibat perkelahian dengan Darto barusan. “Haekal lihat temannya ini dipegang sama Pak Darto, jadi, Haekal datang menghampiri buat menegur Pak Darto. Ternyata, Pak Darto tidak terima dengan teguran itu, dia tendang lah kaki Haekal sampai jatuh. Enggak sekali, tapi berkali-kali, bahkan saat saya sampai di lapangan, Pak Darto masih saja mau menendang kaki Haekal lagi.” Lanjut Jovan menjelaskan.

“Bukan seperti itu, Bu, Pak Jovan ini apa-apaan ikut campur sok tau masalah?!” Sanggah Darto tak terima.

“Saya guru BK kalau Bapak lupa, jadi saya berhak bicara kali ini, dari perpektif murid saya.” Jawab Jovan mematahkan pembelaan Darto barusan yang enggan untuk dipojokkan.

“Gini, Bu Hanna, Haekal salah lihat. Saya maafkan, saya enggak akan perbesar masalah ini lagi, wajar mungkin anak remaja terlalu menggebu-gebu kalau melihat sesuatu yang enggak sepantasnya. Saya sudah maafkan Haekal.” Ucap Darto yang entah mengapa tiba-tiba memaafkan Haekal.

“Konyol, Hahaha!” Timpal Haekal dengan tawa sarkatiknya. Jovan kembali geram dengan perkataan Darto barusan, namun ia coba tahan agar tak meledak di depan Hanna.

“Iya, Bu Hanna, kita selesaikan aja masalahnya. Yang bersangkutan juga sudah memaafkan Haekal.” Yatno berucap, menyimpulkan lagi perkataan Darto barusan. “Enggak apa-apa, namanya juga murid, lagi proses pembelajaran, iya 'kan Haekal?” Sambungnya sok akrab.

“Dimaafkan anak saya ya, Pak?” Respon Hanna dengan senyumnya, segera dibalas dengan anggukan oleh Darto, yang merasa sedikit lega dengan respon itu. Jovan menautkan alisnya, heran dengan respon Hanna barusan, seperti menyetujui dalih tipuan dari Darto barusan.

“Tapi saya enggak maafkan kelakuan bejat Bapak yang sudah berkali-kali melakukan kekerasan fisik kepada anak saya.” Lanjut Hanna tak terduga. “Saya yang mendirikan yayasan ini. Bukan sedikit dana yang saya kasih untuk sekolah ini disetiap tahunnya. Tapi malah kalian siksa anak saya. Berkali-kali saya lihat wajah dan badan anak saya luka karena ulah kalian. Jangan harap saya mau maafkan dan kasih ampun kalian.” Cecar Hanna panjang lebar.

“Kamu, dilecehkan sama dia?” Kali ini Hanna bertanya kepada seorang siswi yang berdiri menunduk di sampingnya, siswi itu tak menjawab, dia semakin takut untuk mengeluarkan suara.

“Barusan dia bilang enggak dilecehkan, dan menganggap Haekal hanya salah lihat. Padahal yang lihat bukan hanya Haekal saja, tetapi anak-anak yang lain juga, termasuk Azalea yang dengan jelas memberikan kesaksian dengan saya melalui pesan singkat.” Jawab Jovan menjelaskan, ia menunjukan ponselnya yang berisikan pesan dari Azalea.

Hanna jadi semakin paham dengan apa yang terjadi, ia langkahkan kakinya untuk mendekati siswi tersebut.

“Kamu diancam untuk tutup mulut sama dia?” Tanya Hanna, Darto dan Yatno melirik tak percaya saat Hanna menanyakan hal itu kepada sang siswi. “Diancam apa? dikeluarkan dari sekolah? Enggak perlu khawatir, sekolah ini punya saya. Ngapain kamu takut sama dia.” Sambung Hanna lagi. Wajah Darto memerah, ia benar-benar mati kutu apabila siswi itu berani mengungkap fakta sebenarnya.

“Jawab jujur,” Desak Hanna lagi, “Saya yang biayai sekolah kamu sampai lulus nanti, bahkan sampai kuliah kalau kamu berani jujur sekarang.”

“Hanna!” Panggil Jovan mengingatkan, Jovan tak suka apabila Hanna memakai uangnya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, terkesan menjadikan siswi tersebut sebagai mainan.

“Kalau enggak mau, ya enggak apa-apa, sekalian aja kita perkarain, ya? Gampang bagi saya buat cari barang bukti, tanpa kesaksian kamu. Ya sudah Bu Sarah, tolong hubungi-”

“Iya, Pak Darto pegang-pegang saya waktu pelajaran Olahraga.” Jawab siswi itu akhirnya, “Saya diancam barusan, kata Pak Darto, kalau bilang yang sebenarnya, saya enggak akan bisa lulus di sekolah ini, dan enggak akan ada sekolah lain yang terima saya nantinya.” Siswi tersebut mengakui apa yang sebenarnya terjadi kepada Hanna.

Seulas senyum penuh kemenangan terukir di bibir tipis milik Hanna, begitupun dengan Haekal yang ikut senang karena fakta sebenarnya terungkap. Namun berbeda dengan Jovan yang nampak tak puas dengan cara yang dilakukan Hanna barusan.

“Ya sudah, kamu boleh keluar. Nanti Sarah yang akan kasih arahan kamu untuk mendapatkan apa yang saya janjikan barusan.” Ujar Hanna, siswi itu mengangguk paham dan segera keluar dari ruangan yang penuh dengan ketegangan yang ada.

“Kekerasan fisik, pelecehan, kira-kira berapa tahun ya hukuman penjara?” Sindir Hanna dengan bertanya sendiri, dengan santai ia berjalan, melihat-lihat vas bunga yang ada di ruangan itu.

Wajah Darto benar-benar pucat pasi saat ini, baru kali ini ia merasa kalah di lingkungan sekolah yang baginya adalah wilayah kekuasaan absolut miliknya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa orang tua Haekal adalah HannaHanasta, pengusaha mempunyai power yang dapat menghancurkan hidupnya sekaligus kakaknya hanya dalam hitungan jam saja.

“Satu tahun yang lalu, ditampar karena telat 3 menit. Pernah juga, ditendang di depan murid lagi saat upacara, karena dituduh memain-mainkan Pancasila, padahal yang melakukan itu murid kelas 12. Beberapa bulan yang lalu, dipukuli karena membela orang tua temannya yang dihina, dan belum begitu lama, dihajar habis-habisan karena kembali membela orang tua temannya, dan juga membela Ibunya yang difitnah simpanan pengusaha, Tama Erlangga.” Hanna mulai membeberkan semua laporan dari Sarah selama ini, belum lagi hal-hal kecil yang Darto lakukan kepada Haekal.

Hanna kembali berjalan mendekati Darto setelah puas melihat-lihat isi dari vas bunga yang ada, “Ah iya, dan barusan, kaki anak saya yang baru aja pulang dari rumah sakit ditendang, dan jangan kira ucapan-ucapan kamu barusan enggak saya dengar. Kamu bilang apa? Pak Jovan saya goda? Saya wanita enggak benar? iya?” Bertubi-tubi Hanna menyerang Darto tanpa ada hentinya, bukan hanya pucat, bahkan saat ini kaki Darto gemetar hebat serasa tak mampu lagi berdiri di hadapan Hanna.

“Haekal,” Panggil Hanna, “Kamu mau dia saya apakan? Kalau lihat dia di hadapan meja hijau, menarik, gak?” Tawar Hanna kepada Haekal dengan senyumnya, Haekal ikut tersenyum mendengar tawaran itu, berbeda dengan Yatno dan Darto yang sudah mati ketakutan mendengar tawaran itu.

“Bu Hanna, maafkan saya, saya yang salah. Maafkan saya, Bu, saya punya istri dan Anak di rumah, tolong belas kasihannya.” Tanpa terduga, dengan terseok-seok, Darto berlutut di kaki Hanna, memohon maaf serendah-rendahnya kepada Hanna.

“Pak Darto ... Jangan seperti itu.” Entah tak tahan, atau merasa risih, Jovan kembali membuka suara, ia sungguh tak bisa melihat itu, karena kembali mengingatkannya dengan masa lalu, saat memohon kepada orang tua Hanna untuk bisa hidup bersama, namun, dengan angkuhnya ia dicampakkan karena kasta sosial yang ada.

“Bukan kepada saya kamu harus meminta maaf, saya juga enggak butuh permintaan maaf.” Jawab Hanna yang juga nampak risih dengan posisi Darto yang saat ini masih berlutut di kakinya.

Tanpa pikir panjang, Darto segera bangkit untuk berlutut kepada Haekal, namun dengan segera, Haekal menghindar agar hal tersebut tak terjadi, “Saya juga enggak butuh permohonan maaf sampai berlutut seperti barusan.” Ucap Haekal tegas. Jovan sedikit bernapas lega, karena Haekal tak membiarkan Darto berlutut di hadapannya.

“Prilaku enggak bermoral yang selama ini sudah menjadi kebiasaan, enggak akan hilang dan termaafkan hanya karena berlutut di depan saya dan Mamah saya.”

“Haekal mau Pak Darto bagaimana?” Yatno mencoba berunding kembali, kali ini suaranya pelan, berlagak lembut, sangat berbeda seperti sebelum kedatangan Hanna.

“Saya mau dia mengaku salah, meminta maaf kepada korban, dan berjanji enggak akan mengulangi prilaku bejatnya, termasuk memfitnah saya dan teman-teman saya.” Hanna tak puas mendengar permintaan tersebut, ia berencana akan membawa Darto ke meja hijau tanpa ada belas kasihan, namun ternyata Haekal masih cukup baik untuk memberikan kesempatan.

“Darto!” Panggil Yatno keras, agar Darto segera berjanji melakukan semua yang diminta oleh Haekal.

“I-iya, saya bisa melakukan itu semua.” Jawab Darto terbata-bata, Hanna hanya memincingkan matanya kesal mendengar janji yang sangat ia yakini akan berakhir menjadi sebuah dusta.

“Ultimatum terakhir dari saya, kalau kejadian serupa terjadi lagi, saya enggak segan-segan membalikkan dunia kalian berdua. Se-inci saja kulit anak saya kalian sentuh, saya enggak akan tinggal diam.” Ancam Hanna, mungkin kali ini mereka berdua lolos dari kemarahan Hanna, namun, ke depannya, Hanna menjamin kehidupan mereka akan berakhir berantakan apabila menyakiti Haekal, putra semata wayangnya.

Image

“Makasih banyak Bu Hanna, saya janji-”

“Sudah, cukup. Enggak perlu bicara lagi.” Hanna menukas dengan cepat ucapan Darto, yang terdengar sangat menyebalkan oleh telinganya. “Haekal, masuk ke mobil, kita ke rumah sakit buat cek kaki kamu sekarang juga.” Perintah Hanna selanjutnya, Haekal tadinya ingin menolak itu, karena ia merasa kakinya tak perlu pengobatan yang serius, namun melihat Jovan yang mengangguk ke arahnya, memberi isyarat untuk mengikuti perintah sang Mamah, segera Haekal berjalan menuju pintu keluar ruangan, dan di sambut oleh Mas Adi untuk membantu Haekal berjalan.

“Bu Hanna, sekali lagi saya mohon maaf sedalam-dalamnya, terima kasih juga untuk kebijaksanaan Ibu mengambil langkah.” Yatno menunduk dengan sopan, diikuti oleh Darto yang juga ikut menunduk kepada Hanna. Hanna tak menjawab itu, segera melangkahkan kakinya keluar ruangan tanpa sedikitpun merespon Yatno dan Darto, seolah-oleh ucapan mereka berdua hanyalah angin yang tak perlu dihiraukan.

Jovan menuturi langkah kaki Hanna yang terkesan tergesa-gesa meninggalkan sekolah, “Hanna, boleh bicara sebentar?” Panggil Jovan yang berjalan di belakang Hanna. Jangankan menjawab, menghentikan langkah kakipun Hanna enggan.

“Na, kita perlu bicara sebentar terkait yang tadi.”

“Saya sibuk, lain waktu aja, toh sudah terlihat kok kamu gagal melindungi Haekal lagi.” Balas Hanna masih dengan langkah kakinya yang terus berjalan.

Namun, langkahnya terpaksa berhenti akibat tangannya yang ditahan oleh Jovan, dengan sangat terpaksa akhirnya Hanna mau membalikkan badannya untuk berhadapan dengan Jovan di koridor sekolah yang sangat sepi karena sedang jam pembelajaran.

“Saya mau bicara sama kamu, 5 menit, di ruangan saya.” Ucap Jovan tegas, seperti sedang menahan amarah.

“Bisa?” Tanyanya lagi, mau tak mau, dengan terpaksa Hanna menyetujui permintaan Jovan, dan mengikuti langkah kaki Jovan menuju ruangannya. Walau bingung masih melanda Hanna saat melihat tatapan tajam Jovan barusan, pikir Hanna, bukannya dia yang seharusnya marah kepada Jovan saat ini karena sudah lalai menjaga Haekal?


“Saya enggak punya waktu buat lama-lama di sini, Jovan.” Setelah bermenit-menit hanya diam, menunggu Jovan memulai obrolan, Hanna akhirnya tak tahan dan membuka obrolan.

“Sudah makan?” Hanna berdecih saat mendengar pertanyaan itu yang keluar. Ia kemudian memijat keningnya, benar-benar merasa pusing dengan segala yang terjadi di hari ini, termasuk dengan pertanyaan tak penting dari Jovan barusan.

Hanna sangat lelah untuk berdebat, jadi ia putuskan untuk bangkit dari duduknya, bersiap meninggalkan ruangan Jovan.

“Saya enggak suka cara kamu yang seperti tadi, Na.” Ungkap Jovan saat Hanna hendak meninggalkan ruangan, “Enggak semua bisa kamu rendahkan dengan uang yang kamu punya.” Sambungnya lagi.

“Maksud kamu?”

“Kamu enggak perlu pakai power kamu yang punya banyak uang untuk minta siswi tadi bicara kebenaran. Masih banyak cara lain, Na, selain itu.” Jovan berusaha tenang memberi penjelasan kepada Hanna, nampaknya Hanna tak terima dengan ucapan Jovan barusan, terlihat jelas dari raut wajah tak bersahabatnya saat ini.

“Pakai cara apa kalau bukan kayak tadi?”

“Saya yang akan cari cara, Na. Tadi ada Haekal, saya khawatir Haekal akan ikut menggunakan uang sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan. Saya enggak mau Haekal tumbuh dengan kebiasaan itu.” Masih saja Jovan berusaha menjelaskan kepada Hanna bahwa tindakan yang Hanna lakukan tadi adalah salah, dan akan menjadi contoh buruk bagi Haekal.

“Enggak semua bisa kamu rendahkan dengan uang, enggak semua bisa kamu perjuangkan dengan uang-”

“Itu yang bikin kamu seperti pengecut, Jovan!” Sentak Hanna memotong perkataan Jovan, ia sangat tak terima dengan pandangan Jovan barusan.

“Yang bikin saya terlihat seperti pengecut itu uang, Na. Sama halnya dengan kedua orang tua kamu yang merendahkan saya dengan uang. Saya enggak mau Haekal tumbuh dengan pribadi seperti itu.” Balas Jovan tak mau kalah, tak seperti biasanya yang akan mengalah agar tak berdebat dengan Hanna, Jovan benar-benar menganggap permasalahan kali ini sangat serius apabila ia harus mengalah.

Seulas senyum sinis terlihat dari bibir Hanna saat mendengar jawaban itu, “Karena kamu miskin?” Tanya Hanna tanpa ragu, Jovan tak menjawab pertanyaan itu, karena bagi Jovan memang seperti itulah kenyataannya.

“Sama seperti kamu yang enggak mau Haekal tumbuh dengan uang yang akan membantunnya menyelesaikan masalah, saya juga enggak mau Haekal tumbuh sebagai pribadi pengecut seperti Ayahnya yang enggak mampu melawan kekuatan uang.” Ucap Hanna tajam kepada Jovan.

“Ohiya, satu lagi, bukan miskin yang bikin kamu enggak bisa bertanggung jawab kepada saya dan Haekal, tapi sikap kamu yang pengecut, mudah menyerah yang membuat keadaan seburuk sekarang. Enggak perlu berlindung dibalik 'kemiskinan', Jovan. Kamu hanya pengecut yang enggak mau berusaha.”

“Jangan terlalu sering menyalahkan keadaan, Jovan. Haekal akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bertanggung jawab, jadi enggak usah khawatir. Sudah, ya? Saya sibuk.” Ujar Hanna terakhir kalinya, sebelum meninggalkan Jovan yang berdiri kaku di ruangannya.

Kalimat-kalimat yang Hanna lontarkan tadi sangatlah tajam menusuk hingga ke relung hati Jovan, rasanya ingin sekali Jovan beberkan fakta yang terjadi dulu, namun, Hanna tak akan mempercayainya apabila tak memiliki bukti yang nyata.

Di lain sisi Jovan juga mempertanyakan, apakah benar ini semua salah dirinya yang masih belum maksimal melawan kasta, sehingga pantas sekali Hanna menyebutnya sebagai si pengecut yang berlindung dibalik kata 'kemiskinan' yang menimpa.


Dengan langkah gusar Hanna berjalan menuju mobilnya, kepalanya terasa ingin pecah dengan semua yang terjadi di hari ini. Dari mulai murkanya terhadap guru dan kepala sekolah Haekal, sampai dengan rasa kesalnya terhadap Jovan yang menyudutkannya karena menggunakan uang untuk menyelesaikan masalah yang ada.

“Bu Hanna tunggu,” Satu panggilan kembali menganggunya yang ingin segera masuk ke dalam mobil.

Itu bukanlah suara Jovan, batin Hanna berbicara. Dengan sangat malas, Hanna kembali menghentikan langkah kakinya yang padahal tinggal sedikit lagi sampai ke mobil miliknya. Yatno, lagi dan lagi wajah itu datang menghampiri Hanna. Padahal sudah sangat muak sekali Hanna melihat wajah itu.

“Hehehe, hati-hati ya, Bu Hanna.” Kata Yatno dengan senyum yang menyimpan makna.

“Ya.” Jawab Hanna singkat.

Tadinya Hanna hendak melanjutkan langkahnya lagi, namun tiba-tiba langkah kakinya terhenti kala Yatno berucap, “Kalau media tau Bu Hanna punya anak, kira-kira bakal gimana ya, Bu?”

Hanna berdecih pelan mendengar pertanyaan itu, ia sudah menebak, otak licik Yatno ataupun Darto pasti akan berusaha kembali bangkit dan mengancam membeberkan status Haekal kepada media.

“Saya bisa jamin, sih, Bu, supaya media enggak tau. Ya tapi, saling menguntungkan aja. Ibu pebisnis, pasti tau maksud saya Hehehe.” Ucap Yatno lagi, dilengkapi dengan kekehannya yang bagi Hanna terdengar sangat menjijikan.

“Saya cuma minta posisi saya saat ini enggak digeser seterusnya, dan dana untuk sekolah ini dilebihkan lagi pada tahun depan, simple 'kan?” Lanjutnya lagi, sangat bersemangat sekali mengejar pundi-pundi keuntungan yang akan ia terima.

Dengan senyum yang nampak meremehkan, Hanna meminta agar Yatno semakin mendekat ke arahnya. “Sedikit mendekat lagi, Pak, untuk dengar jawaban saya.” Panggil Hanna, dan dengan tak tahu malunya, Yatno semakin mendekat mengikuti arahan Hanna.

Kemudian Hanna berbisik pelan di telinga Yatno, “Beberkan saja kepada Dunia, saya enggak peduli. Bagi orang seperti saya, sangat mudah membalikkan kembali simpatik dari masyarakat. Kalau Bapak belum tau, di dunia bisnis, saya dikenal dengan julukan Pebisnis yang handal membuat alur cerita menjadi mengharukan.” Bisik Hanna dengan senyum sarkasnya.

“Oh iya, Pak, bagi saya, memasukkan Bapak ke jeruji besi dengan dakwaan Korupsi dana yayasan selama menjabat itu sangatlah mudah, seperti menjentikkan kedua jari saya. Ditambah lagi mempermalukan Bapak dengan fakta mencengangkan seorang kepala sekolah mempunyai banyak selingkuhan, sangatlah mudah bagi saya.” Lanjut Hanna masih berbisik pelan, namun ucapannya mampu membuat si lawan bergetar hebat ketakutan.

“Saya dengan mudah membalikkan alur cerita kehidupan saya menjadi mengharukan dan mengundang simpati banyak orang. Pun, saya bisa dengan mudah mengubah jalan cerita damai kehidupan Bapak, menjadi drama penuh kebencian yang dapat menyebabkan Bapak dicaci seluruh umat manusia.”

Merasa cukup dengan pointnya, Hanna segera menjauhkan diri dari Yatno yang panik tak karuan. Yatno tak menyangka bahwa Hanna juga memegang kartu AS yang dapat menghancurkan kehidupannya.

“Lain kali, lihat dulu lawan Bapak siapa, ya?” Cakap terakhiran Hanna, dengan mengedipkan sebelah matanya kepada Yatno yang sudah berdiri pucat di hadapannya. Dengan angkuh Hanna melangkah menuju mobilnya, meninggalkan Yatno sendirian dengan wajah pucat pasinya.

Image

-Ara.