Dikta dan Jeffrey

jaedo

Tepat seminggu sudah Jeffrey meninggalkan kamar Kosnya, ia kesana kemari mengunjungi rumah teman-temannya untuk menumpang tidur dan mandi, bahkan tak jarang ia tertidur di warung kopi 24 jam yang biasa ia kunjungi. Selama seminggu itu pikirannya sangat kacau, tiap kali ditanyai oleh temannya Jeffrey hanya menjawab, “Gak kenapa-kenapa, gue lagi cari ilham buat selesaiin Skripsi aja.”

Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Kosannya, mengingat baju yang ia pakai sudah sangat lusuh dan ia pun sudah sangat malu untuk terus menumpang tidur di kamar kos temannya yang bahkan tak terbilang dekat dengannya. Setelah memastikan tak ada motor atau mobil dari Johnny, Atuy, Theo dan Dikta yang terparkir didepan Kosannya, Jeffrey melangkah menuju kamar Kosnya yang terletak pada lantai dua.

“Dari mana aja kasep seminggu gak ada dikosan?” Ucap mang ujang, penjaga Kos ketika berpapasan dengan Jeffrey di tangga.

“Bertapa mang di gunung semeru.” Jawab Jeffrey asal. Beginilah tingkahnya dari kemarin, ia berusaha tetap menjadi Jeffrey seperti biasanya yang dikenal konyol, walaupun sebenarnya pikiran dan hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Si bodor.” Jawab mang ujang dan meninggalkan Jeffrey.

Jeffrey melanjutkan langkah kaki nya menuju kamar Kosnya, berjalan dengan langkah yang amat lamban dan kepala yang ia tundukkan. Didalam kepalanya sedang terjadi perdebatan, sebagian dari dirinya ingin bertemu dengan Dikta, sebagian lagi menyuruhnya untuk menjauh. Bukan, bukan karena ia kecewa karena Dikta merahasiakan penyakitnya, namun karena Jeffrey terlampau kecewa dengan dirinya sendiri yang dengan jahatnya merebut kebahagiaan Dikta, terlebih lagi dalam kondisi Dikta yang sedang sakit.

“Tolol.” Gumamnya pelan. Sudah beribu-ribu kali Jeffrey memaki dirinya sendiri, tak jarang memukul kepalanya kesal tiap kali teringat Dikta dan kejadian di masa lalu ketika dengan tak tahu dirinya ia berhubungan dengan Alea, pacar Dikta kala itu.

Ketika beberapa langkah lagi Jeffrey sampai pada kamar kosnya, tiba-tiba langkah kakinya terhenti tepat pada saat ia melihat seorang laki-laki tengah terduduk di depan pintu kamar kosnya. Jeffrey kenal betul dengan tubuh yang sedang terduduk itu, terlebih lagi laki-laki itu sedang memeluk jaket yang seminggu lalu Jeffrey tinggalkan disana. Ya, orang itu adalah Dikta.

Mendengar langkah kaki Jeffrey, Dikta langsung menyadari dan mengarahkan pandangannya kepada Jeffrey yang sekarang sudah berdiri kaku. Dikta menunjukan Jaket yang ia peluk tadi kepada Jeffrey dan berkata,

“Lo belum bilang makasih karena gue udah pinjemin ini.” Ucap Dikta datar. Masih sama seperti Dikta yang sebelumnya Jeffrey kenal.

Jeffrey hanya terdiam, ia tak berani manatap Dikta. Sial, usaha menghindari Dikta ternyata gagal. Tanpa berpikir panjang lagi, Jeffrey langsung membalikkan badannya dan berjalan menuju tangga. Ia ingin pergi menjauh dari Dikta, ia masih tak siap jika harus bertemu dengan Dikta.

“Jeff.” Panggil Dikta. Namun Jeffrey berpura-pura untuk tidak mendengar panggilan tersebut dan tetap melangkahkan kakinya untuk pergi menjauh secepatnya.

Belum sempat Jeffrey menuruni tangga, Jeffrey mendengar suara jatuh dari arah pintu kamarnya. Ia langsung menoleh kesana dan melihat Dikta yang sudah terjatuh dilantai dengan rak sepatu yang ikut terjatuh berantakan.

Dikta tertawa kecil setelah itu. “Hahaha letoy banget anjing gue.”

Jeffrey segera menghampiri Dikta yang terjatuh, ia langsung membantu Dikta untuk bangkit, tak lupa ia memastikan tidak ada yang terluka pada tubuh Dikta. Dikta kembali tertawa menyadari hal tersebut.

“Gue tuh sekarang sering lemes, jadi jangan nyuruh gue buat kejar lo.”

“Lo mau gue antar balik?” Tanya Jeffrey.

“Enggak, gue mau numpang tidur sebentar. Badan gue lemes.” Jawab Dikta dan langsung merampas kunci yang sedang Jeffrey pegang. Dikta langsung membuka pintu kamar tersebut dan masuk tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari Jeffrey. Melihat itu Jeffrey hanya bisa pasrah dan mengikuti Dikta memasuki kamar kosnya.

“Masih aja bau apek kamar lo kayak dulu.” Ucap Dikta dan langsung menjatuhkan tubuhnya pada kasur yang ada di kamar tersebut.

“Lo kapan mau balik?” Jeffrey bertanya lagi.

“Nanti kalo lemesnya udah ilang.”

Keduanya terdiam dan hening, Dikta yang terbaring sembari menatap langit-langit kamar Jeffrey, dan Jeffrey yang duduk di lantai kamarnya tanpa ada alas sedikitpun. Sudah lama sekali tak seperti ini, bahkan mereka pun tak ingat kapan terakhir kali mereka bersama dan hanya berdua saja. Keduanya tenggelam dalam ingatan setahun yang lalu, dimana keduanya masih sangat dekat dan selalu bersama. Bahkan yang orang lain tau, dimana ada Dikta disitupun pula akan ada Jeffrey.

“Jeff maafin gue.” “Ta, maaf.”

Ucap mereka bersamaan.

Dikta tertawa dan bangkit dari posisi terlentangnya, ia pun mengambil posisi duduk di pinggir kasur Jeffrey dan menatap sahabatnya yang masih tertunduk sekarang.

“Maafin gue, Ta.” Lanjut Jeffrey.

“Gue kira lo marah sama gue, Jeff.”

“Mana mungkin, gue cuma malu, Ta. Gue ngerasa enggak pantas buat ketemu lo lagi, gue udah jahat banget. Gue malu, Ta.”

Dikta tak menjawab, ia mencoba menahan apa yang ingin ia sampaikan dan mendengarkan semua penjelasan Jeffrey terlebih dahulu.

“Tujuh hari hidup gue gelisah, gak bisa tidur, makan juga gak ada rasanya, Ta. Anjing, kok bisa ya gue jadi manusia sejahat ini yang egois, yang gak tau diri, dan sekarang malah jadi pengecut yang lari.”

“Tolol banget anjing gue, Ta. Dibutakan sama cinta tai anjing gini. Gue nyesel, Ta. Nyesel banget jadi manusia gak tau diri gini. Boro-boro bantuin lo di HIMA, boro-boro tau penyakit lo dan support lo, yang gue lakuin malah nusuk lo dari belakang. Demi tuhan, selama jalanin status gak jelas sama Alea hidup gue enggak tenang bahkan sampai sekarang.”

“Ditambah lagi berita kemaren...”

Jeffrey berdiri mengampiri Dikta yang terduduk. Dikta menatap Jeffrey bingung.

“Ta, pukul gue. Tonjok gue, Ta. Tendang gue, sekarang.” Jeffrey mengambil tangan Dikta dan memberi intruksi agar Dikta segera memukulnya. Namun Dikta hanya diam dan tersenyum kecil melihat tingkah Jeffrey.

“Atau lo pegang vas bunga ini, lo lempar ke kepala gue, Ta. Gapapa sumpah, seenggaknya dengan cara itu rasa sakit lo terbalaskan.” Jeffrey meraih Vas bunga yang diletakkan di atas meja. Dikta mengambil vas bunga tersebut dan menuruh di lantai.

“Sini duduk, kalo lo berdiri gitu gue susah buat nonjok lo. Gue mager berdiri.” Jawab Dikta pada akhirnya.

Mendengar itu Jeffrey segara duduk dan berhadapan dengan Dikta. Ia langsung memberi akses kepada Dikta agar dapat dengan leluasa memukul wajahnya.

“Nih, lo boleh tonjok gue sampe mampus, atau kalau lo mau lempar juga vas bunga nya, Ta. Gue pantes nerima itu.”

“Tolol.” Ucap Dikta sembari tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Detik kemudian ia langsung memeluk Jeffrey. Sejujurnya, dari tujuh hari yang lalu Dikta selalu mampir ke kosan Jeffrey untuk memastikan bahwa Jeffrey sudah pulang, namun Jeffrey tak kunjung pulang. Ada banyak yang ingin Dikta sampaikan kepada Jeffrey, dan ada maaf yang belum sempat Dikta ucapkan kepada Jeffrey.

“Gue kangen lo bego, Jeff.”

“Maafin gue, Ta. Maafin gue yang udah jahat ke lo.” Bisa Dikta rasakan kaos yang ia gunakan mulai basah oleh air mata Jeffrey.

“Jangan nangis anjing, kayak bocah aja.”

“Maafin gue, Ta. Maaf...” Hanya kalimat itu yang dapat keluar dari bibir Jeffrey sedari tadi, tak ada pembelaan, tak ada pula sanggahan lainnya.

“Basah anjing baju gue.” Dikta melepaskan pelukannya, sebenarnya bukan karena ia risih akan bajunya yang mulai basah, namun melihat Jeffrey menangis seperti itu sangat menyakitkan hatinya, semua ini bukan hanya tentang kesalahan Jeffrey tetapi juga kesalahan dirinya yang egois di masa lalu.

Dikta memegang kedua sisi dari bahu Jeffrey supaya tegap. “Jangan letoy, udah kayak Maba lagi Osjur aja.” Ucapnya. Sedangkan Jeffrey sibuk menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti.

“Lo seminggu kemana aja?” Tanya Dikta. Namun Jeffrey tak menjawab, ia kembali menunduk tak berani menatap Dikta.

“Jeff, lo gak salah.” Ujar Dikta, mendengar itu Jeffrey langsung menatap Dikta dengan mimik wajah tak setuju dengan ucapan Dikta barusan.

“Gue salah, gue berdosa!” Sangkal Jeffrey secara langsung.

“Jujur, gue gak pernah marah sama lo, Jeff. Gue yang salah, selama ini pura-pura marah dan memperlakukan lo separah ini, jadi lo jangan ngerasa bersalalah dan berdosa kayak gini.” Mendengar itu Jeffrey semakin bingung mencerna maksud dari ucapan Dikta barusan.

“Gue bersyukur banget Alea nemuin cowok yang pantas buat dia, lebih dari itu dia menemukan cowok yang mampu menemani dia sampai akhir, sampai tua. Dan cowok itu lo, Jeff.” Lanjut Dikta.

“Gue paham sama kondisi gue, Jeff. Tapi pada saat itu gue selalu egois keukeuh mau mempertahankan Alea sampai akhir, dan enggak kasih tau dia tentang kondisi gue yang sebenernya. Dan gue pun sadar, gue harus lepasin Alea, karena gue enggak akan bisa kasih dia kebahagiaan jangka panjang, Jeff. Tapi, karena keegoisan, gue gak bisa mutusin Alea. Gue gak bisa lepasin Alea, kecuali Alea yang mencoba pergi dan lepas dari gue.”

“Sampai pada akhirnya gue sadar, hati Alea udah bukan buat gue lagi, perhatian Alea udah mulai terbagi, kalau udah gitu berarti emang pertanda gue harus mundur kan, Jeff? Toh kalo gue egois bertahan dengan alasan Alea masih sayang sama gue, itu udah gak berlaku ketika Alea memilih membagi hatinya buat lo.”

“Dan gue pun sadar, udah gini jalannya. Tuhan menyelamatkan Alea dengan cara mempertemukan dia dan lo. Gue gak marah, sumpah. Gue cuma iri, jeff. Pada saat itu gue iri karena lo pantas buat Alea, iri karena kesempatan lo banyak buat membahagiakan Alea, iri karena lo punya fisik yang sehat dan kuat, sedangkan gue benar-benar kalah dalam hal tersebut.”

“Ta, anjing gak gitu.” Jeffrey tetap tak terima dengan ucapan Dikta barusan.

“Kita ngomongin sesuai kenyataan aja, Jeff. Harusnya gue yang minta maaf karena udah diemin lo selama ini. Dan alasan gue buat diemin lo konyol banget. Pertama, gue takut orang curiga sama gue dan akhirnya tau kalo gue sakit. Kedua, tiap kali ngobrol sama lo, gue takut ada bayang-bayang Alea lagi dan bikin gue mau balik sama dia. Padahal enggak seharusnya gue kayak gitu, gue kalut sendirian pada saat itu, enggak ada teman cerita dan enggak ada teman yang bisa gue minta saran, dan pada akhirnya gue malah memilih jalan yang salah dan bikin kondisi jadi seribet sekarang.”

Dikta menggeserkan posisi duduknya mendekati Jeffrey, ia menatap Jeffrey sendu. Tangan kanannya terangkat dan menepuk pundak Jeffrey pelan,

“Makasih, Jeff. Makasih udah selamatin gue dan Alea, makasih udah bantu gue buat lepasin Alea, dan makasih sudah melepaskan Alea dari ikatan penuh keegoisan gue. Maafin gue yang baru bisa jujur sekarang, maafin tingkah bodoh gue, Jeff. Maaf gue selalu menghindar dan ketus sama lo, padahal pada kenyataanya gue kangen sama lo, kangen ngobrol sama lo, kangen makan warteg di belakang kampus sama lo, kangen semuanya yang sering kita lakuin bersama.”

Jeffrey semakin terisak mendengar itu, ia tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Jeffrey tak lagi memperdulikan rasa malunya sebagai seorang lelaki. Lelaki juga bisa menangis, bukan?

“Jangan nangis anjing, tetangga kos lo pada keluar kamar. Anjing gue yang malu.” Dikta berusaha menenangkan isakan Jeffrey dengan caranya.

“Gak... kuat gue. Ta... maaf.... gatau anjing...”

“Gue yang banyak salah sama lo, Jeff. Sorry sahabat lo ini sok kuat, sok bisa selesaikan semuanya sendiri, akibatnya malah kayak gini... Kita jadi jauh, hubungan lo sama Alea juga tambah memburuk, dan penyakit gue juga semakin parah.”

“Lo harus sembuh, Ta. Gue marah banget sama tuhan kalau jahat sama sahabat gue. Atau, ini ginjal gue buat lo. Gue rela, asal bisa tua bareng sama lo.” Dikta tersenyum mendengar itu, ia semakin tersadarkan bahwa banyak sekali yang sangat menyayanginya, ia memiliki empat orang sahabat yang sangat mengkhawatirkannya. Dikta amat menyesali betapa bodohnya dirinya dahulu, memilih pilihan yang salah, jika saja dulu ia tidak egois dan merasa bisa menghadapi penyakit ini sendirian tanpa dukungan yang lain, mungkin jalan yang ia lalui tak akan terasa seberat ini.

“Lo ngasih ginjal udah kayak ngasih rokok aja, enggak ada ginjal-ginjalan, rawat baik-baik ginjal lo. Cukup gue aja, ginjal gue udah rusak parah padahal gue masih muda. Gue pengen temen-temen gue punya ginjal yang sehat dan baik-baik aja, karena gue udah ngerasain betapa sakitnya ketika ginjal kita ada masalah.”

“Ta, gue serius.” Jeffrey terlihat sangat serius, ia hanya ingin Dikta sembuh. Ada banyak penyesalan yang harus ia bayar kepada Dikta.

“Kalo lo macem-macem, gue bakal musuhin lo beneran, enggak pura-pura kayak kemaren. Hahaha.”

“Sampai tua ya, Ta. Lo harus bertahan sampai kita tua. Nanti kalau lo punya anak, kita jodohin. Masa lo gak mau besanan sama gue?”

Mendengar itu Dikta hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, sungguh ia tak bisa menjanjikan sesuatu yang berjangka panjang, apaagi Tuhan selalu punya kejutan di setiap harinya.

“Kalau tuhan denger, semoga tuhan bantu buat kita jadi besan ya, Jeff.”

“Iya harus. Kalau enggak, gue bakal marah banget sama Tuhan.”

Sore itu Dikta berhasil berdamai dengan Jeffrey,mungkin lebih tepatnya berdamai dengan dirinya sendiri. sore itu pula keduanya kembali mengobrol seperti biasa lagi, layaknya dahulu.

-Ara.