Dikta lo sakit apa? Kenapa ada disini?

diktajohn

“Dikta, mamah kesana sebentar ya. Kamu tunggu disini dulu, gapapa ya nak?” Gue yang mendengar itu hanya bisa tertawa kecil melihat kekhawatiran berlebihan Mamah yang padahal cuma mau meninggalkan gue sebentar.

”Mah, Dikta ini udah mau 23 Tahun, bukan anak umur 5 tahun yang nangis ditinggal Mamahnya ke Toilet.” Jawab Gue sembari tersenyum kepada Mamah. Gue sangat paham akan kekhawatiran Mamah terhadap kondisi Gue yang sekarang, terlebih lagi gue sedang terduduk di kursi roda dan menunggu giliran untuk jadwal cuci darah . “Dikta gapapa loh mah, sehat. Suster aja yang lebay segala suruh pakai Kursi roda, supaya kelihatan kayak orang sakit katanya hahaha ada-ada aja.” Lanjut Gue berusaha menenangkan Mamah yang tampaknya takut banget buat meninggalkan gue barang sedetik aja.

“Yaudah Mamah kesana dulu yaa nak, sebentar kok Mamah janji. Kalo ada apa-apa langsung minta tolong aja, disana ada perawat.” Gue mengangguk setelah mendengar itu.

“Gapapa ya nak sebentar aja?” Lanjut Mamah lagi.

“Mah… hahaha Dikta gapapa.”

Akhirnya Mamah meninggalkan gue, kayaknya mamah mau ke toilet. Semalaman Mamah ada disamping gue karena malam tadi gue kembali Drop. Payah banget badan gue ini, dalam seminggu bisa 3 kali ngedrop.

Sebelum memulai proses Cuci darah, gue selalu punya rutinitas sendiri, yaitu melihat taman kecil yang ada di bagian luar Rumah sakit ini melalui jendela kaca. Rasanya tenang bisa melihat bunga-bunga dan juga Matahari, terkadang gue khawatir ketika nanti keluar dari ruangan Cuci darah udah enggak bisa lihat Matahari dan Bunga lagi, Umur enggak ada yang tau bukan? Apalagi mengingat kondisi fisik gue yang semakin hari semakin lemah. Pada saat pagi gue biasa aja, tapi tiba-tiba di malam gue merasakan sakit yang amat luar biasa. Entahlah, mereka bilang gue punya harapan, tapi gue yang tau kondisi fisik gue setiap harinya, gue yang merasakan betapa semakin melemahnya tubuh gue sekarang.

Gue mengambil hp yang sedari tadi getar terus, gue yakin banget pasti isinya Chat dari Grup Whatsapp temen-temen gue. Dan benar aja, padahal masih pagi tapi grup udah rame karena mereka semua mau bimbingan. Gue juga harusnya ada jadwal bimbingan, tapi gimana mau bimbingan kalo jalan aja gak bisa, badan lemas banget rasanya.

“Atuy bego hahaha.” Gumam gue pelan ketika membaca pesan di grup yang berisikan kecurigaan terhadap gue yang gak pernah lagi datang pagi ke kampus.

”Nonton apaan haha, nontonin ruang IGD yang tiap harinya penuh? Hahaha.”

Sengaja gue gak pernah cerita tentang penyakit gue kepada siapapun keculi keluarga dan orangtua Nadhira, bahkan Nadhira sendiripun gak tau prihal ini. Gue gak mau orang lain tau dan gue gak mau suasana jadi canggung karena penyakit gue. Terlebih lagi, gue gak mau Jeffrey merasa tambah bersalah karena gue.

“Dikta?” Tiba-tiba seseorang menepuk pundak gue pelan.

“Johnny?” Ucap gue ketika melihat sosok yang menepuk pundak gue berusan.

Johnny terlihat sangat terkejut ketika melihat gue, sama halnya dengan gue yang masih gak percaya bisa bertemu Johnny di Rumah Sakit ini, terlebih di ruangan ini yang biasanya dipakai untuk pasien yang menjalankan perawatan Cuci Darah.

“Ta lo ngapain anjir disini? Kok? Lo tuh kenapa anjir?” Johnny mulai panik, ia memegangi lengan lengan gue, pundak gue, bahkan kepala gue untuk memastikan keadaan gue.

“Gue gapapa.” Jawab Gue, yang gue yakin pasti Johnny enggak bakal percaya dengan pernyataan gue barusan.

“Bohong lo. Gak apa-apa gimananya? Pakai kursi Roda gini? Muka pucet gini?!” Dan benar aja, Johnny enggak percaya dengan perkataan 'gapapa' dari mulut gue.

“Ini gue iseng aja.” Gue tetap mengelak, walaupun alibi yang gue bikin semakin terdengar enggak masuk akal.

“Ta lo kenapa? Kasih tau gue. Lo pakai baju pasien, terlebih lagi lo pakai kursi roda. Dan gue ketemu lo di ruangan ini, ini ruangan khusus pasien Cuci darah ta.” Shit, Johnny tau tentang Ruangan ini.

“Ta jawab gue, lo kenapa?” Johnny terus-terusan bertanya kepada Gue, sedangkan gue udah kehabisan alasan untuk berbohong lagi. Gue cuma bisa diam dan menundukan kepala gue. Bertahun-tahun lamanya gue menyembunyikan ini, dan akhirnya ketahuan juga.

“Ta… lo sakit?” Johnny kembali berucap, tapi sekarang ucapan dia terdengar sangat dipenuhi dengan rasa iba, gue benci itu. Gue benci ketika orang lain mulai Iba kepada gue, gue enggak suka terlihat semenyedihkan ini.

“Suster.” Panggil gue ketika melihat seorang suster yang gue kenal sedang berjalan menuju ruangan yang gue tuju.

“Eh mas Dikta, jadwal Cuci darah ya? Tumben gak sama Mamah.” Jawab suster itu sangat Ramah dan berjalan mendekati gue. Sial, malah diperjelas gue mau Cuci Darah. Bisa gue lihat dengan jelas Johnny yang kaget ketika mendengar ucapan suster barusan.

“Tolong antar saya ke ruangan ya suster.” Ujar gue pelan, Cuma itu yang bisa gue lakukan, menghindar sementara dari Johnny.

“Ohiya boleh, saya antar ya mas Dikta.” Suster itu langsung membantu untuk mendorong kursi roda gue.

“Dikta.” Johnny berusaha mendekati gue.

“Jangan ikutin gue.” Jawab gue datar. Dan untungnya Johny memberhentikan langkahnya untuk mendekati gue.

Gue benci hari ini, hari dimana ada orang lain yang tau bahwa gue selemah ini. Gue benci hari ini, hari dimana bertambahnya orang lain yang menatap gue dengan penuh dengan tatapan iba. Gue Cuma enggak mau dikenal dengan si lemah, dan si dikta yang patut untuk dikasihani.

Ternyata gue memang semenyedihkan ini, haha.

chat

-Ara