Hangat

cie

Beberapa menit setelah membaca pesan masuk dari Haekal, Jovan segera keluar dan menanti kedatangan Haekal. Beberapa kali Jovan terlihat memaki Hujan yang turun, ia tak mau Haekal kebasahan dan sakit akibat hujan, namun apalah daya, dia bukanlah pemilik semesta yang dapat mengatur kapan turun dan berhentinya sebuah hujan.

Jovan yakin, keadaan Haekal sedang tidak baik-baik saja sampai ia harus berada diluar saat deras hujan terus-terusan mengguyur bumi dan sudah selarut ini. Entah apa yang terjadi, Jovan hanya khawatir dengan keadaan Haekal- anak kandungnya.

Beberapa saat, nampak cahaya dari sebuah motor menerobos pandangannya. Dan benar saja, itu adalah Haekal. Anak kandung Jovan yang dari tadi ia nanti-nanti kedatangannya.

Haekal berjalan menuju teras rumah setelah memberhentikan dan memarkirkan motornya di pekarangan rumah Jovan.

Hati Jovan terasa amat perih melihat Haekal yang sangat kuyup sekarang, dengan menggendong tas dipunggungnya dan helm yang ia bawa di tangan kanannya, matanya terlihat sangat sayu dan wajahnya nampak lemas, bibirnya bergetar karena kedinginan, dan beberapa luka belum kering di wajahnya, bekas ulah bejad Darto terlihat dengan jelas sekarang.

“Saya bingung harus kemana lagi.” Ucap Haekal pelan ketika langkah kakinya sudah berada tepat di depan Jovan.

Jovan menggeleng pelan, tak seharusnya Haekal berada diluar selarut ini, luka di wajahnya akan terasa nyeri jika terkena air hujan, bukankah itu sangat menyakitkan?

“Saya boleh menginap di Rumah bapak, hari ini? Besok saya mau coba jual motor itu, Pak. Saya mau cari Rumah sendiri, dan hidup sendiri.

“Tolong izinkan saya ya, Pak? Saya janji-”

Ucapan Haekal terhenti ketika mendadak Jovan memeluknya, tubuhnya terasa membeku merasakan pelukan tersebut. Sudah lama sekali tidak ada yang memeluk Haekal, entah kapan terakhir kali ia merasakan pelukan dari seseorang.

Walau terasa sedikit aneh karena Jovan tiba-tiba memeluknya, namun tak ada perlawanan dan penolakan dari Haekal. Ia merasakan kehangatan dari pelukan tersebut. Semua kalut yang ia rasakan seakan menghilang ketika mendapatkan pelukan hangat itu.

Cukup lama hingga akhirnya Jovan melepaskan pelukan itu. Dilihatnya dengan teliti bagian wajah Haekal yang terluka.

“Sakit ya, Nak? Luka kamu masih belum kering dan malah terkena hujan. Seandainya saya bisa hentikan hujan, akan saya hentikan langsung, Nak. Supaya air hujan enggak bikin luka kamu semakin terasa sakit.”

Haekal hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa.

“Yang mana lagi Nak yang kerasa sakit? Kasih tahu bapak, supaya bapak sembuhkan.” Jovan memegangi lengan Haekal, memeriksa apakah ada luka dibagian sana.

“Pak Jovan... Kenapa?” Tanya Haekal kebingungan.

Yang ditanya hanya menatap Haekal lagi, Haekal dapat merasakan kesedihan yang terdapat pada tatapan tersebut.

“Saya khawatir sama kamu, Haekal.” Jawab Jovan singkat, Haekal bisa lihat mata Jovan dipenuhi genangan air mata sekarang, walau berusaha ditahan untuk tidak terjatuh.

“Bapak enggak apa-apa?” Tanya Haekal lagi untuk memastikan.

Jovan menghembuskan napasnya perlahan, melihat anak kandungnya yang sedang berdiri depannya sekarang sungguh menyayat hatinya. Betapa kecewanya Jovan dengan dirinya sendiri, sebab dengan bodohnya ia tidak menyadari anak murid yang meminta bantuannya adalah anak kandungnya sendiri. Membayangkan betapa beratnya kehidupan yang anaknya jalani dengan sendiri, sampai-sampai ia mengaku sebagai tuna wisma tanpa rumah yang menghangati.

“Bapak kenapa menangis?” Jovan hanya menggeleng pelan dan tersenyum kepada Haekal, berusaha terlihat baik-baik saja di depan anaknya.

“Dingin ya diluar? Disini saja ya Haekal? Meskipun rumah saya ini kecil dan sederhana, tapi saya bisa janjikan kehangatan di dalamnya. Tidak perlu sungkan, ya?”

“Pak...” Panggil Haekal pelan.

“Ya, Haekal?”

“Kalau boleh... Tolong berikan saya pelukan lagi, Pak. Saya sedang kalut, dan enggak tau kenapa, rasanya tenang dan damai ketika Bapak peluk saya.”

“Eh, lupakan aja pak. Saya tadi ngaco, baju saya juga basah banget. Maaf permintaan saya aneh-”

Jovan kembali memeluk Haekal dan mengusap lembut punggung dan puncak kepala anak kandungnya itu.

“Maafkan saya, Haekal. Pasti berat dan sakit ya? Kamu sudah tumbuh besar dan menjadi anak yang sangat baik, saya bangga kepada kamu.” Ucap Jovan lembut untuk menenangkan Haekal.

Tanpa disadari butiran air jatuh dari sudut mata Haekal, rasanya sangat menenangkan saat ada seseorang yang memeluknya sekarang, rasanya sangat membahagiakan ketika mendengar kalimat 'Bangga' disaat ia sedang merasakan kehidupannya telah gagal dan tak ada yang bisa diharapkan.

“Hangat, Pak. Mungkin seperti ini rasanya berada dipelukan seorang Ayah.” Ucap Haekal, suaranya terdengar sangat parau.

'Saya Ayah kamu, Haekal. Saya rumah kamu.' Batin Jovan berteriak.

-Ara