Hukum Hamurabi


Jika ada nominasi jalan hidup ter-plot twist di dunia ini, Disa yakin sekali bahwa dirinya akan menjadi top-10 dari jajaran yang masuk di dalamnya. Hal tersebut diyakini Disa, karena banyak sekali kejadian-kejadian tak disangka terjadi, terhitung sejak ia lahir di dunia.

Contoh kecilnya dapat di lihat saat ini, siapa sangka lulusan terbaik pengadaan serta pendidikan dan pelatihan jaksa kini sedang duduk di kantor Firma hukum yang baru saja memperkerjakannya. Untuk menjadi Pengacara setelah mengikuti banyak sekali prosedur menjadi seorang jaksa? Tentu saja tidak, bagian ter-plot twistnya, ia malah menjadi paralegal di Firma hukum ini.

Paralegal tentunya sangat jauh sekali dari yang Disa cita-citakan. Jika dibandingkan dengan Jaksa, sudah pasti sangat jauh sekali tingkatannya. Ia hanya bisa membantu Pengacara, bahkan untuk beracara atau ikut praktik hukum saja ia tak bisa. Siapapun yang melihatnya sekarang sudah pasti ikut iba dengan pilihan yang mau tak mau harus ia terima.

“Ini meja Mbak Disa, berdekatan dengan ruangan Pak Jeffrey dan Pak Dimas. Ada satu lagi Mbak Nata, sama dengan Mbak Disa bekerja sebagai Paralegal juga, tapi lagi cuti melahirkan.” Ucap seorang Pria berumur setengah abad itu kepada Disa, beliau adalah Pak Wira, orang pertama yang ia kenal di kantor ini, bahkan Pak Wira lah yang dari awal ia temui saat melamar kerja di Firma Hukum ini.

“Makasih banyak, Pak.” Balas Disa dan dibalas anggukan serta senyuman oleh Pak Wira sebelum akhirnya ia ditinggal sendiri di mejanya.

Disa menghela napas panjangnya, sembari meletakkan kantong plastik berisikan beberapa bungkus kupat tahu yang ia beli tadi. Disa menatap kesal pada bungkusan tersebut, sembari mengusap kasar wajahnya, tanpa mempedulikan lagi make-up nya yang sudah terlanjur hilang akibat antrian lama untuk mendapatkan kupat tahu pesanan Bos-nya, Jeffrey, Kakak kelas yang dulu sangat ia benci akibat terus-terusan mengganggunya.

“Persetanan sama kupat tahu gajelas ini, kalo gak waras, mah, udah gue taro racun di dalemnya.” Gerutu Disa pelan sembari mengetikkan pesan pada ponselnya, memberitahu Bos barunya bahwa pesanannya sudah datang, lengkap dengan note yang tak masuk logika siapapun yang mendengarnya, bahkan penjualnya pun tak habis pikir ada pesanan serupa demikian.

“Kelar bayar UKT Nopal, detik itu juga gue bakal resign dari kantor gaje ini.” gumamnya kembali setelah mengirim pesan kepada bos-nya tersebut. Disa kemudian mengeluarkan bedaknya, berniat untuk memoles kembali wajahnya yang sudah terkena banyak sekali polusi beserta keringat saat mengantri pesanan, ia sempat melihat sekitar yang masih sepi juga, belum berdatangan pekerja lainnya.

Saat tengah memoleskan lipcream pada bibirnya, sudut matanya menangkap ada bayang yang berjalan mendekat, segera Disa menyudahi kegiatannya tersebut, dan langsung berdiri untuk menyapa yang akan datang. Sialnya, Disa baru tersadar bahwa kontak lensanya belum sempat ia pakai, pantas saja pandangannya sangat kabur sekali melihat dua sosok yang mendekat.

“Selamat pagi,” Sapa salah satunya dari beberapa langkah di depannya, “Pagi, Pak.” Balas Disa sembari menyipitkan kedua matanya, guna melihat secara jelas dua sosok yang akan menghampirinya.

“Lama nggak ketemu, ya? Gak nyangka bakal satu tempat kerja sama lo.” Ucap suara yang lainnya pada jarak yang lebih dekat lagi.

“Eh? Kak?” Respon Disa terkejut saat dua sosok tersebut berada tepat di depannya, sehingga Disa bisa melihat dengan jelas keduanya. “Kak Dimas?” Lanjut Disa seakan masih meragukan penglihatan dan ingatannya.

Sosok berkacamata itu pun tergelak ringan melihat ekspresi kaget Disa, “Hahaha, kirain udah lupa sama gue,” Jawabnya renyah, sosok laki-laki di sampingnya ikut tersenyum ramah kepada Disa. “Gue kerja di sini juga sama Jeffrey, Hahaha, random banget, ya, semesta?” Lanjutnya.

Disa tertawa canggung, sembari di dalam hati kembali mengutuki takdirnya yang penuh dengan kejutan, seakan tak cukup memberikan shock terapy berupa Bos yang dulunya adalah laki-laki yang ia tolak mentah-mentah, kini mantan pertamanya di masa SMA pun turut hadir kembali di kehidupannya.

“Ohiya, ini Mahesa, dia juga Lawyer di sini.” Ucap Dimas kembali, memperkenalkan laki-laki di sampingnya.

“Salam kenal, Pak-”

“Panggil Esa, aja, Mbak.” Potongnya sembari membalas jabatan tangan Disa segera. “Iya, panggil dia Esa aja, masih muda banget dia, jauh sama lo umurnya.” Ujar Dimas kembali menambahkan.

Canggung tergambar jelas dari wajah Disa, rasanya ingin sekali ia dengan cepat mengakhiri hari ini, melepaskan diri dari banyaknya kejutan lain yang sepertinya sedang menanti.

“Semoga betah, ya, kalo ada apa-apa, lo boleh tanya-tanya gue atau Mahesa, ruangan kita di sana.” Ucap Dimas sembari menunjuk ke arah ruangan yang ada di samping kanan meja kerja Disa. “Yaudah, kita berdua ke ruangan dulu, ya. Banyak berkas yang harus disiapin buat sidang hari ini.” Pamit Dimas seakan peka dengan apa yang Disa rasa.

“Makasih banyak, Kak- Eh Pak, maksudnya,”

“Santai, gausah kaku kalo ke gue, panggil kayak yang biasanya aja.” Balas Dimas lagi.

“Iya, Kak, makasih, ya,” Ucap Disa kemudian.

Setelah memastikan Dimas dan Mahesa sudah benar-benar masuk ke dalam ruangan mereka, Disa segera menjatuhkan pasrah dirinya ke kursinya, kakinya terasa semakin melemas, kalau saja bisa, mungkin ia sudah berteriak kencang saat ini juga, memaki apapun yang ada di sekitarnya untuk menumpahkan apa yang ia rasa.

“Mana sih ini tempat soflensnya?!” Entah sudah keberapa kalinya ia menggerutu kesal, jemarinya dengan tidak sabar mencari-cari di meja kantornya, “Bisa gak, lo gak usah ikut-ikutan nyebelin?!” Ucapnya sendiri terhadap tempat kontak lensa yang terselip di antara tas dan tumpukan kertas di mejanya. Dengan kesal pula ia kembali memakai kontak lensanya tersebut.

Seakan tak diberi jeda, dering dari telpon miliknya terdengar, pertanda adanya panggilan masuk yang ada, “Siapa lagi, sih, ini? ganggu- Eh, Bella,” Emosinya seketika memudar saat melihat nama dari si penelpon tersebut.

“Halo, Bel?” Dengan segera pula Disa mengangkat panggilan tersebut.

“Ca, tadi subuh lo nelpon, ya? Sorry gak keangkat, kenapa ca?”

“Iya, tadi gue nelpon lo, mau-”

“Wait, lo jadi kerja, kan? Jangan bilang lo beneran gak ambil kerjaannya.” Belum selesai Disa menjawab, Bella lebih dulu memotongnya, terdengar sangat khawatir bila Disa benar-benar memilih untuk tidak mengambil pekerjaannya.

“Jadi, jenong. Ini udah di kantor sambil nenteng-nenteng kresek isi kupat tahu, hadeuh.” Keluh Disa tak tertahan, bola matanya memutar kesal saat kembali melihat bungkusan kupat tahu di mejanya itu.

“Hah, kok bisa?”

“Panjang ceritanya, nanti pas pulang gue ceritain, banyak banget yang aneh-aneh di sini, demi tuhan, aneh semua.” Sedikit Disa mencoba menggambarkan apa yang ia alami beberapa jam saat bekerja di Firma Jeffrey, ia tak mungkin menceritakan semuanya saat ini juga, apalagi masih di lingkupan kantor dan masih jam kerja.

“Oke deh, terus nelpon subuh-subuh tadi kenapa?”

Disa tak langsung menjawab pertanyaan itu, ia masih ragu sebenarnya untuk memberitahu maksudnya menelpon Bella subuh tadi, lebih tepatnya, ia masih enggan untuk merepotkan kembali sahabatnya itu.

“Ca? kenapa gak?!” Bella kembali bertanya, terdengar sedikit mendesak agar Disa segara memberitahunya.

“Gak jadi deh, Bel, gue iseng aja, hehehe,”

“Alah, boong. Udah, jujur aja, kenapa?”

Bella sepertinya sudah mengerti tanpa harus Disa beritahu, Bella sangat peka sekali apabila Disa sedang membutuhkan bantuan, ditambah ia juga memahami kondisi Disa yang masih belum stabil perekonomiannya paska mengundurkan diri dari pekerjaan impiannya.

“Gak Enak, Bel, gue selalu-”

“Gak apa-apa, bilang ke gue sekarang.”

“Gue butuh 7 juta, Bel, buat bayar UKT Adek gue, tabungan gue gak cukup buat bayar full ternyata, gue juga belum ada penghasilan, jadi masih kurang sekitar 7 jutaan buat bayar UKT Naufal.” Ungkap Disa akhirnya, ia meruntuhkan ragunya, demi keperluan sang Adik yang sedang berkuliah.

“Gue ada, kok, tenang. Lu kayak sama siapa aja, sih, ragu gitu ngomongnya.” Jawab Bella tanpa ada jeda.

“Serius, Bel?”

“Serius, lo butuhnya kapan?”

“Lusa, sih...,”

“Gue usahain ada buat lusa. Gue sekarang langsung coba ajuin pinjam darurat ke kantor, okay?”

“Kan, nggak usah, deh, Bel, gue udah sering banget repotin lo pake cara itu. Gak jadi, deh, Bel, nanti gue cari pinjaman lain aja.” Tolak Disa tak enak karena sudah beberapa kali ia memakai pinjaman darurat di kantor Bella, walau selalu melunaskan itu, tetap saja Disa tak enak, khawatir berdampak kepada nama baik Bella di kantornya.

“Gapapa, Ca, gue soalnya belum gajian, jadi cuma cara itu paling yang bisa.”

“Nggak, Bella, gak apa-apa, gue coba cari cara lain dulu, gue takut lunasinnya agak jauh dari tanggal seharusnya, terus malah lo yang kena imbasnya. Ini juga baru hari pertama kerja gue, jadi gue belum bisa jamin bisa lunasin uang kantor lo tepat waktu.”

“Kan ada gue, nanti gue tutupin lah pake gaji gue, minggu depan gue udah gajian kok.”

Rasanya Disa ingin sekali menangis, Tuhan memang memberikan banyak sekali ujian kepadanya, namun, Tuhan juga memberikan orang-orang baik berada di kehidupannya. Salah satunya adalah Bella, sahabat yang ia punya sejak di SMA, yang sangat mengerti kondisi Disa, yang akan selalu ada saat Disa membutuhkan bantuan, menjadi telinga yang selalu siap mendengarkan segala bentuk keluh kesah dan cerita Disa.

“Bel..., maafin, ya, gue selalu repotin lo...,” Ujar Disa pelan.

“Apa, sih, Ca, Naufal juga, kan, Adek gue. Walau dia bilang gue bawel kayak ibu tiri, tetep aja gue sayang sama dia, kayak sayangnya lo ke dia.” Balas Bella kemudian.

“Gue bakal lunasin secepatnya, Bel, gue juga bakal cari part time lain deh yang bisa gue kerjain buat nambah-nambah pinjemannya.” Kata Disa sungguh-sungguh.

“Udah, tenang, Ca. Udah dulu atuh, ya? Gue mau absen, terus mau urusin ke bagian keuangan, biar cepet cairnya. Lo baik-baik di sana, jangan bikin masalah, apalagi sama Bos lo, Hahaha.”

“Yeh, ngeledek lo, mah! Yaudah, semangat buat kita, makasih ya Bel sekali lagi, Dadah. Mwahh.” Ujar Disa mengakhiri panggilan telpon tersebut. Kembali helaan napasnya terdenger, ia memejamkan matanya sembari mengusap pelan dahinya, dalam hatinya bertanya-tanya, kapan kiranya Tuhan memberikan kehidupan yang stabil untuk dirinya beserta keluarganya.

Tanpa Disa sadari, dari beberapa waktu lalu, ada sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengar percakapannya via telpon, sosok itu berdiri diam di luar pintu masuk ruangan, langkahnya terhenti kala mendengar obrolan serius Disa barusan, niat hatinya tak ingin mendengarkan, namun dirasanya akan lebih canggung apabila ia menampakkan dirinya pada saat tadi.

“Selamat Pagi,” Sapaan tersebut menyadarkan Disa dari lamunan sesaatnya, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berasal dari pintu masuk ruangan, kedua netranya terhenti seketika sata melihat paras sang pemilik suara, seakan terhipnotis, Disa terdiam dengan mata yang masih tertuju kepada sosok tersebut, bahkan tak berkedip sama sekali.

Disa jelas mengenali wajah itu, namun rasanya sangat berbeda dengan belasan tahun lalu saat terakhir ia melihat sosok tersebut di lapangan sekolah, sedang bermain bola di bawah teriknya matahari. Kini, sosok tersebut menjelma sebagai pria dewasa yang terlihat tampan dengan tampilan yang sangat rapih, bahkan wangi darinya sudah bisa tercium dari jarak yang masih beberapa langkah lagi.

“Selamat Pagi?” Sapanya kembali pada jarak yang lebih dekat, seakan sedang berusaha menyadari Disa yang tiba-tiba kaku tak bisa merespon sama sekali, “Adisa?” Panggilnya lagi, sedikit ragu, karena tak kunjung mendapatkan respon dari Disa sedari tadi.

“Pagi...,” Jawab Disa pelan, masih berusaha untuk menyadarkan dirinya agar kembali normal tak terlihat kikuk dan kaku seperti saat ini. “Pagi, Pak Jeffrey.” Ulangnya lagi, terdengar lebih jelas dan tenang dari sebelumnya.

Senyum tipis tergambar dari ranum bibir milik Jeffrey setelahnya, pembawaan Jeffrey yang tenang dan berwibawa membuat Disa sadar, bahwa sosok di depannya kini sangatlah berbeda dengan Jeffrey yang ia temui di masa SMA.

“Sudah dipesankan semuanya?” Hal tersebut yang pertama kali Jeffrey tanyakan, tak ada sambutan, atau ucapan selamat datang, malah pertanyaan tersebut yang keluar dari bibirnya.

“Sudah, Pak, untuk tiketnya sudah saya bookingkan online, dan untuk kupat tahunya, sudah sesuai dengan arahan yang Bapak berikan.” Jawab Disa berusaha tersenyum ramah kepada Bosnya, walau emosinya kembali membucah apabila teringat kembali perjuangannya mendapatkan kupat tahu sialan titipan bosnya.

“Good, nanti OB yang akan ambil makanannya, kamu langsung bekerja aja, sebagaimana yang Pak Wira arahkan.”

“Baik, Pak.” Jawab Disa masih dengan senyum lembutnya yang terlihat sedikit dipaksakan, tak ada sedikitpun ucapan terima kasih atau semacamnya yang seharusnya ia dengar setelah perjuangan berat dan konyolnya untuk mendapatkan pesanan aneh Jeffrey.

“Nomer rekening kamu langsung kirim ke saya via whatsapp, ya, biar semuanya saya ganti.” Memang Disa butuh segera diganti uangnya, namun, tetap saja ucapan terima kasih atau maaf sudah merepotkan belum juga terdengar di kupingnya, hal tersebut semakin membuat Disa merasa jengkel.

“Baik, Pak, Terima kasih banyak, ya, Pak.” Jawab Disa masih dengan senyumannya, suaranya sengaja ia lebih lembutkan, seakan-akan berusaha mengingatkan kepada Jeffrey bahwa kalimat tersebut seharusnya keluar dari mulut Jeffrey, bukan mulut Disa.

Jeffrey terkekeh kecil mendengar itu, “Sama-sama, Adisa.” Jawabnya seakan sedang memancing agar Disa menanggalkan topeng yang berbentuk senyuman tersebut.

Tak mau kalah, Disa pun ikut terkekeh setelah mendengar jawaban tersebut. Jika saja orang yang berdiri di depannya ini bukanlah Bosnya, sudah Disa pastikan ia akan mengeluarkan kalimat-kalimat pedas yang akan menampar lawan bicaranya tersebut.

“Saya ke ruangan, ya, masih banyak kerjaan yang lagi nungguin saya.” P[amit Jeffrey.

“Oh, iya, silahkan, Pak, Hehehe.” Balas Disa, masih dengan senyuman palsunya itu.

Saat Jeffrey melangkahkan kakinya, meninggalkan Disa, detik itu juga senyuman pada bibir Disa sirna seketika, matanya menatap tajam punggung yang menjauh tersebut, sembari di dalam hati memaki tanpa henti Bos-nya tersebut.

“Eh, iya, Disa,” Langkah tersebut berhenti, dan membalikkan badannya kepada Disa, secara otomatis pula senyuman palsu Disa kembali menghiasi wajahnya, “Besok pagi tolong tukar e-tiket nonton Persib saya, ya?”

“Maksudnya, Pak?”

“Iya, itu nanti tukarkan jadi gelang, di markas kodim yang ada di Jl. Bangka. Pagi-pagi sekali, ya, soalnya ngantrinya pasti banyak banget, kalo kesiangan, kamu nya malah telat kerja nantinya.” Dengan entengnya perintah tersebut keluar dari mulut Jeffrey, Disa masih melongo tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

“Saya, Pak, yang harus tukarkan?”

“Loh, iya, masa saya?”

“Loh, lebih aneh lagi kalo saya, Pak.” Kali ini Disa tak mau kalah lagi, sudah cukup rasanya dari kemarin ia membiarkan Jeffrey mengerjainya.

“Loh, lebih aneh lagi kalo kamu suruh saya tukarkan sendiri.”

“Bukan nyuruh, Pak...,”

“Saya perintah kamu rasanya gak aneh, tapi kalo kamu tolak perintah saya bahkan sampai suruh saya kerjakan sendiri, itu bakal jadi aneh, Disa.” Balas Jeffrey, tak ingin sedikitpun memberi peluang untuk Disa menang dalam perdebatan ini.

“Wah kacau, sih...,” Timpal Disa tak tahan lagi. “Kacau, jadi ngaco gini jobdesk saya, Pak, merangkap jadi asisten Bapak, ya? Kalau gitu, harusnya kita ubah kontrak kerja, dong, Pak, gak sesuai-”

“Mau naik berapa persen? Silahkan aja, bilang ke Pak Wira, saya langsung acc-kan.”

“Bukan masalah itunya, Pak, tapi kan saya disini sebagai Paralegal, bukan Asisten pribadi Bapak.” Kukuh Disa melawan, bahkan kini senyum di bibirnya tak lagi tergambar, seperti menolak untuk memalsukan terus menerus apa yang ia rasa.

“Tunjukin aja barcode yang ada di e-tiketnya, nanti setelahnya dikasih gelang sebagai bentuk fisik tiketnya. Dari jam 7, supaya gak ngantri sama yang lain.” Ucap Jeffrey, tak mengindahkan protes yang barusan Disa suarakan. “Terima kasih sebelumnya.” Lanjutnya sebelum benar-benar pergi, dan masuk ke dalam ruangan kerjanya.

“Sinting.” Umpat Disa pelan.

Feelingnya benar, hari pertama akan sangat menyebalkan dan buruk. Disa mengerti, Jeffrey sengaja memerintahkan hal yang tak masuk akal untuk menguji dan membalaskan dendam masa lalunya kepada Disa. Untuk saat ini, yang bisa Disa lakukan adalah menahan dirinya untuk tetap bekerja sampai keperluan Naufal terpenuhi, sembari menyusun rencana untuk membalaskan perlakuan Jeffrey dengan caranya sendiri.

Disa tidak pernah mau kalah dalam hal apapun, termasuk dengan Jeffrey, ia tak akan takut, walau lawannya adalah Bosnya sendiri. Bagi Disa, dunianya berjalan layaknya Hukum Hamurabi, Hukum tulis tertua yang ada di bumi. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata.


-Ara.