Jangan hina Ibu

tw// violence cw// harsh word. Mohon bijak dan tidak untuk ditiru🙏


Lonceng istirahat sudah berbunyi, para guru meninggalkan kelas diikuti riuh bunyi langkah kaki para siswa-siswi. Ada yang memutuskan untuk ke kantin, perpustakaan dan kamar mandi. Haekal dan teman-temannya memilih berkumpul di area Kantin, yang membuat sebagian siswi ragu untuk melangkahkan kaki mereka menuju kantin.

“Kemaren kelas 12 jadi nyerang sekolah tetangga.” Reno memulai topik pembicaraan pada siang itu.

“Lo gak ikut kan, No, Nu?” Jere langsung menatap Reno dan Janu dengan penuh kecurigaan.

“Kaga anjir, gue sama Reno main PS di rumah Cena kemaren.” Janu membela dirinya langsung.

“Untungnya enggak ikut, lo tau gak? Ada polisi, Anjir. Anak kelas 12 banyak yang ketangkap kemaren, belum dilepasin sampai sekarang.” Ucap Reno.

Haekal hanya tersenyum tipis mendengar itu, pandangan dan tangannya tetap fokus dengan buku yang sedang ia baca.

“Asem anjir mulut, Warung depan yuk.”

“Tahan, pulang sekolah aja. Jangan jadi brengsek untuk orangtua kamu hari ini, Reno.” Haekal akhirnya angkat bicara. Reno menghela napasnya kecewa mendengar jawaban tersebut.

“Itu si Darto jalan ke arah sini gak, sih?” Ucap Cena ketika melihat Darto sedang berjalan dengan langkah terburu-buru menuju mereka.

Haekal hanya melirik ke depan sekilas dan kembali membaca buku yang ia bawa, mencoba tak peduli dengan langkah kaki dari Darto yang semakin mendekat kepada mereka.

“Dih anjing, beneran kesini kayaknya. Ngapain lagi deh?” Reno menunjukan raut tak suka ketika melihat Darto yang berjalan semakin dekat.

“Mau kabur?” Tanya Janu kepada teman-temannya.

“Bodoh, memangnya kita salah apa sampai harus kabur?” Ucap Haekal masih tak peduli dengan kepanikan teman-temannya.

Tak lama kemudian, Darto menghentikan langkah kakinya tepat di depan Haekal dan teman-teman Haekal, dengan kedua tangan berkecak pinggang.

“Kalian ikut tawuran kan kemaren?!” Tanya Darto secara langsung, terdengar bukan seperti pertanyaan, namun seperti sebuah pernyataan.

“Enggak, Pak. Kelas sebelas gak ada yang ikutan.” Cena berusaha tenang menjawab pertanyaan sekaligus tatapan penuh intimidasi dari gurunya tersebut.

“Sumpah deh, Pak. Anak baik kita-kita tuh.” Jere menambahkan. Sedangkan Reno dan Janu sudah duduk di samping Haekal, mencoba tak peduli dengan kedatangan Darto. Haekal, Reno, Janu yang paling di kenal oleh Darto, karena dari kelima anggota geng tersebut, mereka lah yang paling sering membantah Pak Darto dengan sangat berani.

“Halah, sudah pasti kalian juga terlibat! Kalian kabur, kan? Maka nya enggak tertangkap.”

“Bapak jangan asal tuduh! Mau fitnah kita supaya kinerja bapak sebagai guru keliatan bagus?” Reno berdiri dan mulai terpancing dengan tuduhan tersebut. Jere langsung menarik Reno agar duduk kembali, khawatir Reno tak bisa menahan emosinya.

“Sopan santun kamu mana?!” Bentak Darto tak terima dengan jawaban Reno barusan.

Haekal tertawa kecil mendengar ucapan Darto barusan, namun ia masih memfokuskan pandangannya terhadap buku, tak mau mengalihkan perhatiannya kepada Darto sedikitpun.

“Kalian pasti terlibat, enggak mungkin hanya kelas 12 dan 10 saja. Oh, atau kalian yang merancang tawuran tersebut? Dan menyuruh siswa lain yang menyerang?”

“Hahaha, pendidikan karakter katanya.” Ucap Haekal pelan sembari menutup buku yang sedang ia baca.

“Apa kamu?! Ngomong apa barusan?!” Bentak Darto, hal itu jelas menimbulkan rasa penasaran para murid lain yang berada di sekitar mereka.

Haekal akhirnya beranjak dari duduknya dan berdiri menghadap Pak Darto yang sedang menatapnya penuh amarah.

“Katanya pendidikan karakter, kok malah memfitnah siswanya yang jelas tidak melakukan kesalahan?” Ucap Haekal santai.

“Udahlah cabut aja kita, gak jelas.” Janu bangkit, menarik Haekal dan Reno untuk pergi menjauh dari tempat itu.

“Mau kabur dari masalah? Seperti ibu kamu yang koruptor itu dan lari ke luar negri? Ujung-ujungnya apa? Ditangkap juga kan?”

Kalimat barusan berhasil menghentikan langkah Janu yang tadinya hendak meninggalkan tempat itu.

“Jaga ucapan Bapak!” Balas Janu tak terima.

“Pak, jangan bawa-bawa orangtua. Saya kan tadi udah bilang, anak kelas sebelas enggak ada yang terlibat sama sekali, buat apa coba kita bohong, Pak.” Jere kembali menjelaskan kepada Darto, ia sangat khawatir teman-temannya terpancing dan tak bisa mengendalikan diri mereka.

“Hahaha, kenapa? Marah Janu? Saya kan bicara fakta.” Darto malah menertawakan Janu yang sekarang menatapnya dengan tajam.

“Sehina itu perjuangan seorang Ibu bagi bapak? Sampai tega hati bapak menghina di depan anaknya? Sudah sesempurna apa kehidupan Bapak, sampai Bapak merasa layak menertawakan di depan anaknya, seolah-olah si anak juga pantas mendapatkan hinaan seperti ini?” Haekal tak terima dengan perkataan Darto barusan, untuk saat ini Haekal masih bisa menahan amarahnya, agar tak mendorong Darto seperti kemarin, ia berusaha agar emosinya tak meledak, tak mau merepotkan orang sekitar yang harus membantunya menyelesaikan permasalahan dengan Darto (lagi).

“Kamu kenapa belain anak Koruptor, Haekal? Karena Orangtua kamu juga gak benar?”

Darto sepertinya sedang membangunkan singa yang sedang tertidur, kali ini Haekal memajukan langkahnya dan menatap Darto dengan sangat tajam, tangannya sudah terkepal dengan sangat kuat.

“Kal... udah-udah, ayok pergi.” Cena berusaha menjauhkan Haekal dari Darto, namun dengan cepat Haekal menepis tangan Cena agar tak menariknya menjauh.

“Kenapa? Mau marah juga? Kenapa marah? Ibu kamu itu enggak pernah terlihat, kan? Yang datang kalau kamu bermasalah, si pengusaha besar itu, Ibu kamu simpanan pengusaha itu?”

“Anak Koruptor, anak Wanita simpanan sama-sama tidak punya-”

BRUKKK

Detik kemudian Darto terjatuh ke lantai. Butuh beberapa detik sampai Darto sadar bahwa siswa di depannya barusan mendorongnya hingga terjatuh.

“JAGA TUTUR KATA ANDA, DARTO! DIA IBU SAYA! DIA WANITA TERHORMAT! DIA TIDAK HINA SEPERTI ANDA, DARTO!” Teriak Haekal penuh amarah, matanya memerah, napasnya memburu, dadanya sesak mendengar ucapan Darto barusan.

“SEKALI LAGI SAYA TEMUI HINAAN TAK BERWAWASAN DARI MULUT ANDA, SAYA TIDAK AKAN MEMBIARKAN ANDA! YANG ANDA HINA ADALAH IBU SAYA! ANUGRAH TERINDAH YANG TUHAN BERI KEPADA SAYA, DAN DENGAN BERANINYA ANDA RENDAHKAN DIA?!”

“BERHENTILAH MENCACI ORANGTUA, DARTO! KAMU ITU ENGGAK LEBIH DARI SEBUAH TENGKORAK MINIM AKAL YANG TIDAK DIBERI HATI NURANI, DARTO!”

“DASAR GOBLOK!!!” teriak Darto tak terima dan bangkit untuk membalas perlakuan Haekal barusan.

Setelah itu, keduanya terlibat baku hantam, saling memukul, menendang satu sama lain, gerak Haekal tiba-tiba terbatas karena murid lain menahan lengannya untuk tidak memukul Darto, karena itu ia tak bisa membalas pukulan dari Darto. Namun sayang, tak seorangpun yang berani menahan Darto, sehingga ia dengan bebas memukul bagian tubuh Haekal tanpa henti walau sudah tak ada lagi perlawanan yang Haekal beri.


marah

-Ara