Jangan Khawatir.

jovan

Jovan bergegas menuju kantin ketika diberi kabar oleh temannya bahwa ada seorang perempuan yang sedang mencarinya dan sekarang tengah menunggunya di Kantin. Jovan yakin sekali itu adalah Hanna.

Lima hari Hanna tidak terlihat, bahkan tak ada kabar sedikitpun, Jovan sangat cemas. Beberapa teman kelasnya yang ditanyai pun selalu menjawab tidak tahu. Jovan sudah berencana akan datang ke rumah Hanna sore ini dan memastikan keadaan Hanna secara langsung, namun ternyata siang ini Hanna datang mencarinya.

“Hanna!” Panggil Jovan dan menghampiri Hanna yang sedang duduk di salah satu bangku kantin. Ada yang berbeda dengan Hanna, Jovan tak melihat senyum bahagia di wajah Hanna, tak seperti hari-hari sebelumnya. Wajah cantik itu biasanya berseri ketika bertemu dengan Jovan, namun hari ini tidak. Terlihat jelas kegelisahan di wajahnya, dan Hanna tak henti-hentinya menggigit kuku ibu jarinya.

“Hanna?” Jovan duduk didepan Hanna.

“Kak...” Suara Hanna sedikit bergetar, saat itu juga Jovan yakin Hanna sedang tidak baik-baik saja.

“Hei, kenapa? Ada apa?” Jovan mengambil tangan Hanna dan mengelusnya pelan, mencoba memberikan sedikit ketenangan untuk Hanna.

“Ada saya, kamu tenang ya, ada saya-”

“Kak... Aku hamil.”

Jovan langsung terdiam mendengar itu. Ia menatap Hanna sedikit tak percaya, namun tangannya masih menggenggam tangan Hanna dan tak di lepaskan.

Hening.

Seketika hening menyelimuti. Hanna yang mulai terisak dan Jovan yang masih mengolah perkataan Hanna barusan.

“Aku harus gimana Kak...” Hanna masih menangis, untungnya kantin saat itu sedang sepi, tak ada oranglain yang melihat Hanna sedang terisak kecuali beberapa pedagang yang sepertinya tidak terlalu peduli dengan apa yang sedang terjadi.

“Hanna, jangan menangis. Ada saya, kamu enggak perlu khawatir, ya?”

“Takut...”

“Jangan takut, ya? Ada saya. Saya selalu ada disamping kamu. Saya akan tanggung jawab. Jangan takut.” Jovan berusaha menenangkan Hanna. Jika saja saat ini mereka tidak berada di lingkungan kampus, mungkin Jovan sudah memeluk Hanna erat, dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kalau boleh jujur, saat itu juga rasanya Jovan seperti disambar petir, namun melihat Hanna yang di depannya terlihat sangat ketakutan, membuat Jovan berusaha tenang.

“Saya sayang sama kamu, Na. Kamu tahu kan? Saya enggak akan meninggalkan kamu. Kamu jangan khawatir, kita bisa lewati ini bersama, ya?”

Isakan Hanna sedikit mereda, tak seperti tadi. Namun tetap saja, guratan kegelisahan masih terlihat dari raut wajahnya. Jovan paham, bukanlah hal yang mudah bagi Hanna untuk melewati ini, terlebih ia baru saja memulai pendidikan di bangku kuliah.

“Maafkan saya, Na. Seandainya saya enggak melakukan itu, mungkin kamu enggak akan setakut ini. Maafkan saya.”

“Aku enggak bisa salahin siapa-siapa Kak. Aku juga enggak akan salahin Kak Jo, aku cuma takut kedepannya akan gimana.”

“Hanna, coba tatap mata saya.” Jovan kembali mengeratkan genggaman tangannya kepada Hanna, Hanna pun perlahan menatap Jovan. Jovan lihat mata gadisnya yang memerah, ditambah kantung mata yang terlihat sangat jelas, Jovan sangat yakin bahwa lima hari ini, Hanna menahan semuanya sendirian. Hati Jovan perih membayangkan betapa kacaunya Hanna kemarin sendirian.

“Saya enggak pernah main-main sama kamu. Sejak pertama kali memutuskan mengirim kamu surat, rasa saya sudah serius untuk kamu. Kamu jangan takut ya? Saya akan tanggung jawab. Kita jalani bersama-sama. Saya sebentar lagi lulus, Na. Saya akan kerja, dan bisa menghidupi anak kita. Saya janji. Jadi, jangan khawatir ya? Pendidikan kamu juga masih bisa dilanjut nanti, saya akan bertanggung jawab atas kamu, dan anak kita.”

“Hanna enggak perlu khawatir, Hanna jangan berduka, ini anugrah dari Tuhan untuk kita, Na. Saya janji, saya akan bertanggung jawab, saya akan jadi suami dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita nanti.”

Hanna kembali menangis mendengar itu, sudah lebih dari Tiga hari ia mengurung diri. Tak berani bercerita kepada siapapun, termasuk kepada Jovan, karena ia takut akan menganggu Jovan yang sedang sibuk dengan skripsinya.

Hanna takut Jovan marah, Hanna takut Jovan malah pergi meninggalkannya, padahal ia tahu Jovan bukanlah pribadi yang seperti itu.

Lihatlah sekarang, Jovan bersedia bertanggung jawab untuknya, ia bahkan tak menyesali apa yang sudah terjadi dan mengajak Hanna untuk menjalani ini, yang dianggapnya anugrah yang telah diberi oleh Tuhan untuk mereka.

“Hanna enggak perlu susah payah memikirkan kedepannya akan bagaimana, kita jalani aja dulu. Prihal tanggung jawab, itu bukan urusan Kamu. Namun urusan saya, dan ayah kamu.”

“Besok saya yang akan menemui orangtua kamu. Sore ini saya akan bicarakan dengan keluarga saya. Apapun nanti reaksi dari keluarga saya, tidak akan pernah menghentikan saya untuk bersama kamu. Janji ya jangan khawatir lagi? ada saya. Saya selalu ada, saya sayang sama kamu, dan calon dari anak kita. Hanna tenang saja.”

Hari itu Hanna percaya dengan semua janji yang Jovan beri, ia yakin semuanya akan baik-baik saja, ia yakin akan melewati ini bersama, ia pun yakin bahwa ini bukanlah celaka, namun Anugrah yang diberi Tuhan untuk mereka.

-Ara.