Jingga, si kuat penjaga toko.


Haekal nampak kebingungan melirik sekitarnya yang dipenuhi banyak sekali toko-toko yang menjual berbagai macam jenis pakaian. Ia melihat notes di ponselnya, memastikan bahwa toko di depannya kini adalah toko langganan yang dimaksud oleh Neneknya.

Setelah memastikan nama toko tersebut sesuai, Haekal segera melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam toko tersebut, guna mencari baju Daster titipan Neneknya.

“Cari apa, Kak?” Sapa si penjaga toko dengan ramah kepada Haekal yang nampak celingukan memperhatikan banyak sekali model baju di sekitarnya.

“Daster, Mbak. Untuk Nenek saya.” Jawab Haekal agak kaku, terlebih ketika si penjaga toko itu tersenyum simpul mendengar ucapan Haekal barusan.

“Boleh, Kak, di lantai 2 kalau daster, ya, nanti naik tangga aja, bakalan ada temen saya yang bantuin Kakaknya pilih di sana.” Kata penjaga tersebut sembari menunjuk ke arah tangga menuju lantai dua.

Haekal hanya mengangguk sopan lalu berjalan ke arah tangga sembari mengusap tengkuknya canggung. Haekal pikir akan biasa saja datang ke toko baju perempuan sendirian, ternyata ia salah, terasa begitu canggung melakukan ini, tak segampang yang ia pikir, pantas saja teman-teman lelakinya menolak untuk ikut bersamanya.

“Coba aja ada Azalea…” gumam Haekal pelan sembari menaiki tangga tersebut. “Tapi, Lea lagi gak bagus moodnya.” Sambung Haekal lagi berlirih pelan, kembali teringat Azalea yang tadi tak begitu menanggapinya.

Kedua manik teduh milik Haekal berpencar memandangi sekitarnya yang agak sepi pengunjung dibandingkan dengan lantai bawah, ia juga melihat pakaian-pakaian yang dipajang, yang sepertinya lantai ini dikhususkan untuk pakaian sehari-hari khusus perempuan.

“Mbak,” panggil Haekal kepada pegawai toko yang sedang membelakanginya, nampak sedang merapihkan beberapa display baju yang sedikit berantakan.

“Boleh pilihkan Daster untuk—” kalimat Haekal terhenti saat sosok pegawai tersebut menghadap ke arahnya, secara otomatis juga, kedua bola matanya melebar menangkap sosok di depannya itu.

“Jingga?” bibir Haekal berucap tak percaya.

Tatapan Haekal tak lepas dari sosok Jingga yang berdiri di depannya, mengenakan seragam pegawai toko, pun juga dengan rambut yang diikat berantakan. Sangat berbeda sekali dengan tampilan Jingga yang selama ini Haekal lihat di kampusnya.

Namun, tak butuh waktu lama, Haekal segera menyadari ketakutan serta sinyal tak nyaman Jingga yang juga ikut terkejut bertemu dengannya sekarang, bahkan kini ia melihat jemari Jingga yang gemetar dan juga wajahnya mulai memucat.

“Boleh pilihkan baju Daster untuk Nenek saya? Ukuran L, dan dari bahan yang nggak panas.” lanjut Haekal berusaha tak memedulikan yang sedang terjadi, kini wajahnya juga kembali berubah, tak ada mimik terkejut seperti sebelumnya.

“Kenapa harus di sini?” bukannya merespon pesanan Haekal, Jingga malah balik bertanya.

“Maksudnya?”

“Dari banyak toko baju di Jakarta, kenapa harus di sini lo beli baju? Kenapa harus ketemu gue?” Tanya Jingga lagi memperjelas pertanyaannya barusan, kini wajahnya nampak memerah, geram dari tatapan matanya terdeteksi oleh Haekal. Untungnya lantai 2 begitu sepi, sehingga nada bicara Jingga yang meninggi tak menyita perhatian pengunjung lainnya.

Haekal tak menjawab, karena ia pun bingung harus menjawab apa, ia juga sama bingungnya, tak sengaja datang ke toko ini, tanpa sedikitpun menyangka akan bertemu Jingga yang tengah bekerja.

“Kenapa, Kal? Hampir 2 tahun gue kerja di sini, sama sekali nggak ada anak kampus yang bisa nemuin gue. Kenapa? Kenapa hari ini lo malah nemuin gue?” suara Jingga kini mulai bergetar, matanya juga nampak bergelinang, sampai-sampai Haekal semakin terdiam melihatnya, kebingungan dengan reaksi Jingga yang marah kepadanya.

“Hancur tau gak branding yang susah-susah gue bangun supaya bisa masuk ke dalam lingkup kalian.”

“Maaf,” bahkan kini tanpa sadar Haekal mengucapkan permintaan maafnya, kata tersebut keluar begitu saja saat melihat genangan air mata mulai jatuh membasahi pipi Jingga yang masih memerah.

Haekal mulai paham situasi saat ini, ia mengerti mengapa Jingga begitu meledak-ledak saat Haekal tak sengaja menemuinya di sini.

“Maaf? Bahkan gue ngelakuin semua ini bukan cuma buat bisa nyatu sama lingkungan kampus, Kal! Gue juga gak mau dikasihanin dan jadi terlihat menyedihkan. Ah, liat sekarang cara lo natap gue, gue gak suka! gue gak suka tatapan kasihan kayak gitu dikasih ke gue.” bentak Jingga tak tertahan.

Haekal sangat tak suka dibentak orang lain, namun, rasanya kini, Haekal tak sanggup untuk menginterupsi sedikitpun kalimat Jingga, ia hanya bisa diam, dan menetapkan dirinya di posisi bersalah.

Tarikan napas panjang Jingga terdengar setelahnya, ia memejamkan matanya sesaat, seperti sedang mencoba mengontrol dirinya, “Di sebelah kanan sana, ambil aja, Daster. Setelahnya lo boleh ke bawah buat bayar, dan pergi dari sini.” sambungnya lagi.

Haekal tak lagi berkata, ia hanya mengangguk, lalu mengambil baju di sebelah kanannya, ia bahkan mengambil asal beberapa baju tersebut, tak mau membuat Jingga merasa semakin tak nyaman dengan kehadirannya.

Melihat Jingga barusan, membuat Haekal teringat dengan dirinya yang dulu, berusaha terlihat kuat dan tangguh, tak mau dilihat lemah dan dikasihani, berusaha semaksimal mungkin diterima di lingkungan yang tak menginginkannya, dan Haekal paham sekali, betapa melelahkannya berpura-pura melakukan itu.

“Jingga...,” panggil Haekal menghentikan langkah kakinya yang hendak menuruni tangga, ia memutarkan badannya, melihat Jingga yang kini tertunduk lemas.

“Apa lagi?” tanya Jingga ketus.

“Tugas komunikasi bisnis, sudah saya selesaikan. Kamu baca-baca materinya aja, ya, supaya nggak bingung presentasi nanti.” ucap Haekal, kembali dengan nada bicaranya yang santai.

“Nggak usah kasihanin gue, kan gue udah bilang—”

“Saya nggak kasihanin kamu. Itu sebagai ganti karena saya udah ambil 50 ribu kamu, upah ppt saya di tugas sebelumnya.” jawab Haekal segera, Jingga saat itu juga terdiam tanpa menjawab apapun lagi.

“Bertahan, ya? Seberat apapun yang sedang kamu lalui, Tuhan sedang uji.” sambung Haekal lagi, lalu kembali melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan Jingga yang terpaku menatap kepergian Haekal, dan kembali menitihkan air matanya setelah mendengar kalimat penguat yang tak pernah ia sangka akan diucapkan Haekal, sosok yang begitu dingin kepada sekitarnya.

[image