Jo, Terlambat.

Hanna dengan sigap menuju Rumah sakit untuk melihat kondisi anak semata wayangnya, tanpa memedulikan rapat penting bersama relasinya, bagi Hanna, yang terpenting saat ini adalah kondisi Haekal yang dikabarkan sedang berada di ruang Operasi. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Hanna hanya diam dan mengepal tangannya dengan keras. Tak ada tangis yang tumpah, namun, ia merasakan sesak bukan main di dadanya ketika membayangkan rasa sakit yang Haekal rasakan hingga memerlukan tindakan Operasi.

Tak butuh waktu begitu lama untuk Hanna sampai ke Rumah sakit, segera ia melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu yang disediakan khusus untuk keluarga pasien VVIP. Dilihatnya Sarah, sahabat sekaligus guru Haekal sedang duduk diruangan tersebut, “Haekal gimana?” Tanya Hanna langsung sembari memegangi kedua bahu Sarah.

“Maafin gue, Na...” “Haekal gimana?!” Kali ini nada bicara Hanna lebih meninggi dari sebelumnya, seolah mendesak agar Sarah segera memberitahu keadaan Haekal kepadanya.

“Haekal banyak kehilangan darah, Na...” Akhirnya Sarah menjelaskan, walau terdengar ragu, “Dan ada sesuatu di paru-parunya karena pukulan, gue gak begitu paham, Na. Yang pasti Haekal harus segera ditindak, supaya bisa bertahan.” Sambungnya. Kedua tangan Hanna yang tadinya memegang bahu Sarah, perlahan menurun dan terlepas. Hanna tak menjawab apa-apa lagi, ia hanya diam, sembari menatap kosong ruang Operasi yang tertutup itu.

“Na, Maaf...” Ucap Sarah terdengar sangat menyesal. Hanna tak menjawab, ia masih memilih untuk diam. “Na, Haekal bakalan baik-baik aja, gue yakin.” Kali ini Sarah berdiri dan mengusap bahu Hanna pelan, namun, Hanna dengan gerakan pelan menepis usapan tersebut.

“Lo boleh pergi, biar gue aja yang nunggu Haekal disini.” Ucap Hanna pada akhirnya.

“Na, gue temenin-” “Gue mau nunggu Haekal sendiri.” Hanna langsung memotong ucapan Sarah. Akhirnya, dengan sangat terpaksa Sarah beranjak pergi dari ruangan tunggu tersebut, meninggalkan Hanna sendiri disana.

Hanna terduduk lemas setelah Sarah pergi, kakinya terasa tak sanggup walau hanya untuk untuk berdiri. Untungnya ruang tunggu ini sangatlah sepi, tak seperti ruangan tunggu diluar sana, sehingga Hanna tak perlu khawatir dengan tatapan aneh dari orang sekitar yang melihatnya terduduk lemah dilantai Rumah sakit.

“Haekal...” Lirih Hanna sangat pelan, namun terdengar sangat pilu bagi siapapun yang mendengarnya.

Terduduk seorang diri dilantai rumah sakit yang dingin sekali, seakan menarik ingatan Hanna kepada peristiwa menyakitkan yang menimpanya 17 tahun yang lalu, sangat persis sekali, ia menangisi anak semata wayangnya yang sedang berada di ruang Operasi, seorang diri, tanpa ada yang menemani.

Flashback

Melahirkan seorang diri, tanpa ada satupun orang yang menemani sangatlah terasa menyakitkan bagi Hanna. Kali pertamanya, namun, dunia seolah tak peduli hanya untuk sekedar menguatkannya yang sudah ditinggal kekasih yang hilang entah kemana. Hanna pikir hanya sampai disitu saja cobaan yang Tuhan beri kepadanya, namun ternyata ia salah menduga, Bayi mungil yang bahkan belum sempat ia beri nama, terpaksa harus dirawat dengan berbagai macam peralatan medis yang terpasang di tubuh kecil polos tak berdosa itu.

“Ada sedikit masalah pada jantung anak Ibu, dan harus segera ditindak, khawatir sesuatu yang buruk terjadi karena kinerja jantungnya yang tidak baik.”

Saat itu Hanna merasakan lemas disekujur tubuhnya, melihat sisa uang di dompetnya hanya sedikit karena sudah habis untuk keperluan persalinan membuatnya kebingungan. Padahal, seharusnya Hanna butuh banyak istirahat karena baru saja beberapa hari yang lalu melahirkan, namun, keadaan Haekal kecil yang harus memaksanya mencari cara untuk menyelamatkan Haekal.

Ia menghubungi semua temannya, namun, tak ada satupun yang bisa membantunya. Karena, Hanna pun tidak menjelaskan dengan gamblang akan dipakai apa dana pinjaman tersebut, rasanya tak mungkin mengakui bahwa ia baru saja melahirkan seorang anak tanpa ada suami.

Didesak oleh pihak rumah sakit, agar segera memberi persetujuan untuk tindakan, membuat Hanna semakin pusing. Semua uang yang ia kumpulkan sudah habis untuk keperluan persalinan, dan makan sehari-hari, menjual berbagai macam perhiasan yang menempel ditubuhnya pun masih belum cukup untuk biaya Operasi. Saat itu Hanna kalut sendiri, menangis sendirian sembari berjalan memohon bantuan dari orang lain, dengan kondisi tubuh yang masih lemah dan juga sangat kacau sekali.

Saat itu Hanna marah kepada semua, ia marah kepada Tuhan, dan ia marah kepada Jovan yang sudah tega meninggalkannya sendiri, pergi membawa janji-janji manis yang sudah ia beri, bahkan, orangtua yang biasanya membantu anaknya, disaat dunia tak ada yang berpihak, ikut pergi meninggalkan Hanna, atau lebih tepatnya membuang Hanna. Semesta dan seisinya seakan mempunyai kesepakatan yang sama untuk menjauhi, meninggalkan, dan membuang Hanna dan janin yang ia kandung.

Selama masa kehamilannya, Hanna seperti diasingkan oleh orangtuanya sendiri, ia memiliki dua pilihan, menggugurkan kandungannya, atau pergi sejauh-jauhnya agar tak menjadi aib keluarga, terlebih, orangtuanya lebih mementingkan citra perusahaan yang sedang naik-naiknya. Hanya satu alasan Hanna memilih pergi meninggalkan rumah dibandingkan harus menggugurkan janinnya, yakni, kepercayaannya terhadap Jovan yang menjanjikan akan bertanggung jawab dan memberikan cinta dan kasih kepada janin ini bersama-sama, hingga buah hati mereka lahir, besar, dan tak pernah mengenal duka.

Namun sayang, Janji hanyalah sebatas janji. Hanna sendiri, tertatih merasakan perihnya kehamilan pertama tanpa ada satupun yang menemani, mungkin hanya sahabat SMAnya yang sesekali mengunjungi Hanna di kontrakan kecil yang ia sewa, sahabat itu adalah Sarah. Uang? Orangtuanya sama sekali tak membekali, karena marah atas keputusan Hanna yang memilih mempertahankan janin tersebut. Hanna hanya mengandalkan sisa tabungannya saja untuk menyewa kontrakan, memeriksa kesehatan janin tersebut, dan membelikan beberapa peralatan bayi untuk janin tersebut apabila telah lahir.

“Bu, maaf, keadaan bayi ibu semakin tidak stabil, kalau tidak cepat ditindak, mungkin... tidak bisa diselamatkan.”

Saat itu juga Hanna tak punya pilihan lagi, selain memohon bantuan kepada orangtuanya untuk menyelamatkan bayinya. Walau dengan ragu yang sempat menahannya, akhirnya Hanna memberanikan diri untuk menelpon kedua orangtuanya. Mereka mengangkat panggilan tersebut dengan segera, dan tanpa basa-basi Hanna menyampaikan maksudnya, yaitu meminta bantuan kepada orangtuanya untuk menyelamatkan bayi yang baru saja ia lahirkan.

“Apapun itu, Pah, saya lakukan, tolong bantu Hanna kali ini aja. Hanna akan ganti uang Papah dan Mamah secepatnya.” Ucap Hanna penuh mohon saat itu.

“Okay, tapi Papah punya persyaratan yang harus kamu sepakati.” Jawab Papah Hanna, tak sedikitpun terdengar ada iba kepada anak semata wayangnya itu.

“Apapun itu, Pah...” Jawab Hanna walau terdengar ragu.

“Kembali ke rumah, selesaikan kuliah kamu untuk bisa meneruskan perusahaan kita,” Ada jeda yang Papahnya beri sebelum melanjutkan ucapannya, “Dan, sembunyikan anak kamu itu. Saya gak mau publik tau kalau kamu hamil diluar nikah. Anak itu hanya akan merusak citra perusahaan saya.”

“Pah...” Respon Hanna tak percaya.

“Itu penawaran dari saya, Hanna. Terserah mau kamu ambil atau tidak. Saya gak peduli bagaimanapun caranya, yang terpenting saya gak mau publik tau kamu punya anak, yang bahkan ayahnya saja sudah menghilang. Anak itu hanya akan menghancurkan perusahaan saya nantinya.”

Dengan berat hati, Hanna menyetujui itu. “Hanna setuju, pah, tapi, tolong biarkan anak ini hidup dengan sehat dan terjamin semuanya, Pah. Anak ini, anak yang Hanna lahirkan sendiri, gak boleh mengenal duka yang berlebih.”

“Saya gak peduli, Hanna, mau kamu apakan anak itu. Yang terpenting kehadiran dia sebagai cucu saya tidak pernah tercium publik.”

Flashback Off

Tak terasa air mata yang berusaha ia tahan sedaritadi tumpah ruah tak terbendungi, Dadanya terasa semakin sesak ketika ingatan pada masa lalu menariknya. Walau sudah tak kebingungan mencari dana untuk Haekal seperti saat dulu, namun tetap saja, Hanna takut, Ia takut terjadi sesuatu yang buruk kepada putra semata wayangnya.

“Haekal...” Lirihnya lagi dengan isakan yang terdengar. “Hari ini saya nunggu kamu lagi Haekal di depan ruang operasi, dan masih sama seperti dulu, saya masih sendiri menunggu kamu keluar dari ruangan menyebalkan itu...” Sambung Hanna berbicara sendiri, menatap pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. “Kamu tau kan, Haekal? Saya selalu sendiri menanti kamu, dan... Saya mohon, jangan tinggalkan saya, ya? Saya gak punya siapa-siapa lagi kalau kamu gak ada... Mamah, gak ada siapa-siapa lagi, Nak...” Pandangan Hanna tertunduk lemas ketika menyelesaikan ucapannya barusan.

“Nak... Bertahan, ya?” Sambungnya lagi terdengar semakin memelan, dan yang terdengar lebih kencang hanyalah isakannya saja. Hanna sangat kalut dengan berbagai macam kemungkinan buruk yang menghantui pikirannya. Terlihat Hanna yang saat ini memukul-mukul lantai dingin tersebut tak karuan, dan dengan air mata yang tak henti-hentinya terjun bebas membasahi bajunya.

Tak begitu lama, terdengar kegaduhan ditelinga Hanna, ada suara langkah kaki yang terdengar amat tak tenang mendekatinya, dan beberapa teriakan berat dari petugas keamanan. Dengan sedikit gontai, Hanna berusaha bangkit agar tak ada yang mengatahui bahwa dirinya barusan terduduk lemas dilantai.

“Pak Jo! Saya bisa panggilkan pihak berwajib apabila bapak terus-terusan memaksa untuk masuk!” Terdengar suara Sarah yang meninggi, diiringi oleh sesosok yang berhasil menerobos masuk ke dalam ruang tunggu VVIP berhasil mengejutkan Hanna, sesosok itu adalah Jovan, yang berdiri terengah-engah menatap Hanna yang kebingungan dengan hadirnya Jovan di ruangan ini.

“Izinkan saya disini untuk menunggu Haekal, Hanna,” Ucap Jovan dengan segera ketika didapatinya Hanna yang berdiri dengan mata yang nampak sembab. Kedua lengan Jovan ditahan oleh petugas keamanan, namun, Jovan dengan kasar menepis petugas keamanan tersebut. “Saya mohon, Hanna...” Lanjutnya menatap Hanna, yang ditatap malah mengalihkan pandangannya kearah lain, seolah amat enggan bertemu dengan Jovan walau hanya dari tatapan mata saja.

“Pergi.” Jawab Hanna dingin, tak peduli dengan Jovan yang sudah memohon tadi. “Kamu gak ada urusan sama anak saya.” Lanjut Hanna memperjelas, dan masih enggan menatap manik pria yang sedang berdiri di depannya.

Baru saja Hanna hendak menjauh dan membiarkan petugas keamanan menarik Jovan, ada lengan yang menahan langkah Hanna. Sempat Hanna terdiam ketika merasakan hangat yang masih terasa sama dari genggaman tangan tersebut, sebelum pada akhirnya ia sadar dan segera menepis lengan tersebut secara kasar. Baru saja Hanna hendak menumpahkan kekesalannya terhadap Jovan yang sangat keras kepala, Jovan sudah terlebih dahulu berlutut dihadapan Hanna, dan menundukkan kepala serendah-rendahnya.

“Saya mohon, Hanna. Untuk kali ini tolong izinkan saya melihat keadaan Haekal. Berapapun itu akan saya bayar, apapun itu akan saya lakukan, asalkan saya bisa melihat keadaan Haekal. Saya mohon Hanna, maafkan saya, ampuni saya, tolong bantu saya untuk kali ini bisa menemani Haekal, saya enggak bisa kalau harus kehilangan Haekal lagi, Hanna...” Tanpa memedulikan lagi harga dirinya, Jovan memohon serendah-rendahnya kepada Hanna. Sarah dan petugas keamanan hanya terdiam dan terpaku menyaksikan itu, sedangkan Hanna hanya menatap kosong kedepannya.

“Untuk kali ini Hanna, saya mohon...” Masih Jovan memohon, seakan tak mengenal kata menyerah untuk Haekal. Hanna yang tadinya hampir termakan emosi, perlahan meluruh, yang terdengar hanya hembusan napas berat dari Hanna.

“Na...” Panggil Sarah pelan, seakan ingin mengetahui perintah Hanna selanjutnya. Hanna hanya balas menatap Sarah pasrah, dan memberi isyarat agar Sarah dan Petugas keamanan pergi meninggalkan ruang tunggu, dan membiarkan Jovan untuk menetap diruang tunggu.

Seakan tak percaya dengan keputusan Hanna barusan, Sarah kembali menatap Hanna untuk memastikan sekali lagi, Hanna hanya mengangguk untuk meyakinkan Sarah, setelahnya dengan ragu Sarah meninggalkan Hanna dan Jovan di ruang tunggu Operasi.

“Hanna, Makasih-” “Jangan mendekat, jangan bicara, apalagi melakukan yang lain. Saya muak dengan kehadiran kamu.” Hanna memotong ucapan Jovan dengan segera sebelum Jovan menyelesaikan ucapannya. Jovan hanya mengangguk dan tersenyum tipis setelahnya, sedangkan Hanna kembali duduk di kursi yang tersedia pada ruangan tersebut.

Sama sekali tak ada obrolan setelahnya, Jovan berdiri dan sesekali melirik penuh khawatir kearah pintu ruang operasi, dan Hanna yang hanya duduk, menunduk, memperhatikan tas sekolah Haekal yang diberikan oleh pihak polisi tadi. Jika saja tak ada Jovan, sudah dipastikan Hanna akan menangis sesegukan sembari memeluk tas sekolah anak semata wayangnya itu. Namun, Hanna harus terlihat kuat dan tangguh di depan lelaki yang meninggalkannya dulu, untuk membuktikan bahwa ia bukanlah wanita lemah setelah kepergian Jovan dari hidupnya.

“Jangan ditahan, Hanna,” Ucap Jovan pada akhirnya, terdengar sedikit ragu dan pelan. Hanna hanya menatap tak mengerti setelahnya, “Saya bisa lihat dari cara kamu mengepal tangan, Hanna.” Lanjutnya.

“Jangan berlagak paling tau segala hal.” Jawab Hanna sangat ketus sekali, sedangkan Jovan kembali tersenyum mendengar jawaban tersebut.

“Kalau mau menangis, silahkan aja, Hanna. Anggap saya gak ada disini. Saya cuma gak mau kamu terlalu menahan diri, yang timbul nantinya cuma sesak kalau kamu tahan terus.”

“Sesak? Hahaha saya gak merasa sesak sama sekali, yang ada cuma muak karena ada kamu.” Masih, jawaban tak bersahabat yang hanya keluar dari bibir Hanna. Jovan mengangguk mendengar itu, walau sebetulnya Jovan tahu bahwa Hanna saat ini hanya berpura-pura terlihat kuat dan berusaha menahan semuanya.

Tak lama setelah itu, terdengar bunyi dari sebuah pesan masuk dari Ponsel Hanna, dengan gerakan yang pelan, Hanna berusaha melihat pesan masuk tersebut, namun sayang, genggemananya terhadap Ponsel tersebut terlepas, ia merasakan tangannya seperti tak memiliki tenaga lagi barang sebentar untuk memegang ponselnya. “Ck!” Gerutu Hanna kesal.

Belum sempat Hanna mengambil ponselnya yang terjatuh, Jovan sudah terlebih dahulu meraih ponselnya, mengulurkan tangannya untuk memberikan ponsel tersebut kepada Hanna, dengan senyum hangat ciri khasnya. Hanna hanya memincingkan matanya dengan kesal, dan tak mau menerima ponsel tersebut. Jovan tertawa kecil melihat tingkah tersebut, dan akhirnya meletakkan ponsel Hanna tepat di bangku sebelah kanan Hanna yang kosong, karena ia paham, Hanna tak akan mau berurusan apapun lagi dengan Jovan, termasuk hanya untuk mengambil ponsel dari genggaman tangan Jovan.

“Saya izin duduk disini,” Ujar Jovan, dan langsung duduk di bangku sisi kiri Hanna.

“Jangan mendekat, atau saya-” “Kalau aja saya ada disana, mungkin Haekal gak akan ada diruang operasi sekarang. Saya gak masalah dihajar puluhan orang, bahkan untuk matipun saya gak masalah, Hanna. Dibanding harus lihat Haekal gak berdaya di dalam sana.” Tutur Jovan seolah melupakan janjinya untuk tidak mengeluarkan sepatah kata.

“Maksud kamu? Mau menyalahkan saya karena udah merekomendasikan untuk memecat kamu kepada yayasan?” Balas Hanna masih tak bersahaja, sedangkan Jovan terlihat tak mengerti dengan pertanyaan Hanna barusan. “Terlambat, Jo. Kamu itu udah terlambat untuk segala hal, jadi jangan berlagak seperti pahlawan kesiangan, saya makin muak dengar ucapan kamu jadinya.” Sambung Hanna lagi.

“Sedikitpun saya gak pernah kepikiran untuk salahkan kamu, Hanna. Dan benar, saya terlambat untuk Haekal,” Ada jeda yang Jovan beri, ia mengambil napasnya pelan sebelum melanjutkan perkatannya, “Dan, saya juga terlambat untuk kamu. Maksud saya, untuk kita.” Lanjutnya ragu.

“Kita? Masih bisa kamu anggap saya dan kamu itu 'kita' setelah apa yang udah kamu lakukan kepada saya?” Kali ini nada bicara Hanna meninggi, merasa sangat tak terima dengan ucapan Jovan barusan.

“Maaf, Hanna, ada banyak yang terjadi di masalalu yang membuat saya pergi tinggalkan kamu.”

“Apapun itu, kamu tetap brengsek, Jo. Kamu tinggalin saya sendiri setelah banyak janji yang udah kamu kasih. Mati-matian saya pertahankan Haekal, dan sekarang, kamu kembali. Seakan gak punya dosa, kamu berani menyebut 'Kita'. Kamu ini emang gak punya malu lagi, ya?” Emosi Hanna semakin menjadi, semua rasa takut, marah, kalutnya menjadi satu untuk diluapkan.

“17 Tahun lebih, Jo...” Sambung Hanna memelan, terdengar pelan isakan setelahnya. Hanna menangis, tak mampu lagi membendung air mata yang sedari tadi ia coba untuk tahan agar tidak tumpah.

“Maaf, Hanna...”

“BISA GAK MAAF KAMU BALIKIN DIRI SAYA YANG DULU LAGI? BISA GAK KATA MAAF KAMU SEMBUHIN LUKA HAEKAL YANG GAK PUNYA AYAH SEMENJAK LAHIR? BISA GAK MAAF YANG KAMU UCAPIN ITU BIKIN HAEKAL SADAR SAAT INI JUGA?! BISA GAK JOVAN?!” Hanna semakin meledak, seolah tak peduli lagi dengan sekitar yang bisa saja mendengar teriakannya, ia meluapkan semua emosinya kepada Jovan.

“Saya gak butuh maaf kamu! Maaf kamu gak akan bikin anak saya baik-baik aja. Kamu itu emang selalu terlambat dan gak bisa diharapkan, Jovan!”

“Kamu gak bisa balikin semuanya kayak awal lagi, kamu gak bisa bikin Haekal saya sadar saat ini, kamu gak bisa diandalkan, Jovan.” Tangis Hanna yang tumpah ruah membuat Jovan terdiam kaku, Jovan bisa rasakan betapa kacaunya Hanna saat ini. Sangat sulit pastinya bagi Hanna dihadapi oleh situasi sulit seperti saat ini, ketika melihat Haekal terbaring tak berdaya diruang operasi, ditambah lagi menunggu Haekal sadar bersama manusia yang paling ia benci selama ini sudah pasti membuat Hanna kacau dan tak terkendali.

“Haekal saya... Haekal saya gak akan sadar hanya dari kata maaf kamu itu... Haekal... anak saya, di dalam sana... Haekal kesakitan, kamu kemana? Haekal saya...” Hanna semakin tak karuan, tangisnya semakin pecah.

Dengan ragu, Jovan mendekatkan dirinya kepada Hanna. Tak ada kalimat yang bisa menenangkan Hanna, Jovan paham sekali dengan itu. Namun, tetap saja Jovan tak berani melakukan apapun. Hingga akhirnya, Jovan memberanikan diri membawa Hanna ke dalam dekapannya, dan menahan jemari Hanna yang nampak berusaha menyakiti dirinya dengan kuku jarinya yang panjang. Sama persis dengan Hanna yang ia temui menangis sesegukan 18 Tahun yang lalu ketika tertekan dengan kondisi keluarganya.

“Hanna, ada saya. Tenang, semuanya akan baik-baik aja, ada saya, Hanna.” Ucap Jovan membisikkan Hanna, tak peduli dengan penolakan Hanna. “Maaf, maaf saya lancang. Saya gak mau kamu terlalu kalut dan tanpa sadar menyakiti diri kamu sendiri. Maaf, Hanna...” Sambungnya, enggan melepaskan Hanna dari dekapannya.

“Brengsek! Jovan brengsek! lepasin! Kamu brengsek Jovan!” Hanna memukul-mukul semua bagian tubuh Jovan yang bisa ia jangkau saat berada dalam dekapan Jovan. Menumpahkan segala emosinya kepada Jovan.

“Iya, Hanna. Pukul saya sepuasanya, asalkan kamu gak sakitin diri kamu sendiri. Salahkan saya atas semuanya, lakukan apapun yang kamu mau lakukan kepada saya, saya terima.” Balas Jovan. Mendengar itu, Hanna semakin kesal, dan terus memukul Jovan tanpa henti. Tangis Hanna membasahi kemeja yang Jovan pakai, dan Jovan sangat tak masalah dengan itu. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah menenangkan Hanna yang terlalu kalut dengan keadaan.

“Hiks, brengsek, Jo!” “Tumpahkan Hanna, tumpahkan semuanya kepada saya.” Balas Jovan lagi.

“Haekal... Hiks... Haekal...” Isakan Hanna tak mereda, semakin menjadi ketika ia menyebut nama Haekal.

“Haekal akan baik-baik aja, Hanna. Haekal kuat, dia akan bangun, dan bisa lihat kamu lagi.” Ucap Jovan lembut, ia mengusap lembut punggung Hanna, berharap usapan tersebut masih terasa sama, masih bisa menenangkan Hanna seperti 18 Tahun yang lalu ketika mereka masih merajut kasih bersama.

“Saya gak mau Haekal pergi, saya gak ada siapa-siapa lagi. Hancur dunia saya nantinya.”

“Sstt sstt, bicara kemungkinan yang buruk hanya akan bikin kamu terpuruk, Hanna. Kita harus percaya sama Haekal, dia itu kuat.”

“Haekal...”

“Ada saya Hanna, kamu gak sendiri, ada saya yang akan terus temani kamu sampai Haekal sadar nanti. Ada saya... Saya disini, untuk kamu, untuk Haekal.” Jovan tak melepaskan pelukannya, Hanna juga sudah tidak memberontak lagi untuk dilepaskan. Hanna menumpuhkan tubuhnya kepada Jovan, dan masih menumpahkan tangisnya di bahu Jovan, seakan sedang melupa tentang apa yang terjadi diantara keduanya. Hanna hanya membutuhkan sandaran untuk saat ini, yang bisa menenangkannya dari rasa kalut yang acap kali menyerangnya.

Tangis Hanna perlahan memudar, isakannya yang tak beraturan perlahan ikut memelan. Jovan masih mengusap punggung Hanna, dan membisikkan kalimat-kalimat menenangkan di telinga Hanna. Keduanya seperti ditarik lagi pada masalalu, melupakan sejenak bagaimana rasa benci dan takut yang keduanya rasakan, untuk sejenak tenang, menunggu sang jagoan berjuang di ruangan sana.

“Maaf, permisi, Pak, Bu. Dengan wali pasien Haekal?” Sebuah suara menyadarkan keduanya, dan membuat keduanya bangkit untuk merespon suara tersebut.

“Iya saya Mamahnya.” “Saya Ayahnya.” Ucap keduanya bersamaan.

“Pak, Bu, Pasien kekurangan darah, dan kebetulan golongan darah pasien-”

“Saya, saya yang akan donorkan darah saya. O-, kan? Saya bisa, saya Ayahnya.” Dengan segera Jovan menghampiri suster tersebut untuk diarahkan ke ruangan transfusi darah, agar semakin cepat juga Haekal mendapatkan pertolongan.

“Baik, Pak, mohon ikut dengan saya.” Sebelum meninggalkan ruangan tersebut, Jovan kembali mengahampiri Hanna yang masih terdiam, dipegangnya kedua sisi bahu Hanna, ditatapnya lekat kedua netra Hanna yang sembab itu.

“Saya pergi dulu, ya? Saya mau bantu Haekal berjuang. Kamu disini dulu, kamu tenang, semua akan baik-baik saja. Percaya sama saya, ya?” Tutur Jovan lembut terdengar sangat meyakinkan, entah terhipnotis atau apa, Hanna mengangguk paham mendengar itu.

“Saya pastikan saya bisa menyelamatkan anak kita, Hanna. Doakan saja, saya pamit, saya janji secepatnya kembali. Doakan anak kita, Hanna.” Sambung Jovan lagi sebelum pergi meninggalkan Hanna sendiri.

Seperti 17 Tahun yang lalu, Hanna lagi dan lagi berhasil dibuat percaya dengan tutur lembut yang keluar dari bibir Jovan. Dahulu juga sama, Jovan menenangkannya dan berjanji akan kembali untuk membesarkan bayi mereka bersama-sama, namun ia tak menepati janjinya. Hanna harap, kali ini Jovan mampu menepati janjinya untuk berhasil menyelamatkan Haekal, yang bahkan tadi ia sebut dengan sebutan 'Anak Kita'.

“Jangan terlambat lagi untuk kali ini, Kak Jo...” Lirih Hanna pelan.

Jo

-Ara.