Jovan, Hanna, Haekal, dan Kesederhanaan.

Di dalam mobil yang terdapat Jovan, Jay, dan Hanna, terjadi ketegangan di antara mereka setelah mengetahui informasi bahwa Rudi berhasil melarikan diri, dan hingga sekarang belum dapat ditemukan. Walau berhasil menangkap Wisnu dengan waktu yang terhitung sangat cepat, berkat bantuan Theo Kuasa Hukum Tama, tetap saja mereka belum merasa tenang, selama Rudi belum ditemukan dan masih bisa berkeliaran.

Mobil yang mereka naiki, sudah hampir 10 menit terparkir di depan rumah yang nampak sangat sederhana, milik Jere− Teman Haekal dan Janu. Baik Jovan, Jay, maupun Hanna sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, sampai akhirnya terdengar suara pesan masuk dari ponsel Hanna beberapa kali, pesan tersebut berhasil membuat ketiga orang itu tersadar dari lamunan mereka.

“Dari Haekal,” pelan sekali suara Hanna terdengar, “Dari tadi chatnya belum dibalas, dari ketikan sih udah kelihatan banget khawatir sama kita.” lanjut Hanna lagi.

“Hanna, Jay, kita coba tenang dulu, deh, supaya nanti ketemu anak-anak, enggak bikin mereka khawatir. Haekal, Janu, pasti sekarang lagi bingung banget sama yang terjadi. Bisa, ya?” tutur Jovan berusaha tenang, ditatapnya secara bergantian Jay yang duduk di sampingnya, dan Hanna yang duduk di belakangnya. Jay saat itu juga segera mengangguk paham, namun Hanna, butuh beberapa detik untuknya menyetujui itu, karena perasaannya masih terasa berat sekali dengan fakta Rudi yang menghilang.

“Chat dari Haekal dibalas dulu, ya, Na? Jay juga, chat dari Janu lo bales.”

“Oke, ini gue bilang udah sampe depan rumah Jere, ye, Jo.” Jay segera mengikuti perintah Jovan barusan. Sedangkan Hanna, terlihat bingung menatap layar ponselnya, Jovan segera peka dengan itu, “Kenapa, Na?” tanya Jovan.

“Bingung harus balas gimana supaya keliatannya aku gak panik dan berusaha tenang.”

“Hmm, bilang aja kita semua enggak apa-apa, Haekal gak perlu khawatir, Mamah sama Ayah lagi mikirin mau makan malam apa hari ini sama Haekal, setelah itu bilang kita udah sampai di depan rumah Jere. Bisa, Dek?” lembut sekali tutur Jovan barusan, Jovan sadar, bukan hanya Haekal, Hanna pun saat ini harus ia tenangkan agar tak terlalu khawatir berlebihan. Semua yang terjadi di hari ini, pastinya sangat mengagetkan Hanna, ditambah lagi Rudi yang selalu ia percaya, ternyata selama ini mengkhianatinya, dan berusaha untuk menghancurkannya.

“Bisa, Na?” tanya Jovan sekali lagi, kemudian Hanna mengangguk pelan, dan jemarinya terlihat sedang mengetik pesan balasan untuk Haekal, dari kursi penumpang depan, Jovan mengulur tangannya untuk mengusap puncak kepala Hanna pelan, “Hebat Mamahnya Haekal hari ini.” ucapnya dengan senyum yang selalu memberikan efek menenangkan bagi siapapun yang melihat.

“Yuk, kalau sudah, kita turun dan bilang makasih ke orang tua Jere, habis itu langsung pulang, udah larut banget.” sambung Jovan memberitahu Hanna dan juga Jay.


Setelah berkenalan, sekaligus berpamitan dengan kedua orang tua Jere, mereka menuju mobil yang Jay pinjam dari temannya untuk menjemput Hanna ke Bandung. Saat mereka menemui orang tua Jere, nampak orang tua Jere sangat terkejut dengan kehadiran Hanna Hanasta di rumahnya, mereka tidak menyangka teman Jere adalah anak dari pengusaha yang sering kali muncul di layar kaca. Hanna, Jovan, dan Jay sangat berterima kasih kepada keluarga Jere, dan mengundang keluarga Jere untuk datang makan malam di rumah keluarga Hanasta di lain waktu nanti.

Jay dan Janu memutuskan untuk berpisah dari mobil tersebut, itu lantaran Janu yang membawa motornya saat ke rumah Jere, jadi Jay memutuskan pulang menggunakan motor tersebut bersama Janu. Yang tersisa saat ini di mobil hanyalah Jovan dan Hanna yang duduk di bagian depan, dan Haekal yang duduk di bangku belakang penumpang.

Sebenarnya saat pertama kali bertemu Hanna, Haekal langsung memeluk Hanna, selanjutnya memeluk Jovan, menandakan bahwa ia benar-benar khawatir dengan kedua orang tuanya yang tiba-tiba terlibat rencana besar dan juga membahayakan tanpa dirinya yang diikut sertakan. Jadi wajar saja apabila raut wajah Haekal masih terlihat tak tenang saat di dalam mobil, terlihat jelas oleh Jovan dari kaca spion tengah mobil.

“Makan apa ya, Na, kita?” tanya Jovan kemudian.

“Hah?” Hanna nampak tak paham, namun detik kemudian ia segera paham dengan maksud pertanyaan Jovan, “Hmm, makan apa, ya? Jam segini yang buka apa emangnya? Kayak Restoran gitu pasti udah tutup. Iya, gak, sih, Kal?” Hanna yang cepat membaca situasi, turut berusaha membuat suasana supaya tidak terasa tegang.

Haekal tidak menjawab dengan suara, ia hanya menaikkan kedua bahunya, menandakan tidak tahu.

“Hmm, ada, sih, yang masih buka. Tapi bukan Restoran, jauh juga dari kata mewah ...,” Jovan kembali menyauti.

“Apa, Kak?”

“Kayak makanan pinggiran, tapi enak banget, Na. Mau coba gak? Kalau mau−“

“Kalian− astaga, bisa-bisanya santai banget? Saya dari tadi khawatir di rumah Jere. Mamah enggak balas pesan, Ayah enggak angkat telpon. Dan sekarang, kita ketemu, yang dibahas malah mau makan apa.” protes Haekal tak tahan lagi, suaranya meninggi kali ini, terlihat sangat kesal, namun juga khawatir di waktu yang bersamaan.

Jovan dan Hanna saling memandang, hanya dari mata saja, mereka paham apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Haekal.

“Aduh sampai lupa, Na, jagoan belum di ucapin hebat buat hari ini.” ujar Jovan, semakin membuat Haekal merasa kesal.

“Ih, aku udah kok tadi di chat. Udah ‘kan, Kal?”

“Loh kok saya belum? Kok kamu duluan, Na? Saya kan juga mau bilang Haekal hebat.” Timpal Jovan terdengar mirip seperti sebuah protes, Hanna balas dengan kekehannya, benar-benar menutupi segala kepanikannya hari ini, agar sang Anak juga ikut tenang.

“Hebat anak Ayah, selalu hebat jagoan Ayah dan Mamah.” Lanjut Jovan dan menatap dengan sempurna Haekal yang ada di kursi belakang penumpang, begitupun dengan Hanna yang turut menatap Haekal dengan bangga.

“Ayah, Mamah baik-baik aja berkat kamu, Kal. Jadi, enggak perlu khawatir dengan apapun lagi, ya?” Lagi Jovan berusaha menenangkan Haekal.

“Saya takut, Mah, Yah, saya khawatir rumah hangat yang baru saja saya temui kembali hilang. Enggak tau bakal gimana hidup Haekal kalau sesuatu yang buruk terjadi dan kembali mengambil rumah Haekal yang baru saja lengkap.” Tak bisa Haekal sembunyikan lagi kekhawatirannya, bahkan dari matanya saja saat ini sudah tergambar dengan sangat jelas ketakutan tersebut.

Tangan Hanna terulur, kemudian diusapnya dengan lembut jemari Haekal yang terasa dingin, disusul juga dengan Jovan yang melakukan hal sama, ikut mengusap jemari anaknya itu.

“Rumah hangat kamu itu kuat, Kal, sama halnya dengan kamu, jadi saya dan Ayah kamu enggak akan semudah itu untuk pergi tinggalin kamu. Buktinya sekarang, Mamah dan Ayah berhasil jemput kamu, jadi, enggak perlu terlalu khawatir lagi, ya? Baik Mamah, dan juga Ayah akan selalu kuat untuk terus ada sama kamu, Kal.” Tutur Hanna lembut, sangat menenangkan bagi siapapun yang mendengar kalimatnya. Jovan tersenyum sembari mengangguk menanggapi kalimat Hanna barusan.

Haekal terdiam, pandangannya jatuh kepada kedua tangan orangtuanya yang dengan setia mengusap jemari dinginnya, yang bahkan dengan ajaibnya berhasil membuat Haekal merasa hangat dan tenang. Perlahan, butiran bening terjatuh dari kedua netra Haekal, dan tepat mengenai kedua tangan orang tuanya itu. Bersamaan dengan tetesan bening itu, perlahan tergambar lengkungan senyum nan hangat di bibir milik Haekal. Sederhananya, senyuman haru terhias di wajahnya saat ini.


Setelah hampir setengah jam mereka mengelilingi sudut kota untuk mencari restoran yang masih buka di jam setengah satu pagi, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di salah satu tenda sederhana bertuliskan “Pecel Lele dan Seafood”.

Sempat Hanna ragu untuk turun dari mobil, karena sama sekali ia belum pernah mencoba mencicipi makanan di pinggiran seperti yang ada di depannya saat ini.

“Belum pernah, ya?” tanya Jovan seakan langsung mengerti dengan arti dari tatapan mata Hanna yang nampak amat ragu. Haekal sudah turun duluan, dan segera duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana, sedangkan Hanna masih di dalam mobil, sembari menunggu Jovan memarkirkan mobil dengan posisi yang mantap.

“Eh? Iya, belum pernah ...,” jawab Hanna terdengar canggung. Jovan terkekeh pelan mendengar jawaban itu, kemudian ia mencondongkan tubuhnya mendekati Hanna, tangannya terulur untuk membuka seatbelt Hanna dengan sangat hati-hati.

“Maaf, ya, Na, jam segini enggak ada restoran atau tempat makan mahal yang masih buka. Dan juga Haekal kayaknya udah lapar, jadi, kalau terus-terusan putarin kota, takutnya malah sakit lambungnya, dan kamu juga pasti udah lapar ‘kan?” tak lama setelah kalimat itu Jovan ucap, terdengar bunyi kroncongan dari perut Hanna yang sudah sangat lapar, seketika Jovan tertawa mendengar itu, begitupun dengan Hanna yang ikut tertawa sembari menunduk malu.

“Yuk.” Ajak Jovan, dan dibalas dengan anggukan oleh Hanna, baru saja Hanna hendak membuka pintu mobil, tangannya segera ditahan oleh Jovan.

“Tunggu, biar saya yang bukain pintunya,” tahan Jovan, selanjutnya turun dari mobil, dan berlari kecil untuk membukakan pintu mobil untuk Hanna.


Di depan mereka kini sudah terhidang berbagai menu dari warung pecel yang mereka pesan. Terdapat beberapa potong ayam goreng, bebek goreng, sampai dengan lele goreng yang tersaji hangat, tak lupa dengan es teh manis yang disuguhkan untuk mereka. Haekal nampak bersemangat sekali mengambil ayam goreng pesanannya, dari manik matanya nampak jelas bahwa Haekal tak sabar ingin segera menyantap pesanannya itu. Berbeda dengan Hanna yang terlihat bingung, kedua alisnya yang bertaut, masih tak yakin dengan hidangan yang ada di depannya.

“Kamu mau Ayam, Bebek, atau Lele, Na?” tanya Jovan hendak mengambil salah satu lauk untuk diletakkan di dekat nasi hangat milik Hanna. Namun sepertinya, Hanna masih sangat ragu untuk memilih salah satu dari itu, tak yakin ia akan menyukai santapan yang ada di hadapannya.

“Ayam aja, Yah, Mamah sukanya Ayam.” Jawaban tersebut malah dilontarkan oleh Haekal sembari menyantap lahap makanannya. Hanna hanya tersenyum malu, kemudian mengangguk ragu setelahnya, membenarkan jawaban Haekal barusan.

“Nanti kalau enggak enak, atau kamu gak bisa makannya, saya carikan makanan lain, ya?” respon Jovan, mengerti sekali dengan arti dari setiap tatapan Hanna.

“Enak, Mah, cobain dulu deh.” Kembali Haekal berusaha meyakinkan Hanna, karena tak enak, Hanna mencoba untuk meyakinkan dirinya, dan mengambil satu potongan ayam goreng yang ada di depannya.

Saat Hanna hendak mencicipi ayam goreng tersebut, secara dramatis pandangan Haekal dan Jovan tertuju kepada Hanna, mereka terlihat sangat penasaran dengan reaksi Hanna setelah mencicipi ayam goreng itu. Hanna dengan penuh ragu perlahan memakan ayam goreng itu, dan pelan-pelan menguyahnya.

“Enak ‘kan, Mah?” tanya Haekal penasaran, begitupun dengan Jovan yang ikut menanti jawaban dari Hanna. Namun, setelah mencicipi ayam goreng itu, Hanna seketika terdiam dan menatap bingung ke arah makanannya.

“Na?” panggil Jovan mulai panik, mengira bahwa Hanna benar-benar tidak bisa makan di pinggiran seperti ini. “Saya carikan makanan yang lain, ya?” lanjut Jovan, ia berdiri dari kursinya, bersiap untuk mencarikan Hanna makanan yang lain, walau entah akan kemana ia cari makanan lainnya di jam yang selarut ini.

“Kak ...,” tiba-tiba Hanna menahan lengan Jovan untuk tidak beranjak pergi, “Dua, Kak ....” lanjutnya ambigu.

“Iya, Na?” respon Jovan tak paham dengan maksud Hanna barusan.

“Tambah lagi ayamnya dua, boleh?” jelas Hanna nampak malu-malu, Jovan menatap tak percaya ke arah Hanna yang tersipu malu, begitupun dengan Haekal yang sempat menghentikan kegiatan makannya saat mendengar sang Mamah meminta tambahan ayam lagi.

“Gapapa, kan?” tanya Hanna ragu karena tak kunjung diberi respon oleh Jovan.

“Boleh banget, Na! sebentar, ya, saya pesankan dulu, kamu habiskan aja dulu yang sudah dipesan, tunggu sebentar ya!” jawab Jovan penuh semangat, dan dengan segera menghampiri bapak penjual untuk menyiapkan pesanan selanjutnya.

“Enak, kan, Mah, hahaha.” Terdengar tawa renyah Haekal, saat dilihatnya sang Mamah sangat menikmati ayam goreng yang sempat diragukan cita rasanya.

“Mamah gak nyangka makanan pinggiran gini ternyata enak, Kal.”

“Nanti Ekal sama Ayah ajak ke tempat lainnya yang gak kalah enak, ya, Mah!” seru Haekal sangat antusias, dan juga dibalas dengan anggukan penuh semangat oleh Hanna. Jovan yang melihat itu dari kejauhan seketika tersenyum penuh arti, hatinya terasa hangat melihat yang ada di depannya saat ini, dalam hati ia berprasangka, mungkin hidup mereka akan sangat indah apabila sudah bersama dari tujuh belas tahun silam.

“Ayah ayo makan!” panggil Haekal menyadarkan Jovan dari lamunan sesaatnya, Jovan pun mengangguk, dan melangkahkna kakinya kembali ke arah meja makan, dan mengambil posisi duduk di samping Haekal. Mereka persis seperti keluarga kcil yang sangat harmonis, dengan Haekal yang duduk di tengah Hanna dan Jovan, sesekali keduanya memperhatikan Haekal yang sedang lahap menyantap makanannya, dan kemudian saling curi-curi pandang dan tersenyum salah tingkah setelahnya.

“Ekhem,” deham Haekal menyadari kedua orangtuanya sedang curi-curi pandang, “Kalo kata Reno, iya deh iya dunia milik kalian berdua, yang lain cuma ngontrak.” Sontak ucapan tersebut berhasil membuat Jovan dan Hanna tertawa cukup lama.

Hingga pada akhirnya Jovan merangkul Haekal, kemudian berkata, “Salah, bukan dunia hanya milik berdua, tapi dunia milik kita bertiga. Saya, kamu, Hanna, itu satu kesatuan, jadi enggak boleh dipisah, dan salah satunya gak boleh ngontrak.” Tutur Jovan meluruskan, dan segera disetujui Hanna melalui sebuah anggukan.

“Makanya bersatu lagi dong, biar bener-bener jadi satu kesatuan.” Celetuk Haekal, Hanna sedikit terbatuk karena tersedak saat mendengar celetukan itu, dengan sigap Jovan mendekatkan gelas yang berisikan air hangat untuk Hanna minum.

“Lagi berusaha, Kal, doakan Ayah, ya?” bisik Jovan kepada Haekal, namun bisikan itu tak terlalu pelan, seakan sengaja agar Hanna juga dapat mendengar bisikan Jovan barusan. Senyum kecil tergambar di bibir Hanna saat mendengar itu, dalam hati ia ikut berdoa agar usaha Jovan direstui juga oleh semesta, karena sekuat apapun usaha mereka untuk kembali bersama, apabila semesta belum merestui juga, akan jadi hal yang sulit dan juga menyakitkan bagi mereka untuk kembali merajut cinta.

“Selalu, doa terbaik selalu Haekal panjatkan untuk dapat rumah yang selama ini Haekal impikan, Ayah.”

Malam itu Hanna belajar, bahwa kesederhanaan dapat memberikan rasa bahagia yang teramat dalam, terbukti dengan makanan di pinggir jalan yang berhasil membangkitkan nafsu makan Hanna yang biasanya tak pernah tergugah. Bahkan Hanna berhasil menghabiskan semua tambahan menu yang ia pesan. Ditambah lagi, makan malam kali ini ditemani oleh Jovan dan Haekal, dua orang lelaki yang yang menjadi definisi cinta dan kasih sayang dalam hidupnya. Kesederhanaan dari Jovan, berhasil membuat Hanna kembali merasakan bahagia sesungguhnya, yang selama belasan tahun ini sudah pudar dan samar ia rasakan.


“Mah, Haekal naik bis aja, ya, supaya Mamah gak telat kalau antar ke sekolah Haekal dulu.” Ujar Haekal hendak berpamitan setelah selesai mengenakan sepatu sekolahnya. Hanna yang sedang duduk sembari melihat-lihat dokumen melalui iPad miliknya, langsung memberi kode kepada Haekal melakui tangannya, untuk tidak melanjutkan langkah kakinya menuju pintu rumah, ”Sebentar, tunggu 1 menit lagi, kamu ke sekolahnya sama Mamah.” Titah Hanna, masih dengan pandangannya yang terfokus pada layar iPadnya.

“Kalau Mamah antar Haekal dulu, bisa-bisa Mamah kejebak macet parah di persimpangan deket sekolah, Mah, nanti takutnya Mamah malah telat datang meetingnya.”

“Kalaupun telat, emang kenapa? Enggak ada yang punya kuasa buat marahin Mamah juga, kan?” jawab Hanna, kemudian ia menutup layar iPadnya, dan beranjak dari duduknya untuk menghampiri Haekal.

Meeting sepenting apapun itu, enggak ada artinya, Kal, kan Mamah udah bilang, kamu akan selalu jadi prioritas utama Mamah.” Tambah Hanna lagi dengan mengusap lembut bahu anaknya. “Yuk, Mas Adi udah nunggu di depan.” Ajak Hanna merangkul anaknya. Haekal terenyum lebar, dan mengikuti langkah kaki Mamahnya.

“Makasih, ya, Mah.” Gumam Haekal pelan, Hanna yang mendengar itu lantas tersenyum tulus kepada Haekal. Namun siapa sangka, saat mereka membuka pintu rumah, sudah berdiri sesosok lelaki dewasa, mengenakan setelan yang rapih untuk mengajar, siapa lagi jika bukan Jovan.

“Kak?”

“Ayah?” respon Hanna dan Haekal hampir bersamaan. Jovan sama sekali tidak menghubungi mereka sebelumnya, bahkan saat malam tadi pun Jovan tidak memberitahu akan datang ke rumah di pagi hari.

“Hai?” sapa Jovan terdengar canggung, begitupun dengan bahasa tubuhnya yang sangat memperlihatkan kecanggungan dan keraguan, “Maaf enggak kasih tau dulu, rencananya mau sok-sokan surprise buat antar kalian, tapi waktu dijalan tadi saya sadar, kayaknya masih belum pantas ajak kalian naik mobil yang bahkan AC-nya aja enggak kerasa dingin.” Tutur Jovan, mendengar itu, pandangan Haekal dan Hanna segera tertuju kepada mobil sederhana bewarna silver milik Jovan yang terparkir tepat di samping mobil mewah milik Hanna.

“Lain waktu aja mungkin, ya? Tunggu saya mampu−“

“Yuk! Haekal duduk di belakang, ya!” belum sempat Jovan menyelesaikan ucapannya, Haekal sudah terlebih dahulu berjalan menuju mobil sederhana milik Jovan.

“Yuk, Kak?” ajak Hanna yang hanya dibalas dengan tatapan tak percaya oleh Jovan, “Keburu telat nih nanti, ayo?” lanjutnya lagi.

“Tapi, Na, mobilnya−“

“Lebay, deh. Ayo!” seru Hanna kemudian menarik tangan Jovan agar segera berjalan bersamanya menuju mobil tersebut. Rasa tak percaya diri Jovan perlahan menghilang, dengan penuh semangat ia membukakan pintu mobil untuk Hanna, kemudian menyalakan mesin mobil, siap untuk memulai perjalanan di pagi hari mereka.

“Ini mobil siapa, Yah?” tanya Haekal penasaran.

“Mobil Ayah, Kal ..., baru sanggup beli yang seperti ini, belum bisa beli yang baru untuk saat ini,” jawab Jovan menjelaskan.

“Wih keren. Keren banget, ya, Mah? Nanti besok-besok kita berangkat diantar Ayah aja.” balas Haekal antusias.

“Mau! Boleh gak, Kak?” tanya Hanna menatap penuh harap kepada Jovan.

“Ya boleh ..., tapi ..., apa gak apa-apa?”

“Ya enggak apa-apa, emang kenapa?”

“Mobilnya jelek, Na, AC juga gak kerasa, belum lagi kalau antar kamu ke kantor, apa enggak ditertawakan karyawan kamu kalau turun dari mobil seperti ini?” jawab Jovan penuh khawatir, Hanna menghela napasnya saat mendengar penjelasan tersebut, kemudian menoleh ke Haekal.

“Kal, kasih tau Ayahmu itu, siapa yang berani ketawain Mamah di kantor?”

“GAK ADA LAH!” respon Haekal dengan suara yang terdengar lebih kencang dari biasanya. Jovan terkekeh mendengar itu, begitupun dengan Hanna yang mengedipkan sebelah matanya kepada Jovan.

“Tapi AC-nya gak kerasa, gak apa-apa?”

“Gak apa-apa!!!” jawab Hanna dan Haekal bersamaan, sangat kompak sekali.

“Terima kasih, ya?” lirih Jovan, berusaha menahan harunya. Jovan bisa lihat dengan jelas bagaimana keringat mulai membasahi dahi Hanna. Begitupun dengan Haekal yang mulai membuka kancing atas bajunya, sangat jelas Jovan sadari mereka merasa panas berada di dalam mobil ini. Namun, tak sedikitpun mereka mengeluh akan hal itu, mereka tersenyum dan menunjukan bahwa benar-benar menikmati perjalanan menggunakan mobil sederhana milik Jovan. Hanna dan Haekal benar-benar menghargai usaha Jovan, tanpa sedikitpun berkomentar atas kekurangan Jovan.

“Nanti jemput, ya, ke kantor. Sekalian kalian pulang dari sekolah.”

“Loh, Mamah biasanya selesai kerja malem.” Haekal terlihat heran dengan Mamahnya.

“Iya, Na, biasanya kamu pulang malam. Saya sama Haekal pulang dari sekolah sore, loh, sekitar jam empat.”

“Mau pulang lebih awal, supaya bisa makan malam sama kalian lagi.” Jawab Hanna, “Opor ayam buatan Mamah, gimana, Kal?” tanya Hanna kepada Haekal.

“Deal!” jawab Haekal, “Ayah harus cobain opor ayam buatan Mamah, enak banget! Gak ada tandingannya!” Haekal dengan antusias memajukan badannya, agar semakin dekat dengan Jovan yang sedang mengemudikan mobil.

“Kal ...,” panggil Jovan pelan, “Sebelum kamu, saya udah duluan cobain opor ayam buatan Hanna ..., belasan tahun yang lalu ...” Haekal yang mendengar itu, seketika kembali menyandarkan punggungnya pada kursi mobil.

“Iya iya iya, lupa kalian dulu pernah pacaran.”

“Eh, kok pernah?” tanya Jovan seperti tak terima.

“Ya kan emang?” Jawab Haekal lagi.

“Bukan pernah, Haekal, tapi, masih, soalnya belum pernah putus. Iya, kan, Na?”

“Hah?” respon Hanna terkejut.

“Masih mau?” tanya Jovan lagi, sedangkan Haekal yang berada di belakang mereka, nampak penasaran dengan apa yang akan Hanna jawab.

“Mau apa? Pacaran?”

“Jadi istri saya, Na. Haekal marah kalau cuma jadi pacar aja.”

“Eh?”

“Mau, ya?”

pecel

-Ara.