Kasih sayang Nenek

Di Kafe milik Jay, seorang Anak dan Ibu itu bertemu. Ditemani dengan dua cangkir berisikam minuman hangat di depan mereka, yang satu memilih kopi, yang satu lagi memilih teh manis. Untunglah saat ini keadaan Kafe milik Jay sedang sepi, sehingga Anak dan Ibu itu dapat leluasa membahas permasalahan yang ada tanpa harus khawatir ada orang lain yang akan penasaran mendengar perbincangan mereka.

Baik Jovan maupun Ibunya masih memilih diam, keduanya terlihat bingung dan ragu untuk memulai perbincangan, bahkan minuman yang mereka pesan sudah tak terlihat lagi uap panasnya, seakan lelah menunggu kedua insan ini berbicara. Sedari tadi yang terdengar hanyalah helaan napas berat Jovan saja, serta bunyi klakson mobil dan motor di luar sana.

Sang Ibu sangat mengerti, saat ini Jovan sedang menahan emosi yang ada, baik itu rasa marah, ataupun kecewanya kepada Ibunya.

“Jo…” Pada akhirnya Sang Ibu-lah yang mencoba memulai obrolan, dengan memanggil Jovan dengan suara yang terdengar amat ragu. Jovan yang daritadi tak mampu menatap manik mata dari Ibunya, perlahan menaikkan pandangannya, berusaha tersenyum kepada sang Ibu, meski amat berbeda dengan senyum Jovan sebelum-sebelumnya, kali ini terlihat sedikit dipaksa, dan juga terbesit kecewa dari tatapan matanya yang tak mampu untuk disembunyikan.

“Ibu pulang, yuk? Ibu ‘kan sudah lama banget enggak pulang. Azalea kangen sama Ibu, selalu tanya kapan Ibu pulang.” Pinta Jovan kepada Ibunya.

“Nak, Ibu minta maaf, ya?”

“Pulang, ya, Bu? Mau, ya? Jovan yang kerja, Ibu sudah tua, sudah waktunya istirahat.” Lagi, Jovan malah meminta Ibunya untuk berhenti bekerja, tanpa menyinggung permasalahan yang mereka bicarakan sebelumnya via pesan.

“Maafkan Ibu, Jo… Ibu jahat sekali ya, Nak? Belasan tahun menutupi fakta sebesar ini, maafkan Ibu, Jo,” Ucap Ibunya, tak memedulikan permintaan Jovan barusan yang terkesan berusaha mengalihkan pembicaraan, mencari aman agar emosinya tak tumpah yang dapat menyakiti hati Ibunya.

“Bukan mau Ibu buat tutupi ini semua, keadaan yang memaksa Ibu melakukan dan menyembunyikan ini dari kamu.” Sambung sang Ibu terdengar berat, menandakan bahwa ini semua ia lakukan karena keadaan yang memaksa, bukan atas kehendaknya sendiri.

Jovan diam, tak merespon apapun, pandangannya kembali tertunduk, sudah tak ada lagi senyum yang terukir dari bibirnya itu, jemarinya kini sibuk memainkan sendok untuk mengaduk kopinya yang sudah tak panas itu.

Setelah beberapa menit hanya hening, akhirnya Jovan kembali menatap sang Ibu, pandangannya lekat tertuju ke arah dua bola mata sang Ibu, seperti ingin memastikan bahwa tak ada lagi kebohongan yang Ibunya sembunyikan.

“Tapi kenapa, Bu?” Tanya Jovan pada akhirnya. Satu kalimat yang merupakan inti dari semua pertanyaan Jovan selama ini. “Ibu tau gimana rasa bersalah Jovan kepada Janin itu, ‘kan? Belasan tahun hidup Jovan gak tenang, Bu, bahkan untuk tidur aja rasanya gak nyaman karena rasa bersalah setelah Jovan tau kalau Hanna hidup sendiri, tanpa ada anak yang dia kandung.” Lanjutnya bertanya. Kekecewaan jelas terlihat saat ini, rasa kesal, dan juga sedih bercampur menjadi satu. Tapi untungnya, Jovan diberkati Tuhan dengan sifat tenang yang sungguh luar biasa. Walau merasa sangat kecewa, Jovan masih memberi ruang dan waktu untuk Ibunya menjelaskan semua, tanpa sedikitpun memaki atau berucap kasar kepada Sang Ibu.

“Keadaan yang memaksa Ibu? Keadaan yang seperti apa, Bu? Separah apa keadaan yang membuat Ibu tega menyembunyikan fakta anak Jovan, dan membuat Ibu merelakan diri menjadi pembantu di rumah yang paling membahayakan kita itu, Bu?” Tumpah semuanya, akhirnya berhasil ia sampaikan semua tanda tanya yang meresahkan dirinya.

“Jo, kepergian Bapak sama Kakak kamu sangat membekas bagi Ibu, begitupun pastinya untuk kamu. Berawal dari Kakakmu yang dipecat dari perusahaan itu, padahal saat itu, Kakak kamu yang bisa kita harapkan untuk bantu pengobatan Bapak. Tapi, tiba-tiba Kakakmu dipecat, dan kita baru tau, kalau perusahaan itu masih milik keluarga Hanasta. Sampai akhirnya Bapak enggak bisa bertahan lagi, Jo, Bapak meninggal. Enggak sampai situ, Kakakmu cerai sama suaminya, saat itu Kakakmu lagi hamil, ditambah lagi kondisi ekonomi keluarga kita semakin anjlok. Sampai akhirnya Kakak kamu…” Ucapan Ibu Jovan terhenti, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, terlalu perih untuk mengungkit lagi bagaimana masa lalu yang membuat anak sulungnya itu menyerah akan kehidupan bersama dengan sang cucu pertama yang saat itu masih menjadi janin berusia 5 bulan.

Derai air mata sudah berjatuhan dari pelupuk mata sang Ibu, beberapa titihannya nampak jatuh mengenai sisi meja bulat itu. Keadaan sekitar terasa dingin dan menusuk setelah sang Ibu mengungkit kejadian masa lalu yang selalu mereka berdua hindari untuk dibahas lagi. Tak hanya Sang Ibu, Jovan pun mulai merasakan panas di matanya, dan tangannya mulai mengepal keras kala ingatan masa lalu itu kembali ia dengar yang terasa sangat tak adil bagi keluarganya.

“Dendam yang membawa Ibu ke rumah itu, Jo,” Sang Ibu pada akhirnya mengaku, Jovan menatap tak percaya kepada sang Ibu.

“Bu?” Respon Jovan tak percaya, seperti memastikan kembali bahwa barusan ia sedang tidak salah dengar.

“Seketika hidup keluarga kita hancur, Nak, bohong kalau Ibu enggak menyimpan dendam kepada keluarga Hanasta. Memangnya kita salah apa? Memangnya enggak cukup memisahkan kamu dan Hanna, sampai tega hati mereka hancurkan keluarga kita.”

“Ibu berusaha masuk ke rumah itu, tapi susah. Tapi sesusah apapun itu, Ibu tetap berusaha, Jo. Bahkan kalau nyawa Ibu taruhannya, Ibu rela. Supaya mereka gak bisa ganggu kamu lagi nantinya.”

“Sampai akhirnya, ada berita pesawat yang ditumpangi orangtua Hanna jatuh, dan keduanya dinyatakan meninggal. Ibu masih punya keinginan untuk masuk ke dalam rumah itu, Jo. Mungkin petunjuk dari Tuhan juga, enggak lama dari itu, ada kabar kalau Hanna membutuhkan darah O-, ibu enggak pikir panjang, langsung menggunakan kesempatan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah itu, karena Ibu tau, golongan darah itu sangat sulit ditemukan. Mungkin Jo ingat, dulu Ibu pernah mendadak meminta Jovan donorkan darah, masih ingat?” Tanya Ibunya, Jovan mengangguk, menandakan bahwa ia ingat kala itu.

“Mungkin karena Ibu terlalu fokus dengan dendam Ibu, sampai-sampai Ibu enggak kepikiran, Jo, siapa si penerima darah itu, Ibu enggak terpikir kenapa bisa Hanna mencari golongan darah yang sama dengan kamu. Yang ada di pikiran Ibu hanyalah bagaimana cara bisa masuk ke dalam rumah itu, dan bekerja di sana, untuk membalaskan dendam yang Ibu pendam sendirian.”

“Darah itu untuk Haekal?” Tanya Jovan, ia segera menangkap maksud dari Ibunya. Segera Sang Ibu mengangguk, mengiyakan pertanyaan Jovan barusan menjadi sebuah pernyataan fakta.

“Ibu membuat kesepakatan bersama Hanna, Ibu memberikan donor darah, dan Hanna mengizinkan Ibu bekerja di sana, barulah Ibu bisa melihat si penerima darah kamu, Jo. Ibu kaget sekali melihat anak kecil itu terbaring di rumah sakit, dan yang lebih mengagetkan Ibu, anak itu mirip sekali dengan kamu semasa kecil. Haekal kecil, Jo, cucu Ibu, anak kamu…” Ungkap sang Ibu membeberkan yang sebenarnya terjadi saat itu. Untunglah saat itu Jovan bersedia mendonorkan darahnya walau tak diberi tahu oleh sang Ibu kepada siapa diperuntukkannya darah itu, setidaknya kala itu Jovan mampu menyelamatkan Haekal kecil walau ia tak menyadari.

“Ibu diminta tanda tangan perjanjian yang melarang Ibu memberitahu publik bahwa Hanna sebenarnya punya anak. Jo… Campur aduk perasaan Ibu saat itu, mau menangis juga enggak bisa, takut Hanna curiga sama Ibu. Saat itu juga, dendam yang Ibu rencanakan runtuh seketika, yang ada di pikiran Ibu hanyalah Haekal, Jo, Ibu mau turut serta membesarkan Haekal, dan memberikan Haekal kasih sayang seorang Nenek, walau harus berperan sebagai pembantunya.” Ujar sang Ibu, mengakhiri penjelasannya. Sakit seakan menyerang hati Jovan, bagaimana tidak, cinta pertamanya di dunia ini sekaligus wanita yang paling ia hormati harus dianggap pembantu oleh Cucunya sendiri.

“Ibu bisa kasih tau Jovan saat itu juga, enggak perlu Ibu merelakan tenaga dan harga diri Ibu untuk kerja di sana, Jovan bisa cari jalan lain untuk kebahagiaan Haekal.” Tutur Jovan masih menyayangkan pilihan Sang Ibu di masa dulu.

“Jo, berbahaya sekali. Baik untuk kamu, maupun untuk Haekal. Meninggalnya kedua orang tua Hanna, bukan berarti pertanda kamu dan Haekal akan aman. Kamu adalah ancaman bagi keluarga besar Hanasta, adik dari Ayahnya Hanna masih ikut serta mempengaruhi Hanna, dan memantau perusahaan Hanna. Mereka itu jahat, Jo, semua yang mereka anggap sebagai ancaman, dengan sangat mudah akan mereka singkirkan. Ibu gak mau itu terjadi.” Jawab Ibunya, Jovan tampak masih tak setuju dengan jawaban itu, terlihat dari cara ia yang saat ini memijit dahinya sembari memejamkan paksa matanya berkali-kali.

“Bu,” Ditatap lagi oleh Jovan Ibunya, “Ibu kan tau, nyawa-pun rela Jo beri, Bu, demi jagoan yang selama ini Jovan harapkan. Hanya sekedar Om-nya Hanna, Jovan enggak takut, Bu.” Kali ini nada bicara Jovan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, walau masih terkontrol dengan apik emosinya di hadapan sang Ibu.

“Iya, Ibu tau, Jo. Begitupun dengan Ibu yang rela mati demi Haekal. Tapi, kalau kamu dan Ibu enggak ada nanti, siapa yang bisa menjamin Haekal? Kita ada aja Haekal banyak merasakan derita, apalagi kalau enggak ada, Jo. Pernah kamu berpikir sampai ke sana?” Timpal sang Ibu berhasil membungkam Jovan seketika, kalimat barusan menyadarkan Jovan akan kemungkinan dari keadaan Haekal nantinya.

“Kamu enggak bisa jamin itu, ‘kan? Sama halnya dengan Ibu, kalau Ibu kasih tau kamu, dan kamu berusaha untuk ketemu Haekal, setelah itu tercium oleh Hanna, dan identitas asli Ibu diketahui mereka, kita bisa hancur, Jo. Mereka benar-benar anggap kita ini ancaman untuk citra perusahaan mereka. Kita hanya akan mati konyol, tanpa bisa melihat Haekal, dan menjaga Haekal dari lingkaran setan keluarga Hanasta.”

“Memang Hanna itu anak yang baik, Jo, Ibu percaya itu. Tapi, orang-orang di sekitar dia itu kejam. Maaf untuk bilang ini, tapi, Hanna persis seperti Boneka selama ini. Baru akhir-akhir ini Hanna berani melawan Om dan keluarga lainnya, kalau dulu di awal kematian orang tuanya, Hanna enggak lebih seperti Boneka yang digerakkan langkah dan tingkahnya.”

Setelah itu, kembali hening menghampiri mereka, obrolan seketika terhenti, Jovan hanya memandang kosong ke arah kaca yang memperlihatkan jalanan yang mulai diguyur hujan, pikirannya bercabang, sebagian memikirkan betapa bercandanya dunia ini mempermainkan kehidupannya dan sang Ibu, sebagian lagi memikirkan masa lalu yang menimpa Haekal dan Hanna, sampai-sampai Ibunya mengatakan bahwa Hanna mirip sekali Boneka yang dimainkan. Kepalanya terasa pening sekali memikirkan itu semua, Jovan benar-benar frustasi dengan semua yang menimpanya, candaan semesta kepadanya sungguh tidak main-main.

Dirasa oleh Jovan tangannya diusap oleh sang Ibu, pandangan Jovan yang tadinya fokus memperhatikan jalanan perlahan menunduk, melihat bagaimana tangan dengan kulit yang sudah mulai mengeriput itu mengusapnya.

“Maafkan Ibu, Jo. Kamu enggak salah kalau anggap Ibu kejam, kamu juga berhak marah kepada Ibu. Maafkan Ibu, ya? Hanya ini yang bisa Ibu lakukan untuk kamu dan Haekal.” Sangat lembut sekali suara Sang Ibu meminta maaf kepada Jovan.

“Belasan tahun ini Ibu jarang pulang, Ibu menghabiskan waktu di rumah itu bersama cucu Ibu. Sebisa mungkin Ibu mendidik Haekal agar menjadi pribadi yang baik seperti kamu, Jo. Kasian Haekal, kehilangan kasih sayang dari Ibunya karena keadaan, bergaul juga terbatas, Jo, karena dia sadar, kalau hadirnya dia mengancam citra dari Ibunya.”

“Ibu yang ajarkan Haekal bertutur kata, Ibu juga yang ajarkan Haekal bagaimana cara menyayangi Mamahnya seperti cara kamu menyayangi Ibu. Walau terbatas karena peran Ibu yang hanya sebatas pembantu, setidaknya Ibu bisa mengajarkan Haekal beberapa hal dalam kehidupan, Jo, Haekal juga tumbuh jadi pribadi yang baik, walau mungkin sikap dia dingin, karena memang kasih sayang sangat minim dari keluarganya.”

“Memang berat rasanya, Jo, kadang kala Ibu mau peluk Haekal, tapi Ibu gak bisa, Ibu terbatas dengan status pembantu yang melekat. Tapi, kalau enggak seperti itu, bagaimana lagi cara Ibu membantu kamu untuk bisa mendidik Haekal? Maafkan Ibu ya, Nak? Semoga Jovan bisa mengerti maksud dari tindakan Ibu selama ini.” Kali ini sang Ibu mengakhiri kalimat panjangnya, jemarinya masih mengusap lembut tangan Jovan yang terasa dingin. Detik berikutnya, ada tetes air mata yang jatuh mengenai jemarinya, ternyata tetesan itu berasal dari kedua netra Jovan yang mulai menitihkan air mata.

“Jovan…”

“Kalau Jovan tau diri dari awal, Kalau Jovan enggak bikin kesalahan bersama Hanna, mungkin kehidupan Ibu enggak akan seberat ini, ya? Ibu akan menikmati masa tua bersama Bapak, Kakak juga hidup bahagia dengan pekerjaan tetapnya, dan juga Anak pertamanya. Kalau aja Jovan enggak gegabah dalam mencinta, Ibu enggak akan semenderita ini, ‘kan? Ibu enggak akan jadi pembantu di rumah itu, Ibu enggak akan dianggap rendah oleh Hanna yang menganggap Ibu hanyalah pekerja rumah, dan Ibu enggak perlu merasakan sakitnya dianggap sebatas pembantu oleh Cucu sendiri-“

“Jovan, enggak seperti itu, jangan bicara kayak gitu, ya? Ibu enggak suka kalau Jovan mulai menyalahkan diri sendiri. Ibu bahagia kok saat ini, Ibu bisa dekat sama Cucu Ibu, Ibu bisa lihat perkembangan Haekal, Ibu juga bisa bikinkan Haekal sarapan. Sebatas itu aja udah bikin Ibu senang bukan main, Jo. Seandainya Tuhan cabut nyawa Ibu nanti, Ibu sudah enggak mempunyai penyesalan karena Ibu sudah menghabiskan banyak waktu bersama Cucu Ibu sendiri.” Jovan menggeleng mendengar kalimat penenang itu, Jovan amat paham bagaimana rasanya tidak dianggap. Jovan yang dianggap sebatas guru saja sudah sakit bukan kepalang, apalagi sang Ibu yang dianggap pembantu, pasti rasa sakit yang dirasa semakin bertambah.

“Sudah ya, Bu?” Pinta Jovan, Ibunya menatap Jovan tak paham, “Sudah cukup berpura-pura. Ibu udah semakin berusia, udah waktunya Ibu istirahat. Ibu juga udah besarkan Haekal dengan sangat baik, kok, selanjutnya biar jadi tugas Jovan, ya?” Lanjut Jovan menjelaskan. Sebuah gelengan kepala yang malah Jovan terima dari sang Ibu, nampak tak bisa menyetujui permintaan itu.

“Ibu enggak bisa ketemu Haekal lagi nantinya, Ibu belum siap, Jo.”

“Jovan janji, Bu, cepat atau lambat, Ibu bisa ketemu Haekal tanpa harus jadi pekerja di rumah itu. Jovan janji, jadi, Ibu berhenti, ya? Jovan gak tega lihat Ibu seperti ini.” Tak ada respon lagi dari Ibunya, nampak tak yakin Jovan mampu melakukan itu, mengingat Hanna yang pastinya tak akan dengan mudah memberi izin Haekal berdekatan dengan Jovan dan keluarganya.

“Percaya sama Jovan, Bu, cepat atau lambat semuanya akan sembuh. Hanna, Jovan, Haekal, dan Ibu, kita semua akan berdamai dengan masa lalu. Ibu akan dianggap Nenek sebagaimana mestinya, dan Jovan akan dianggap sebagai Ayah oleh Haekal. Percaya sama Jo, ya, Bu?” Ucap Jovan berusaha meyakini sang Ibu agar tak ragu. Perlahan Ibunya mengangguk, menandakan ia mempercayai janji Jovan barusan.

“Ibu percaya sama Jovan, tapi, izinkan Ibu di sana sampai Haekal sembuh total, ya?” Pinta sang Ibu mencoba bernegosiasi, walau berat, pada akhirnya Jovan mengangguk menyetujui itu.

“Setelah itu Ibu istirahat, ya? Biar Jovan yang berusaha nantinya.” Pada akhirnya, senyum kembali hadir pada bibir mereka berdua, jemari Jovan terangkat untuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Ibunya, tangan yang satunya masih dengan setia menggenggam erat jemari Ibunya yang terasa hangat itu. Lagi dan lagi, ia tatap lekat wajah Ibunya yang sudah menua, dilihatnya sang Ibu dengan penuh kasih sayang, dan diciumnya punggung tangan Sang Ibu berkali-kali menyalurkan rasa sayangnya. Setelah itu perlahan ia berbisik kepada sang Ibu, yang membuat Ibunya kembali menangis menitihkan air mata.

“Terima kasih, Nenek. Terima kasih sudah menyayangi dan membesarkan Haekalnya Jovan. Jovan janji, Ibu akan dipanggil ‘Nenek’ nantinya, bukan lagi dipanggil ‘Bibi’ oleh Haekal.”

IMG-20211006-WA0060

IMG-20211006-WA0061

-Ara.