Keep you safe.

Dengan sembarang Jovan memarkirkan Motornya di depan gedung perusahaan Hanna. Keadaan sekitar sangat ramai, terdapat banyak sekali reporter yang sedang memberitakan kebakaran yang terjadi di gedung milik Hanna, pemadam kebakaran juga nampak masih berusaha menenangkan si jago merah agar tak menyebar ke sisi lain gedung tinggi perusahaan Hanna.

Jovan bergegas cepat memasuki gedung tersebut, sempat ia dihadang oleh petugas keamanan, namun, karena panik dan khawatir terjadi sesuatu kepada Hanna, dengan kasar Jovan mendorong petugas keamanan itu hingga terjatuh, dan ia pun berhasil menerobos masuk ke dalam.

Tak begitu lama waktu yang dibutuhkan Jovan untuk menemukan Hanna, ketika ia berhasil masuk ke dalam, langsung ia lihat Hanna yang sedang duduk sendirian sembari menggigit kuku ibu jarinya, terlihat sangat gelisah. Mirip sekali dengan Hanna yang menemuinya belasan tahun yang lalu di kantin fakultas, memberitahu bahwa dirinya sedang mengandung anak Jovan.

Sekitar sangat sepi sekali, karena yang lain sudah keluar gedung untuk menyelamatkan diri. Hanna tak bisa ikut keluar, Jovan paham, jika Hanna keluar, ia akan dikelilingi oleh para wartawan yang ada, sedangkan saat ini Hanna sangat panik dan ketakutan. Syukurlah Hanna tak ikut siapapun yang ada di perusahaan ini, karena, bisa saja Hanna dicelakai oleh niat jahat orang yang membenci Hanna.

“Hanna?” Panggil Jovan lembut sekali, ia berusaha tenang dikondisi ini, tak mau Hanna semakin panik nantinya.

Hanna langsung menoleh ke arah suara, menatap Jovan yang menghampirinya. Hanna tak bisa menyembunyikan rasa takutnya saat ini.

“Ada yang terluka?” Tanya Jovan dan duduk di samping Hanna. Hanna menggeleng, dan kembali menggigit kuku ibu jarinya.

“Minum dulu, Hanna. Supaya tenang.” Ucap jovan sembari memberikan sebotol air meneral kepada Hanna, Hanna tak menyambut botol tersebut, ia masih saja sibuk menggigit kuku ibu jarinya.

“Hanna, sudah, ya? Nanti sakit jarinya. Minum dulu, kamu harus tenang.” Walau ragu, perlahan Jovan mencoba memegangi tangan Hanna agar berhenti dengan kegiatan menggigit kuku jarinya.

“Ada saya, Na, ada saya. Tenang, ya?”

“Saya hampir mati…” Ucap Hanna pada akhirnya, tatapannya yang kosong tertuju ke depan, jemarinya bergetar hebat, napasnya pun terdengar memburu tak beraturan. Hanna benar-benar ketakutan dengan apa yang menimpanya barusan.

“Mati terbakar di sana kalau Saya enggak turun ke bawah…”

“Saya hampir mati…”

“Mati di kantor sendiri…”

“Haekal… Haekal hampir saja jadi piatu… Saya hampir mati, Jovan…” Ucap Hanna tak karuan, seperti racauan ketakutan. Tangannya masih bergetar hebat, air mata mulai membasahi wajahnya yang nampak pucat.

“Sssttt, enggak, kamu enggak akan mati. Lihat? Kamu selamat, kan?” Tutur Jovan mencoba menenangkan Hanna.

“Hampir mati sendirian di dalam sana…” Hanna masih saja ketakutan, semakin tak bisa mengontrol dirinya.

“Sedikit lagi saya mati…”

Detik kemudian, Jovan langsung membawa Hanna ke dalam pelukannya, mendekap erat Hanna tanpa ragu sedikitpun. Hanya ini cara yang dapat Jovan lakukan, persis seperti caranya menenangkan Hanna kala Haekal sedang berjuang di ruang Operasi kemarin. Berbeda dari sebelumnya, Hanna sama sekali tak memberontak ketika Jovan peluk dirinya. Hanna benar-benar menumpuhkan tubuhnya ke dalam dekapan Jovan tanpa ragu, jaket hitam yang Jovan kenakan sudah mulai basah karena tangis Hanna yang semakin menjadi kala Jovan memeluknya.

“Takut… Saya takut…” Kalimat itu yang tanpa henti Hanna ucapkan saat berada dalam dekapan Jovan.

“Jangan takut, kan sudah ada saya sekarang. Coba Hanna buka mata, lihat deh, Hanna selamat. Tuhan masih lindungi Hanna.” Lembut sekali suara Jovan terdengar oleh Hanna, rasa takut dan panik luar biasa yang menyerangnya, perlahan menghilang. Walau isakan masih terdengar dari bibir tipisnya.

“Ada saya, ada Haekal, dan Tuhan yang selalu lindungi Hanna. Tenang, ya?” Ucap Jovan lagi sembari mengusap pelan punggung Hanna.

“Takut… Kak… Takut…”

“Engga perlu takut lagi, ada Kakak sekarang. Kakak yang akan terus lindungi Hanna, dan menjamin Hanna selalu aman. Belum lagi Haekal yang akan bantu Kak Jo buat lindungi Hanna. Engga perlu takut lagi, ya?”

Perlahan isak tangis mulai mereda terdengar oleh telinga Jovan, dirasanya juga Hanna yang saat ini berada dalam dekapannya saat mulai tenang dari sebelumnya. Tak ada lagi racauan ketakutan dari bibir Hanna. Jovan merasa lega saat itu juga.

Hanna itu rapuh, Hanna itu tak begitu tangguh untuk menghadapi bahaya yang mengancamnya. Mungkin Hanna akan berusaha terlihat kuat di depan orang banyak, memperlihatkan bahwa ia bisa menghadapi semuanya seorang diri. Maka dari itu, orang lain jarang sekali menyadari sisi rapuh Hanna seperti saat ini. Hanya Jovan yang mengerti, dan hanya Jovan juga yang tahu cara menenangkannya apabila takut mulai menyerang Hanna.

“Sudah?” Tanya Jovan pelan, tak dijawab oleh Hanna, ia masih berdiam diri dalam pelukan Jovan. “Sudah tenang, Na?” Tanya Jovan lagi. Walau tak ada suara, Jovan dapat merasakan anggukan dari kepala Hanna. Maka, setelahnya, perlahan Jovan melepaskan pelukan itu.

“Minum dulu,” Baru saja tangan Hanna hendak menerima botol itu, Jovan kembali menarik botol tersebut menjauh dari Hanna, “Sebentar, saya buka dulu tutup botolnya.” Tangan Jovan dengan cekatan membuka botol minum itu, dan langsung memberikan kepada Hanna.

“Minum yang banyak, sampai kamu merasa tenang.”

Hanna menghabiskan setengah dari botol minum itu, kemudian ia memberikan lagi botol minum itu kepada Jovan.

“Buat kamu habiskan, Hanna.” Tolak Jovan.

“Kamu butuh minum juga.” Walau matanya enggan menatap Jovan langsung, Hanna menunjuk ke arah dahi Jovan yang berkeringat, akibat berlari terburu-buru menjemput Hanna.

Senyum tergambar jelas dari bibir Jovan ketika melihat itu, Hanna masih memperhatikannya di kondisi seperti ini. Sesuai perintah Hanna, Jovan juga ikut meneguk air mineral itu, menyisakan sedikit lagi air di botol itu.

“Sudah tenang?” Jovan kembali memastikan, Hanna hanya mengangguk merespon itu. “Saya antar pulang, ya?” Hanna tak menjawab pertanyaan itu, tak juga menolak. Jovan menyimpulkan, bahwa itu persetujuan dari Hanna, mungkin, ia masih malu untuk mengangguk atau menjawab ‘Iya’ kepada Jovan.

“Pakai motor, gak apa-apa, Na? Untuk pakai mobil susah sekali aksesnya, di luar banyak sekali wartawan dan polisi, belum lagi masyarakat yang menyaksikan.”

“Tapi, kalau kamu enggak bisa naik motor, saya usahakan—“

“Naik motor aja.” Ucap Hanna singkat, memotong kalimat Jovan barusan. Walau sedikit terkejut dengan ucapan Hanna barusan, Jovan segera membuka jaket hitam yang ia kenakan, dan memberikan itu kepada Hanna.

“Untuk apa?”

“Untuk tutupi kamu. Pasti wartawan di luar sana langsung kejar kamu kalau lihat wajah kamu. Kamu masih belum tenang dan aman untuk beri penjelasan kepada media.”


Di penghujung sore menuju malam, kedua insan ini menembus jalanan kota Jakarta. Jovan berhasil membawa Hanna keluar dari gedung itu tanpa dilihat awak media yang ada. Walau sedikit mengundang kecurigaan, Jovan dengan cepat membawa Hanna pergi menggunakan motor tua miliknya.

Jaket Jovan yang Hanna pakai untuk menutupi dirinya, sekarang terbalut di tubuh kecilnya. Jovan yang memintanya mengenakan jaket tersebut agar Hanna tak kedinginan.

Hanna merasakan lemas yang tak tertahan, matanya perih karena tangisnya barusan, itu membuat matanya susah untuk terus terbuka melihat jalan.

“Kamu boleh tidur, Na. Masih agak jauh untuk sampai ke rumah.” Suara Jovan terdengar sedikit lebih kencang, agar Hanna dapat mendengar dengan jelas perkataannya. Hanna tak menjawab itu, sebenarnya ia tak mau seperti ini, namun, kepalanya benar-benar terasa berat, sampai-sampai detik berikutnya, kepalanya dengan sempura bertumpuh di punggung Jovan.

Masa bodo dengan gengsi, Hanna benar-benar tak memedulikan itu saat ini. Tubuhnya benar-benar lelah tak bertenaga saat ini.

“Na?” Panggil Jovan masih setengah berteriak agar suaranya tak kalah oleh suara angin yang lumayan kencang. Hanna masih mendengar panggilan itu, tapi rasanya enggan sekali merespon panggilan itu.

“Hanna Hanasta?” Tak menyerah, Jovan kembali memanggilnya.

“Hm?”

“Saya akan jamin keselamatan kamu dan jagoan kita. Enggak peduli siapapun atau apapun itu, saya akan hadapi. Bahkan nyawa juga rela saya beri untuk keselamatan kalian. Saya janji, Na.”


Image

-Ara