Kejutan di hari ulang tahun Haekal.

tw // accident


Jovan melambaikan tangan tepat di saat matanya melihat sosok wanita yang ia cintai berjalan ke arahnya, siapa lagi jika bukan Hanna Hanasta. Beberapa karyawan yang sedang berdiri menunggu jemputan, tampak langsung menyapa dan menunduk sopan ke arah Hanna, begitupun dengan satpam yang dengan sigap membukakan pintu Loby untuk Hanna.

Tak lupa Hanna juga balas melambaikan tangannya kepada Jovan, dengan senyum manis andalannya, dan juga langkah kaki yang yang ia cepatkan, seakan tak mau sedetikpun terlambat untuk menghampiri Jovan yang sudah menunggunya di depan mobil merah kepunyaannya.

“Hei, hati-hati, hahaha.” ucap Jovan mengingatkan, tak begitu lama, Hanna sudah berdiri di depannya, masih lengkap dengan senyuman manis yang tak pudar selama kakinya melangkah.

Hanna kemudian memberikan kode kepada Jovan melalui gerak jemarinya, untuk terlebih dahulu masuk ke dalam mobil, karena tak enak banyak sekali karyawan yang memperhatikan mereka dari kejauhan.

Jovan segera paham dengan kode tersebut, ia segera membukakan pintu mobil untuk Hanna, tak lupa juga tangan kanannya ia letakkan di atas kepala Hanna, agar kepala Hanna terlindung dan tak terbentur bagian mobil. “Thanks, Kak! ayo masuk, kita ngobrolnya di dalam aja.” bisik Hanna kepada Jovan yang hendak menutup kembali pintu mobil.

Tak butuh waktu lama, Jovan sudah berada di dalam mobil tersebut. “Kalau jalan, hati-hati, jangan terburu-buru, nanti kalau jatuh gimana?” tegur Jovan pada Hanna, walau itu sebuah teguran, namun tetap saja, terdengar lembut di telinga Hanna.

“Aku udah umur 36 tahun kalau Kak Jo lupa, bukan anak kecil yang gampang jatuh.” jawab Hanna.

“Iya, iya, bukan anak kecil lagi,” Jovan terkekeh, jemarinya terulur mengacak-acak rambut Hanna gemas, “Tapi jangan lupa, orang dewasa juga bisa jatuh kalau enggak hati-hati. Lagi juga saya enggak akan kemana-mana, kok, jadi kamu enggak perlu buru-buru kayak tadi, ya?” lanjut Jovan, kali ini terdengar lebih serius dari sebelumnya. Hanna mengangguk, seperti anak kecil yang sangat patuh sekali apabila sedang dinasihati.

Hanya Jovan yang punya kuasa tersebut, hanya Jovan juga yang selalu Hanna turuti, hanya Jovan pula yang mampu membuat Hanna luluh, dan melupakan sikap keras kepalanya. Hanya Jovan saja.

“Kamu selalu cantik, Na, tapi, hari ini cantiknya bertambah. Sengaja, ya?”

“Iya, hari ini kan kita mau rayakan ulang tahun Haekal yang ke-18, jadi harus lebih cantik dari biasanya. Ini juga kali pertama Haekal dirayakan ulang tahunnya, jadi harus spesial.” balas Hanna antusias sekali. “Oh iya, teman-temannya Haekal, aman 'kan, Kak?”

“Aman, mereka juga kompakan pura-pura lupa ulang tahun Haekal, hahaha.”

“Aku enggak tega lihat wajahnya Haekal tadi pagi, Kak. Dia udah penuh harap banget bakal ada yang spesial, bahkan sempet kode-kode lagi, nanyain ke aku, sekarang tanggal berapa.” ujar Hanna, kembali ia merasa kasian apabila mengingat ekspresi kekecewaan Haekal pagi tadi.

“Nanti sama-sama kita ucapin, ya? Kita peluk juga jagoan hebat kita.” balas Jovan dengan mengusap jemari Hanna lembut, “Oh iya, Na, nanti saya mau kenalkan kamu kepada Ibu saya, boleh?” tanya Jovan, Hanna tak segera menjawab, ia diam dulu sejenak saat ditanya pertanyaan barusan.

“Ibu?”

“Iya, Ibu saya. Mau?”

“Takut, Kak ...,” lirih Hanna terus terang.

“Takut kenapa, Na?” kali ini mimik muka Jovan berubah, terlihat kilas kekhawatiran yang tersorot dari mata Jovan, begitupun dengan jemarinya yang mengusap lembut helaian rambut Hanna. “Apa yang kamu khawatirkan?” tanyanya lagi.

“Setelah banyak banget kehancuran yang disebabkan keluarga aku, Kak..., rasanya enggak mungkin bisa diterima baik sama Ibu kamu ...,” ungkap Hanna mengakui yang sebenarnya ia takutkan.

“Na...,” panggil Jovan lembut sekali, diiringi dengan senyumannya, “Ibu pasti akan menerima kamu, tanpa sedikitpun dendam yang ada. Bahkan, Ibu selalu mendoakan kebaikan untuk kamu, Ibu juga sudah sangat mengenal kamu. Jadi, enggak perlu khawatir, ya?”

“Tapi−”

“Na, percaya Kakak, ya? Ibu sangat amat mengerti dengan semua yang kamu alami selama ini. Kamu enggak perlu khawatir, Ibu pasti akan terima kamu, dan sayang sama kamu sebagaimana rasa sayang Ibu terhadap saya, Na. Saya yang akan jamin itu. Percaya, ya? Kita coba sama-sama buat ketemu Ibu.” ucap Jovan meyakinkan, jemari Jovan yang sebelumnya mengusap lembut pipi kanan Hanna, sekarang sudah berpindah untuk menggenggam tangan Hanna, Jovan benar-benar berusaha meyakinkan Hanna untuk tidak khawatir dengan takut yang diciptakan pikirannya sendiri.

“Mau, ya?” tanya Jovan kembali memastikan.

“Mau, Kak ...” balas Hanna pelan, direspon segera oleh Jovan dengan senyuman, kemudian jemarinya kembali terangkat untuk mengusap-usap rambut Hanna lembut.

“Yuk? Haekal kayaknya udah bete di rumah, kita jemput sekarang, ya? Di lokasi juga barusan Reno lapor udah datang semuanya.” ajak Jovan, matanya melirik kepada jam tangan yang ia gunakan.

“Ayo, berangkat sekarang, takutnya nanti malah−” Belum selesai Hanna menjawab, bunyi dari dering ponselnya terdengar, saat Hanna hendak menolak panggilan itu, Jovan dengan sigap menahan, seraya menggelengkan kepalanya kepada Hanna, “Angkat dulu aja, Na, takutnya penting.” ucapnya.

“Ah enggak usah, ini telpon dari kantor.”

“Justru itu, angkat dulu, ya? selagi kita masih di sini, nanti tau-taunya itu penting banget, eh kitanya udah jauh.”

“Tapi aku udah pulang, Kak, enggak boleh ditelpon orang kantor. Aku udah bilang berkali-kali padahal sama mereka.” tolak Hanna kukuh tak ingin mengangkat telpon masuk tersebut.

“Mereka pasti paham, Na, mungkin ini terlalu urgent, makanya mereka telpon kamu, dan enggak menghiraukan aturan yang kamu buat.” dengan sangat sabar, Jovan mengarahkan Hanna untuk mengangkat telpon tersebut.

Entah Hanna yang tidak mampu menolak Jovan, atau Jovan yang terlampau handal mengendalikan Hanna, hingga pada akhirnya Hanna mengangkat telpon tersebut, walau dengan gurat malas dari wajahnya saat mengatakan 'Halo', hal tersebut berhasil membuat Jovan terkekeh pelan di sebelah Hanna.

“Kenapa tadi enggak sekalian? Kenapa bisa sampai lupa dan kelewatan?” jawab Hanna dengan rentetan pertanyaan yang terdengar tegas, Jovan yakin, siapapun yang mendengar suara Hanna dari telpon tersebut, sudah dipastikan akan gugup dan takut untuk menjawabnya.

“Iya, itu artinya kamu lalai. Waktu saya berharga, dan kamu malah mainkan seperti ini.”

“Maafkan kelalaian saya, Bu ...”

“Okay, kamu minta maaf, tapi maaf kamu bisa gantikan waktu saya yang akan terbuang sia-sia gak?”

Jovan yang mendengar nada sinis dari Hanna, mendekatkan dirinya kepada Hanna, ia kemudian mengusap-usap pundak kanan Hanna, berusaha menenangkan Hanna yang nampak termakan emosi akibat panggilan telpon tersebut, “Hey, it's okay, Na, enggak apa-apa, tenang, ya?” bisik Jovan pelan di telinga Hanna.

“Atur napas dulu, tarik... terus buang,” sambung Jovan masih berbisik, Hanna yang mendengar itu, langsung mengikuti arahan dari Jovan, walau terlihat jelas masih ada kekesalan pada wajahnya, apalagi saat Hanna menghembuskan napasnya. “Good, sekarang bicara pelan-pelan ke bawahan kamu, ya?”

“Ya sudah saya ke sana. Kamu tunggu di sana, dan siapkan semua berkasnya, supaya nanti saya enggak nunggu lama lagi.” tegas Hanna kepada lawan bicaranya di sebrang telpon.

“Bu terima kasih banyak, dan maaf−” tanpa ingin mendengar lebih lanjut, Hanna sudah lebih dulu memutuskan sambungan telpon itu.

“Ada yang harus aku tanda tangan, Kak, dan enggak bisa ditunda sampai besok. Ah keselll!” rajuk Hanna masih kesal, ia sangat tak suka apabila agenda yang sudah disusun menjadi berantakan.

“Enggak apa-apa, Na, kamu selesaikan aja dulu berkasnya, ya? Haekal saya yang jemput, nanti setelahnya, saya dan Haekal yang bakalan jemput kamu di sini, baru deh kita ke lokasi bareng-bareng. Gimana?” anjur Jovan, terlihat keraguan yang terdapat pada tatapan Hanna sekarang.

“Enggak apa-apa, 20 menit cukup kan? enggak akan ngerusak acara yang udah kita siapkan. Tenang, ya?” lanjut Jovan, menyadari ragu yang Hanna rasa.

Detik kemudian, terdengar hembusan napas berat dari Hanna, “Okay, aku naik ke ruangan aku, ya, Kak. Gak apa-apa jemput Haekal sendirian?” masih Hanna bertanya ragu.

“Enggak apa-apa, Hanna. Yaudah, kamu beresin dulu urusan kamu, atau mau saya antar ke atas?”

“No, jangan. Aku sendiri aja, Kakak langsung jemput Haekal aja, supaya lebih cepet juga.” tolak Hanna segera dan dibalas anggukan mengerti oleh Jovan, “Aku ke ruangan dulu ya, Kak?” pamit Hanna setelahnya, dan bersiap untuk membuka pintu mobil.

“Na...” panggil Jovan, menghentikan Hanna yang tadinya hendak membuka pintu mobil itu.

Hanna yang mendengar panggilan tersebut, dengan cepat menoleh kepada Jovan yang sedang tersenyum kepadanya penuh arti. “Iya, Kak?” jawab Hanna, entah mengapa, Hanna melihat ada yang beda dari tatapan Jovan kali ini, terkesan sendu dari pandangan matanya.

“Saya boleh peluk kamu?”

“Eh?” respon Hanna sedikit kaget dengan permintaan tiba-tiba yang Jovan beri.

“Enggak tau kenapa, dari pertama kamu masuk mobil, rasanya saya mau peluk kamu, Na. Mungkin karena hari ini kamu cantiknya bertambah kali, ya? Atau mungkin karena rasa saya semakin banyak buat kamu?” jawab Jovan berusaha menerka alasannya sendiri.

“Kak ...” rengek Hanna yang saat ini pipinya mulai memerah setelah mendengar jawaban Jovan tadi. Mungkin bagi Jovan jawaban jujur tersebut terlampau biasa, namun, bagi Hanna jawaban tersebut berhasil membuatnya salah tingkah seperti remaja yang sedang jatuh cinta.

“Hahaha, saya serius, Na, bukan modus semata.” balas Jovan berusaha meyakinkan Hanna, “Boleh, Na?” pintanya lagi.

Hanna tidak menjawab dengan kata, ia mengizinkan Jovan untuk memeluknya dengan cara memberi kode melalui kedua lengannya. Tanpa menyita banyak waktu, Jovan langsung membawa Hanna ke dalam dekapan hangatnya, ia memeluk erat Hanna, seakan melepaskan Hanna dari pelukannya merupakan satu hal yang tak akan mau dilakukannya.

“Kak? Semuanya baik-baik aja, kan?” tanya Hanna sedikit khawatir, karena Hanna merasa ada yang beda dari pelukan Jovan kali ini, terasa lebih erat, seperti enggan untuk melepas.

“Kak?” panggil Hanna lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Jovan.

“Sebentar, ya, Na, satu menit lagi, boleh?” pinta Jovan pelan, Hanna menangguk, memberi izin untuk Jovan memeluknya lebih lama lagi, walau terdapat beberapa pertanyaan di kepala Hanna saat ini.

Sebenarnya bagi Hanna, satu menit, bahkan sepuluh menit bukanlah permasalahnnya, malah ia akan sangat senang selama apapun itu berada di dekapan Jovan. Namun, saat ini Hanna merasakan ada yang beda dari pelukan yang Jovan beri, walau hangatnya masih terasa sama seperti sebelumnya.

Setelah satu menit berlalu, dengan perlahan Jovan merenggangkan pelukannya, kemudian beralih untuk menatap manik kebingungan milik Hanna. “Sudah, Na, terima kasih, ya, sudah mengizinkan.” tuturnya masih setia dengan senyum damai andalannya.

“Kak, kenapa?”

“Enggak kenapa-kenapa, Na, memang mau peluk kamu aja.”

“Beda tapi, Kak, yang tadi itu lebih mirip pelukan perpisahan.” ucap Hanna jujur kepada Jovan.

“Hey, enggak, Na,” jawab Jovan, jemarinya mengusap lembut pipi Hanna, “Bukan pelukan perpisahan, Na, Hahaha.” sambungnya lagi sembari tertawa. Hanna diam, masih ia rasakan khawatir yang berasal dari firasat tak enaknya.

“Na, kalau tadi itu pelukan perpisahan, rasanya enggak cukup saya minta tambahan waktu satu menit. Bisa-bisa enggak akan saya lepas kamu dari pelukan saya kalau emang tadi itu untuk berpisah.” tutur Jovan mengerti kegelisahan sang pujaan hati.

“Saya jemput Haekal, terus jemput kamu, sekaligus peluk kamu lagi, supaya kamu percaya kalau tadi itu bukan pelukan perpisahan. Deal?” Jovan akhirnya menawarkan janji.

“Okay, kita ketemu 20 menit lagi, ya. Boleh telat, tapi 10 menit aja.”

“Iya, Cantik. Kamu boleh telat, tapi saya enggak akan telat. Mobil ini saya pinjam, ya, untuk jemput jagoan kita.”

“Iya, aku ke atas dulu, ya, Kak. Hati-hati di jalan, kabari aku kalo udah jemput Haekal.” pamit Hanna lagi, untuk yang kesekian kalinya, seakaan berpisah hanya untuk puluhan menit saja sangat sulit mereka lakukan.

“Na...” panggil Jovan, ketika Hanna sudah berada di luar mobil, Hanna segera menoleh kepada kaca mobil yang terbuka.

“Iya, Kak?”

“Tunggu saya, ya.”


Sudah hampir tiga jam Haekal habiskan waktunya hanya untuk menatap belasan origami di depannya. Setelah pulang sekolah tadi, Haekal sama sekali tidak melakukan hal lain selain menatap kosong ke arah origami tersebut.

Perasaan Haekal cukup campur aduk untuk hari ini, dari mulai ia membuka mata, hingga saat ini, sama sekali belum ia terima satupun ucapan selamat ulang tahun dari orang lain. Hanya origami yang Azalea titipkan kepada Ibu kantin yang Haekal terima, itupun hanya origami, bukan ucapan selamat ulang tahun secara langsung seperti yang Haekal harapkan.

Ditambah lagi Mamah dan Ayahnya yang sama sekali tak memberikan pelukan bahkan ucapan ulang tahun. Padahal dari hari-hari lalu, sudah besar sekali harapan Haekal untuk merayakan ulang tahun pertamanya bersama keluarga yang lengkap.

Bagi Haekal, hari ini terasa hambar dan menyebalkan lantaran semua orang masih saja melupakannya.

Tak lama kemudian, Haekal mendengar getar dari ponselnya yang sedaritadi ia letakkan diujung tempat tidur, dengan gerakan yang malas, Haekal mengambil ponselnya.

Ayah terhebat is calling

Walau diliputi rasa kesal, Haekal tetap dengan sigap mengangkat telpon tersebut, dan berusaha mengontrol suaranya agar terdengar sopan di telinga sang Ayah, “Halo, Yah?” sapa Haekal duluan.

“Nak, di mana?”

“Di rumah, Yah, sendirian, di kamar, enggak ada yang temenin. Ada apa?” jawab Haekal lengkap sekali, sembari memberi kode kepada sang Ayah yang mungkin saja akan ingat hari ini adalah hari ulang tahunnya dengan kode tersebut.

Haekal mendengar kekehan geli di sebrang telpon, membuat kedua alis Haekal bertaut, menandakan ia mulai kesal.

“Kenapa, deh, Yah?” kali ini nada bicara Haekal terdengar mulai malas.

“Hahaha, Ayah mau berangkat ke sana, ya, Kal.” mendengar perkataan tersebut, kedua bola mata Haekal seketika melebar, dan tanpa sadar, senyum mulai tergambar kembali di bibirnya.

“Mau ke sini, Yah? Sudah ingat, ya?” tanya Haekal terdengar antusias, yang tadinya ia duduk bersila di atas kasur, sekarang sudah bangkit dan berdiri, berniat menuju lemari pakaiannya.

“Iya, sudah ingat, untung enggak lupa,” ucap Jovan semakin membuat Haekal berbunga.

“Enggak apa-apa telat, asal ingat aja, sih, Yah.”

“Kalau telat bisa-bisa saya enggak bisa absen, Kal.” timpal Jovan, membuat Haekal seketika memberhentikankegiatan memilih bajunya.

“Maksudnya, Yah?”

“Iya, kartu identitas Ayah ketinggalan di sana, kayaknya pas kemaren anterin Mamah kamu pulang, Kal.” balas Jovan, senyum di bibir Haekal yang tadinya sudah merekah, segera menghilang. Haekal merasa dihempaskan oleh ekspektasinya sendiri 'lagi'.

“Oh itu...,” gumam Haekal merespon ucapan Jovan barusan, jemarinya menutup kembali lemari yang tadinya sudah ia buka, kakinya pun melangkah tak bersemangat menuju ke kasurnya seperti semula. “Ya sudah ambil aja, Yah. Ada Bibi di bawah, saya mau tidur, jadi nanti langsung pulang aja kalau sudah ambil kuncinya.” sambung Haekal, bersiap untuk segera memutuskan sambungan telponnya.

“Sudah 'kan, Yah? Kalau enggak ada yang mau dibicarain lagi, saya mau tutup telponnya.”

“Kenapa kok berubah nada bicaranya, Kal? Perasaan tadi semangat sekali. Serius gak mau ketemu Saya nanti?” goda Jovan, nampaknya Jovan belum menyadari saat ini mood Haekal sudah sangat hancur.

“Iya. Ayah, saya izin tutup telponnya,” walau rasa kesal sudah sangat menguap, namun tetap saja Haekal berusaha tenang dan sopan, agar perkataannya tak menyakiti hati sang Ayah.

Kal? Kenapa−”

“Saya mau tutup telponnya, boleh kan?” Haekal dengan cepat memotong ucapan Jovan dari balik telpon dengan intonasi suaranya yang meninggi dari sebelumnya, juga terdengar beberapa kali hembusan napas Haekal yang terkesan gusar di telinga Jovan. “Saya capek hari ini, Yah. Semua ekspektasi saya hancur di hari ini, jadi tolong... tolong izinkan saya tutup telpon ini, dan biarkan saya tidur untuk menghabiskan hari ini.” sambung Haekal mengungkapkan emosi dan kecewa yang sedaritadi ia coba tahan.

Sedangkan, Jovan segera mengurungkan niatnya untuk menjalankan mobil saat mendengar pengakuan kecewa Haekal dari sebrang telpon.

“Saya emang ditakdirin hidup kayak gini, selalu jadi yang terlupakan. Silahkan ambil yang tertinggal di rumah, Pak. Saya tutup−”

“Selamat ulang tahun, Nak,” belum sempat Haekal mengucap salam, Jovan dengan sudah lebih dulu memotong. “Selamat bertambah usia jagoan terhebat yang saya punya.” lanjut Jovan lagi, entah mengapa, seketika pertahanan diri Jovan runtuh saat mendengar ucapan penuh keputusasaan Haekal. Jovan seakan tak peduli lagi dengan rencana kejutan untuk Haekal, yang ada di pikiran Jovan saat ini hanyalah memberikan ucapan selamat dan doa, supaya tak lagi terpintas di pikiran Haekal bahwa dunia masih terus melupakannya seperti dulu.

“Ayah ingat?” jawab Haekal tak percaya.

“Mana mungkin Ayah bisa lupa, Kal? Kelahiran kamu adalah anugrah terindah yang Ayah syukuri sampai saat ini, dan selamanya. Seberharga itu kamu bagi saya, mana bisa saya lupa?”

“Tapi kenapa, Yah?” Haekal masih bingung dan tak paham dengan semuanya.

“Ya ..., ada sesuatu yang kami rencanakan, spesial untuk kamu,” jawab Jovan terdengar canggung dan juga ragu, karena secara otomatis dengan pengakuannya barusan, Jovan telah membocorkan kejutan ulang tahun yang sudah dirancang Hanna, dan teman-teman Haekal. “Ya..., pokoknya seperti itu. Kamu jangan merasa dilupakan, ya, Nak? Enggak ada yang melupakan kamu.” tegas Jovan lagi, agar Haekal tak dikuasai oleh rasa khawatir berlebihnya.

“Saya ..., enggak terlupakan lagi, kan, Yah?”

“Enggak akan pernah terlupakan, Nak.” jawab Jovan terdengar tegas. Emosi memuncak yang tadinya Haekal rasa, dengan teramat cepat segera meluruh, tergantikan langsung oleh haru. Ia sangat khawatir, sampai-sampai tak terpikir akan ada kejutan yang disiapkan oleh orang-orang yang menyayanginya.

“Ayah masih di jalan? sambil bawa mobil?”

“Masih di mobil, tapi belum jalan, Kal. Tadinya mau sambil jalan, cuma rasanya enggak fokus, apalagi dengar kamu yang putus asa kayak barusan.”

“Lanjut jalan aja, Yah, saya tunggu di rumah, ya!” kali ini suara Haekal terdengar kembali bersemangat seperti semula, membuat Jovan tersenyum dan bernapas lega saat mendengar suara sang anak. “Ditutup ya, Yah, telponnya, saya juga mau siap-siap pakai baju yang rapih.”

“Kal ...,” panggil Jovan tiba-tiba.

“Iya, Yah?”

“Mau dengar doa Ayah buat kamu?”

“Sekarang banget, Yah?” Haekal nampak bingung, tangannya memindahkan ponsel tersebut ke sebelah kanan telinganya, kemudian ia memilih duduk di sisi ranjangnya, “Kan bentar lagi ketemu.” ucap Haekal lagi masih bingung.

“Entah, rasanya Ayah mau cepat-cepat ucapin doa buat kamu, Kal. Mau?”

“Hmm, boleh, Yah. Ayah doa apa buat saya di 18 tahun ini?” tanya Haekal penasaran, sempat beberapa detik Jovan diam, dan tak kunjung menjawab pertanyaan Haekal.

“Nak ...,” panggil Jovan lembut sekali, walau hanya dari sambungan telpon, Haekal bisa membayangkan wajah tenang milik Ayahnya, lengkap dengan tatapan dan senyum sang Ayah yang mampu menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Haekal tak menjawab dengan kata, ia hanya berdeham saja, menanti kalimat berikutnya yang akan didengar olehnya dari sang Ayah.

“Ini kali pertama, ya? 17 tahun yang kamu lewati, sama sekali enggak ada hadirnya saya. Maafin Ayah, ya, Kal?” Haekal masih tak menjawab, ia seakan memberikan waktu untuk Jovan mengungkapkan semua doa yang tertuju kepadanya. “Harus menunggu 18 tahuh, ya, Nak, untuk kamu merasakan bahagia seperti sekarang. Ayah kagum sekali, Kal, karena kamu sudah sangat kuat dan tabah menjalani kehidupan hingga sampai di titik saat ini. Enggak salah kalau saya anggap kamu Jagoan paling hebat, Kal, karena memang pada kenyataannya seperti itu. Sama persis seperti arti dari nama kamu, Kal.”

Haekal kembali merasakan haru, senyumnya tak pudar sama sekali, namun, sorot matanya berubah menjadi sendu saat mendengar suara sang Ayah dari sambungan telpon.

“Klasik, sih, memang doa dari Ayah, Kal. Hampir sama dengan doa Ayah-ayah di luar sana untuk anaknya. Tapi, dengan sungguh-sungguh Ayah berdoa kepada Tuhan dan juga semesta, supaya selalu dilancarkan langkah anak terhebat Ayah, selalu diberikan kesehatan jagoan yang Ayah punya, selalu dikokohkan bahu yang selama ini sudah menopang banyak sekali permasalahan kehidupan, dan selalu bersih hatinya, menjadi Haekal yang selama ini Ayah kenal sebagai sosok pembeda dari yang lainnya, sosok berprinsip teguh seperti biasanya ..., dan selalu menjadi pelindung bagi Mamah yang Haekal sayang di setiap harinya.” ungkap Jovan. Disetiap kalimat yang Jovan ucap, Haekal meng-amini di dalam hati dengan tak kalah sungguh-sungguh pula.

“Setelah banyak sekali gelap di 17 tahun belakang, Ayah akan janjikan dan usahakan terang untuk Haekal di tahun-tahun selanjutnya. Kal, kamu tau gak, saat pertama kali Ayah tau Mamah kamu sedang Hamil, salah satu janji yang Ayah ucap adalah tentang kamu, Kal, Ayah janjikan bahagia untuk kamu tanpa sedikitpun duka. Dan ternyata janji itu belum berhasil Ayah tepati. Jadi, Ayah akan lakukan semuanya untuk bisa tepati janji tersebut dari sekarang. Terang dan bahagia, akan Ayah pastikan kamu rasa mulai dari sekarang, Nak.”

“Haekal sudah bahagia, Yah. Ayah enggak perlu usahakan itu lagi, cukup selalu ada di sisi Haekal, itu sudah bikin Haekal bahagia.” jawab Haekal pada akhirnya, suaranya terdengar sedikit bergetar, begitupun dengan matanya yang mulai terasa panas setelah mendengar kalimat panjang yang Ayahnya ucapkan.

“Ayah akan lakukan apapun untuk bisa bikin kamu dan juga Mamahmu bahagia selamanya, Kal.”

“Yah, bahagia saya dengan lihat Ayah dan Mamah ada di sisi saya terus. Jadi cukup janjikan akan selalu ada di sisi saya aja, ya, Yah? Enggak perlu sekeras itu berusaha, toh bahagia saya datang karena hadirnya Ayah dan juga Mamah di keseharian saya.”

“Ayah?” panggil Haekal, karena tak kunjung mendengar jawaban dari Jovan.

“Hmm, iya, Kal ...,” respon Jovan setelahnya, “Iya ..., Ayah akan terus ada di sisi kamu, Kal. Ayah akan terus bangga dan tersenyum di setiap langkah yang kamu pilih. Ayah janji, Kal.” lanjut Jovan lagi, Haekal tersenyum bahagia mendengar perkataan Jovan barusan, sangat sesuai dengan apa yang ia harapkan.

“Haekal sudah tambah dewasa, harus lebih melindungi Mamah, ya? Harus terus jaga Mamah, dan sayang sama Mamah. Kalau misalnya ada perbedaan pendapat, harus diselesaikan baik-baik ya, Kal, jangan kabur atau bahkan sampai bicara yang bisa menyakiti hati Mamah. Bisa, Nak?” pesan Jovan, memberikan sedikit nasihat kepada sang Anak, selayaknya yang dilakukan oleh Ayah-Ayah lain di luar sana.

“Bisa, Yah, kita jaga Mamah sama-sama, ya, Ayah?”

“Iya, Kal, kita jaga wanita hebat dan kuat itu bersama. Pun, kamu, saya akan jaga dan lindungi sampai akhir napas saya.” lagi, Jovan kembali berjanji, sangat sungguh-sungguh sekali terdengar di telinga Haekal. “Oh iya, saya juga punya hadiah untuk kamu, Kal. Hmm ..., mungkin gak terlalu mewah, tapi semoga kamu suka, ya?”

Mendengar itu, Haekal bertambah semangatnya, “Pasti suka! Makin gak sabar! Ayah ayo ke sini jemput saya. Saya tinggal ganti baju aja, nih.” respon Haekal terdengar riang sekali.

“Ya sudah, Ayah tutup dulu telponnya, ya, Nak? Kamu siap-siap dan tunggu Ayah di rumah.” ujar Jovan akan mengakhiri sambungan telponnya, agar cepat sampai ke sana untuk menjemput Haekal, kemudian dilanjut dengan menjemput Hanna.

“Siap, Yah! Hati-hati, ya, Yah!”

“Kal ...,” untungnya Haekal masih bisa mendengar panggilan Jovan sebelum meletakkan ponselnya kembali ke nakas kamarnya.

“Iya, Ayah?”

“Kamu bukan celaka, bukan juga petaka. Kamu adalah bahagia yang satu-satunya kami punya. Ayah dan Mamah, sayang sama kamu, Nak, selamanya.”

“Ayah ...”

“Ayah ke sana, ya. Tunggu Ayah di rumah.”

“Iya, Ayah. Haekal tunggu Ayah di sini.”


Seulas senyum terukir di bibir Jovan, tampak pula bekas basah di sudut matanya. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun dan doa, lengkap pula dengan nasihat kepada Haekal melalui sambungan telpon, Jovan merasakan haru, sampai-sampai sulit baginya untuk menahan bulir-bulir bening dari matanya.

Sembari menyetir mobil milik Hanna untuk menjemput Haekal, tangan kanan Jovan memegang kotak berukuran sedang, yang berisikan sebuah jam tangan berwarna hitam yang ia beli khusus untuk sang putra.

“Haekal Hanasta, jagoan saya.” gumamnya sendiri kemudian tersenyum bahagia melihat kotak tersebut. Walau harganya tak terlalu mahal seperti jam mewah lainnya, namun Jovan sangat percaya diri Haekal akan sangat menyukai jam tangan pemberiannya.

Jovan merasakan lega setelah memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk Haekal, entahlah ..., ia merasa sudah menyampaikan semua yang ada di pikirannya. Sebenarnya, Jovan tidak berniat mengungkapkan semuanya, yang ada di rencana awalnya hanyalah memberikan ucapan selamat saja, tapi, ia seperti dituntun oleh hatinya untuk mengungkapkan semua harapan dan pesan kepada Haekal melalui sambungan telpon, tanpa mampu menahan dan bersabar menyamapikan secara lamgsung kepada Haekal.

Setelah cukup puas memandangi kotak jam tersebut, akhirnya Jovan meletakkan kotak itu di bangku sampingnya, ia kembali fokus mengendarai mobil tersebut menuju rumah Hanna. Jovan masih dengan senyumnya yang tak kunjung memudar hingga sekarang, padahal sambungan telpon dengan Haekal sudah diakhiri beberapa menit yang lalu, namun tetap saja, rasa bahagia dan haru tak kunjung hilang Jovan rasakan.

Tak begitu lama, Jovan mendengar ponselnya berbunyi, sebuah pesan singkat masuk. Ia melirik sebentar ke ponselnya, dan melihat nama Hanna yang ada di notifikasinya.

Sebelah alis Jovan terangkat saat membaca pesan singkat tersebut, kemudian dengan hati-hati ia mencari earphone miliknya, dan mencoba menelpon Hanna. Tak butuh waktu lama, Hanna segera mengangkat panggilan telpon tersebut.

“Halo, Na?” sapa Jovan duluan.

“Halo, Kak udah sampai mana? Aku ke sana jalan aja, ya, deket banget juga, kok. Nanti kita ketemu di sana aja, ya?” segera Hanna menjelaskan kembali, sesuai dengan isi pesan yang barusan ia kirim kepada Jovan.

“Saya baru jalan beberapa menit lalu, sih, Na, tadi telponan sama Haekal dulu cukup lama.” jawab Jovan, mobil yang ia kendarai melaju pada kecepatan rata-rata, “Kamu enggak apa-apa jalan ke sana? Gak mau tunggu saya aja, Na?” tanya Jovan memastikan.

“Aku duluan aja, deket, kok, gak sampai 2 menit juga sampai dari gedung aku. Gak enak juga di sana udah pada datang kan ya.”

“Yaudah, kalau gitu, Hati-hati, ya, Na?” kali ini Jovan terdengar sedikit khawatir dari sebelumnya, walau jarak restoran sangat dekat sekali dari kantor Hanna, tetap saja Jovan was-was apabila Hanna berjalan seorang diri, “Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya, ya?”

“Iya, Kak, Hahaha, tenang aja sih, kan cuma−”

“Ya tuhan!” Jovan tiba-tiba setengah berteriak, membuat Hanna berhenti bicara seketika.

“Kak? Kenapa? Ada apa?” tanya Hanna panik saat mendengar teriakan tersebut. “Kak? Halo? Kak Jovan?”

“Hampir aja, Na, tadi ada yang nyebrang gak lihat-lihat, aduh ..., ada-ada aja.” walau Jovan terkejut bukan main, ia berusaha tenang agar Hanna tak khawatir berlebih kepadanya.

“Aduh yaampun ..., kaget aku, Kak. Hati-hati, ah, Kak. Bawa mobilnya pelan-pelan aja.” ujar Hanna, lebih terdengar seperti omelan untuk Jovan, sehingga saat mendengar itu, Jovan terkekeh pelan. “Ih, malah ketawa! Pelan-pelan aja bawa mobilnya, Kak.” lanjut Hanna lagi.

“Iya iya, saya pelanin ya mobilnya, hahaha.” turut Jovan masih dengan kekehannya. Sesuai dengan perintah Hanna, kaki Jovan secara perlahan mengijak rem agar laju mobilnya memelan dari sebelumnya. Namun, beberapa detik setelahnya Jovan menyadari, laju mobilnya sama sekali tak memelan sesuai dengan injakan kakinya kepada rem.

“Kak?”

Jovan tak menjawab itu, ia melirik kebawah, memastikan bahwa ia sudah benar-benar menginjak pedal rem, dan benar, ia sudah menginjak pedal tersebut, bahkan sampai habis. Namun, kecepatan mobil sama sekali tak memelan, malah terasa melaju lebih kencang dari sebelumnya, meski Jovan tak menginjak gas sama sekali.

“Kak Jo?”

Jovan mulai panik, kakinya terus-terusan menginjak rem, namun hasilnya nihil. Napas Jovan mulai berderu, begitupun dengan detak jantungnya yang berdetak lebih kencang. Saat melihat jalan, Jovan menyadari, sebentar lagi ia akan melewati lampu merah. Hal itu membuatnya semakin panik karena rem yang diinjaknya sama sekali tak berfungsi seperti semestinya.

“Kak, Halo? Ada apa?” Hanna disebrang telpon terus-terusan memanggil Jovan yang tiba-tiba terdiam.

“Na, sebentar, ya?” jawab Jovan pada akhirnya, tak bisa Jovan sembunyikan kepanikannya dari Hanna, sehingga Hanna dengan cepat menyadari terjadi sesuatu pada mobil yang dikendarai oleh Jovan.

“Kak ada apa? Kakak di mana? Aku panggil orang kesana, ya?”

“Na, saya gak bisa ngerem, Na. Mobilnya semakin cepat juga, remnya sama sekali gak berfungsi. Tapi kamu gak perlu khawatir, bukan masalah besar−” kembali suara Jovan terputus, yang bisa Hanna dengar hanyalah beberapa suara klakson yang terdengar sangat jelas beserta decitan dari ban mobil dari sebrang telpon.

“Kak ...,” panggil Hanna dengan suara yang mulai bergetar.

“Aman, Na, tenang. Barusan saya trobos lampu merah, untungnya mobil lain bisa ngehindar,” sahut Jovan, masih berusaha menjawab panggilan dari Hanna, walau keadaan yang ia rasa semakin kacau.

Laju mobil semakin kencang tak terkendali, entah sudah berapa kali Jovan hampir menabrak kendaraan lain atau pembatas jalan, untungnya Jovan masih bisa berkali-kali membanting stirnya agar tidak menabrak yang lainnya.

“Na ...,” panggil Jovan pelan, ia terus-terusan mendengar isak tangis Hanna dari earphonenya, “Ditutup dulu ya telponnya?” pinta Jovan. Bukan karena isakan Hanna menganggu konsentrasinya, namun, Jovan takut apabila terjadi sesuatu yang buruk, Hanna mendengar itu dari sambungan telpon, Jovan tak mau hal tersebut membekas dan akan terus ada diingatan, lalu menjadi trauma di kemudian harinya.

“Enggak, Kak ..., g-gimana bisa aku tutup telponnya?!” isak tangis Hanna semakin terdengar lebih kencang dari sebelumnya, sempat beberapa kali juga Jovan dengar bagaimana Hanna memanggil orang-orang yang mungkin masih ada di kantor untuk membantunya, sangat panik sekali sampai-sampai beberapa kalimat yang Hanna ucapkan terdengar tak beraturan.

Entah sudah keberapa kalinya Jovan berusaha menginjak rem mobil tersebut, dan mencoba berbagai cara lainnya untuk menghentikan laju mobil, yang semua hasilnya hanyalah nihil saja. Hingga detik berikutnya, Jovan hanya mampu pasrah dengan apa yang terjadi, ia sempat beberapa kali memukul kesal stir mobil tersebut karena sudah sangat putus asa dengan berbagai usahanya.

Namun, di lain sisi, Jovan menyadari bahwa Hanna masih tersambung dengannya, dan akan terus mendengar apapun yang akan terjadi selanjutnya, mengingat Hanna enggan sekali menutup sambungan telponnya.

“Hanna, dengarkan saya, ya?” ujar Jovan setelah terdiam beberapa detik, ia juga akhirnya berhenti untuk mencoba menginjak rem mobil tersebut karena menyadari tidak akan ada hasilnya walau ia berusaha sekuat mungkin, “Saya enggak ada pilihan lain selain menabrakkan mobil ini, Na, kalau terus-terusan seperti ini, bisa-bisa saya membahayakan nyawa lainnya.” lanjut Jovan dengan suaranya yang terdengar tak terlalu stabil lagi karena napasnya yang tak karuan.

“Orang suruhan aku lagi jalan ke sana, please Kak Jo tahan sebisa mungkin, ya?”

Jovan tak langsung menjawab, yang bisa Hanna dengar hanyalah hembusan gusar napas Jovan saja.

“Na ...,” panggil Jovan pada akhirnya setelah diam beberapa saat, ia seperti berusaha terdengar tenang, walau sulit sekali baginya untuk tenang, “Mobilnya semakin kencang, Na ..., Saya takut membahayakan yang lain. Kamu boleh kirim bantuan, tapi saya gak bisa janji bisa pertahankan ini, Na ..., paham, ya?” jelas Jovan.

Tak sama sekali Jovan dengar jawaban dari Hanna atas permintaan tersebut, Jovan hanya mendengar isak tangis Hanna yang semakin menjadi, hal itu membuat Jovan semakin merasa tak karuan.

Saat melihat ke depan, tak seberapa jauh lagi mobil yang Jovan kendarai akan kembali melewati lampu merah. Dari jarak tersebut, Jovan lihat hanya ada satu kendaraan yang sedang menuju lampu hijau untuk kembali berjalan. Tapi hal tersebut tidak membuat Jovan lega, karena, saat ia kembali menerobos lampu merah itu, bisa saja ia bertabrakan dengan kendaraan yang melaju tak kalah kencang dari sisi lainnya.

“Hanna, kamu masih bisa dengar saya?”

“I-iya Kak ...”

“Enggak apa-apa, kamu tenang, ya? Bisa 'kan, Dek?” Jovan menekan earphone yang terpasang di telinganya, agar bisa mendengar dengan jelas suara Hanna, “Bisa tolong ikut arahan Kakak, Na?” tanya Jovan kembali saat dirasanya jarak menuju lampu merah sudah semakin dekat lagi.

“Gimana, Kak?” tanya Hanna, tak lagi terdengar isakan kencang seperti sebelumnya, namun, saat ini suara Hanna terdengar memelan, seperti takut sekali dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Dengarin baik-baik, ya, Na ...,” perintah Jovan, Hanna tak menyaut, namun ia dengan seksama mendengarkan Jovan dan menunggu Jovan melanjutkan perkataannya, “Entah apa yang akan terjadi, namun, apapun yang terjadi nanti, enggak ada sama sekali penyesalan bagi saya di hari ini, dan hari-hari sebelumnya, Na. Bertemu kamu, mencintai kamu, dan hadirnya Haekal merupakan kebahagiaan yang sangat saya syukuri sampai saat ini.” sambung Jovan. Hanna kembali menangis saat mendengar pesan tersebut yang lebih mirip seperti ucapan selamat tinggal untuk selamanya, rasanya tak sanggup lagi untuk Hanna mendengar lebih lanjut pesan Jovan berikutnya.

“Jangan menangis, Na ..., kalau memang ini kesempatan terakhir yang Tuhan beri kepada saya, tolong jangan menangis ..., saya mau dengar apapun yang terucap dari bibir kamu, asalkan jangan isak tangis.” pinta Jovan memohon sekali. Walau Jovan paham, di keadaan seperti ini, sangat sulit bagi Hanna untuk tidak menangis.

“Saya sayang sekali sama kamu, Na. Kamu cinta pertama dan terakhir bagi saya, satu-satunya di kehidupan saya. Terima kasih, ya, untuk semuanya? Maafkan juga karena sering kali saya menorehkan luka. Sekarang ..., berbahagialah, Na, bersama Jagoan kita ...,”

“Kak ..., Kak Jovan ....” lirih Hanna terisak-isak.

“Katakan, Na, saya mohon katakan kalimat itu,” mohon Jovan, ia seakan mendesak, karena beberapa detik lagi ia akan menerobos lampu merah tersebut, dan entah apa yang akan menghantamnya nanti.

“Aku cinta sama Kak Jo, dan masih ..., hiks ..., tolong kembali, ya?” tangis Hanna pecah sekali, Jovan yang mendengar kalimat tersebut seketika tersenyum, kalimat itu adalah kalimat yang ingin Jovan dengar setidaknya sebelum ia pergi.

“Terima kasih, Na. Kalimat itu sudah cukup untuk saya dengar di saat-saat seperti ini.” tanpa terasa, kedua sudut netra Jovan sudah basah oleh air matanya. “Na, selanjutnya ikutin arahan saya, ya?” tuntun Jovan selanjutnya.

Jovan kembali tak mendengar jawaban atas permintaannya, karena sudah tak ada waktu lagi, Jovan menganggap diam Hanna adalah 'Iya', sehingga Jovan segera melanjutkan perintahnya kepada Hanna.

“Na, saya sayang sama kamu, tolong, tolong ..., tolong jauhkan dulu handphone kamu, jangan ditempelkan di telinga. Saya mohon, Na. Sekarang, Na, sekarang juga jauhkan!”

Mobil tersebut melaju begitu kencang menerobos lampu merah, sesuai dengan perkiraan Jovan sebelumnya, Jovan pun berhasil menghindar agar tak menabrak mobil kuning yang sedang menunggu lampu merah. Namun, saat Jovan melihat ke samping, ada sorot terang dari lampu sebuah truk yang melaju kencang ke arahnya.

Tak ada yang bisa Jovan lakukan lagi selain memejamkan kedua matanya, pasrah dengan apapun yang akan terjadi di detik berikutnya, tangannya pun sudah ia lepaskan dari kemudi mobil.

Dengan semua rasa dan asa yang telah Jovan pasrahkan, ia hanya mampu mengingat bagaimana indahnya dua wajah yang akhir-akhir ini menemaninya. Jovan membayangkan senyum hangat milik Hanna dan Haekal yang akan mengatarkannya kepada keabadian, dan dengan sendirinya ranum damai terlukis dengan amat sempurna di bibir Jovan, sembari hatinya berbisik, “Syukurlah, saya mendapatkan akhir yang indah untuk meninggalkan dunia. Jaga mereka selalu, Tuhan.”

Detik berikutnya, yang hanya bisa Jovan dengar adalah bunyi benturan yang teramat kencang, ia merasa tubuhnya terombang-ambing tak karuan, lengkap dengan rasa sakit di segala bagian badannya yang membuat dirinya tak mampu bergerak barang sedikitpun, dengan pandangan yang sudah sangat kabur, Jovan hanya mampu melihat arloji hitam yang dibelikannya untuk Haekal terjatuh tepat di sampingnya, dengan kacanya yang sudah retak dan banyak darah di sisinya.

“Kak?!”

“Kak Jo, please jawab, Kak!”

“Tolong ... Tolong bantu saya ... Tolong ....”

“Kak Jovan!”

“Kak ...”

Suara Hanna yang masih bisa Jovan dengar perlahan semakin memelan, ingin sekali Jovan menjawabnya, namun, sedikitpun tubuhnya tak punya kuasa untuk bergerak dan juga bersuara. Hingga pada akhirnya, tak ada lagi suara yang mampu Jovan dengar dari telinganya, diikuti pula dengan penglihatannya yang perlahan menjadi putih dan hampa.


“Selamat, Istri Bapak baru saja melahirkan anak laki-laki.” ucap seorang suster sembari memperlihatkan bayi mungil, dengan kulit bayi tersebut yang terlihat masih merah kepada Jovan.

“Anak kita, Na,” lirih Jovan pelan, tangannya masih setia menggenggam jemari Hanna yang masih terbaring lemah pada Hospital bed, Hanna mengangguk lemah, namun senyum tak luput pudar dari bibirnya, begitu pun dengan matanya yang mulai berlinang bahagia, “Saya izin lepas, ya? Mau gendong jagoan kita.” Hanna kembali mengangguk merespon ucapan Jovan barusan. Dengan sangat perlahan dan hati-hati, seakan tak mau gerakannya dapat menyakiti Hanna, Jovan melepaskan genggaman tangannya, kemudian kembali mengecup puncak kepala Hanna sebelum menghampiri suster di sampingnya.

“Saya gendong, ya, Suster? Sudah boleh 'kan?” tanya Jovan, matanya tak henti-hentinya memandang bayi tersebut dengan tatapan kagum.

“Boleh sekali, Pak Jovan, silahkan ...” sahut sang suster, dengan sangat hati-hati Jovan menyambut bayi tersebut, hingga dengan sempurna bayi tersebut berada dalam dekapan hangat Jovan.

Bayi tersebut dengan matanya yang belum mampu terbuka, dengan bibir dan hidung yang sangat mirip sekali dengan milik Ibunya, berhasil membuat Jovan menitihkan air matanya bahagia. Sang buah hati yang selama ini mereka perjuangkan dan tunggu-tunggu hadirnya, sekarang sudah bisa ia timang dan dekap.

“Jagoan kita, Na, jagoan hebat kita,” tutur Jovan, masih dengan matanya yang basah karena air mata, “Terima kasih, ya, Na, terima kasih banyak ... Saya janji akan menyayangi kamu dan jagoan kita selamanya, saya janjikan bahagia untuk keluarga kita, Na, terima kasih, ya, Sayang ...”

“Anak Ayah, Jagoan Ayah, terima kasih ya sudah terlahir ke dunia. Kamu adalah anugrah terindah yang kami punya, Nak, Ayah akan berikan kamu bahagia, ya, Nak, tanpa boleh sedikitpun duka yang menimpa.”

Seisi ruangan dipenuhi haru mendengar ucapan tersebut, tentunya dengan Hanna yang kembali menangis bahagia, mengingat perjuangan yang telah mereka lalui sangatlah panjang dan juga berliku untuk mempertahankan janin mereka.

imagee

Mereka berhasil pada akhirnya, janin yang mereka perjuangkan sudah terlahir di dunia, dengan keadaan sehat dan diliputi bahagia yang tiada tara dari sang Ayah dan juga Ibunya.

“Jagoan kita, siapa namanya, Kak?” tanya Hanna kemudian.

Jovan tak langsung menjawab, ia kembali menatap bayinya dengan senyum hangat khas miliknya, lalu menatap Hanna dengan teduh dari matanya, “Haekal Adhitama,” jawab Jovan sangat yakin dan mantap.

“Haekal?” tanya Hanna penasaran dengan makna dari nama tersebut.

“Haekal berarti Akar yang besar dan subur, layaknya harapan kita, Na. Haekal akan tumbuh seperti akar yang kuat apabila diterpa apapun, bahkan badai sekalipun. Dan juga akan selalu bermanfaat bagi manusia lainnya. Adhitama, berasal dari nama belakang saya. Bagaimana, kamu suka?”

“Suka, Kak, nama yang indah untuk jagoan kita.” Balas Hanna tersenyum bahagia, dan juga terdengar tangisan dari Haekal kecil yang sedang Jovan timang.

Melihat senyum Hanna dan juga mendengar suara tangis anaknya, membuat Jovan merasa sangat bahagia tak karuan, ia seperti sedang menggenggam dunianya saat ini. Tak pernah ia rasakan bahagia yang teramat indah seperti hari ini selama hidupnya, sampai-sampai ia berpikir apabila dunia berakhir hari ini, tak akan ada penyesalan lagi dalam hidupnya.

“Anak kita, Na, lihat deh−” seketika Jovan terdiam saat melihat ke depan, tak ada Hanna di hadapannya, begitupun dengan beberapa suster yang tadinya ada di sekitar mereka. Jovan melihat ke sekelilingnya, semuanya hilang dan tak ada satupun yang tersisa.

“Haekal?!” Jovan semakin panik karena tak ada lagi bayi dalam dekapannya.

Jovan terduduk lemas, kakinya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. Masih ia memperhatikan sekitarnya yang hanya dipenuhi putih dan terasa sangat hampa.

Jovan yang sudah tertunduk, perlahan mulai menengadahkan kepalanya, melihat ada cahaya yang teramat terang di depannya, kemudian ia tersenyum menatap cahaya terang itu yang semakin mendekat ke arahnya, membuat pandangannya tak bisa melihat sekitar lagi karena terangnya cahaya tersebut.

“Ah ternyata halusinasi yang saya ciptakan ...” batin Jovan menyadari.

“Jika memang ini halusinasi, tak masalah …, setidaknya bisa melihat jagoan lahir, sebelum benar-benar pergi dari dunia, terima kasih, Tuhan, untuk akhir yang bahagia.”

imageee

-Ara.