Mah, pulang...

“Bu Sarah, saya bisa sendiri, kok.” Merupakan kalimat pertama yang Haekal ucapkan ketika dilihatnya Ibu wali kelas, sekaligus sahabat dari Mamahnya datang untuk menemani Haekal yang sedang terbaring sendiri.

Sarah tak terlalu meladeni perkataan Haekal barusan, ia memilih untuk membetulkan posisi selimut Haekal yang sedikit tertarik ke bawah, dan melihat infus yang menancap di tangan Haekal untuk memastikan dalam kondisi aman. “Mau makan lagi, Kal? Atau ada sesuatu yang kamu mau makan, nanti Ibu cari.” Tawar Sarah dan hanya dibalas Haekal dengan menggelengkan kepalanya pelan, kemudian menatap kosong ke arah jendela.

“Kenapa, Bu?” Setelah berlama dengan saling diam, Haekal memberanikan diri untuk bertanya, Sarah yang tadinya sedang fokus dengan buku yang ia bawa, segera mengalihkan pandangannya, dan memberikan perhatiannya kepada Haekal.

“Kenapa apa, Haekal?” Tanya Sarah balik, karena tak terlalu paham maksud dari pertanyaan Haekal barusan. Sejenak Haekal diam, dan kembali mentap kosong jendela kamar inapnya, seperti memikirkan kembali, apakah ia harus menjelaskan maksud dari pertanyaannya kepada Sarah atau tidak.

“Kenapa saya dilahirkan?” Setelah diam sejenaknya, Haekal melanjutkan pertanyaannya, sontak kedua bola mata Sarah membuka lebar mendengar pertanyaan itu, “Pertanyaan itu masih belum bisa saya temukan jawabannya.” Ucap Haekal lagi.

“Haekal,” Dengan lembut Sarah memanggil Haekal, agar remaja itu tidak terus-terusan menatap kosong ke arah Jendela, “Kenapa kok sampe timbul pertanyaan kayak gitu?” Tak menjawab, Sarah malah bertanya alasan Haekal menanyakan itu, setelahnya yang terdengar hanya tawa kecil dari bibir Haekal.

“Entah, setiap hari, setiap saat, setiap melihat Mamah, yang ada dipikiran saya hanya pertanyaan itu.” Jawab Haekal dengan bibir yang tersungging tipis, seolah sedang menertawakan kehidupannya sendiri.

“Kamu dilahirkan dari rasa sayang Mamah kamu, Haekal. Jadi, pertanyaan seperti itu seharusnya gak perlu kamu pikirin lagi.”

“Bohong,” Dengan segera Haekal membantah jawaban tersebut, “Bohong apabila jawabannya karena Mamah sayang saya. Di dunia ini enggak ada yang sayang saya, Bu. Mamah, Kakek, Nenek, bahkan saudara jauh lainnya gak pernah anggap saya ada, saya cukup besar untuk mengerti bahwa kehadiran saya tidak diharapkan oleh keluarga besar Hanasta, malah terasa seperti saya ini aib yang harus ditutupi dari dunia luar.” Sarah hanya diam, ia seakan kehabisan kata untuk menjawab Haekal, ia juga tak menyangka Haekal akan membicarakan hal yang seserius ini, karena biasanya Haekal hanya diam tak banyak bicara apabila bersama Sarah.

“Bu Sarah satu-satunya teman Mamah, Bu Sarah juga orang kepercayaan Mamah, bahkan segala hal terkait pendidikan saya, Ibu yang mengurusi dengan apik, sehingga jati diri saya yang sebenarnya enggak tercium publik.” Seakan tak mau berhenti, Haekal kembali melanjutkan perbincangan tersebut, seolah pertanyaan ini sudah tak tertahan lagi oleh dirinya, “Dengan fakta itu, sudah bisa dipastikan kalau Bu Sarah setidaknya tau, alasan mengapa Mamah pertahankan saya untuk lahir dan tetap hidup di dunia yang enggak adil ini.”

“Bu, tolong jawab saya...” Pinta Haekal, terdengar seperti sangat memohon agar Sarah mau menjawab pertanyaan besar dalam hidupnya, sedangkan Sarah, masih tetap hening, dan menatap Haekal iba.

“Saya enggak butuh tatapan kasihan seperti itu, Bu... Yang saya mau hanyalah jawaban dari pertanyaan barusan.” Singgung Haekal ketika menyadari ada belas kasihan yang Sarah perlihatkan untuknya, “Setidaknya jawaban itu bisa mengembalikan semangat hidup saya yang saat ini sepertinya sudah hilang entah kemana... Yang ada dipikiran saya saat ini hanyalah mati, Bu, saya lelah, sungguh lelah...” Hati Sarah seperti teriris mendengar ucap penuh keputus-asaan itu, Haekal yang saat ini sedang berbicara di depannya, sangat berbeda dengan Haekal sebelumnya yang selalu terlihat sebagai sosok yang kuat. Haekal yang ada di hadapannya kini terlihat sangat rapuh, dan putus asa, membuat siapapun yang melihatnya akan merasakan duka yang selama ini menimpanya.

“Haekal Hanasta...” Sarah mencoba bersuara, terdengar suaranya yang sedikit bergetar, karena dipelupuk matanya terdapaat bendungan bening dari air mata yang meminta untuk ditumpahkan. “Maafin Ibu, ya? Maaf karena tanpa sadar, Ibu juga sudah ikut berkontribusi membuat kehidupan kamu terasa semenyakitkan ini dengan menyembunyikan identitas kamu...” Tak terbendung lagi, ucapan itu Sarah katakan dengan tetesan air mata yang berjatuhan membanjiri pipinya, Haekal yang mendengar itu hanya mampu terpejam, manahan sakit yang lubuk hatinya rasakan.

“Ibu enggak bisa jawab banyak, Haekal... Maafkan Ibu, tapi satu yang Haekal harus tau, Hanna pertahankan kamu dengan segenap tenaga dan keberaniannya, mati-matian dia pertahankan kamu untuk tetap hidup.” Lanjut Sarah, mencoba berhati-hati menjawab pertanyaan yang Haekal ajukan, perlahan Haekal kembali membuka matanya, memandang Sarah, dan mencari kejujuran dari netra Sarah.

“Tapi kenapa, Bu? Kenapa Mamah perlakukan saya sebegitu dinginnya? Seakan-akan saya enggak pernah diharapkan lahir?” Tanya Haekal lagi, belum puas dengan jawaban Sarah barusan.

“Keadaan yang memaksa, Haekal.” Jawab Sarah segera, Haekal menatap Sarah semakin lekat, meminta penjelasan lebih lanjut dari ucapannya. Sejenak Sarah menutup matanya sebelum melanjutkan jawabannya, terlihat sangat berat bahkan dari napas yang ia hembuskan.

“Mamah kamu diusir ketika hamil, diminta menjauh agar dunia gak tau kalau dia sedang hamil. Sendirian, Haekal, Hanna sendirian mempertahankan kamu. Saya saat itu masih tidak berkecukupan, sehingga untuk membantu Hanna juga gak mampu, hanya bisa membantu sebatas memastikan beras ada di kontrakan kecil yang dia sewa.” Sarah mulai bercerita, Haekal menegakkan duduknya, menatap tak percaya ke arah Sarah, karena cerita seperti ini baru kali ini dia dengar.

“Sedikitpun Kakek dan Nenek kamu enggak kasih Hanna uang. Mereka cuma mau menerima Hanna kembali, apabila Hanna mau gugurkan kamu. Maaf, maaf harus ceritakan ini, tapi Ibu percaya, kalau Haekal sudah cukup dewasa untuk tau perjuangan Mamah kamu. Tapi, sekiranya cerita dari Ibu menyakiti hati Haekal, Ibu enggak akan lanjut bercerita.”

“Bu, lanjutkan. Saya mau dengar semuanya.” Tanpa berpikir panjang, Haekal segera menjawab itu.

“Ibu gak bisa kasih tau semuanya, Kal, bukan ranah Ibu untuk kasih tau kamu. Tapi, untuk kali ini, Ibu akan kasih tau bagaimana besarnya rasa sayang Hanna untuk kamu.” Ucap Sarah menjelaskan terlebih dahulu, khawatir Haekal kecewa apabila ceritanya tak begitu lengkap dan mendetail. Dengan berat Haekal mengangguk, menyetujui itu, setidaknya ada setitik cahaya masa lalu yang Haekal ketahui hari ini.

“Untuk beli vitamin, check up masa kehamilan, Hanna harus bekerja, Kal... Menjahit, jual kue, bahkan sempat berjualan pernak-pernik yang dia buat sendiri di pasar. Saat itu Ibu kagum, Hanna yang sudah terbiasa dengan hidup penuh kemewahan, berhasil bertahan dengan kehidupan yang mendadak serba kekurangan. Semua itu dia lakukan untuk mempertahankan kamu supaya tetap lahir dalam keadaan sehat, Kal.” Tak hentinya bulir bening mengalir membasahi kedua pipi Sarah selama ia bercerita.

“Haekal... Patah hati terbesar yang Hanna rasakan saat itu adalah ketika menjadi bahan perbincangan orang-orang ketika dia datang seorang diri ke dokter kandungan, ditambah lagi dengan usianya yang semuda itu. Selalu saja Hanna menjadi bahan gosip Ibu hamil lainnya yang mengecap bahwa Hanna bukanlah wanita baik-baik.”

“Tiap kali pulang dari check up, Hanna datang ke rumah saya, dia menangis terisak-isak, Kal. Dipandang sebelah mata oleh pasien lainnya, dilihat dengan tatapan jijik oleh pasien lainnya, bahkan, perawat dengan sengaja bertanya mana Ayah dan keluarga yang menemani dengan suara yang keras, agar pasien lainnya bisa dengar. Sebegitu patahnya hati Mamah kamu dulu, Kal...” Mendengar itu, tanpa sadar Haekal mengepal kedua tangannya keras, walau hanya dari cerita, Haekal seakan merasakan betapa beratnya masa lalu yang Mamahnya lewati untuk mempetahankan Haekal.

“Ayah sudah meninggal saat itu, Bu?” Sarah menunduk ketika pertanyaan itu diajukan oleh Haekal, dan dengan berat hati ia menjawab, “Ayah kamu sudah enggak ada saat itu, Kal.” Jawabnya ambigu, tidak mengiyakan, dan hanya mengatakan “tidak ada” yang artinya bisa sangat luas bagi Haekal.

“Tapi saya masih belum paham, kenapa Mamah sedingin ini dengan saya, Bu.”

“Haekal, kamu tau gak, saat lahir kamu mempunyai kelainan pada bagian jantung, yang mengharuskan kamu dioperasi untuk tetap selamat.” Haekal menggeleng, menandakan bahwa ia tak tahu prihal itu, karena tak ada satupun yang menceritakan itu kepadanya.

“Hanna kacau saat itu, Kal. Minta bantuan kepada Ibu juga gak bisa, Ibu saat itu gak punya uang buat bantu Hanna. Pihak rumah sakit mendesak Hanna untuk segera menyetujui operasi tersebut, karena melihat kondisi kamu yang semakin memburuk, sedangkan uang belum terkumpul sedikitpun,” Cukup berat rasanya untuk Sarah menceritakan masa kelam Hanna, namun, ini mungkin satu-satunya jalan agar Haekal kembali menyayangi Hanna seperti dahulu kala.

“Hanna akhirnya menurunkan egonya, Kal, menelpon Kakek kamu, meminta bantuan untuk biaya operasi kamu. Dan, Kakek kamu bersedia membantu, dengan syarat Hanna harus menjauh dari kamu, dan publik tidak boleh mengetahui jati diri kamu.”

“Berat jadi Hanna, keadaan selalu memaksa dia, keadaan juga yang membuat hatinya mati, dan membuat dia kehilangan kesempatan menjadi seorang Mamah yang memiliki ikatan emosi yang baik dengan anaknya sendiri.”

“Haekal, mulai sekarang harus hilangin pikiran seperti tadi, ya? Karena, Ibu yang tau bagaimana perjuangan Mamah kamu untuk bertahan, Kal. Memang, Hanna salah memperlakukan kamu, tapi percaya sama Ibu, kalau Hanna saat ini sedang berusaha untuk bisa membayar semua luka yang kamu rasakan dari kecil.”

“Butuh waktu, Kal, karena Mamah kamu juga menyimpan luka yang sangat mendalam. Dari masa kehamilan kamu, melahirkan kamu yang ia lewati seorang diri, bahkan sampai saat ini. Banyak trauma yang sedang pelan-pelan Mamah kamu sembuhkan, itu semua dia lakukan demi kamu, Kal. Demi bisa dekat dengan kamu, dan membayar luka dan duka yang selama ini menyakiti kamu.”

Haekal diam, tak bisa berkata apa-apa, pandangannya kosong selama mendengar cerita panjang nan menyakitkan itu, hatinya terasa sakit sekali. Tanpa ia sadari, tangannya sudah naik, meremas tepat dibagian dadanya yang terasa sesak, dan sesekali memukul dadanya itu.

“Haekal?” Panggil Sarah panik, baru saja ia hendak bangkit untuk memanggil perawat yang menjaga, Haekal menahan lengannya untuk tetap duduk.

“Dada saya sesak, rasanya, Bu...” Ucap Haekal pelan, dilihat Sarah mata Haekal sudah mulai memerah, seperti akan menumpahkan butiran bening dari sana.

“Ibu panggilkan dokter, ya?”

“Jangan, Bu, Dokter enggak bisa sembuhkan...” Tolak Haekal segera, Sarah masih tak tenang melihat Haekal yang nampaknya benar-benar merasakan sesak di dadanya. Diambilnya gelas berisikan air putih untuk diberikan kepada Haekal, dengan harapan Haekal bisa sedikit tenang setelahnya. Dan benar saja, setelah meminumkan air putih itu, Haekal terlihat sedikit lebih tenang dari sebelumnya, walau napas berat masih terdengar dari telinga Sarah, tapi setidaknya saat ini tangan Haekal sudah tidak meremas bagian bajunya dengan kencang.

Setelah itu keduanya diam, Sarah hanya memperhatikan Haekal yang saat ini hanya menatap kosong ke arah sofa yang terdapat pada ruangan tersebut, entah apa yang sedang Haekal pikirkan saat ini, yang jelas Sarah bisa melihat tatap penuh kesedihan dari mata Haekal.

“Bu...”

“Iya, Haekal?”

“Mamah besok pulang, kan?” Sarah tersenyum haru mendengar pertanyaan itu, dan mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.

“Iya, besok Mamah kamu pulang, Kal.” Haekal mengangguk paham, dan menyenderkan tubuhnya pada ranjang, kemudian mengambil remote tv yang ada di sebelahnya, ia hendak menyalakan televisi guna mengalihkan fokus Sarah agar tak menatapnya dengan Iba lagi. Sarah seakan mengerti, ia pun mengambil ponselnya, dan mengentik pesan untuk Hanna untuk segera pulang, tanpa menunda-nunda, agar Haekal tak terlalu lama menunggunya.

“Pesawat dengan nomer GRD-184 rute Jakarta-Bali dikabarkan hilang kontak dari dua jam yang lalu.”

Suara dari televisi yang baru saja dinyalakan oleh Haekal membuat jemari Sarah yang tadinya dengan lancar mengetikkan pesan, terhenti seketika. Begitupun dengan Haekal yang membeku setelah mendengar berita tersebut, bahkan detik kemudian, remote yang sedang ia pegang, terjatuh ke lantai.

“Bu...” Panggil Haekal pelan dan terdengar bergetar, “Bukan pesawat Mamah, kan?” Sambung Haekal bertanya pelan. Sarah tak bisa menjawab itu, namun dengan segera ia menelpon sekretaris Hanna yang pastinya mengetahui pesawat mana yang Hanna gunakan untuk menuju Bali.

“Halo?! Hanna enggak pakai pesawat yang diberitakan kehilangan kontak, kan? Pasti beda pesawat, kan?” Tanpa banyak basa-basi, Sarah segera bertanya kepada sekretaris Hanna. Entah apa jawaban dari pertanyaan itu, yang Haekal lihat hanyalah mimik wajah Sarah yang semakin tak karuan.

“Bu?” Panggil Haekal, Sarah tak menjawab, handphone yang tadinya berada dalam genggamannya seketika terjatuh, seolah sang empu sudah sangat kehabisan tenaga.

“Bu?! Bukan pesawat Mamah, kan?!” Intonasi Haekal meninggi kali ini, ia mulai panik ketika melihat Sarah yang saat ini malah menunduk tak mampu menatap wajah Haekal dan memberikan jawaban yang ia dapat dari sekretaris Hanna.

“Bu, jawab saya! Bukan pesawat Mamah, kan?”

“Haekal...”

“Bukan, kan? Tolong jawab bukan, Bu...”

“Kita doakan..., doakan segera ditemukan, ya... Hanna... ada disana...”

Layaknya petir yang menyambar, jawaban tersebut berhasil membuat jantung Haekal seperti berhenti berdetak seperkian detiknya. Haekal merasakan runtuh, ia seperti ditimpa beban yang berat pada tubuhnya, matanya kembali memanas, tangannya kembali mengepal keras setelah mendengar berita itu.

“Enggak, enggak mungkin, Bu... Enggak mungkin!” Teriak Haekal tak bisa menguasai dirinya, matanya sudah berair, “Jawab saya Bu! Itu bukan pesawat yang Mamah naikin!” Sarah hanya mampu diam dan menunduk, tak bisa ia menjawab pertanyaan Haekal, tak bisa juga ia menenangkan Haekal, karena saat ini, ia pun merasakan sangat kalut setelah mendengar berita itu.

“Enggak, Bu, Mamah udah janji bakalan pulang besok. Mamah pasti pulang! Itu bukan pesawat Mamah, Mamah pulang kok besok, pasti.” Ucapan Haekal mulai tak karuan, ia berusaha bangkit dari ranjangnya, dan dengan cepat menarik infus yang masih tertancap pada tangannya secara paksa.

“Enggak... Mamah udah janji kok sama saya akan pulang,” Haekal berhasil berdiri, dengan tangannya yang bertumpuh kepada Nakas pasien agar tak terjatuh, mengingat fakta bahwa tubuhnya masih terasa lemas sekali untuk berdiri, apalagi untuk berjalan.

“Haekal, Ibu tau sulit untuk tenang saat ini, tapi kamu jangan banyak bergerak, ya? Kamu belum terlalu pulih.” Sarah berusaha untuk mendudukan Haekal pada sisi ranjang, namun, Haekal nampaknya tak mau, ia malah berusaha untuk berjalan menuju pintu keluar, entah untuk apa.

“Haekal!” Pekik Sarah setengah berteriak ketika dilihatnya Haekal terjatuh karena kakinya belum mampu untuk melangkah jauh, ditambah lagi darah yang menetes di lantai akibat ulah Haekal yang menarik paksa infusannya.

“Sebentar, Ibu panggil perawat, ya...” Setelah itu Sarah bergegeas melangkah ke luar untuk memanggil perawat yang berjaga.

Tangis Haekal tumpah ruah, bahkan isakannya terdengar keras dipenjuru ruangan ini, tak henti tangannya memukul lantai dingin dengan emosi, beberapa kali mencoba untuk bangkit, namun gagal, karena tubuhnya yang terasa lemas bukan main.

“Mah...” Setelah lelah menangis dan berteriak menyalahkan tubuhnya yang lemah, Haekal hanya bisa memanggil lirih Mamahnya pelan. Ketika datang beberapa perawat menghampirinya, dan menyuntikkan sesuatu pada tubuhnya, Haekal merasakan kepalanya berputar-putar, dan rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya, hingga akhirnya ia hanya bisa lihat cahaya terang putih yang mendominasi, dalam hati diam-diam berbisik, berharap agar semua ini hanya mimpi semata, dan Haekal hanya perlu bangun untuk menyelesaikan mimpi buruk ini.

“Pulang, Mah...” Lirihnya lemah sebelum semuanya terlihat gelap.


“Saya besok ke sana.” “Gak perlu, saya gak berharap ketemu Mamah.”

Haekal mengusap kasar wajahnya karena kalimat tersebut terus-terusan menghantui pikirannya, terhitung sejak tiga puluh menit ia sadarkan diri. Ia harap ini hanyalah mimpi buruk semata, namun, sayang, kecelakaan pesawat itu benar terjadi, dan menimpa Mamahnya.

Hancur rasanya, sesal merundung Haekal, permintaan untuk tidak mau bertemu dengan Mamahnya seakan segera direstui oleh semesta, tepat disaat masa lalu pedih yang telah mamahnya lalui baru saja diketahui Haekal. Saat ini dunia Haekal runtuh, tak berbentuk lagi, rasa bersalah menusuk hatinya, apalagi ketika mengingat kembali bagaimana sikap dingin dan ketusnya kepada sang Mamah akhir-akhir ini.

Kembali mata Haekal memanas, untungnya ia hanya sendiri di ruang ini, karena Sarah pergi untuk menanyakan kabar terbaru dari pesawat yang Hanna tumpangi. Tak kuasa Haekal membayangkan bagaimana hidupnya nanti tanpa Mamah, hanya Mamahnya yang ia punya, hanya itulah satu-satunya permata indah yang Haekal miliki.

Haekal tak berani melihat handphone dan televisi, karena semuanya berisikan berita terkait hilangnya pesawat itu, sebagaian dari dirinya masih menolak untuk mempercayai bahwa Mamahnya telah hilang bersama pesawat itu, dan sebagian lagi sudah terpuruk untuk berduka, karena belum ada pertanda baik yang datang kepadanya.

“Mah, maaf...” Hanya itu yang dapat terucap, selebihnya hanya tangis dan sesak tak tertahan yang menyiksa Haekal. “Maafin Haekal... Maaf, Mah...” Semakin deras bulir bening berjatuhan, menyebabkan pandangan Haekal kabur, dan tak dapat melihat sekitar dengan jelas.

Terdengar suara pintu ruangan yang dibuka, entahlah siapa itu, Haekal tak dapat melihat dengan jelas, lagipula kali ini ia benar-benar tak mau diganggu oleh siapapun. Haekal hanya mampu memberi kode dari tangannya agar orang tersebut tak masuk ke dalam ruangannya.

“Haekal?” Panggil dari suara itu, Haekal yang sangat mengenali suara itu, segera mengusap air mata yang memenuhi netranya untuk dapat melihat jelas siapa orang itu. Haekal tak percaya dengan yang dilihatnya saat ini, bahkan butuh beberapa kali untuk Haekal menggosok matanya, memastikan bahwa saat ini ia tak salah melihat.

“Mah?” Suara Haekal bergetar, ia berpikir bahwa ini hanyalah halusinasi semata karena dirinya merasa terlalu tepukul dengan berita yang beberapa waktu lalu ia terima. “Mamah?” Sekali lagi Haekal memanggil wanita yang sedang berdiri memandangnya khawatir.

“Iya, Haekal, ini Saya.” Jawab Hanna segera mendekati Haekal yang masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kamu kenapa sampai lepaskan infusan, Kal? Ini apa?” Hanna sangat khawatir ketika melihat luka bekas infusan yang Haekal tarik dengan paksa, ditambah lagi dengan beberapa memar merah yang terdapat pada tangan Haekal akibat jatuh dari usahanya yang hendak melangkahkan kakinya pergi.

“Haekal? Ini saya, benar-benar saya.” Hanna menyadari Haekal yang tak kunjung meresponnya, Haekal masih menatap tak percaya ke arahnya, seperti belum yakin bahwa saat ini ia sedang tidak berhalusinasi.

“Saya takut,” Ungkap Haekal pada akhirnya, “Beberapa menit yang lalu juga saya berhalusinasi ada Mamah duduk di samping saya, namun, setelah sadar, ternyata enggak ada siapa-siapa di samping saya.” Lanjut Haekal dengan air mata yang masih belum berhenti terjatuh.

“Ini saya, ini benar-benar saya, Haekal. Haekal sedang tidak berhalusinasi. Ini Mamah...” Hanna berusaha meyakini Haekal yang masih tak percaya dengan yang dilihat, Haekal menggeleng, masih juga belum percaya, ia benar-benar takut kali ini adalah halusinasi ia semata.

Tanpa berpikir panjang lagi, Hanna segera memeluk Haekal yang nampak sangat ketakutan, ia dekap putranya itu dengan erat, “Ini Mamah, Haekal... Ini Mamah, Mamah gak naik pesawat itu, Mamah masih punya janji kan untuk bertemu kamu. Ini Mamah, Haekal harus percaya dengan apa yang Haekal lihat.” Ucapnya selagi mengusap bahu Haekal yang bergetar akibat tangisan hebatnya.

“Mah, Mamah... Mamah... Ini Mamah, kan?” Isak Haekal tak henti selama berada dalam pelukan Hanna.

“Iya, Kal, ini Mamah...” Jawab Hanna tak bosannya. Baru kali ini ia memeluk Haekal, baru kali ini juga ia melihat Haekal menangis terisak-isak seakan tak mau kehilangannya, perasaan Hanna campur aduk saat ini.

“Haekal pikir akan kehilangan Mamah selama-lamanya, Haekal pikir Tuhan enggak beri kesempatan lagi untuk Haekal bisa peluk Mamah, Haekal pikir dunia Haekal sudah hancur seutuhnya, Mah...” Tak ada lagi ragu dan gengsi pada diri Haekal, ia menumpahkan semuanya saat ini juga, dari mulai tangis, sampai ketakutan yang menimpanya. Haekal yang saat ini berada pada pelukan Hanna, mirip sekali dengan anak kecil yang menangis sesegukkan bertemu dengan Ibunya setelah tertinggal di pusat perbelanjaan.

“Saya ada Haekal, saya selalu ada untuk kamu. Jangan khawatir lagi, ya?” Perlahan Hanna lepas pelukan tersebut, kedua tangannya yang hangat menangkup wajah Haekal, jemari lembutnya mengusap air mata Haekal yang membasahi. “Saya ada, dan saya kembali untuk ketemu kamu, Haekal. Mamah kan udah janji mau pulang dan kita bakalan pulang dari rumah sakit untuk ke rumah.” Dengan begitu lembutnya Hanna menenangkan Haekal, senyum ia kembangkan agar Haekal percaya bahwa semuanya baik-baik saja, dan tak ada hal buruk yang menimpanya. Tak ada lagi bulir bening yang terjun dari mata sayu bengkak milik Haekal, walau isakkan masih terdengar akibat tangis luar biasa yang Haekal tumpahkan, ini adalah tangisan paling dahsyat yang Haekal titihkan selama hidup belasan tahun di dunia.

“Maaf...” Pelan sekali Haekal mengatakan itu. Setelahnya, dengan lembut ia meraih tangan Hanna, dan mencium tangan tersebut, walau masih terlihat sedikit ragu dari gerakannya. Hanna terkejut, bingung dengan Haekal yang tiba-tiba mencium punggung tangannya.

“Kal?”

“Maafkan Haekal, Mah. Haekal salah selama ini, Haekal juga udah kasar ke Mamah, Haekal sudah menyakiti perasaan Mamah berkali-kali, bahkan Haekal sampai tega hati mengusir Mamah, Maafkan Haekal, Mah... Maaf...” Dengan penuh sesal, Haekal meminta maaf kepada Hanna. Hanna tak mampu menjawab, air mata yang ia tahan untuk tidak jatuh di hadapan Haekal akhirnya tumpah juga ketika mendengar permintaan maaf penuh penyesalan itu.

“Haekal salah, Mah, Haekal terlalu egois, Haekal terlalu gegabah, Maaf Mah...”

“Haekal takut Mamah pergi selamanya disaat Haekal belum sempat minta maaf kepada Mamah, Haekal benar-benar setakut itu Tuhan kabulkan permintaan Haekal yang salah.”

“Mah, maaf juga kerena hadirnya Haekal yang membuat hidup Mamah penuh duka, Maaf karena hadirnya Haekal Mamah merasakan hinaan, kesengsaraan yang menyiksa. Maaf, Mah, Maaf... Haekal sudah bikin kehidupan Mamah susah, bahkan Haekal juga yang bikin Mamah penuh trauma, Maafkan Haekal, Mah... Maaf karena sudah terlahir.” Hanna menggeleng, tak menyetujui kalimat-kalimat Haekal barusan.

“Bukan salah kamu, udah, ya? Jangan minta maaf kayak gini, hati saya sakit mendengarnya, Haekal.”

“Salah Haekal, Mah, kalau Haekal enggak ada, mungkin Mamah sudah hidup bahagia saat ini. Semuanya salah Haekal, Mah. Mamah wajar kok benci Haekal, karena memang pantas Haekal dibenci setelah semua yang menimpa Mamah karena hadirnya Haekal.”

“Haekal, dengerin Mamah,” Perlahan Hanna membantu agar Haekal tegak lagi, dikokohkannya bahu Haekal, ditatapnya lekat kedua netra Haekal, “Saya yang salah. Dan saya enggak akan mampu bertahan di dunia yang kejam ini kalau bukan karena kamu. Kamu alasan saya untuk tetap hidup, jadi, jangan pernah berpikiran seperti itu, ya?” Tak mau Haekal berlarut menyalahkan diri sendiri, tanpa ragu Hanna kembali memeluk Haekal, dengan harapan pelukan tersebut dapat menenangkan Haekal lagi.

“Mah, Maaf...”

“Bicara yang lain, ya? Asalkan jangan bicara masa lalu yang masih abu-abu untuk kamu tau. Haekal enggak salah, saya yang salah. Kita sudahi dulu ya obrolan ini, suatu saat ini kalau kondisi Haekal sudah membaik, kita lanjutkan lagi.” Ucapan Hanna seperti hipnotis bagi Haekal, karena setelah itu Haekal mengangguk menyetujui permintaan Hanna.

“Mah...” Panggil Haekal pelan.

“Iya?”

“Sedikit lebih lama, ya?” Pinta Haekal, Hanna tak mengerti maksud dari permintaan Haekal barusan. “Apa yang sedikit lama?” Tanya Hanna.

“Pelukan, Mah. Sedikit lebih lama lagi, ya? Baru kali ini Haekal bisa memeluk dunia Haekal.” Tanpa banyak pertimbangan, Hanna langsung mengeratkan pelukannya kepada Haekal, memejamkan matanya, merasakan betapa tenangnya saat ini. Begitupun dengan Haekal yang ikut memejamkan matanya, merasakan betapa hangatnya pelukan sang Ibu yang selama ini ia dambakan.

“Mah...” Lagi Haekal memanggil Hanna, walau pelukan masih melekat diantara keduanya, Hanna tak menjawab, hanya berdeham pelan merespon panggilan tersebut.

“Mah, Haekal ini celaka yang sebenar-benarnya ada, ya?”

IMG-20210926-WA0019

-Ara