Mah, Sarapan.

Sudah larut sekali saat Hanna sampai ke rumahnya, sempat ia disambut oleh Bi Nur, namun segera ia pinta agar Bi Nur Kembali tidur, melihat jarum jam sudah menunjukan pukul 2 pagi. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di luar kota, dan terjebak macet yang Panjang akibat kejadian kecelakaan yang terjadi di Tol Cikampek, akhirnya Hanna sampai juga di rumahnya yang besar dan terasa sepi ini.

Ketika akan melangkahkan kakinya menuju kamar, perhatian Hanna teralihkan saat melihat secangkir teh yang nampak sudah tak hangat lagi karena sudah terlalu lama menunggu untuk diminum. Di samping cangkir itu terdapat kertas kecil berisikan pesan, tanpa mempertimbangkan banyak hal, Hanna segera melihat isi pesan tersebut yang ternyata ditulis oleh Haekal untuk Bi Nur. Senyum terukir di bibir Hanna kala membaca isi pesan pada kertas itu, detik berikutnya ia langsung menyesap teh yang sudah dingin itu, tanpa tersisa sedikitpun.

Bi, Haekal ngantuk, kalau tehnya udah enggak panas sewaktu Mamah pulang nanti, tolong bikinkan yang baru, ya.

Mood Hanna yang tadinya tak bagus karena terjebak macet yang Panjang, seketika naik drastis hanya karena kertas kecil dan secangkir teh ya dingin dari Haekal, wajahnya yang sedari tadi hanya ditekuk kesal, saat ini sumringah tak karuan seperti baru saja memenangkan kuis berhadiahkan milyaran rupiah.

Setelah menghabiskan teh itu tanpa tersisa sedikitpun, Hanna menaiki anak tangga rumahnya untuk menuju kamar, tetapi sebelum itu, langkahnya terhenti kala melewati pintu kamar Haekal yang sudah tertutup rapat.

Dengan Gerakan yang terlihat ragu, perlahan Hanna mencoba memutar knop pintu kamar tersebut, dengan sangat berhati-hati, khawatir suara yang bising dapat membangunkan Haekal yang Hanna yakini sudah tertidur pulas. Benar saja, saat Hanna berhasil membuka dengan sempurna pintu tersebut, terlihat Haekal yang sudah terbaring pulas di ranjangnya, Kembali senyum terulas di bibir tipis milik Hanna, selanjutnya dengan langkah yang sangat berhati-hati, ia berjalan mendekati ranjang Haekal.

Hanna hanya berdiri, memandangi wajah tenang Haekal saat sedang tertidur pulas, sesekali melihat sekitar kamar Haekal yang sangat rapih, lengkap dengan beberapa mainan robot yang saat dulu pernah ia belikan untuk Haekal, Hanna terenyuh karena Haekal sangat apik sekali dengan mainan yang dulu ia belikan. Di kamar yang luas ini juga nampak buku-buku tebal berjejeran rapih, tak heran apabila Sarah mengatakan bahwa Haekal itu murid yang sangat cerdas jika dibandingkan murid-murid lainnya.

Ada juga sedih yang Hanna rasa, karena hampir belasan tahun ia tak pernah masuk ke dalam kamar anaknya ini. Selama ini, ia hanya pulang ke rumah, dan segera masuk ke dalam kemarnya, atau ruang kerjanya saja. Ia sangat menyesal karena sudah melewatkan banyak sekali momen indah pertumbuhan Haekal. Di lain sisi, Ia juga merasa sangat bersyukur karena Haekal tumbuh menjadi anak yang baik, dan juga cerdas, padahal sangat minim sekali kasih sayang dan pembelajaran yang ia beri kepada Haekal.

“Maafkan Mamah,” Ucap Hanna sangat pelan, tangannya terulur untuk mengusap lembut rambut Haekal.

Saat itu juga Hanna menyadari Haekal yang sedang ia usap lembut ini sudah tumbuh dewasa, bukan lagi Haekal kecil yang sering menangis karena Hanna yang tak memedulikannya. Hanna amat sadar, sudah sangat terlambat untuk memperbaiki semuanya, namun, terlambat bukan berarti tidak ada harapan untuk menyembuhkan, bukan?

Karena tak mau mengganggu tidur Haekal yang nampak sangat pulas, Hanna segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar itu, namun, belum sampai ia di awang pintu, langkahnya terhenti, tampak seperti tertinggal sesuatu. Dengan Langkah yang hampir mirip seperti mengendap, Hanna kembali mendekat ke arah Haekal, dan kemudian ia mencium kening Haekal, sembari membisikkan, “Terima kasih teh manisnya, ya, jagoan Mamah.”


Sinar Mentari nampak bersemangat sekali menunjukkan cahayanya di pagi ini, sampai-sampai tidur Hanna yang baru saja lelap beberapa jam diganggu oleh sinar yang menembus jendela besar kamarnya. Matanya menyipit untuk melihat ke arah jam yang merekat kokoh di dinding, Pukul 8 pagi dilihatnya.

Ia sedikit meringis kesal karena ingat hari ini harus menghadiri rapat pimpinan pada jam 10 pagi, itu berarti, tidurnya yang tak seberapa terpaksa untuk tidak dilanjut barang sejenak saja, mengingat Jakarta sangatlah padat di pagi hari.

Setelah sedikit merenggangkan badannya yang terasa sangat pegal, dengan Langkah malas, Hanna menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar besarnya itu untuk membersihkan badannya, dan bersiap untuk kembali berpusing ria dengan perusahaan miliknya.

Hampir 1 jam waktu yang Hanna habiskan hingga selesai mengenakan setelan yang akan ia pakai untuk menghadiri rapat pimpinan.

“Bi Nur, Mas Adi sudah siap?” Panggil Hanna membuka pintu kamarnya, saat dirasanya tatanan rambut dan riasannya nya sudah rapi. Ia begitu sibuk membenarkan sepatu hak tinggi yang dirasanya belum terlalu nyaman digunakan. Setelah dirasanya cukup nyaman, ia kembali menegakkan badannya, Betapa terkejutnya Hanna dengan kehadiran tiba-tiba Haekal yang kini sedang berdiri lengkap dengan senyum lebarnya, dan tak lupa masih dengan tangan yang dibalut perban.

“Haekal… Astaga, bikin kaget saya aja.” Hanna mengeluh sembari tangannya berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang karena terkejut dengan hadirnya Haekal.

“Mas Adi masih ngopi di bawah, Mah. Bi Nur lagi bersihkan dapur, kalo Haekal sedang tunggu Mamah.” Jawab Haekal dengan semangat, senyum manis di bibirnya masih merekah menatap Hanna. Sebetulnya Hanna masih merasa canggung dengan keadaan ini, ia belum terbiasa, namun, melihat senyum tulus dari Haekal berhasil meyakini Hanna untuk berani merespon Haekal sebagaimana mestinya.

“Kenapa kok tunggu saya, hm?”

“Mau bawakan tas Mamah, tadinya, sih, mau bantu pakaikan sepatu Mamah.” Jawabnya jujur, Hanna sedikit menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban itu.

“Memangnya saya anak kecil yang dipakaikan sepatu?” Tanya Hanna, tak dengan nada ketus sebagaimana biasanya yang ia lakukan, kali ini ia seperti merespon Haekal dengan sedikit candaan dari pertanyaannya. Haekal tak segera menjawab, ia dengan lembut meminta agar Hanna memberikan tas yang Hanna pegang, agar Haekal saja yang membawakan. “Sesekali kan mau bantu lindungi surganya Haekal.” Celetuknya pelan.

“Tangan kamu kan masih sakit, jangan, ya?” Ucap Hanna setengah menolak uluran tangan Haekal yang akan membantunya membawa tas.

“Kan sebelahnya lagi enggak terlalu sakit. Sini mah, tasnya Haekal aja yang bawakan, supaya Mamah enggak capek.” Kukuh Haekal, Tas tersebut pada akhirnya dibawa juga oleh Haekal, Hanna hanya bisa menuruti saja permintaan Haekal.

Langkah kaki Hanna segera mengarah untuk menuruni anak tangga, seakan sudah menjadi kebiasaan Hanna yang mempunyai langkah kaki cepat, dan mendahului Haekal. Sampai pada akhirnya Hanna sadar, harus perlahan menghilangkan kebiasaan ini, ditambah lagi saat ini Haekal masih belum pulih, sehingga untuk menuruni tangga, Haekal tak bisa terburu-buru mengikuti Langkah kaki Hanna.

“Masih sakit?” Tanya Hanna, kakinya sudah berhenti, menunggu Haekal yang berada di belakangnya, terlihat kesulitan menuruni anak tangga, ditambah lagi sebelah tangannya yang sedang sibuk memegangi tas hitam milik Hanna, “Saya ‘kan sudah bilang, tasnya saya aja yang bawa. Kamu juga di kamar aja, supaya cepat membaiknya, jangan naik-turun tangga dulu.” Sambung Hanna, omelan tersebut malah menghasilkan sebuah senyum lebih merekah lagi dari bibir Haekal, membuat Hanna bingung dengan tingkah anaknya.

“Saya suka diomel Mamah,” Ungkap Haekal mengakui, Langkah kakinya yang pelan saat ini sudah mencapai anak tangga yang sama dengan Hanna, segera Hanna membantu dengan memegangi lengan kiri Haekal untuk lanjut menuruni anak tangga.

“Diomelin kok malah suka.” Cibir Hanna pelan, tangannya telaten sekali mengikuti tiap Langkah Haekal, takut sekali anaknya itu terjatuh.

“Omelan itu artinya Mamah sayang dan peduli sama Haekal, nanti omel Haekal lagi ya, Mah?” Hanna tak menjawab, ia pun bingung harus menjawab apa, namun tanpa ia sadari, senyum mulai terlihat dari bibirnya, walau masih tipis, namun senyum itu bisa Haekal lihat dengan jelas.

“Pelan-pelan jalannya, awas jatuh.” Bukan main senangnya Haekal saat ini, mendegar perintah Mamahnya yang terdengar khawatir dengan keadaannya, ditambah lagi dengan tangan sang Mamah yang memegang erat Haekal agar tak jatuh membuat Haekal merasakan perasaan Bahagia yang selama ini ia dambakan.

Bagi Haekal, ini merupan pagi yang paling indah selama belasan tahun ia hidup di dunia, bahkan, apabila ini merupakan hari terakhir Haekal hidup di dunia, ia tak masalah, karena sudah merasakan perhatian dari Mamah yang membuatnya Bahagia luar biasa.

“Mas Adi, mobil sudah siap?” Setelah menuruni beberapa anak tangga, langsung Hanna memanggil supir pribadinya itu, ia tak mau terlambat pada rapat penting di pagi ini, dan memilih untuk melewati sarapannya.

“Sudah, Nyonya.” Saut Mas Adi berlari terburu-buru untuk menuju ke mobil yang telah disediakan, terpaksa meninggalkan agenda minum kopinya di pagi hari yang belum terselesaikan.

“Saya ke tempat kerja dulu, ya?” Pamit Hanna hendak mengambil tasnya yang berada dalam pegangan erat Haekal, akan tetapi Haekal seperti yang enggan memberikan tas tersebut.

“Mah...” Panggil Haekal, pelan, penuh ragu, namun terdengar sangat meminta. “Kalau sarapan dulu, boleh?” Tanya Haekal, dari pancaran matanya nampak sekali ia sangat berharap Hanna mau menuruti permintaannya. Bukannya tak mau, hanya saja Hanna tak mau terjebak macet, sehingga rapat pimpinan ditunda, karena agenda yang akan dirapatkan hari ini sangatlah penting. Namun, hatinya sungguh tak tega apabila menolak permintaan Haekal barusan.

“Haekal, sebenarnya saya harus-”

“Haekal tadi pagi-pagi sekali bikinkan Mamah sarapan, dibantu Bi Nur. Tapi kalau Mamah enggak bisa, gak apa-apa, mungkin di pagi yang lain Mamah bisa coba sarapan yang Haekal bikin spesial untuk Mamah.” Hanna seakan Dejavu dengan jawaban barusan, ia kembali mengingat, sewaktu dulu ketika Haekal membuatkan sarapan untuknya, ia malah berpura-pura harus segera ke kantor, karena tak mau berhadapan dengan Haekal yang semakin hari semakin mempunyai kemiripan dengan Jovan, dan hal itu berhasil menarik Hanna pada rasa sakit masa lalu yang sangat sulit ia lupakan.

Akan tetapi, kejadian itu juga yang membuatnya menyesal karena sudah memperlakukan Haekal sedemikian buruknya, sampai-sampai ia tak fokus bekerja, dan pada akhirnya meminta Bi Nur untuk membawakan nasi goreng yang telah Haekal buat untuknya.

“Ini tas Mamah,” Haekal perlahan menyerahkan tas tersebut kepada Hanna, dengan ragu Hanna menerima tas itu, pikirannya masih saja berdebat untuk memilih telat menghadiri rapat pimpinan, atau kembali menolak sarapan dari Haekal. Ia lihat Haekal tersenyum padanya, walau senyum itu tak semanis dan sehangat seperti sebelumnya saat ia menyambut Hanna keluar dari pintu kamar. Memang tak terlihat jelas perubahan senyum itu, namun Hanna dapat melihat sedikit kecewa dari kedua netra anaknya itu.

“Hati-hati ya Mah,”

“Saya lapar.” Ujar Hanna singkat. Ucapan Hanna barusan berhasil melebarkan bola mata Haekal yang tadinya sudah sayu karena penolakan, senyum yang amat lebar tergambar jelas di wajah Haekal saat ini, yang tadinya tak bersemangat, seketika menjadi penuh energi hanya karena satu kalimat singkat dari Hanna.

“Ayo, Mah, kita ke meja makan!” Seru Haekal yang sangat bersemangat sekali menuju meja makan yang terletak tak begitu jauh dari tempat mereka berdiri, ia seperti lupa kalau kakinya masih tak bisa diajak berjalan cepat.

“Pelan-pelang jalannya, Haekal.” Tegur Hanna mengingatkan Haekal agar lebih berhati-hati.

“Sini, Mah, duduk,” Bahkan saat ini Haekal mempersiapkan kursi untuk Hanna duduki, dan mempersilahkannya. Hanna sangat tersentuh sekali, Haekal benar-benar memperlakukannya dengan sangat baik dan hati-hati.

“Bi, tolong dibawakan yang tadi Haekal siapkan, ya?” Panggil Haekal kepada Bi Nur yang masih membersihkan noda-noda kotor di dapur, mendengar perintah itu, segera Bi Nur membawakan dua piring berisikan nasi goreng ke meja makan.

“Sini Ekal bantu, Bi,” Haekal menyambut piring tersebut, dan dengan sangat berhati-hati ia meletakkan salah satu dari piring itu di depan Hanna. Haekal belum menyadari bahwa saat ini Hanna menatap nasi goreng itu dengan tatapan kosongnya. “Maaf ya, Mah, belum bisa masak yang lain, masih sama kayak waktu itu. Nanti kalau Haekal sudah belajar masakan yang lain, Haekal ganti menunya. Gapapa 'kan, Mah?”

Hanna tak terlalu mendengarkan ucapan Haekal barusan, pikirannya seketika melayang saat melihat nasi goreng yang sudah tertata indah lengkap dengan beberapa topping diatasnya. Sulit rasanya menyantap itu, karena ia sudah mengetahui fakta, bahwa Haekal mempelajari resep nasi goreng itu langsung dari Jovan yang telah menghancurkan hidupnya. Hanna sadar, satu kali suapan yang Hanna rasakan, baginya seperti mengantarkannya kembali kepada memori kelam di masa lalu yang kerap kali menyiksanya.

“Mah?” Panggilan itu menyadarkan Hanna dari lamunan sesaatnya, dari raut wajah Hanna nampak sekali bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin memang sekedar nasi goreng saja, namun bagi Hanna, itu bukanlah sekedar yang bisa dengan mudah dirinya lawan. “Mamah kenapa?” Tanya Haekal khawatir karena perubahan drastis dari Sang Mamah.

Hanna tak segera menjawab, ia mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu, agar tak ada kecurigaan dari Haekal. Bagi Hanna sebesar apapun dukanya di masa lalu, cukuplah ia yang tahu dan rasakan, tidak untuk Haekal ketahui.

“Enggak apa-apa,” Jawab Hanna pada akhirnya, Haekal tak begitu saja percaya dengan jawaban itu, menyadari hal itu, Hanna mencoba mengalihkan fokus Haekal agar tak terlalu khawatir dengan ketakutannya. “Nasi goreng, ya?” Tanya Hanna mengalihkan.

“Iya, Mah, Maaf ya belum bisa masak yang lain.” Hanna tersenyum kecil menanggapi itu, ia berusaha untuk mengesampingkan lukanya saat ini, walau sangat sulit sekali rasanya, “Enggak pakai bawang merah, Hehehe. Mamah enggak suka bawang merah, 'kan?” Hanna mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya, namun matanya sudah mulai perih saat ini, dikarenakan semua rasa bercampur seketika, ketakutan di masa lalu, bahagia karena Haekal hafal detail dirinya, membuatnya tak mampu menahan air mata.

“Saya makan... ya, kal?” Ucap Hanna pelan, sangat pelan, ia segera menunduk, tak mau Haekal sadar jika Hanna sedang menitihkan air matanya saat ini.

Ragu sekali Hanna menyuap satu sendok itu, ia takut cita rasa itu membuat sesak kembali terasa pada dadanya. Namun, demi Haekal, Hanna mencoba melawan takutnya itu, sampai akhirnya sesuap sendok itu berhasil ia makan secara perlahan.

“Enak, Mah?” Tanya Haekal penasaran, Hanna masih menunduk, matanya terasa semakin panas. Benar saja, rasa dari nasi goreng buatan Haekal sangat mirip dengan nasi goreng yang sering Jovan buatkan belasan tahun yang lalu apabila Hanna melewati sarapannya. “Mah, enggak enak, ya?”

“Enak, Kal... Enak sekali... nasi gorengnya...” Suara Hanna bergetar, lengkap dengan isak pelannya, Ia sudah tak kuat lagi menahan tangisnya agar tak terlihat Haekal.

“Eh, Mah? Saya salah ya, Mah? Haekal minta maaf, Mah. Enggak enak ya nasi gorengnya?” Haekal panik melihat Mamahnya sudah berlinangan air mata, namun masih mencoba melahap suapan berikutnya. Hanna menggeleng, dan kembali memakan nasi goreng tersebut, walau isakan masih jelas terdengar akibat tangisnya.

“Enak... Saya suka... Makasih...”

“Mamah kenapa kok nangis? ada yang sakit, Mah?”

“Karena enak... saya... iya, terharu lihat kamu bisa masak... dan enak...” Ada sedikit lega yang Haekal rasa setelah mendengar itu, ia mengambil kesimpulan bahwa Hanna mungkin menangis terharu karena nasi goreng buatannya.

“Enak... nasi gorengnya...” Masih Hanna tak kuasa menahan air mata agar berhenti keluar, ia mencoba semaksimal mungkin untuk menghabiskan nasi goreng ini dengan cepat, supaya kenangan lama tak membuatnya sesak tak karuan. Setidaknya hari ini, ia harus melawan takutnya, demi menghargai usaha sang Anak yang sudah lama menanti momen sarapan bersama.

“Habiskan Hanna, lo pasti bisa habiskan nasi goreng ini. Dia itu Haekal, dia Haekal anak lo, bukan Jovan.” “Lo pasti bisa, Na, ini nasi goreng bikinan Haekal, bukan Jovan. Lo harus sadar.”

Setelah beberapa suapan berhasil Hanna makan, nasi goreng yang Haekal buatkan untuknya akhirnya habis juga, hanya menyisakan sedikit dari Topping yang ada. Tangis Hanna perlahan mulai terhenti, tak lagi seperti tadi yang terus berjatuhan. Sesak masih terasa di dadanya, namun, lega juga ia rasa setelah berhasil melawan ego dan rasa takutnya.

“Minum, Mah,” Haekal mendekatkan gelas berisikan air putih ke dekat Hanna, Hanna segera menyambut itu, dan meminum air putihnya agar ia merasa lebih tenang dari sebelumnya.

“Mamah enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa.” Jawab Hanna segera. “Makasih ya, Kal, sarapannya. Saya harus segera ke kantor, ini juga sudah agak terlambat untuk mulai rapat kayaknya.” Detik kemudian Hanna bangkit dari kursinya, dan kembali mengambil tasnya. Haekal juga ikut berdiri, berniat mengantar Sang Mamah sampai pintu rumah, namun, hal itu segera dicegah oleh Hanna.

“Langsung istirahat di kamar, ya? Jangan banyak gerak dulu. Kaki kamu masih sakit.” Tanpa protes, Haekal mengangguk mengerti. “Saya berangkat, ya? Hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa hubungi saya.” Pamit Hanna dan melangkahkan kakinya pergi.

“Mah,” Panggil Haekal, mendengar panggilan itu, langkah kaki Hanna berhenti, ia membalikkan badannya untuk melihat Haekal yang barusan memanggilnya, “Saya boleh salim? Cium tangan Mamah...” Pinta Haekal ragu.

“Boleh, sini, salim dulu sama Mamah.” Mendengar jawaban itu, Haekal dengan semangat berjalan mendekati Hanna, segera ia mencium punggung tangan Mamahnya itu. Agak lama, seakan tak mau melewati kesempatan ini berlalu dengan cepat, mengingat sudah ribuan pagi yang ia nanti agar bisa mencium tangan Sang Mamah.

“Anak baik,” Hanna balas mengusap-usap rambut Haekal lembut.

“Mamah terhebat.” Balas Haekal tak mau kalah. Keduanya tersenyum mendengar pujian dari masing-masing mereka.

“Terima kasih ya, Mah, untuk pagi ini,” Ungkap Haekal menatap sang Mamah tulus, Hanna mengangguk, tangannya terulur untuk membenarkan bagian lengan dari Hoodie Haekal yang nampak terlipat.

“Saya pergi, ya?” Pamit Hanna lagi untuk yang kesekian kalinya, dan kembali melanjutkan langkah kakinya menuju pintu keluar rumah.

“Iya, Mah. Hati-hati, ya, Mamah terbaik yang paling lembut hatinya.” Teriak Haekal dari belakang.

Deg

Haekal kembali berhasil membuat jantung Hanna terasa berhenti untuk seperkian detiknya, lagi dan lagi langkah kaki Hanna terhenti ketika mendengar kalimat barusan. Entah mengapa segala bentuk tindakan dan ucapan Haekal sangat menyerupai Jovan, Ayahnya.

“Haekal...” Panggil Hanna, namun kali ini ia tak membalikkan badannya agar dapat dilihat Haekal.

“Ya, Mah, kenapa?”

“Kamu mirip sekali dengan Ayahmu.”


IMG-20211013-WA0060

IMG-20211013-WA0061

-Ara