Meneduh

🔞 Sexual Content, namun tidak akan dijelaskan dengan sangat eksplisit. Tetapi saya amat menyarankan, bagi pembaca dibawah umur, untuk tidak membaca narasi ini. Mohon bijak dalam memilih bacaan sesuai usia.


bandung

“Kamu senang hari ini, Hanna?” Jovan bertanya setelah menyesap habis kopi panas yang dipesannya.

Yang ditanya hanya tersenyum malu dan mengangguk pelan. Jovan ikut tersenyum ketika melihat lengkung manis di bibir itu.

“Cantik.” Ucapnya lagi.

Yang dipuji sekarang menunduk malu, berusaha menutupi wajahnya yang kembali memerah akibat Jovan yang selalu terang-terangan memujinya secara langsung dan tiba-tiba.

“Maaf ya baru bisa ajak kamu keliling Bandung, pakai motor pinjaman pula. Saya belum ada uang untuk beli motor sendiri, apalagi buat beli mobil.”

“Aku suka pakai apa aja, asalkan sama Kak Jo.”

“Hahaha, tunggu saya ya, Hanna. Sebentar lagi saya lulus, cari pekerjaan, dan beli kendaraan. Kamu bebas mau jalan-jalan kemana pun.”

Hanna kembali tersenyum dan mengangguk pelan. Jovan selalu menjanjikan banyak hal kepada Hanna, dan entah kenapa, Hanna percaya dengan itu semua, ia yakin bahwa Jovan tidak pernah main-main, ia sungguh-sungguh ketika mengucap janji.

“Hanna, saya belikan gelang untuk kamu. Memang murah sih, tapi modelnya terlihat bagus untuk ada di tangan kamu. Saya beli dua, untuk kamu dan saya. Katanya perempuan suka barang yang sepasang kan?” Jovan mengeluarkan sepasang gelang dari kantong Jaketnya, ia sedikit ragu menunjukan kepada Hanna gelang tersebut, khawatir terlalu murah dan Hanna tidak menyukai modelnya.

“Kak Jo, ini indah banget.”

“Kamu suka?” Tanya Jovan mencoba memastikan tak ada kebohongan dari reaksi Hanna.

“Suka banget kak!” Jovan tersenyum lebar melihat itu, tak ada kebohongan dari mata Hanna, ia tampak bahagia melihat gelang yang dipegang Jovan.

“Tapi ini gak semahal gelang yang dipakai perempuan lain, Hanna. Maaf ya.”

“Harga enggak penting, Kak. Gelangnya indah kok, apalagi dikasih dengan ketulusan. Aku mau terima gelangnya.” Hanna menggenggam sebelah tangan Jovan, meyakinkan tak ada masalah dengan berapa pun harga dari gelang tersebut.

“Saya pakaikan, mau?”

“Mau!“

Jovan memakaikan gelang tersebut di tangan Hanna, terlihat sangat pas dan Indah melingkar disana.

“Kak, Makasih yaa. Aku suka, dan aku bakal jaga baik-baik.”

“Hanna, harusnya saya yang berterimakasih karena kamu mau menerima pemberian saya. Makasih ya, sudah menjadi perempuan cantik dan sangat baik.”

“Kalau saya peluk, boleh?” Jovan meminta izin. Hanna kembali mengangguk pertanda memberi izin untuk permintaan Jovan.

Detik selanjutnya, Jovan membawa Hanna ke dalam pelukannya. Ia membelai lembut rambut Hanna dan membisikkan,

“Terimakasih sudah hadir di hidup saya.”


Setelah selesai menghabiskan makanan dan minuman yang mereka pesan, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang. Jalanan kota Bandung sangat sepi, tak ada mobil, dan hanya beberapa motor yang terlihat dijalanan.

“Saya izin tambah kecepatan ya, Hanna? Sudah mendung. Takut nanti malah kejebak hujan.”

“Iya Kak Jo.”

“Bukan modus sih, tapi kamu boleh peluk saya. Takutnya malah kaget kalau saya ngebut nanti, dan supaya kamu enggak kedinginan juga.”

Dengan malu Hanna melingkarkan tangannya dipinggang Jovan. Dari kaca spion, terlihat Jovan tersenyum bahagia ketika tangan itu melingkar.

Benar saja, beberapa menit kemudian rintik hujan mulai turun, sedangkan tujuan mereka (rumah Hanna) masih terlampau jauh.

“Hanna, mau berhenti dulu?” Jovan bertanya, suaranya tak begitu jelas karena kecepatan motor yang ia kendarai cukup kencang, ditambah hujan yang turun semakin deras sehingga Hanna tidak mendengar ucapan Jovan dengan sangat jelas.

“Kak enggak kedengaran.”

“Hujannya deras, mau neduh di Kosan saya dulu enggak? Rumah kamu masih jauh.”

Hanna hanya mendengar bagian neduh di kosan dari ucapan Jovan barusan.

“Kosan siapa? Enggak jelas suaranya.”

“Kosan saya.”

“Iya boleh Kak Jo.”

Jovan menambah kecepatan pada motornya lagi karena hujan yang turun semakin deras. Khawatir gadis yang diboncengnya sakit karena terlalu lama terkena guyuran hujan.

“Hanna, saya sayang kamu.“

“Kak enggak kedengaran suaranya, Hanna kenapa tadi?”

“SAYA SAYANG KAMU, HANNA!!” teriak Jovan keras. Hanna tentu saja kaget setelah itu.

Mendengarnya membuat Hanna seperti ditinggalkan ruhnya melesat ke angkasa. Hanna hanya berdiam, dan perlahan melahirkan senyum bahagia. Senyum yang tak pernah lahir sebelumnya, senyum yang hanya bisa muncul ketika ia bersama Jovan.

“SUDAH TAU, HANNA JUGA SAYANG KAK JOVAN.” Balas Hanna tak kalah kencangnya. Keduanya tertawa setelah itu.


Disinilah keduanya berada, Kamar kos kecil milik Jovan. Hanna kagum, karena kamar kos ini sangat rapih meskipun sempit. Tak seperti kamar kos teman-teman lelakinya yang sangat berantakan dan bahkan tercium bau tak enak karena jarang dibersihkan.

Keduanya sangat basah kuyup karena derasnya hujan selama perjalanan pulang. Beberapa tetes air dari baju mereka yang basah jatuh dilantai kamar kos Jovan.

“Hanna mau saya buatkan teh-” Ucapan Jovan terhenti saat ia menyadari Hanna yang berdiri menggigil di dekat pintu. Baju Hanna sangat basah, apalagi kaos yang digunakannya berwarna putih, Jovan terkejut menyadari itu. Kaos putih itu yang sangat menempel di kulit Hanna, membuat siluet Dada Hanna tercetak dengan sangat jelas, dan jeplakan dari Bra hitam yang dipakai Hanna terlihat sangat jelas.

Jovan berusaha menyadarkan dirinya berkali-kali, ia membuang jauh-jauh pikiran aneh yang ada pada dirinya ketika melihat Hanna yang sedang kuyub itu.

“eum... Ganti baju... pakai kaos saya gimana, Na? Kamu kuyup...” Ucap Jovan pada akhirnya, yang tadinya ia ingin menawarkan Teh hangat kepada Hanna, sekarang malah menawarkan bajunya untuk Hanna.

Hanna tidak akan sadar dengan bajunya yang menjeplak jika Jovan tidak menawarkan baju. Hanna kaget ketika menyadari kaos putihnya seakan kehilangan peran untuk menutupi lekuk tubuhnya. Ia langsung menunduk malu ketika menyadari itu.

“Mau, Na?”

“Eh mau apa, Kak?” Tanya Hanna bingung.

“Baju saya.” Jawab Jovan singkat, tak sepeti biasanya. Tak dapat Jovan pungkiri, Hanna yang sedang berdiri di depannya sekarang membuat pikirannya kemana-mana.

“Kak, mau...” Jawab Hanna pelan.

Jovan sedikit kaget mendengar itu, “Eh, Mau apa?”

“Mau baju...”

“Ohiya baju, maaf maaf. Sebentar ya saya carikan dulu.”

Dengan terburu-buru Jovan mengambil kaos di lemari pakaiannya, sudah pasti kaos itu terlalu besar jika dipakai Hanna, tapi tidak apa-apa kan? Jovan pikir ini akan lebih aman, daripada harus melihat kaos putih Hanna yang menjeplak seperti barusan. Bahaya jika ia terus-terus melihat itu, apalagi bentuk Dada Hanna terlihat sangat sempurna tercetak dibalik Bra hitamnya tersebut.

'Astaga kok mikir itu lagi' Batin Jovan memberontak. Otaknya seakan tak mengizinkannya untuk melupakan secara cepat apa yang barusan ia lihat.

Jovan memberikan kaosnya kepada Hanna dengan menunduk. Tak ada cara lain, hanya menunduk jalan satu-satunya untuk mengontrol diri. Benar kata orang-orang, semua berasal dari pandangan. Dari mulai jatuh cinta, sampai hawa nafsu.

“Ini kaosnya, mungkin kebesaran, tapi enggak apa-apa ya, Na. Daripada kamu kedinginan.” Tak sedikitpun Jovan menatap Hanna, tatapannya benar-benar menuju ke bawah lantai yang basah.

Jovan benar-benar gelisah dan salah tingkah, akhirnya ia memutuskan untuk duduk dilantai, agar pandangannya tak dapat menatap bagian atas tubuh Hanna.

“Kak... gantinya dimana?”

Sial, Jovan lupa kalau kamar Kos nya tidak memiliki kamar mandi di dalam. Tidak mungkin kan menyuruh Hanna keluar dan mengganti pakaiannnya di kamar mandi bersama. Jovan sendiri saja risih dengan kamar mandi tersebut yang sangat banyak putung rokok, apalagi Hanna. Belum lagi keluar dari sini, berarti Hanna harus berjalan dan mungkin saja anak kos yang lain bisa melihat lekukan tubuh Hanna dengan bebas, walaupun bisa diakali dengan handuk, tetap saja Jovan tak mau ada yang melihat Hanna yang sedang kuyub sekarang.

“Disini aja kali ya? Saya enggak lihat, saya tutup mata dan menghadap ke belakang.”

“Ohiya, aku ganti dulu ya.”

Mendengar itu, Jovan bersiap untuk membalikan tubuhnya untuk menghadap ke belakang.

Namun...

Belum sempat tubuhnya membalik, teriakan Hanna terdengar di telinganya. Detik kemudian, ia merasakan tubuh Hanna jatuh dan menimpa dirinya hingga berada di posisi terlentang dengan Hanna yang ada diatasnya.

Sepertinya lantai yang licin akibat tetesan air dari baju mereka adalah penyebab Hanna terjatuh tepat menimpa Jovan.

Keduanya terkejut, jarak diantara keduanya begitu dekat, bahkan mereka bisa merasakan napas masing-masing yang berhembus dan mengenai kulit wajah keduanya.

Bisa Hanna lihat dengan jelas wajah Jovan dan rambut basahnya yang terkena hujan. Sedangkan Jovan, dengan jelas melihat bibir mungil yang sedang digigit kecil oleh sang pemiliknya.

Entah berasal darimana keberanian pada diri Jovan, hingga detik kemudian ia membalik posisi secara tiba-tiba. Sekarang bukan lagi Hanna yang berada diatas Jovan, namun Jovan lah yang berada diatas Hanna.

“Kak...” ucap Hanna pelan. Hanna sangat terkejut sekarang, namun tak ada keinginan juga dari diri Hanna untuk lepas dari posisi itu, entah apa yang ada pada dirinya sampai-sampai ia tak memberontak dan mencoba keluar dari posisi itu.

“Hanna... Boleh saya cium?” Jovan masih sempat meminta izin terlebih dahulu, tak mau gadisnya marah dan merasa di lecehi apabila mencium bibir Hanna tanpa ada persetujuan terlebih dahulu.

Hanna mengangguk pelan, menyetujui permintaan tersebut.


Kokok ayam, menyadarkan keduanya yang mulai lelah. Jovan membawa Hanna ke dalam pelukannya, dan bergegas menyelimuti tubuh Hanna dengan selimut yang ada di kamarnya.

Jovan mengecup Hanna sekali lagi di dahi. “Hanna terimakasih, kamu indah. Sangat indah.”

huft

-Ara