Nasi goreng untuk Mamah

Sudah hampir satu jam Haekal berada di dapur. Haekal belum pernah memasak, ini kali pertama baginya. Maka dari itu ia meminta Bi Nur untuk menunjukan Rempah-rempah yang ia butuhkan, yang bahkan bentuknya saja Haekal tak tahu.

“Mas Ekal kok tau nyonya enggak suka pakai Bawang Merah?”

“Saya enggak tau, Bi. Enggak pakai bawang merah karena saya mengikuti resep.”

Rasa kecewa sedikit menghampiri Haekal, bagaimana bisa ia tidak mengetahui bahwa Ibunya tak menyukai Bawang Merah, untungnya resep dari pak Jo tidak memakai Bawang Merah, sehingga meminimalisir kemungkinan buruk yang terjadi ketika Ibunya mencoba Nasi goreng buatannya.

“Tomatnya disini, benar?”

“Benar Mas Ekal Hahaha, bagus banget hiasan Nasi Gorengnya. Rasanya juga enak, punya Bibi kalah rasanya.”

Haekal terkekeh mendengar pujian itu. Bi Nur sudah bekerja lama sekali di rumahnya, sehingga Bi Nur mempunyai kedekatan yang sangat akrab dengan Haekal. Bahkan, Bi Nur lebih lama menghabiskan waktu bertatap muka dengan Haekal dibanding Ibunya yang jarang sekali pulang ke rumah. sekalinya pulang ke rumah juga tak ada obrolan dan sapaan dari ibunya, bahkan kerap kali terlihat menghindar dari Haekal.

“Mamah suka tidak ya, Bi?”

“Pasti suka dong. Semangat Mas Ekal! Bentar lagi nyonya keluar kamar.”

“Ohiya, tolong letakkan Nasi gorengnya di meja ya, Bi. Saya mau tunggu mamah di ruang tv.”

“Siap Mas Ekal.”


Entah mengapa rasanya jantung Haekal berdegup lebih kencang daripada biasanya, telapak tangannya basah dengan keringat, pipi dan keningnya terasa hangat menanti sang Ibu keluar dari kamarnya.

“Handphone mamah disini.” Haekal bergumam sendiri ketika melihat ponsel Ibunya tergeletak di sofa.

Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepala Haekal, prihal Wallpaper apa yang Ibunya pakai. Haekal seringkali melihat orangtua lain memakai Wallpaper foto anak-anaknya di handphone, ada sedikit harapan pada diri Haekal ketika mencoba membuka layar ponsel tersebut, barangkali Ibu nya memasang foto Haekal sebagai Wallpaper handphone.

“Ah, mati ternyata batrainya habis.” Haekal sedikit kecewa karena handphone tersebut mati total ketika ia mencoba menyalakannya. Ia pun langsung mengembalikan ponsel tersebut di posisi semula.

Tak begitu lama, terdengar suara pintu dari Kamar Ibunya terbuka, dan terlihatlah sang Ibu yang sudah memakai setelan rapih untuk pergi bekerja.

“Mah...” Panggil Haekal pelan. Hanna sedikit terkejut melihat Haekal yang sudah menunggunya di sofa.

haekalll

“Kenapa belum ke sekolah?” Hanna bertanya sembari mengambil ponselnya yang terletak di dekat Haekal. Masih, ia tak mau menatap wajah anaknya.

“Ada class meet Mah, jadi boleh datang terlambat. Mamah duduk disini dulu, nanti saya yang ambil sepatu Mamah, ya?”

haekalkesian

“Oh, tidak perlu. Saya bisa sendiri.” Jawab Hanna cepat, padahal Haekal sudah berdiri dan mempersilahkan Hanna untuk duduk dan menunggu.

“Bi Nur, Mas Adi sudah siap antar saya?” Hanna malah pergi dan berjalan menuruni anak tangga, meninggalkan Haekal yang sudah menunggunya sedaritadi.

“Mah tunggu.” Haekal tak menyerah, ia segera menghampiri Hanna dan berusaha menahan langkah Hanna menuruni tangga.

“Haekal tadi bikinkan Nasi goreng untuk Mamah, dicoba dulu ya, Mah?”

“Saya ada meeting 20 menit lagi.”

“Sedikit saja, Mah. Haekal bikinkan Nasi goreng spesial untuk Mamah. Untuk sekarang masih belum bisa masak yang lain selain nasi goreng, kedepannya Haekal masakin yang lebih enak lagi. Nasi gorengnya tidak pakai bawang merah, mamah suka kan? Haekal pakai daun bawang sedikit sebagai gantinya. Mau ya Mah? Mamah ada sakit lambung kan, supaya tidak sakit nanti waktu kerja.”

Mendengar itu, seketika langkah Hanna terhenti. Bukan karena ia luluh dengan ucapan manis dari anaknya barusan. Ia seakan ditarik paksa untuk kembali pada kejadian 17 tahun yang lalu, ketika seorang lelaki menghampirinya yang sedang terburu-buru menuju gedung perkuliahan.

'Hanna, saya buatkan nasi goreng spesial untuk kamu. Enggak pakai bawang merah seperti kemarin.'

'Kak Jo, aku buru-buru! Dosen sebentar lagi masuk.'

'Sepuluh menit lagi, Hanna. Dimakan dulu, kamu itu punya penyakit maag, nanti kalau sakit gimana?'

'Kak Jo ih! mepet waktunya.'

'Sepuluh menit saja, Hanna. Lima menit kamu makan ini, lima menit sisanya untuk jalan menuju kelas. Saya gendong kalau tidak percaya. Makan dulu ya?'

Ingatan Hanna dipaksa kembali di masa itu, dimana lelaki itu selalu menunggunya di lobi fakultas hanya untuk memberi bekal untuk sarapannya. Tak peduli seberapa terburu-burunya Hanna kala itu, ia tidak akan menyerah sebelum Hanna memakan apa yang ia bawakan, tidak masalah walaupun hanya disentuh sedikit oleh Hanna. Khawatir sakit Maag Hanna kambuh ucapnya selalu ketika Hanna menolaknya dengan berbagai alibi.

“Mah?” Suara panggilan itu menyadarkan Hanna dari lamunannya. Hatinya terasa sakit tiap kali bayangan masalalu menghampirinya, terlebih disampingnya kini berdiri seorang anak laki-laki yang amat mirip dengan lelaki itu. Entah itu dari segi rupanya, penampilannya, gaya bahasanya, bahkan sekarang dengan cara ia menawarkan sarapan kepada Hanna. Mereka sangat mirip, dan itu sangat menyiksa bagi Hanna.

“Haekal bekalkan saja, ya?”

Saya dikejar waktu. Kamu tau kan bagaimana macetnya jalan di jam segini?”

“Mah, kali ini aja, ya?” Ucap Haekal memohon. Haekal hanya ingin Hanna mencicipi hasil masakannya, walau hanya sesendok, itu tidak masalah baginya.

“Halo, ada apa? Rapatnya dimajukan? Oke, Saya sebentar lagi sampai kantor. Dipersiapkan saja semuanya.” Hanna melanjutkan langkah kakinya sembari berbicara di telpon, menghiraukan permohanan Haekal barusan.

Haekal terdiam ketika melihat itu, Haekal tak lagi mengikuti langkah kaki Hanna. Ia hanya diam sembari menatap Hanna yang berjalan menjauh menuju pintu rumah.

Haekal sangat jelas melihat ponsel Hanna mati dan tak bisa menyala barusan. Dan sekarang, ia menyaksikan kebohongan Hanna secara langsung, berpura-pura mengangkat telpon dari sekretarisnya hanya untuk menghindar dari sarapan pagi yang telah Haekal siapkan dengan sepenuh hati.

“Kenapa harus berbohong?” Gumam Haekal sangat pelan. Ia tak tahu perasaan apa ini, yang ia tahu dadanya terasa sesak ketika mendengar kebohongan Hanna barusan, matanya terasa sedikit panas melihat langkah Hanna yang tidak pernah berhenti dan menoleh meski Haekal memohon setengah mati.

Pagi yang dikiranya akan menghangatkan hati nyatanya menusuk layaknya belati. Entah harus apalagi, semua usaha Haekal gagal. Segala bentuk perhatian selalu berujung dengan pengabaian, dan segala bentuk pengertian selalu berujung ketidakpedulian.

Dan pada ujungnya, Haekal hanyalah sebuah tanda petik yang hadir sebelum titik dan setelah koma, ada namun tak pernah terbaca oleh Ibunya.

“Mah.” Panggil Haekal akhirnya.

“Saya sibuk, kamu bisa paham kan? Waktu saya gak banyak hanya untuk-”

“Hati-Hati.” Ucap Haekal singkat dan langsung pergi.


-Ara