Pak Jovan

jokal

Setelah hampir setengah jam, akhirnya guru BK itu datang. Haekal pikir guru baru itu seorang wanita paruh baya seperti kemarin, ternyata bukan. Kali ini guru BK sekolahnya adalah seorang pria yang masih terbilang cukup muda, bahkan Haekal bisa menebak guru barunya ini memiliki umur yang tak jauh dengan Mamahnya.

Hampir lima menit kedatangannya, Haekal belum juga ditanya. Guru baru itu malah membereskan mejanya yang masih sedikit berantakan, dan itu membuat Haekal cukup kesal, ia hanya ingin cepat kembali ke kelas dan menghubungi Tama apabila dibutuhkan.

“Pak saya-”

“Sebentar, meja saya masih berantakan. Meja saja belum dirapihkan, sudah ada siswa yang menghadap. Sebentar ya? Harus sabar.” Seperti itulah jawaban yang keluar dari mulut sang guru. Dengan sedikit terpaksa Haekal menunggu guru barunya melanjutkan kegiatan merapihkan meja tersebut.

“Sudah selesai.”

“Kali ini saya perlu panggil wali?” Tanya Haekal secara langsung. Si guru baru itu malah tertawa mendengar ucapan Haekal barusan.

“Sudah langganan masuk ruangan ini, ya? Sampai-sampai lebih tau alur penyelesaian masalahnya dibanding saya.”

Haekal tak menjawab lagi, ia rasa tak perlu juga menjawab pertanyaan seperti itu.

“Kalau saya sih punya cara sendiri sebagai guru. Sebentar, saya mau bikin kopi. Kamu mau?”

“Saya enggak akan sabar kayak tadi. Sebagai siswa, saya punya hak untuk belajar. Waktu saya sudah terbuang sia-sia untuk menghadap bapak. 30 menit saya terbuang untuk menunggu bapak di ruangan ini, 10 menit saya habis untuk menunggu bapak membersihkan meja, dan butuh berapa menit lagi untuk saya menunggu bapak membuat kopi?”

Diluar perkiraan Haekal, sang guru malah tersenyum mendengar jawaban tak ramah itu, Haekal pikir guru itu akan terpancing emosi dengan kalimatnya, seperti guru-guru lain yang membenci Haekal karena kritik yang sering kali Haekal lontarkan kepada mereka.

“Saya suka jawaban kamu. Saya Jo, guru BK baru di sekolah ini.” Guru tersebut mengulurkan tangannya mengajak Haekal untuk berjabat tangan.

“Saya Haekal, 11 ips 2.” Haekal membalas jabatan tangan tersebut.

“Okay, Haekal, kelas sebelas ips dua. Kita lihat dulu catatan masalahnya...”

“Waw, Tujuh lembar penuh dengan catatan kamu semua, Haekal.”

“Ya, kalau saja guru bisa objektif, lembar yang terisi hanya satu. Saya salah hanya di kelas sepuluh, telat dan memanjat pagar, yang lainnya permasalahan tidak penting dan bahkan fitnahan dari Darto.”

“Saya sih percaya.”

Sebentar, Haekal tidak salah dengar? Apakah benar guru di depannya ini barusan bilang mempercayainya? Haekal sedikit ragu dengan pendengarannya kali ini.

“Bapak percaya saya?” Tanya Haekal memastikan. Sedangkan Jovan hanya mengangguk dan kembali membaca lembaran berisi laporan masalah yang telah Haekal perbuat.

“Kenapa bapak percaya saya?”

“Kamu berani kritik saya barusan, kamu berani meminta Hak kamu sebagai murid barusan, dan catatan ini masih banyak sekali kurangnya barang bukti.”

Untuk pertama kalinya Haekal mendengar itu, untuk pertama kalinya ada guru yang mempercayainya tanpa perlu Haekal mohon.

Haekal itu langganan keluar masuk ruang BK, sudah bukan hal yang baru lagi jika Haekal dipanggil ruang BK. Selama keluar masuk ruangan itu, tidak pernah ada guru yang mempercayainya, sampai akhirnya Haekal lelah, dan tak pernah mau di mintai keterangan, menurutnya hanya buang-buang tenaga saja menjelaskan masalah kepada orang yang tidak Objektif dalam memandang suatu permasalahan.

“Rokok kamu apa?” Tiba-tibaa Jovan bertanya kepada Haekal.

“Saya tadi tidak merokok, saya hanya berdiri disana bersama teman saya. Putung Rokok itu bukan punya saya.”

“Saya kan tanya, Rokok kamu apa? Saya enggak tanya kamu tadi merokok atau tidak.”

“Marlboro.”

Jovan hanya mengangguk paham.

“Ya sudah, kamu boleh balik ke kelas.”

“Balik ke kelas?” Haekal kembali tak percaya dengan pendengarannnya barusan. Apa mungkin kali ini ia dilepaskan semudah itu? Bukannya biasanya mereka meminta Haekal memanggil wali untuk menghadap sekolah?

“Loh? Kamu mau belajar di ruangan saya?”

“Masalah saya selesai?”

“Putung rokok yang tadi di temukan Mild, bukan Marlboro.” Jovan mengambil sesuatu dibalik kantong celananya. Dan benar saja, itu adalah putung Rokok yang tadi pagi Haekal lihat di tempat kejadian.

“Bapak ke tempat kejadian?”

“Menurutmu? Masa saya mau sok tau kayak tuhan.”

“Biasanya guru yang kemarin langsung percaya pengakuan dari teman gurunya, tanpa mau melihat tempat kejadian atau menanyakan saksi lain.”

“Apa gunanya kita berjabat tangan tadi? Saya kan Pak Jo, bukan guru yang sebelumnya. Saya dengan cara saya sendiri sebagai guru.”

“Ohiya Haekal, kalaupun ada kesempatan, jangan pernah merokok di lingkungan sekolah. Saya juga akan tegas terhadap siswa yang jelas salah dan melanggar aturan sekolah.”

“Saya gak pernah merokok di sekolah.” Jawab Haekal tak kalah tegas.

“Dimana? Dirumah bersama ayah?”

“Ayah saya sudah mati.”

Jovan terdiam mendengar jawaban itu. Entahlah, ada sedikit rasa sakit di hatinya ketika mendengar jawaban itu. Mungkin karena rasa tak enak karena sudah menanyakan sesuatu yang ternyata sudah tak ada kepada Haekal.

“Maaf, saya tidak tau. Kamu boleh kembali ke kelas.”

“Opini bapak keren, Rokok bapak apa?”

Jovan sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Baru kali ini ada siswa yang berani bertanya tentang Rokoknya, terlebih siswa ini menyelipkan “Opini” dipertanyaannya.

“Hahaha, yang pasti Rokok pemikir.”

“Garpit?”

Kembali Jovan tertawa mendengar ucapan Haekal barusan. Anak didepannya ini beda dengan yang lain, dia berani mengeluarkan apapun yang ada dipikirannya, dia juga berani menyampaikan kebenaran, tutur katanya juga berbeda dengan anak 17 tahun lainnya. Sangat Unik untuk anak seusinya.

“Saya sudah lama enggak menyentuh Rokok. Mau hidup sehat, supaya nanti kalau mati masih bisa bermanfaat untuk oranglain.”

Haekal hanya mengangguk dan beranjak dari duduknya. Tanpa pamit dan berterimakasih sedikitpun kepada Jovan.

“Haekal.” Panggil Jovan ketika Haekal hendak menutup pintu ruangan.

“Ya?”

“Kamu mirip saya di waktu muda.

jokall

-Ara