Pak, rumah itu apa?

Setelah berjalan cukup jauh menerobos derasnya hujan, akhirnya Haekal dan Azalea sampai ditempat yang mereka tuju, Rumah Azalea. Rumah itu nampak sederhana, namun entah mengapa Haekal dapat merasakan kehangatan didalamnya.

“Rumah kamu?” Tanya Haekal ketika sampai didepan teras rumah tersebut. Azalea hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu.

“Ya sudah, sana masuk.”

“Kamu?” Tanya Azalea sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar dengan jelas.

Haekal tersenyum mendengar itu, itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir Azalea semenjak daritadi menghabiskan waktu pulang sekolah bersama Haekal.

Tiga jam mereka habiskan waktu di bawah pohon besar yang terdapat di dekat sekolah, dengan hanya saling diam dan tak ada obrolan sedikitpun. Keduanya sudah terbiasa dengan diam, Azalea sangat berbeda ketika sedang bertemu langsung, tak banyak bicara dan tak banyak bertanya seperti di pesan. Di sekolah, Azalea tak mempunyai teman karena hal itu, anak kelas menganggapnya aneh karena tak pernah mau bicara, bahkan ketika presentasi, ia hanya menjadi notulen dan tak mau bersuara sedikitpun. Sebenarnya, Haekal ingin sekali bertanya apa penyebab Azalea tak mau berbicara dengan orang lain, hanya saja pertanyaan itu selalu tertahan, karena Haekal paham, setiap individu pasti punya trauma di masalalu yang tak mau diungkit dan dibagi kepada orang lain.

“Saya langsung pulang, sudah malam. Terimakasih Origaminya, nanti di rumah, saya akan baca isi pesan di dalamnya apa.”

Azalea punya caranya sendiri untuk menghibur Haekal, ia tidak akan membuka obrolan dan menanyakan apa yang terjadi kepada Haekal, ia hanya memberikan berbagai macam bentuk Origami yang terselip sebuah pesan didalamnya kepada Haekal, dan hari ini Haekal diberi tujuh buah Origami berbentuk hati oleh Azalea.

“Iya.” Jawab Azalea pelan.

“Kalau lagi seperti ini, terlihat saya yang bawel ya. Padahal kalau di pesan, kamu itu berisik sekali, hahaha. Ya sudah, sana masuk rumah.” Ucap Haekal dan tangannya memberi isyarat agar Azalea cepat masuk ke dalam rumah.

“Baru pulang?” Tiba-tiba seorang lelaki membuka pintu rumah tersebut. Terlihatlah Jovan yang berdiri di ambang pintu sembari membawa segelas kopi ditangannya.

“Saya kembalikan Azaleanya, pulang dengan selamat dan tidak kuyup, Pak.” Ujar Haekal kepada Jovan.

“Tapi kamu kuyup.”

“Kalau saya sudah biasa kuyup. Saya pamit, Pak.”

“Lea, ajak Haekal ke dalam, dan tolong pinjamkan dia baju Ayah.” Ucap Jovan dan duduk di kursi yang terdapat pada teras rumah tersebut.

“Tidak perlu, saya langsung pulang saja.” Haekal menolak tawaran tersebut.

“Lea, langsung saja suruh masuk. Takutnya anak ini malah sakit dan jadi alasan lagi untuk dia bolos sekolah.” Haekal sedikit terkekeh mendengar itu. Akhirnya ia pun masuk dan menunggu Azalea membawakan baju Jovan untuk ia pinjam.


“Saya kembalikan besok atau lusa bajunya.”

“Duduk dulu sini, hujannya juga masih deras. Kamu enggak bawa kendaraan, kan?”

“Saya naik bus kota.”

“Sudah, duduk saja dulu. Hujannya deras, nanti baju saya basah kena hujan.” Dengan sedikit terpaksa Haekal duduk di kursi kosong yang terdapat di teras tersebut, Jovan tersenyum kemudian. Sebenarnya bukan karena Jovan tak mau baju yang ia pinjamkan basah, namun ia khawatir dengan anak itu, walaupun memakai payung, hujan terlalu deras untuk ia lewati dengan berjalan kaki sampai halte yang letaknya cukup jauh.

“Saya pikir yang namanya Haekal, jagoan dikelas sebelas itu pakai motor gede kalau ke sekolah, ternyata masih naik bus kota. Kalah dengan anak kelas sepuluh yang sudah bawa mobil ke sekolah.”

“Saya belum bikin SIM.” Jawab Haekal singkat.

“Loh, saya perhatikan anak sekolah hampir semuanya belum punya SIM, dan mereka tetap saja mengendarai motor atau mobil ke sekolah.”

“Saya kan Haekal, buat apa kita berjabat tangan waktu pertama kali bertemu, kalau bapak masih anggap saya seperti anak yang lain. Saya Haekal, saya dengan cara saya sendiri sebagai Siswa sekolah.”

Jovan kembali tertawa mendengar jawaban yang Haekal lontarkan barusan, jawaban yang sangat mirip dengan ucapannya kemarin ketika Haekal membandingkannya dengan guru BK sebelumnya.

“Cerdas.” Puji Jovan kepada Haekal.

“Tingkat kecelakaan di negara kita ini tinggi, Pak. Ya bagaimana tidak tinggi, kalau orangtua melepaskan anaknya yang belum cukup umur berkendara dengan bebas. Belum lagi, tingkat kesadaran masyarakat di negara kita sangat rendah, bisa dilihat dengan banyaknya Calo untuk proses bikin SIM. Padahal berbagai tes sebelum mendapatkan SIM itu untuk membuktikan apakah orang tersebut sudah layak berkendara atau belum. Susah sih, kalau SIM hanya dipandang seonggok formalitas berbentuk kertas yang digunakan hanya ketika ditilang polisi.”

Jawaban panjang Haekal berhasil membuat Jovan terkagum. Sangat jarang menemui anak remaja yang mempunyai pola pikir seperti Haekal, remaja cendrung tak acuh dengan aturan dan selalu merasa hebat dijalanan.

“Tetap menjadi pribadi yang berprinsip, Haekal. Saya suka dengan prinsip yang kamu jalankan.” Haekal hanya menoleh sebentar ketika mendengar itu dan kembali mengalihkan pandangannya ke depan, menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Walaupun sebenarnya ada perasaan senang pada dirinya ketika mendengar pujian tersebut.

“Kamu cinta sama Azalea?” Tanya jovan tiba-tiba. Haekal tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan pertanyaan seperti itu yang pasti membuatnya bingung untuk menjawab apa. Meskipun di sekolah Haekal dijuluki si jago debat melawan guru, kali ini Haekal dibuat bungkam dan tak mampu menjawab pertanyaan dari Jovan barusan.

Jovan terkekeh pelan. Jovan menyadari bahwa remaja berprinsip disampingnya ini terlalu kaku untuk ditanya mengenai isi hati.

“Kamu cinta sama Azalea, kan?” Tanya Jovan lagi.

“Saya tidak tau.” Jawab Haekal pada akhirnya.

“Kenapa tidak tau?”

“Kalau bapak tanya tentang Sosiologi, saya bisa jawab dengan berbagai teori. Kalau bapak tanya tentang Matematika, saya juga lihai menjawab dengan bermacam-macam rumus yang saya ketahui, tapi kalau bapak tanya masalah hati, saya tidak mengetahui apa itu isi hati, pertanyaan itu tidak bisa saya jabarkan secara essai Ataupun uraian singkat, saya tidak tau harus pakai teori mana, dan rumus apa untuk menjawab pertanyaan itu.”

Jovan terkekeh mendengar jawaban itu. Dan dengan tenang ia jelaskan kepada Haekal,

“Payung itu tau tentang isi hati kamu.”

“Payung? Bagaimana bisa payung tau?” Tanya Haekal penasaran ketika Jovan menunjuk payung yang tadi ia gunakan bersama Azalea.

“Kamu melindungi Azalea dari hujan menggunakan payung ini. Baju Azalea tak basah, berbeda dengan baju kamu yang sangat basah. Berarti kamu sudah merelakan sisi kamu terkena hujan, hanya untuk melindungi Azalea dari derasnya hujan, kan?” Ucap jovan kemudian menyesap secangkir kopi yang ia bawa tadi.

“Jadi cinta itu prihal melindungi, Pak?” Tanya Haekal masih penasaran dengan topik tentang hati, namun hanya dijawab Jovan dengan mengangkat bahunya pertanda tak tahu.

“Cari saja jawabannya sendiri.”

Setelah perbincangan itu, keduanya sunyi. Jovan sibuk dengan kegiatan meniup kopi dan menyesap kopinya hingga habis, sedangkan Haekal yang hanyut dalam lamunannya, masih memikirkan teka-teki hati yang barusan Jovan beri.

“Kamu tidak hubungi orang rumah karena terlambat pulang? Mungkin mereka sedang khawatir sekarang.” Haekal tertawa mendengar pertanyaan Jovan barusan. Kali ini Jovan tak mengerti reaksi yang Haekal beri, Jovan tak paham mengapa pertanyaan seriusnya dihadiahi tawa oleh Haekal, padahal itu bukan lelucon sama sekali.

Cukup lama Haekal tertawa, hingga akhirnya ia diam dan menunduk. Kali pertama Jovan melihat si pemberani ini menunduk.

“Rumah itu apasih, Pak?” Tanya Haekal pelan.

“Rumah itu tempat berlindung dari cuaca panas, dingin, badai, hujan, dan lainnya. Tempat kamu bisa beristirahat saat sedang lelah, dan menjadi tempat yang nyaman untuk berkeluh.”

“Kalau bagi saya sebagai orangtua, Rumah itu keluarga. Seandainya saya tidak punya rumah seperti sekarang, dan hanya tidur beralaskan tanah sekalipun, saya masih merasa memiliki rumah. Karena rumah bagi saya bukanlah terhitung dari suatu materi dan bangunan saja. Tapi bagi saya Rumah adalah keluarga yang disana terdapat kepuasan batin. Di rumah juga saya belajar bagaimana cara menjaga dan menenangkan anak serta keluarga saya. Tempat dimana saya berkeluh ketika suatu hal buruk sedang menimpa, Rumah saya hangat dengan saling menguatkan.” Jovan menjelaskan makna keluarga baginya kepada Haekal.

“Saya mau punya Rumah, Pak.” Ucap Haekal pelan usai diam beberapa saat setelah mendengar jawaban panjang dari Jovan barusan.

“Ada Haekal, keluargamu.”

Haekal kembali tertawa mendengar itu, namun kali ini Jovan menyadari ada luka dibalik tawa tersebut. Ada air mata yang ditahan oleh si pemberani itu.

“Saya merasa tidak punya keluarga, Pak.”

“Lantaran?”

“Saya adalah ada yang tidak ada, Pak. Saya tidak pernah dianggap keluarga. Bagaimana bisa yang disebut keluarga mengabaikan saya yang bahkan ada di depan mata? Saya seperti tidak kasat mata, Pak. Saya ingin dilihat, bukan dengan tatapan tak acuh dari Ibu saya. Saya ingin dilihat sebagai seorang anak yang berharga.”

“Saya ini tuna wisma, Pak. Saya tidak punya rumah seperti bapak, saya tidak punya tempat untuk mengeluh dan berbagi cerita, saya kedinginan pak, tidak ada rumah yang bisa menghangati saya. Mungkin hanya kepulangan abadi yang menjadi satu-satunya rumah bagi saya.”

“Saya tidak punya rumah...” Lanjut Haekal lagi, terdengar suaranya sedikit bergetar dan ia kembali menundukkan kepalanya dalam, malu kalau harus menangis di hadapan orang lain.

Untuk pertama kalinya Haekal menangis di hadapan orang lain, menceritakan bagaimana perasaannya kepada orang lain, dan terlihat sebagai sosok yang lemah sekaligus menyedihkan di hadapan orang lain.

“Ah, saya ngomongnya ngaco. Tolong diabaikan, Pak. Anggap saja angin lewat. Sudah reda hujannya, saya pamit.” Haekal berdiri dan bersiap untuk pergi setelah menyadari keanehan yang barusan ia lakukan. menangis dan mengeluh akan keadaan kepada orang lain, jelas bukan hal yang biasa bagi Haekal. Maka dari itu Haekal memutuskan untuk pergi, ia malu dengan Jovan yang melihat sisi lain dari dirinya barusan.

“Haekal.” Panggil Jovan menghentikan Haekal yang hendak pergi.

“Lupakan saja pak, saya barusan-”

“Kamu bisa anggap saya rumah. Pintu rumah saya selalu terbuka lebar untuk kamu, jangan segan untuk mengetuk.”

“Pak, Terimakasih sudah ramah.”


-Ara.