Penyesalan Haekal.

image

Karena sudah terlampau panik, Haekal membanting pintu mobil milik Theo saat sampai di depan IGD Rumah Sakit,ia segera berlari menuju ruang IGD yang nampak di depannya, bahkan tanpa pamit sedikitpun kepada Theo.

Sebelumnya, Haekal ditahan oleh Theo saat hendak memberhentikan sebuah taksi untuk menuju Rumah sakit, Theo melarang Haekal dan menawarkan kepada Haekal untuk diantar olehnya menuju tempat tujuan, sempat Haekal menolak, namun Theo berhasil membujuk Haekal dengan berkata, “Semua berkas yang ada di tas kamu saat ini sudah pasti sangat berharga, sampai-sampai Pak Tama menyembunyikan di Brangkas, jadi, enggak kecil juga kemungkinan kamu dalam bahaya sekarang.” Dengan itu Haekal luluh, dan segera masuk ke dalam mobil Theo untuk menuju rumah sakit yang dituju.

Dari kejauhan Haekal dapat melihat Reno dengan seragam sekolahnya yang sudah berantakan, berdiri tepat di depan pintu masuk ruang IGD, tanpa ragu, Haekal mempercepat larinya untuk menghampiri Reno yang belum menyadari kedatangan Haekal karena sedang sibuk dengan ponselnya, seperti sedang menelpon seseorang.

“Di mana?” Tanpa sapa, Haekal yang masih dengan napas tersenggal bertanya kepada Reno yang nampak kaget dengan kehadiran Haekal.

“Cepet banget anjir lo naik apa sumpah?”

“Di mana, Anjing?!” bentak Haekal yang sudah gelap mata akibat paniknya, ia sama sekali tak membutuhkan pertanyaan basa-basi seperti barusan, ia hanya ingin Reno segera memberitahunya tentang keberadaan Jovan.

“Di dalem, Kal, ranjang ke tiga, tapi-” Belum sempat Reno menyelesaikan jawabannya, Haekal sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan Reno, memasuki ruang IGD dengan tergesa-gesa. “Tapi santai aja padahal ...” sambung Reno pelan, dengan mimik wajah yang nampak kesal karena Haekal yang panik tak karuan, namun setelahnya Reno malah tersenyum jahil melihat Haekal dari kejauhan.


Saat memasuki ruangan IGD indra penciuman Haekal langsung di sapa dengan bau khas dari obat-obatan, dan juga indra pendengarnya yang mendengar berbagai macam bunyi dari alat medis.

Jemari Haekal meremas tirai yang menutupi sekat ruangan Jovan, ia tak siap membuka tirai itu, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Jovan yang berbaring tak berdaya, dengan banyak sekali luka, juga dibantu oleh beberapa alat medis yang bunyinya terdengar sangat menakutkan, seperti pasien di samping yang Haekal lihat sedang kesakitan dengan luka parah di kepalanya.

Haekal masih tak siap menyingkap tirai itu, ia benar-benar ragu dan takut untuk melihat kondisi Jovan, bahkan saat ini matanya hanya mampu terpejam di depan tirai tersebut.

“Harus di operasi pasien ini, segera!” Mata Haekal yang tadinya terpejam takut, seketika terbuka lebar saat mendengar suara yang berasal dari dalam tirai sekat tersebut, paniknya semakin menjadi saat mendengar perkataan yang ia duga dari seorang Dokter di dalam sana.

Dengan cepat Haekal menyingkap tirai tersebut, matanya langsung menangkap Jovan yang sedang duduk di sisi ranjang, sembari tertawa memegangi tangannya yang diperban, ditemani oleh Jay- Ayah Januar, yang juga duduk di samping Jovan.

“Kal?” Seketika tawa Jovan terhenti saat dilihatnya Haekal yang berdiri menatapnya tak percaya, begitupun Jay yang melongo tak percaya dengan kehadiran Haekal yang tak terduga.

“Bapak ...” ucap Haekal dengan suara yang pelan, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat, karena keadaan Jovan saat ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan, namun, tak bisa juga Haekal sembunyikan leganya saat melihat Jovan dalam kondisi yang baik-baik saja, dan hanya terlihat sedikit luka saja dibagian lengan kanannya.

“Aduh, gue ke luar dulu deh kalo gini ceritanya.” pamit Jay dengan gerakan yang hampir mirip mengendap, meninggalkan Haekal dan Jovan di ruangan kecil yang ditutupi tirai pada setiap sisinya itu.

Haekal masih saja menatap Jovan dengan tatapan yang sangat sulit untuk dideskripsikan, pada tatap mata itu terlihat sedih, khawatir, lega, dan juga bersalah, membuat Jovan balik menatap sendu kepada Haekal.

“Bapak ...” Lagi terdengar lirih Haekal memanggil, walau sudah sering sekali Jovan dipanggil 'Bapak' oleh Haekal, entah mengapa panggilan 'Bapak' kali ini terasa berbeda dari biasanya.

“Kal, kamu kenapa ada di sini? Saya hmm ... baik-baik aja, Kal, cuma luka sedikit.” tutur Jovan ragu, ia takut Haekal tak terlalu memedulikan keadaannya, sehingga perkataannya barusan hanya akan ditertawai atau malah membuat Haekal muak saja.

“Bapak ...” Haekal tak berhenti memanggil Jovan dengan lirih, kali ini suaranya terdengar berbeda, seperti hampir bergetar menahan tangis. Jovan yang sadar akan itu, mencoba bangkit dari duduknya untuk menghampiri Haekal.

“Bapak, maaf ...” Namun, baru saja Jovan berhasil berdiri, ia kembali dikagetkan dengan Haekal yang seketika berada pada posisi berlutut di depannya, menunduk sedalam-dalamnya dengan bahu yang bergetar hebat akibat tangisnya yang saat ini mulai terdengar.

“Ya Tuhan, jangan gini, Nak, berdiri, ayo berdiri, jangan seperti ini.” Jovan berusaha membantu Haekal untuk bangkit, namun Haekal enggan, dan masih bertahan dengan posisinya, bahkan saat ini ia berusaha untuk bersimpuh tepat di kaki Jovan.

“Saya salah ... Pak, saya salah ... Saya yang berdosa ... Maaf Pak, maafkan Haekal yang sudah kurang ajar ...” ungkap Haekal diiringi isakannya yang terdengar cukup kencang di banding sebelumnya, sampai-sampai pengucapan tiap katanya terdengar sedikit tak jelas karena isakan tersebut.

“Kal, berdiri ya, Nak, kamu enggak berdosa, wajar, Nak, sangat amat wajar, sudah, ya? Bapak sedih kalau lihat kamu seperti ini.” bujuk Jovan lembut, kembali ia membantu Haekal untuk bangkit dari posisi bersimpuhnya, walau agak sulit, Jovan berhasil membantu Haekal untuk berdiri kembali, namun masih dengan pandangan Haekal yang tertunduk ke bawah, seakan sangat takut dan malu, juga menyesali kesalahannya kepada Jovan.

Isak masih terdengar keluar dari bibir Haekal, walau tak kencang seperti sebelumnya, Haekal masih menitihkan air matanya, dan menyeka dengan kasar tiap tetes air bening yang jatuh dari matanya.

Jovan memilih kembali duduk di sisi ranjangnya seperti semula, memandang Haekal dengan penuh tanya, ia sama sekali tak menyangka kehadiran Haekal, begitu pula dengan permintaan maaf Haekal kepadanya yang terlihat sangat bersungguh-sungguh menyesal.

“Kal?” setelah beberapa saat hanya diam, Jovan kembali membuka obrolan dengan Haekal yang masih setia berdiri di depannya, Haekal tak menjawab panggilan itu, ia masih saja memilih diam dan menunduk dalam.

“Duduk, Kal, kemari, Nak.” pinta Jovan, namun Haekal masih enggan untuk bergerak dari posisi berdirinya.

“Saya kira akan kembali terpukul dan menyesal,” ucap Haekal kembali membuka suara, tak seperti biasanya dengan suara yang terdengar tenang, saat ini suara Haekal terdengar sangat pelan seperti ketakutan, “Saya kira enggak akan bisa lihat Bapak lagi selamanya, dan saya akan kembali menjadi manusia paling menyesal karena belum sempat meminta maaf kepada Bapak.” sambungnya.

“Loh, Kal? Saya yang mengira enggak akan bisa bicara sama kamu lagi karena kesalahan dan dosa besar saya. Saya kira kamu enggak akan mau datang lagi kepada saya, bahkan sempat terlintas di pikiran saya, kamu enggak akan sudi datang ke pemakaman saya jika nanti saya meninggal.” Mendengar itu, Haekal langsung menggelengkan kepalanya, menandakan ia benar-benar tak setuju dengan dugaan Jovan barusan.

“Saya sadar atas semua kesalahan saya dari awal, Kal, jadi ketika akhir-akhir ini kamu sangat membenci saya, sama sekali saya enggak punya pembelaan, karena memang semuanya salah Bapak, Kal, semua hal buruk yang menimpa kamu dan Hanna, itu berawal dari kesalahan Bapak.”

“Hadirnya saya merupakan kesalahan juga, ya, Pak?” perlahan Haekal memberanikan dirinya untuk menatap kedua manik mata milik Jovan.

“Bukan seperti itu maksud saya, Kal. Adanya kamu, hadirnya kamu di dunia bukanlah sebuah kesalahan bagi hidup saya maupun Hanna. Tapi kuasa, keadaan, serta kondisi saya yang menjadi sumber awal semua kesalahan. Kalau saja Bapak punya harta-”

“Kalau saja keluarga Hanasta enggak menilai orang dari harta dan kasta, Pak.” Haekal memotong perkataan Jovan, mengoreksi ucapan Jovan.

“Bukannya dulu Bapak yang bilang, enggak ada yang salah dalam hal mencinta walau berbeda kasta? Masih ingat 'kan, Pak?” seulas senyum tipis terukir kala Jovan mendengar pertanyaan Haekal barusan, setelahnya Jovan mengangguk menjawab pertanyaan barusan, “Para Badebah ya, Pak? Nuraninya hilang hanya karena harta, sampai-sampai tega hati merebut kebahagiaan Mamah.”

“Orangnya sudah enggak ada, Kal, cukup doakan saja.” balas Jovan masih dengan senyuman hangatnya, seakan sangat lapang hati menerima masa lalunya yang sudah dizolimi oleh keluarga Hanasta.

“Maafkan saya, Pak, atas semua tindakan buruk, dan juga tutur kata saya yang sudah keterlaluan. Jujur, saya kaget dengan semua yang terjadi secara tiba-tiba, saya enggak dikasih waktu oleh Tuhan untuk memproses satu per satu yang menimpa saya, semuanya seperti serentak menimpa saya. Di keadaan seperti itu, pikiran saya menjadi pendek, saya sibuk mencari sosok yang bisa saya salahkan dan bisa menjadi tempat pelampiasan menyalurkan Amarah. Saya sudah durhaka, Pak, saya yang seharusnya meminta ampun kepada Bapak.” ucap Haekal serius, matanya masih tak lepas menatap lekat Jovan yang duduk di depannya, berusaha menyampaikan semua yang ia sesalkan, dengan kedua netranya yang sudah mulai berkaca-kaca (lagi).

“Yang ada dipikiran saya saat Reno telpon, hanyalah kehilangan, kehampaan, dan penyesalan, Pak. Selama perjalanan menuju ke sini, saya hanya membayangkan bagaimana caranya agar mati saja dari pada hidup penuh penyesalan. Jujur, demi Tuhan, saya enggak mau semesta mengabulkan permintaan saya untuk menjadi seorang yatim, saya menyesal pernah bilang seperti itu, Pak, saya bodoh saat itu. Ampuni saya, Pak, ampuni saya yang sudah durhaka kepada Bapak. Tolong ... Ampuni saya.” Tak hanya Haekal, Jovan pun ikut menitihkan air matanya saat mendengar permintaan maaf dari sang Anak yang terasa sangat menyentuh lubuk hatinya.

“Kal, ke sini, Nak, dekat lagi sama Bapak.” pinta Jovan, Haekal dengan langkah yang pelan mulai maju untuk mendekat ke arah Jovan.

“Demi Tuhan, Kal, saya cuma mau peluk kamu, bukan dengar permintaan maaf seperti tadi. Boleh kalau saya peluk kamu?” Haekal diam, tak menjawab, Jovan seakan mengerti dengan diam Haekal.

“Tapi kalau belum boleh enggak apa-apa, sini, Nak, duduk di samping Bapak aja, kita ngobrol-” Ucapan Jovan terhenti saat Haekal tiba-tiba memeluknya, walau lengan kanannya terasa sedikit nyeri kala pelukan itu mengenai bagian yang terluka, Jovan tak terlalu peduli dan melupakan rasa sakitnya.

“Maafkan Bapak, ya, Nak, maaf atas semuanya. Izinkan Bapak memperbaiki semuanya, izinkan juga Bapak menebus kekosongan sosok Ayah yang selama ini membuat kamu merasa hampa, Bapak janji, setelah ini hanya akan memberikan kamu dan Hanna bahagia, sudah cukup luka dan dukanya, ya? Kalian harus bahagia mulai dari sekarang, Bapak janji.” bisik Jovan sembari mengusap punggung anak kandungnya itu.

“Pak ...”

“Iya, Kal?”

“Masih hangat pelukan Bapak, masih sama seperti dulu, bedanya, sekarang saya tau sebab terasa hangatnya pelukan Bapak, itu karena Bapak adalah Ayah kandung yang selama ini saya khayalkan wujudnya.”

“Bapak telat, ya, Kal, kasih kamu rumah yang sesungguhnya?” tanya Jovan, masih membiarkan Haekal memeluknya, walau sakit di lengan kanannya semakin terasa karena semakin terasa ditekan oleh Haekal.

“Telat, tapi bukan masalah lagi untuk sekarang. Yang penting Bapak masih ada di dunia dan bisa saya lihat, itu sudah cukup, Pak. Jangan pergi lagi, ya, Pak? Tolong beri saya rumah yang hangat seperti waktu itu Bapak tawarkan”

“Saya enggak akan pergi, Kal, akan selalu ada untuk kamu dan Hanna.” ucap Jovan berjanji, kemudian dengan perlahan juga Haekal melepaskan pelukannya, dan duduk di samping Jovan.

“Terima kasih, ya, masih sudi menerima Bapak yang banyak kurangnya ini, Kal.” Jovan tersenyum bangga menatap Haekal yang sudah tumbuh dewasa, seperti tak menyangka anak yang selama ini ia impikan hadirnya di dunia, ternyata bertahan dan tumbuh besar menjadi pribadi yang kuat dan juga bersahaja.

“Pak saya boleh tanya?”

“Boleh dong, Jagoan.”

“Bapak lebih suka di panggil apa? Ayah atau Bapak oleh saya?”

image

-Ara