Pulang.

goodbye

Nadhira bergegas meninggalkan ruang ujian setelah menyelesaikan puluhan soal mata pelajaran yang ia pilih, Sosiologi. ia bahkan melewati sesi foto bersama teman-teman sekelasnya untuk yang terakhir kalinya dengan seragam sekolah. Fokusnya hanya kepada Dikta yang menunggu kedatangannya.

Sialnya, aplikasi Ojek online di hpnya tiba-tiba eror tak bisa diakses. Bus kota dan angkutan umum bukanlah pilihan yang tepat untuk sampai ke Rumah sakit dengan waktu yang singkat. Ia menggigit kuku jari tangannya dengan gelisah sembari tangan yang satunya sibuk dengan layar handphonenya, berusaha mengunduh aplikasi Ojek online yang lain.

Disaat ia sedang berusaha mengakses aplikasi itu, sebuah motor menghampiri tepat di depannya. Jelas Nadhira sangat mengenal motor tersebut dan pemiliknya, karena dulu sudah menjadi kebiasaannya untuk naik keatas jok tersebut ketika pulang sekolah.

“Nadh, aku anter ya.” Pemilik motor tersebut, Jeno membuka kaca helmnya dan langsung menawarkan Nadhira tanpa menyapa Nadhira terlebih dahulu.

“Eh? Enggak usah Jeno, aku pesan Ojol aja.”

“Servernya lagi down, udah naik aja langsung, buruan.” Tak seperti biasanya, kali ini Jeno sedikit memaksa dan tak terlihat tenang seperti hari-hari sebelumnya.

“Aku bukan mau pulang, Jeno. Aku mau ke Ru-”

“Iya. Aku antar, Ayo cepet naik.” Nadhira menerima tawaran itu dan langsung duduk di jok belakang motor tersebut. Jeno melajukan motornya kencang, tak seperti biasanya yang berada di kecepatan rata-rata, seolah-olah tahu bahwa penumpang yang sedang ia bawa sedang dikejar oleh waktu.

Tak ada obrolan sama sekali selama perjalanan, keduanya sama-sama fokus dengan pikiran mereka masing-masing. Dari tadi Nadhira sibuk memikirkan keadaan Dikta yang dikabarkan telah siuman, Nadhira bahkan berencana akan menghabiskan waktu libur panjangnya untuk berada disamping Dikta, karena sekarang sudah tak ada lagi gangguan dari dunia persekolahannya, semua ujian di sekolah pun telah ia selesaikan. Nadhira tak sabar ingin menceritakan bagaimana pengalaman Ujiannya selama Empat hari secara langsung kepada Dikta, dan yang jelas Nadhira sangat rindu menghabiskan waktu bersama Dikta. Selama perjalanan, tak lupa pula ia menatap langit dan berkali-kali berterimakasih kepada Tuhan walaupun hanya ia ucapkan dalam hati karena Tuhan telah membangunkan Dikta dari tidur yang cukup lama.

“Jeno gapapa disini aja, biar kamu gak bayar parkiran.” Nadhira menepuk pundak Jeno pelan ketika motor Jeno sampai di depan halte Rumah sakit.

“Gapapa sampai dalam aja, Nadh.”

“Gapapa disini aja, Jeno. Makasih banyak ya, kalau gak ada kamu kayaknya aku masih nunggu Ojol atau Angkot sekarang.” Nadhira turun dari motor tersebut dan tersenyum manis kepada Jeno. Jeno tak membalas senyum itu, tak seperti biasanya Jeno seperti itu, bahkan sekarang Jeno menatap Nadhira dengan tatapan yang penuh dengan kekhawatiran.

“Eh? Kenapa Jeno?” Tanya Nadhira ketika menyadari ada yang aneh dari tatapan Jeno.

“Gapapa, Gih sana Nadh, Kamu buru-buru kan?” Nadhira mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Jeno.

“Nadh...” Panggil Jeno setelah beberapa langkah Nadhira meninggalkannya, sontak Nadhira menoleh kepada Jeno.

“Iya?” Saut Nadhira.

“Jangan segan hubungi aku ketika kamu merasa gak kuat nahan semuanya sendiri, ya?” Mendengar itu Nadhira hanya tersenyum sembari mengangguk dan kembali melangkahkan kakinya menuju Rumah sakit.

“Tuhan, gue mohon, jangan ambil senyum itu...” Lirih Jeno pelan ketika dilihatnya Nadhira sudah masuk ke dalam Area Rumah sakit.


Kebahagiaan Nadhira perlahan pudar ketika sampai di depan ruang ICU, ruangan yang sama sekali tak terbayangkan olehnya selama perjalanan tadi menuju Rumah sakit.

“Kak, kok masih di ruangan ICU?” Tanya Nadhira kepada teman-teman Dikta yang sudah menunggu kedatangannya. Semuanya berbeda dari harapan Nadhira, ia pikir akan disambut dengan bahagia oleh teman-teman Dikta, namun tidak terlihat kebahagiaan sedikitpun dari wajah mereka.

“Ohiya, Nadh. Ini Alea. Teman Dikta juga.” Jeffrey memperkenalkan seorang perempuan yang berdiri disampingnya. Sebenarnya tanpa diperkenalakan, Nadhira juga sudah tahu kalau itu Alea, karena beberapa kali Dikta menunjukan fotonya kepada Nadhira.

“Iya...” Jawab Nadhira pelan, ia rasa bukan waktu yang tepat kalau harus membahas lebih lanjut mengenai Alea.

“Sebentar ya Nadh, tunggu dulu.” Ucap Theo berusaha tenang kepada Nadhira.

“Kak Dikta baik-baik aja kan? Kenapa kok masih di ICU? Kak Dikta udah sadar kan? Gak terjadi apa-apa kan? Kalian kok mukanya sedih gitu?” Tak tahan lagi, akhirnya Nadhira menyerbu mereka dengan banyak pertanyaan. Namun tak ada satupun jawaban yang keluar dari mereka, semuanya hanya diam dan menunduk ketika mendengar pertanyaan itu.

“Kak?” Panggil Nadhira, namun masih tak ada jawaban dari kelima orang tersebut.

“Kata kalian Kak Dikta mau ketemu gue? Tapi mana?”

“Nadh... Iya Dikta mau ketemu lo, bahkan dia berjuang mati-matian buat ketemu lo.” Akhirnya Johnny menjawab Nadhira yang dari tadi bertanya kepada mereka.

“Gue ke musholah ya, Aing teu kuat.” Ucap Atuy dan pergi meninggalkan mereka. Melihat itu Nadhira semakin takut dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Duduk di bangku itu dulu yuk, Nadh? Pasti capek kan habis ngejain soal yang banyak. Tenang...” Alea menghampiri Nadhira dan mengusap bahu Nadhira pelan.

“Kak Dikta baik-baik aja kan?” Lirih Nadhira pelan.

“Pasti.” Jawab Alea mencoba meyakinkan dan menenangkan Nadhira.

Beberapa saat kemudian, Mamah Dikta keluar dari ruangan ICU, ia langsung menghampiri Nadhira begitu melihat Nadhira duduk di bangku tunggu yang terdapat di depan ruang itu. Wajahnya telihat tenang, walau sangat Nadhira yakini bahwa Mamah Dikta sedang kacau dan menutupi sesuatu, namun berusaha tetap tenang dihadapan Nadhira dan teman-teman Dikta.

“Nadhira, sudah selesai Nak Ujiannya?”

“Sudah tante, Kak Dikta gimana keadaannya? Kak Dikta baik-baik aja kan, Tante?”

“Dikta nunggu kamu nak dari tadi, Kasian jika harus menunggu lebih lama lagi.” Nadhira mengerutkan keningnya, tak mengerti maksud dari ucapan Mamah Dikta barusan.

“Mau lihat kamu katanya, dan mau ngobrol sama kamu.” Ucap Mamah Dikta terhenti,

“Walau cuma sebentar.” Lanjutnya.

Tak menunggu lama, Nadhira langsung masuk ke ruang ICU setelah mendapat izin dari seorang perawat yang bertanggung jawab untuk ruangan itu.


Dikta terbaring di satu-satunya ranjang tidur yang ada pada ruangan tersebut. Detak jantungnya tergambar dalam grafik yang ada pada layar Elektrokardiograf, grafik tersebut menunjukan bahwa keadaan Dikta saat ini sangat lemah, dan pula terdapat alat bantu pernapasan yang terpasang untuk menyalurkan oksigen kepada Dikta.

Dengan amat pelan dan berhati-hati Nadhira duduk di sebuah bangku samping ranjang tersebut. Ketika melihat wajah pucat Dikta yang sedang tertidur, ia tak kuat manahan tangisnya. Rasanya sangat sakit ketika melihat orang yang dicinta harus berjuang dengan berbagai alat-alat medis yang banyak itu. Nadhira mengelus tangan Dikta lembut, hal itu membuat Dikta terbangun dan membuka kedua matanya perlahan.

“Kak...” Bisik Nadhira sangat pelan, khawatir mengganggu Dikta yang tadinya sedang tertidur. “Gapapa, tidur lagi aja. Nadhira yang temenin, ya?” Nadhira tersenyum sembari mengusap air mata yang jatuh pada pipinya, ia tak boleh terlihat sedih di depan Dikta.

Dikta menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Nadhira membantunya untuk melepas alat bantu pernapasannya. Awalnya Nadhira menolak melakukan itu, namun Dikta mengangguk seakan meyakinkan Nadhira bahwa dia akan baik-baik saja. Akhirnya Nadhira melepaskan alat bantu pernapasan itu, membiarkan Dikta mengatakan apa pun yang diinginkannya.

“Nadhira,” Panggil Dikta pelan, bahkan terdengar sangat pelan dan lemah. Nadhira hanya mengangguk dan membawa jemari Dikta ke dalam dekapannya.

“Lama banget datangnya.” Lanjut Dikta dan tersenyum kecil kepada Nadhira.

“Maaf Kak, Maaf bikin kakak nunggu lama.”

Dikta menggeleng pelan mendengar itu, “Gapapa, Nadh...” Kalimat Dikta terhenti, suaranya sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar. Dikta berusaha mengambil napasnya berat dan melanjutkan apa yang ingin ia bicarakan.

“Kalau tadi, rasa sakitnya masih bisa ditahan... Harus lihat Nadhira dulu... Harus lihat senyum Nadhira dulu... Supaya bahagia perginya...”

Mendengar itu, Nadhira kembali menjatuhkan butiran air mata dari sudut matanya, Ia tak tahu harus menjawab apa. Segala bentuk perjuangan dan pengorbanan Dikta berkelebat di kepalanya. Sudah terlalu banyak Dikta bertahan dan menahan semuanya. Dan sekarang, disini, di ruangan yeng penuh dengan alat medis, dengan keadaan separah ini, Dikta masih saja bertahan untuk melihat senyum Nadhira sebelum pergi. Isak tangis Nadhira pecah, membayangkan betapa jahat dan egoisnya dirinya selama ini karena selalu meminta Dikta untuk bertahan bersamanya tanpa pernah memikirkan betapa tersiksanya Dikta selama ini.

“Maafin aku kak, Maafin Nadhira udah bikin Kak Dikta ngerasa sakit kayak gini, Maafin aku, Kak.” Lirih Nadhira di sela isak tangisnya.

“Nadhira... Jangan nangis... Mau... Senyum, Nadh...”

Bagaimana bisa Nadhira tersenyum disaat seperti ini? Bagaimana bisa ia memberi sebuah senyuman ketika perpisahan yang sangat menyakitkan berada tepat di depan matanya, hanya tangislah yang dapat menggambarkan perasaan Nadhira sekarang.

“Jangan nangis, Nadh...” Lanjut Dikta lagi dengan susah payah. “Nadh... Kakak bikin Nadhira sedih ya?”

Ketika mendengar itu, Nadhira langsung menggeleng pelan dan mengusap air mata dengan punggung tangannya, lalu mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum menatap Dikta, Dikta pun balas tersenyum melihat itu.

“Nadhira... Arti namanya, yang berharga, yang terpilih... Itu juga sebagai Definisi kamu di dalam kehidupan Kakak, Nadh...” Nadhira tak menjawab dan hanya mengangguk pelan sembari menatap Dikta.

“Nadhira... Ulang tahun masih 3 bulan lagi, ya?”

“Iya Kak.”

“Selamat ulang tahun, Nadhira sayang, semoga semua yang Nadhira Inginkan terwujud... semoga Nadhira selalu cemerlang di setiap harinya, Ohiya, senyum Nadhira yang bersinar itu, jangan pernah hilang, ya? Kakak... Enggak mau lihat Nadhira kehilangan sinar senyuman itu... Tetap tertawa ya, Nadh, meski nanti enggak ada Kakak... Berbahagialah karena doa Kakak selalu untuk Nadhira, bahkan sampai nanti diatas sana...”

“Dan maaf... Ucapin ini lebih awal... Maaf Kakak enggak bisa lagi jaga Nadhira... Tolong, Nadh... Tolong jadikan Kakak sepenggal kenangan indah yang hanya lewat di kehidupan kamu, Kakak hanya untuk dikenang, jangan lebih... Nadhira enggak perlu khawatir, Nadhira enggak akan pernah pergi dari ingatan Kakak, Nadhira yang akan kekal diingatan Kakak, karena cuma Nadhira yang mau Kakak lihat sebelum pergi...”

“Nadhira juga mau Kakak Kekal, Nadhira mau terus bareng sama Kak Dikta, pasti ada cara kan, Kak? Please...”

“Enggak bisa... Nadh... Enggak kuat, Enggak tertahan lagi... Maaf...”

Nadhira kembali terisak setelah mendengar itu, separuh dari dirinya belum siap menerima sebuah perpisahan, separuhnya lagi menyuruhnya untuk melepaskan Dikta dari rasa sakit yang amat menyiksa ini.

“Maaf Kak, Maaf karena aku, Kak Dikta jadi sakit kayak gini... Kak, Sakit banget ya? Maaf... Maafin Nadhira, Kak...”

Dikta menggeleng perlahan mendengar itu. “Nadhira enggak salah... Nadhira enggak pernah salah... Tolong Ikhlaskan Kakak, Nadh... Kakak juga udah merelakan kamu...”

Nadhira tertunduk lemas, tak mampu lagi ia mendengar kalimat Dikta. hatinya terasa sangat sakit dan sulit untuk melepaskan Dikta pergi, namun mungkin akan terasa lebih sakit jika membiarkan Dikta terus-terusan merasakan kesakitan ini.

“Nadhira... Harus bahagia... Karena Kakak akan terus lihat kebahagiaan Nadhira... dan ikut bahagia dengan apapun pilihan Nadhira...”

“Nadh... Boleh lihat senyum... Terakhir... Nadh.” Dengan susah payah Nadhira menguatkan dirinya untuk kembali menatap Dikta, dengan susah payah ia memberikan sebuah senyum untuk dilihat Dikta, walau buliran bening tak henti terjatuh dari sudut matanya, ia masih berusaha tersenyum untuk Dikta, barangkali perpisahan memang sudah sangat dekat, hanya itu yang bisa ia berikan kepada Dikta.

“Cantik, Nadh... Selalu cantik.” Suara Dikta sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.

“Maaf, Kak...” Nadhira berkata dengan penuh putus asa, dibalas dengan senyuman oleh Dikta, lalu ia mengusap pipi Nadhira lembut. Terasa dingin jemari Dikta ketika mengusap pelan pipi Nadhira.

“Nadh... Kakak udah merelakan kamu...” Ucap Dikta dengan susah payah. “Sekarang Kakak bisa pergi dengan hati yang lapang... Terimakasih, Nadh... Kakak bahagia... hidup... selama ini... Terimakasih...”

Dikta memejamkan matanya dengan tenang setelah berusaha keras menyelesaikan kalimat terakhirnya yang bahkan tak bisa Nadhira dengar dengan jelas. Alat elektrokardiograf itu berbunyi dengan sangat nyaring dan menunjukan garis lurus. Tangis Nadhira berderai dengan sangat deras mendengar alat itu, dengan tergesa-gesa Nadhira kembali memakaikan alat bantu pernapasan kepada Dikta, namun tak ada reaksi apapun dari tubuh Dikta.

“Kak Dikta!!!” Nadhira berteriak dengan kacau, memukul-mukulkan kepalan tangannya kepada sisi ranjang yang kosong. Suara nyaring dari monitor Elektrokardiograf terus-terusan meneror pendengaran Nadhira, membuatnya pusing dan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Dokter dan beberapa perawat menghampiri Dikta yang sudah memejamkan matanya. Nadhira melawan ketika ada perawat yang mencoba membawanya keluar, namun akhirnya ia kalah ketika Jeffrey menghampirinya dan membawanya keluar dari ruangan tersebut.

“Biar Dokter yang urus ya, kita tunggu diluar.”


“Kak Dikta tante... Kak Dikta...” Ucap Nadhira kacau, sedangkan Mamah Dikta hanya menunduk dan menangis, seakan sudah tau apa yang akan terjadi, begitupun dengan teman-teman Dikta yang menunggu diluar dari tadi.

Nadhira kesal, mengapa semua orang seakan-akan sudah siap dengan perpisahan. Tiba-tiba Nadhira teringat perkataan Dikta pada saat dirumahnya, Dikta bilang kalau menginginkan sesuatu memintalah kepada Tuhan, apapun itu Tuhan pasti akan bantu. Jika sekarang Nadhira meminta Tuhan menyelamatkan Dikta, pasti Tuhan akan membantunya, 'kan?

“Kak Alea...” Panggil Nadhira pelan. Alea langsung menghampiri Nadhira dan kembali mengusap pundak Nadhira pelan.

“Iya, Nadh?”

“Tolong antar ke lantai bawah, Nadhira mau berdoa sama tuhan. Mungkin kali ini ada keajaiban.” Nadhira tak peduli jika ucapannya terdengar konyol, padahal ia sendiri sudah melihat bagaimana keadaan Dikta barusan, bagi Nadhira untuk saat ini hanya Tuhanlah yang bisa menolong Dikta melalui sebuah keajaiban.

Alea mengangguk mengiyakan permintaan Nadhira, ia langsung menggandeng tangan Nadhira dan menemani Nadhira menuju lantai dasar Rumah sakit.

Selama perjalanan menuju lantai dasar Nadhira hanya diam, tatapannya kosong dan sesekali bahunya menabrak orang lain yang berjalan berlawanan arah dengannya, Nadhira benar-benar sangat kacau dengan seragam SMA yang terlihat sangat kusut dan berantakan itu. Alea memegangi Nadhira dan menyarankan untuk naik lift saja, karena dirasanya tidak memungkinkan dengan keadaan seperti ini Nadhira bisa menuruni anak tangga untuk sampai di lantai bawah.

Belum sempat memasuki lift, sebuah pesan masuk dari handphone Nadhira, menghentikan langkah kaki mereka.

pulang

Nadhira terduduk di lantai dengan lemas setelah membaca dua baris pesan masuk itu, pandangannya terasa sangat kabur, dunia terasa berhenti.

Alea langsung membawa Nadhira ke dalam pelukannya dan membiarkan Nadhira melepaskan tangis kepadanya.

“Kak... Hancur semua, rasanya badan aku kaku, Kak... Kayak ditimpa batu, Sakit... Hancur semuanya, Kak. Hancur.”

Tenggorokan Nadhira tiba-tiba terasa tercekat, Lidahnya kelu seperti ingin mati, kepalanya seperti melayang-layang di udara, dan ingatannya kembali pada saat terakhir kali melihat Dikta tadi. Nadhira membayangkan betapa damainya wajah Dikta dalam tidurnya yang abadi, begitu pasrahnya Dikta dengan segala takdir yang telah diberikan oleh sang penciptanya, Dikta telah pergi, diiringi senyum damai dan aliran air mata yang mengalir membasahi wajahnya sebelum bertemu dengan sang Pencipta.

-Ara