Selamat Jalan menuju keabadian, semoga tenang.

tw // Accident tw // blood


Sidang pertama Yatno, yang agendanya adalah pembacaan surat dakwaan berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Hanna yang didampingi oleh kuasa hukum, dan juga Jovan yang menemaninya selama berjalannya persidangan pertama, sedikit merasa lega karena tak ada bantahan yang cukup kuat dari pihak lawan.

Yatno hanya mampu menunduk malu selama persidangan pertama, wajahnya juga terlihat pucat, dan badannya yang besar nampak menyusut tak segar seperti sebelumnya. Sempat juga diakhir persidangan, sebelum ditarik lagi menuju jeruji besi, Yatno menatap Hanna penuh mohon, seperti mengisyaratkan agar Hanna mau mengampuninya kali ini, namun, Hanna sama sekali tak merespon itu, dan malah memberikan senyum sinis penuh arti kepada Yatno.

“Darto belum ketemu juga, ya?” tanya Jovan, saat mereka berjalan keluar dari ruang sidang.

“Masih belum, pengecut itu lihai juga sembunyinya. Tapi aku yakin, sebentar lagi juga dia ditemukan.” Jovan yang mendengar jawaban itu, hanya tersenyum dan mengusap bahu Hanna pelan.

“Sabar, dan harus hati-hati juga, ya?” ucap Jovan pelan.

“Tipikal kayak dia tuh enggak tau diri, Kak, dikasih hati, eh malah minta jantung. Padahal aku udah berbaik hati banget kemaren kasih dia kesempatan, tapi, malah ngelunjak,” omel Hanna tak tertahan, Jovan terkekeh mendengar celotehan itu, membuat Hanna semakin merasa kesal. “Kok malah ketawa?” protes Hanna tak terima dengan respon Jovan barusan.

“Kamu lucu, Na, kalau lagi marah, enggak berkurang cantiknya.” tutur Jovan terus terang, membuat Hanna seketika salah tingkah dengan pengakuan tersebut.

“Apa sih, kayak anak muda aja suka gombal,” gumam Hanna pelan, pandangannya menunduk, tak mau Jovan melihat kedua pipinya yang mulai terasa panas.

“Jiwa muda saya masih terperangkap di kamu, Na, jadi wajarkan aja, ya? hahaha.” tawa Jovan sembari membawa jemari Hanna kepada genggamannya, lanjut berjalan menuju Area luar pengadilan dengan tangan yang sudah bertaut nyaman pada jemari Hanna.

“Saya lihat Tama tadi, Na, ada di bangku belakang yang menghadiri sidang,” ucap Jovan saat berjalan, Hanna langsung menoleh kepada Jovan, menatap Jovan bingung, dan memelankan langkah kakinya saat nama Tama disebut oleh Jovan.

“Ngapain dia hadir?”

Jovan mengangkat kedua bahunya, menandakan ia juga tak tahu, “Entah, Na, saya juga bingung kenapa dia hadir ke persidangan.” ucap Jovan balas menatap Hanna, berikutnya tiba-tiba Jovan menghentikan langkah kakinya, “Sebentar, Na.” Tangan Jovan yang tadinya sedang menggengam erat Hanna, dilepasnya pelan, kemudian tangannya terangkat untuk merapihkan beberapa helai anak rambut Hanna yang jatuh tak beraturan.

Hanna terdiam dengan kelakuan tiba-tiba Jovan yang berhasil membuatnya menahan napas untuk seperkian detiknya, kedua bola mata Hanna menatap lekat Jovan yang sedang fokus membenarkan anak rambutnya, dengan jarak yang mungkin hanya dua jengkal saja di antara mereka.

“Sudah rapih,” ucap Jovan kemudian mengusap-usap puncak kepala Hanna lembut, “Cuekin aja kali, ya, si Tama. Kalau dia macam-macam, nanti saya yang turun tangan langsung, kamu jangan khawatir, ya?” sambung Jovan balas menatap dalam kedua netra Hanna.

Hanna mengangguk, bak dihipnotis dengan perkataan Jovan barusan, seperti tak punya kuasa selain menuruti dan mempercayai Jovan.

“Yuk, ke mobil.” ajak Jovan kembali menggenggam Hanna, menuntun langkah kaki wanita yang ia cintai itu.

Bagi Hanna, Jovan tetap sama seperti belasan tahun lalu saat mereka bersama. Masih dengan tutur kata lembutnya kepada Hanna, dan dengan sikapnya yang sangat hati-hati dalam hal memperlakukan Hanna.

“Kak, udah jam 2 ya sekarang?”

“Iya, udah jam 2 lebih malah. Ada apa, Na?”

“Tadi Haekal bilang, pulang sekolah mau nyusul, kan dekat juga tuh dari sekolahnya ke sini, tapi enggak tau nih, Aku belum hubungi Haekal lagi, takutnya udah nunggu di luar.” kata Hanna dengan tangannya yang saat ini merogoh isi tasnya, mencari ponsel miliknya, berniat untuk langsung menghubungi Haekal.

“Iya coba dihubungi dulu, Na,” Jovan kembali mengulas senyumnya kepada Hanna, “Saya nanti pulangnya pisah mungkin, Na, khawatir Haekal enggak nyaman kalau ada saya di mobil.” lanjut Jovan lagi, jemari Hanna yang tadinya sibuk mengetikkan sebuah nama di layar ponsel, seketika berhenti kala mendengar ucapan Jovan barusan, dilihatnya Jovan masih dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya, namun kini matanya tak bisa membohongi kesedihan yang sedang ia sembunyikan, membuat Hanna teramat merasa iba dengan Jovan.

“Nanti aku ngomong ke Haekal, pulang bareng kita aja pokoknya, ya, Kak.” ucap Hanna berusaha untuk menenangkan Jovan.

“Enggak perlu, buat saat ini, kenyamanan Haekal yang pertama, Na. Saya antar kamu sampai mobil, ya? Nanti diperjalanan pulang hati-hati, jangan ngebut, janji?”

“Kak ...”

“Enggak apa-apa, Na, masih belum bisa Haekal terima saya, jangan dipaksa.”


Jarak yang tak cukup jauh dari sekolah menuju pengadilan tempat di mana Yatno sidang, Haekal tempuh dengan berjalan kaki, walau Reno sempat menawari Haekal tumpangan menggunakan motor miliknya, Haekal menolak, dengan alasan tak mau dibonceng orang yang belum mempunyai SIM.

Tibalah Haekal di pekarangan luas yang terdapat di depan pengadilan, ia hanya berdiri seorang diri di sana, ingin masuk ke dalam, tapi ia ragu, apalagi dengan dirinya yang saat ini masih mengenakan seragam sekolah, khawatir malah diusir oleh satpam yang berjaga di pintu depan pengadilan.

Haekal lihat jam yang melingkar pas di tangan kanannya, sudah menunjukan pukul 14.00 lebih, kemungkinan persidangan yang dihadiri oleh Mamahnya sudah berakhir. Ketika Haekal hendak menelpon Sang Mamah, sebuah notifikasi pesan masuk dari nomer tak dikenal kembali mengancamnya, sama persis seperti hari kemarin yang Haekal kira hanya berasal dari orang jahil saja.

image

Kening Haekal mengkerut saat membaca pesan ancaman itu, berusaha untuk abai, namun tetap saja tak bisa. Kali ini Haekal mempunyai firasat sesuatu yang buruk akan terjadi, namun dilain sisi, ia juga tak mau membuat Sang Mamah khawatir, sehingga masih memilih untuk diam dan tidak melaporkan beberapa pesan yang menganggunya dari kemarin.

“Hei, aduh sakit-” Seseorang menepuk pundak Haekal yang sedang melamun kebingungan, dengan gerakan refleks Haekal menyingkirkan tangan tersebut dari bahunya dan mencoba mencengkram kencang tangan tersebut, sebagai bentuk perlindungan dirinya.

“Saya, Kal, ini saya, Tama.” ringis orang tersebut, dengan segera Haekal melepas cengkraman kencangnya itu saat mendengar ringisan kesakitan dari suara yang mulai ia ingat dan kenal.

“Astaga Tama, saya kira siapa.” ungkap Haekal diiringi napas leganya, sempat juga ia memeriksa detak jantungnya yang seketika berpacu cepat akibat kehadiran tiba-tiba Tama, yang ia kira orang jahat yang akan mencelakainya.

“Aduh My Son, saya ikut kaget jadinya, mana tangan saya sakit banget jadinya,” keluh Tama mengusap-usap tangannya menandakan bahwa rasa sakit akibat cengkraman Haekal benar-benar terasa.

Walau rasa bersalah sedikit menghampiri, namun Haekal tetaplah Haekal yang Tama kenal, tak kenal kata 'maaf' dan 'terima kasih' untuk ditujukan kepada Tama, “Saya kira kamu udah gak ada di dunia ini, Tama.” sindir Haekal.

“Maksudnya, saya udah di akhirat?”

“Soalnya kayak ditelan bumi, aneh, tiba-tiba hilang, bikin heboh media. Lagi cari perhatian, kah?” ucap Haekal masih ketus seperti biasanya, Tama terkikik mendengar ucapan sarkas itu, sedangkan Haekal masih menatap datar Tama yang tertawa tak sudah-sudah.

“Aduh, hahaha, udah lama banget enggak denger pedesnya mulut Haekal.”

“Dari mana aja, dan dosa kamu apa sampai-sampai kabur seperti ini, Tama?” pertanyaan itu berhasil membungkam Tama yang tadinya masih asik menertawakan perkataan pedas Haekal, saat itu juga ekspresi wajah Tama berubah.

“Kamu juga masih belum jawab pertanyaan saya, kamu ini baik atau jahat?” lanjut Haekal lagi menyerbu Tama dengan pertanyaan yang selama ini sangat mengganjal baginya.

Ada senyum tipis yang tergambar di wajah Tama saat mendengar pertanyaan tersebut, pandangannya manatap kosong jalanan aspal di depan, napasnya yang dihembuskan terdengar berat di telinga Haekal, “Abu-abu, Kal. Saya pendosa, tapi juga terpaksa melakukan dosa.” jawabnya ragu.

Haekal tak merespon Tama, ia masih menatap lekat Tama, berusaha melihat jawaban dari mimik wajah Tama, mencoba mencari apakah ada bohong yang Tama ucap saat ini, namun, yang Haekal temui hanyalah ekspresi penuh penyesalan saja di wajah Tama.

“Ikut saya sekarang bisa, Kal? Ada banyak yang mau saya jelaskan ke kamu.”

“Jelaskan apa?”

“Banyak, Kal, tentang Hanna, tentang Jovan, tentang-”

“Sebentar, Tama,” Haekal menghentikan Tama yang sedang berbicara, saat nada dering dari ponselnya berbunyi, dilihatnya layar tersebut menampilkan panggilan masuk dari Mamahnya, dan tanpa menunggu lama, Haekal segera mengangkat panggilan itu.

“Ya, Mah?” sahut Haekal langsung.

“Di mana, Kal? Jadi ke Pengadilan?” tanya Hanna dari sebrang telpon.

“Jadi, Mah, udah di depan, nih, sudah selesai sidangnya?”

“Loh di depan sebelah mana? Saya juga baru keluar pintu masuk nih, Kal.”

Mendengar itu, Haekal segera melirik ke depannya, terlihat sang Mamah yang baru saja keluar dari pintu masuk pengadilan, sedang berdiri di depan pilar Pengadilan dengan mata yang terlihat beredar ke segala arah, mencari sosok Haekal sepertinya.

“Lihat ke arah jam 12, Mah, ada Haekal lagi dadah-dadah.” seru Haekal sembari melambaikan tangannya, dengan senyum yang mengembang kala melihat sang Mamah keluar dari gedung pengadilan. Namun, senyum dari bibir Haekal tak bertahan lama, senyum itu meluntur saat dilihatnya Sang Mamah ditemani sesosok pria yang saat ini masih Haekal benci dan tak Haekal harapkan kehadirannya, Jovan.

“Oh iya saya lihat!”

“Haekal sama Ta-” saat Haekal menoleh ke sampingnya, Tama sudah menghilang dari sisinya, sempat Haekal celingukan mencari sosok Tama yang baru saja mengobrol dengannya.

“Kenapa, Kal?”

“Enggak, Mah...” jawab Haekal, walau matanya masih berusaha mencari sosok Tama yang tiba-tiba menghilang. “Haekal samperin ke sana, ya, biar tas Mamah, Haekal yang bawa.” ucap Haekal lagi.

“Eh enggak usah-”

“Gak apa-apa, bentar, Haekal jalan ke sana, telponnya dimatikan, jangan? Jangan deh, soalnya Haekal enggak percaya sama orang yang lagi berdiri di samping Mamah.” ujar Haekal menyindir kehadiran Jovan yang sangat tak ia harapkan.

Haekal mulai berjalan menuju Mamahnya, hendak menyebrangi jalanan aspal penghubung antara parkiran dan pintu masuk pengadilan, tangan sebelah kanannya masih memegangi ponsel untuk ditempeli ke telinganya, memastikan sambungan telpon Mamahnya tak dimatikan, walau jarak menuju sang Mamah sangatlah dekat, namun tetap saja Haekal tak mempercayai sosok yang ada di samping Mamahnya.

“Mah,” panggil Haekal masih melalui sambungan telpon. Hanna tak menjawab dengan suara, namun dari kejauhan beberapa meter, Haekal bisa lihat sang Mamah yang menaikkan kedua alisnya merespon panggilan itu, Haekal tersenyum saat melihat itu, dan semakin mempercepat langkah kakinya, “Hari ini ulangan Ekonomi saya dapat nilai 100, bener semua dan paling tinggi diantara yang lain.” lanjut Haekal bercerita.

“Hebat Haekal.”

“Mamah bangga 'kan? Saya-”

“HAEKAL AWAS!!!” Teriakan itu mengagetkan Haekal yang tadinya fokus bercerita, saat dilihatnya ke arah kanan, sebuah mobil sedang melaju kencang dan siap menghantam tubuhnya yang seketika terasa kaku tak karuan. Haekal hanya mampu menutup matanya, pasrah dengan apapun yang akan terjadi pada dirinya.

BRUK

Haekal merasa terdorong ke depan, dan kepalanya terbentur sesuatu yang keras.

Tak lama kemudian, yang bisa Haekal dengar adalah suara keras dari hantaman mobil itu yang entah mengenai siapa, dan berbagai macam teriakan histeris di sekitar, terutama yang paling terdengar adalah pekikan dari Sang Mamah yang sangat Haekal kenal.

“HAEKAL!”

“TOLONG!!!”

“TABRAK LARI!”

“ADA YANG DITABRAK!”

“AMBULANS! AMBULANS!”

“Saya yang kejar mobil itu, Hanna saya pinjam mobil kamu, ya!”

Kira-kira teriakan dan perbincangan seperti itulah yang mampu Haekal dengar, bau dari pekatnya darah mulai terasa oleh indra penciuman Haekal, darah yang mengalir melewati dahi dan hampir mengenai kelopak mata mulai dirasa oleh Haekal. Butuh beberapa detik untuk Haekal bisa sadar, bahwa dirinya sudah didorong oleh seseorang, sehingga terhindar dari mobil yang melaju kencang, dan butuh beberapa detik juga untuk Haekal mampu membuka matanya, dan berusaha melihat sekitar yan di belakangnya kini sudah berkerumun banyak sekali orang.

“Haekal, Haekal, kamu bisa dengar Mamah?!”

“Mah ... siapa itu, Mah ... yang dorong Haekal ...” walau kepalanya terasa sangat sakit sekali karena benturan yang cukup keras, Haekal berusaha bangkit untuk melihat sosok yang telah menyelamatkannya hingga mengorbankan dirinya sendiri untuk Haekal.

Walau sempat ditahan oleh Hanna untuk bangkit, Haekal kukuh beranjak untuk melihat sosok yang sudah dikerumuni oleh orang-orang, didampingi Hanna, Haekal berjalan tertatih-tatih menuju kerumunan itu.

“Tama ...” gumam Haekal tak percaya, saat dilihatnya sosok yang sedang dikerumuni itu adalah Tama, ia sudah terlentang dengan banyak sekali darah yang terus mengucur hingga memenuhi sekitar aspal.

“Tama? Tama!” tak memedulikan keruman itu, Haekal dengan sisa tenaganya segera menghampiri Tama yang dipenuhi dengan banyak darah, terutama dibagian kepalanya.

“Tama! Tama! Tama kamu masih bisa dengar saya?! Tama!” jerit Haekal sembari menggoyang-goyangkan bahu Tama, berusaha mengembalikan kesadaran Tama yang matanya sudah hampir tertutup oleh darah.

“Kal...” gumam Tama pelan sekali, terdengar sangat lemah.

“Ambulans! tolong panggil Ambulans secepatnya!” teriak Haekal kepada kerumunan orang-orang yang masih berdiri memperhatikan Tama dan juga dirinya. Hanna ikut duduk, dan mengusap pundak Haekal, “Sedang diperjalanan, Kal.” ucapnya menahan tangis agar tak tumpah.

“Tama! bertahan! Jangan tidur, Tama! cengkram tangan saya, mata kamu enggak boleh tertutup, ya? Jangan tidur, Ambulans sebentar lagi sampai.” seru Haekal mulai tak beraturan karena rasa paniknya.

“My Son ... uhuk ...” suara Tama tertahan oleh batuknya diiringi oleh darah yang keluar dari mulutnya, membuat Haekal dan Hanna yang melihat itu semakin khawatir dan tak tenang.

“Tama jangan banyak bicara, sebentar, sebentar Tama, tahan, tahan, ya?” Jemari Haekal terulur untuk memegangi pipi kanan Tama yang juga sudah dipenuhi banyak darah.

Hanna yang tak tahan melihat itu, segera bangkit dan meminta pertolongan dari orang-orang yang berkerumun, “Tolong pinjam mobil, udah enggak ada waktu lagi. Tolong, mobil saya dipakai untuk kejar pelaku tadi, tolong siapapun yang punya mobil di sini!” Hanna meminta bantuan kepada orang-orang sekitar.

“My Son ...” lagi terdengar suara kecil yang sudah sangat melemah itu dari bibir Tama yang sudah sangat pucat.

“Iya, Tama?” Haekal semakin mendekatkan dirinya, agar bisa dengan jelas mendengarkan suara lemah milik Tama.

“Maaf ...,” lirih Tama sembari kesakitan, Haekal menggeleng pelan ketika mendengar permintaan maaf itu.

“Jangan minta maaf! Cukup tetap sadar sampai Ambulans atau mobil bantuan datang, sebentar, tahan, ya, Tama.”

“My Son ... brangkas saya ... pakai kata sandi ... ulang tahun ... Haekal ...” ucap Tama susah payah, Haekal tak mengerti dengan ucapan Tama barusan.

“Kal ... maafkan saya ... saya banyak dosa ...”

“Tama jangan banyak bicara! Jangan minta maaf terus! Kamu akan bertahan, tahan dulu, Tama, tahan!” kali ini Haekal meminta sungguh-sungguh kepada Tama agar tetap bertahan hingga bantuan datang, air mata Haekal sudah tak tertahan lagi, perih di kepalanya seakan terlupa, berganti dengan rasa panik dan takut yang semakin menjadi.

“Kamu enggak boleh mati, Tama! Jangan minta maaf terus!” kali ini suara Haekal lebih mirip seperti anak kecil yang sedang merengek agar tak ditinggalkan.

“My Son ... akhh ... maaf ...”

“Enggak, Tama! Jangan kayak gini! Bertahan, saya mohon, Tama.”

“Senang bisa tebus dosa ... Saya tenang ... untuk pergi sekarang ...” Semakin deras air mata Haekal berlinang ketika mendengar perkataan Tama barusan, Haekal sudah tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya mampu memegangi pipi kanan Tama, dan menutup matanya ketika suara napas Tama semakin terdengar berat dan susah untuk ditarik dan juga dihembuskan.

“My Son ...”

“Om Tama, bertahan, ya?” bisik Haekal pelan, walau hampir dipenuhi oleh darah, Haekal masih bisa melihat senyum terukir di bibir Tama kala Haekal memanggilnya 'Om' untuk pertama kalinya.

Jemari Tama dengan susah payah mencoba mengusap wajah Haekal untuk yang terakhir kalinya, namun sayang, hanya beberapa detik saja ketika jemarinya berhasil meraih wajah Haekal, napas panjangnya terdengar dihembuskan, lalu detik kemudian mata Tama benar-benar tertutup, diiringi dengan jemarinya yang ikut terjatuh ke bawah.

“Tama?” panggil Haekal.

“Tama? Bangun Tama! Saya kan sudah minta supaya kamu enggak tidur. Bangun Tama!”

“TAMA! TAMA JANGAN PERGI!” teriak Haekal.

“Innalillahi ... Sudah enggak ada a' denyut nadinya.” tutur seorang pria yang mencoba memeriksa keadaan Tama yang baru saja menutup mata.

“Tama ... Bangun ... Maafkan saya, ya? Maafkan saya yang sering ketus ke kamu, saya janji, saya bakal ramah ke kamu kalau kamu bangun. Demi Tuhan, saya juga bakal panggil kamu, Om, atau apapun panggilan yang kamu mau, bangun, Tama! bangun!” Dengan sangat putus asa, Haekal menggoyang-goyangkan bahu Tama, namun, tak ada respon apapun dari Tama.

Sekencang apapun teriakan Haekal memanggil, Tama sudah tak bisa lagi membuka matanya. Sederas apapun air mata yang tumpah ruah di pipi Haekal, tetap saja tak mampu membuat Tama kembali sadar. Tama sudah pergi menuju kedamaian yang abadi, dengan perasaan lega atas dosa-dosanya selama ini yang sudah berhasil ia tebus di detik-detik akhir sisa hidupnya.

Selamat jalan, Tama Erlangga.

image

-Ara.