Selamat tinggal, Bunga cantik, Azalea.

Hanya butuh waktu 5 menit untuk Haekal menempuh perjalanan menuju stasiun kereta, mengendarai motor matic milik Reno dengan kecepatan diatas rata-rata, hanya untuk bertemu dengan Azalea terakhir kalinya.

Haekal berlari, tak peduli dengan beberapa orang di stasiun yang menatapnya penuh kebingungan, bahkan tak jarang Haekal menabrak bahu dari para penumpang yang sedang menunggu kedatangan kereta, Haekal tak peduli, ia hanya ingin melihat Azalea saat ini.

Sampai akhirnya ia menemukan kereta yang masih berhenti, menunggu jadwal untuk berangkat pergi. Terlihat dari luar kaca jendela kereta, gerbong-gerbong itu sudah dipenuhi oleh para penumpang.

Haekal tak tahu ada di gerbong mana Azalea saat ini, Haekal hanya berjalan pelan, sembari melihat wajah-wajah yang tampak dari luar kaca jendela kereta, berharap ia menemui sosok Azalea, sebelum berjalannya kereta itu meninggalkan stasiun untuk menuju kota tujuan.

Tiga gerbong Haekal lewati, namun belum juga ia dapati sosok Azalea. Dilihatnya layar keberangkatan, hanya tersisa sepuluh menit saja untuk kereta itu pergi meninggalkan stasiun, Haekal sudah pasrah, jika memang ia ditakdirkan berpisah tanpa melihat wajah manis Azalea dan meminta maaf atas kemarahannya kemarin, sebisa mungkin Haekal akan berusaha lapang dada, walau penyesalan sudah dipastikan akan terus menghantuinya.

Sampai akhirnya, saat langkah Haekal sampai di luar gerbong ke lima, matanya menangkap sesosok gadis yang sedang duduk di bangku pinggir jendela, dengan topi yang ia gunakan dan kepala yang tertunduk sembari menumpuhkan dagunya menggunakan tangan kirinya. Walau hanya dari luar, Haekal sudah sangat mengenali postur gadis itu, itu adalah Azalea, gadis yang ia cari sedari tadi.

Haekal menghentikan langkahnya, memandang Azalea dari luar kereta, keberaniannya untuk mengetuk kaca jendela seketika menciut, ia benar-benar merasa bersalah, takut apabila harus menatap mata Azalea.

“Maaf,” gumam Haekal pelan, yang pasti suaranya tak akan bisa didenger oleh Azalea yang ada di dalam kereta. Rasa bersalah dan menyesal benar-benar menahan Haekal untuk mengetuk kaca jendela, ia hanya mampu memandang Azalea dari luar, dan membayangkan betapa beratnya kehidupan yang selama ini Azalea jalani.

“Saya enggak pantas dapat maaf dari malaikat sebaik kamu, Lea,” lirih Haekal lagi.

Waktu pemberangkatan semakin dekat, Haekal masih memilih diam dan berdiri kaku di pinggir peron kereta, ia memilih berpisah seperti ini saja, hanya melihat wajah Azalea dari jauh, berusaha mengingat setiap inci dari wajah manis itu, agar nanti apabila rindu datang menghampiri, ia masih bisa membayangkan dengan jelas bagaimana paras ayu nan lembut itu berhasil membuatnya jatuh cinta.

Semakin Haekal memperhatikan wajah itu dari kejauhan, semakin terasa juga sakit di dada Haekal karena perpisahan. Nantinya, sudah tak bisa lagi Haekal temui si pendiam yang duduk di barisan ketiga samping kanan bangku kelas, tak ada lagi gadis manis yang akan memberikannya rangkaian bentuk origami di akhir pertemuan, dan tak akan lagi Haekal dapati pesan yang berisikan kekhawatiran Azalea saat dirinya merokok di luar lingkungan sekolah.

Seandainya Haekal tahu, jika perpisahan akan datang secepat ini. Seandainya Haekal mengerti apa yang terjadi sebenarnya antara Azalea dan Pak Jovan, sudah pasti akan Haekal ukir kenangan indah di antara keduanya, menyambut perpisahan yang akan datang menghampiri. Setidaknya Haekal bisa memberi bahagia, walau hanya sesaat, untuk Azalea kenang. Tidak seperti sekarang, yang ada hanyalah kesalahpahaman, dan yang berbekas sebelum perpisahan hanyalah kemarahan Haekal saja.

Haekal memilih untuk beranjak pergi, merelakan perpisahan yang seperti ini adanya. Walau sesak benar-benar menyiksa, Haekal langkahkan kakinya untuk menjauh dari kereta.

“Haekal!” Suara panggilan dari belakang, berhasil menghentikan langkah kaki Haekal yang akan pergi. Suara kecil itu sangat Haekal kenali, sempat Haekal memukul pipinya sendiri, berusaha menyadarkan diri bahwa panggilan yang barusan ia dengar hanyalah halusinasi semata.

“Kal, kamu ke sini?” Lagi Haekal dengar suara itu, rasanya tak mampu Haekal membalikkan badannya untuk melihat sosok yang memanggilnya barusan. Suara itu sangat jelas sekali, dan ini bukanlah sekedar halusinasi Haekal saja, sosok itu benar-benar berdiri di belakang Haekal saat ini.

“Kal?” panggil Azalea lagi.

Haekal masih diam, menatap kosong ke lantai putih, sibuk mempertimbangkan apakah harus menoleh atau langsung pergi saja, agar lapang hatinya menerima perpisahan.

“Kamu ke sini buat aku 'kan, Kal?” tanya Azalea, tak menyerah untuk mengajak Haekal berkomunikasi dengan waktu yang hanya tersisa sedikit.

“Aku pergi ya, Kal? Kamu jaga diri baik-baik di sini, jangan terlalu banyak merokok, jangan-” Kalimat Azalea terhenti, saat Haekal tiba-tiba datang menghampirinya dan langsung memeluk Azalea erat, seakan menandakan bahwa Haekal tak mau berpisah.

“K-kal?” panggil Azalea ragu saat masih berada di dalam dekapan Haekal yang erat. Haekal tak menjawab, ia hanya berdeham dan semakin mengeratkan pelukannya, seperti menahan Azalea agar tak pergi kemana-mana.

Saat pengumuman pemberitahuan kereta yang Azalea naiki tadi akan segera berangkat, pelukan itu perlahan Haekal lepas, digantikan oleh tatapan sendu milik Haekal, “Harus pergi, ya?” tanya Haekal pelan. Azalea menunduk, kemudian mengangguk merespon pertanyaan tersebut, setelahnya yang terdengar hanya hela napas berat milik Haekal.

“Berapa lama?”

“Selamanya aku di sana, Kal ...”

“Kenapa?”

Azalea tak menjawab, ia pun bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Haekal barusan.

“Kamu benci saya, Lea? Makanya memilih pergi dari kota ini, iya?”

“Kal, aku enggak pernah benci kamu. Mungkin ... kamu yang benci aku ...” jawab Azalea ragu.

“Kemarin, iya. Saya benci kamu dengan ketidaktahuan saya, dan saat ini saya sedang menyesal karena sempat benci kamu.” ucap Haekal serius, “Jangan pergi, bisa?” tanya Haekal lebih mirip seperti sedang meminta.

“Enggak bisa, Kal. Rumah itu seharusnya bukan untuk aku.”

“Saya belikan rumah yang baru.” ujar Haekal tanpa ragu, Azalea terkekeh kecil mendengar ucapan itu, terdengar seperti candaan, padahal sudah dipastikan tawaran itu serius Haekal ucap.

“Maaf, ya, Kal ... Maaf sudah rebut bahagia-nya kamu ...”

“Saya yang minta maaf karena sudah bentak kamu, Lea. Saya gegabah, sampai-samapai bikin kamu ketakutan, dan menangis. Maafkan saya, Lea, saya gagal jadi laki-laki yang bisa lindungi kamu. Nyatanya, yang paling jahat kepada kamu, adalah saya. Maafkan ...” sesal Haekal sungguh-sungguh.

“Enggak apa-apa, semua wajar, Kal. Kamu enggak salah kalau marah sama aku kemarin.” sangkal Azalea, “Kal, makasih ya udah mau jadi teman yang baik untuk aku selama ini. Makasih udah banyak bantu aku untuk sembuh dari trauma masa lalu yang sering mengahantui, makasih juga udah sayang sama aku sepenuh hati. Dan maaf ... maaf untuk semua hal buruk yang terjadi di kehidupan kamu ...”

“Kamu yakin mau pergi?” pertanyaan itu kembali terulang, Haekal seperti ingin memastikan kembali apakah masih ada harapan Azalea untuk tidak pergi. “Tatap mata saya, Lea, kamu yakin mau pergi?” tanya Haekal lagi.

Azalea memberanikan diri untuk menatap kedua netra sendu milik Haekal, “Iya, Kal, aku mau pergi.” jawab Azalea.

Haekal mengangguk paham, dan tersenyum kepada Azalea, “Silahkan pergi, Lea, kejar duniamu di sana, dan bahagia di sana.” ucap Haekal lembut sekali.

Air mata yang Azalea tahan sedari tadi di dalam kereta, tak tertahan lagi saat mendengar kalimat Haekal barusan. Satu per satu air bening itu berjatuhan membasahi kedua pipinya. Haekal yang melihat itu, segera menghapus air mata yang ada di pipi Azalea menggunakan jemarinya, mengusap lembut pipi itu, berusaha memberikan ketenangan agar sang empunya tak menangis lagi.

“Saya bikin kamu nangis lagi, ya?”

“Enggak, Kal,” jawab Azalea segera, walau sulit, Azalea berusaha membalas senyum hangat dari Haekal. “Kamu selalu bikin aku senyum, Kal.” lanjut Azalea lagi, dengan senyum, dan juga air mata yang menghiasi wajah manisnya.

“Manis, Lea. Selalu pertahankan senyum kamu, ya? Siapapun nanti yang berhasil memiliki senyum kamu selamanya, tolong sampaikan salam dari saya, dan juga pesan dari saya, pesannya singkat kok, hanya berpesan untuk selalu jaga senyum kamu, tanpa pernah tergantikan oleh tangisan. Jangan seperti saya yang gagal mempertahankan senyum kamu, dan malah menyebabkan luka yang mendalam seperti kemarin.”

“Kal ...”

“Silahkan pergi, Lea, kalau memang kita ditakdirkan bersama, semesta pasti akan mempertemukan kita lagi. Semoga nanti kita bertemu di situasi yang indah, ya? Dan semoga nanti kita enggak lagi terjebak di permainan semesta yang rumit seperti sekarang.”

“Kal ... Maaf, ya, aku harus pergi tinggalin kamu di kota ini.”

Senyum di bibir Haekal tak luntur sama sekali, ia mengangguk kemudian meraih jemari Azalea, “Enggak apa-apa, Tuhan pasti pertemukan kita lagi jika memang ditakdirkan”.

“Kereta kamu sebentar lagi berangkat, gih masuk, takutnya malah tertinggal. Saya mau peluk kamu lagi, Lea, tapi ... Lebih baik enggak, karena kalau saya peluk kamu lagi, rasa untuk menahan kamu supaya enggak pergi akan semakin besar.” ungkap Haekal dan perlahan melepaskan jemarinya dari tangan mungil Azalea.

Walau berat rasanya, Azalea perlahan melangkahkan kakinya untuk kembali masuk ke dalam kereta, namun, sebelum ia benar-benar masuk, ia berhenti sejenak di pintu kereta, menatap lagi Haekal yang sedang memperhatikannya.

“Haekal, aku sayang sama kamu!” seru Azalea dari kejauhan. Haekal hanya mengangguk, dan melambaikan tangannya kepada Azalea, kemudian berbalik dan berjalan pergi, diiringi dengan kereta yang Azalea tumpangi mulai berjalan meninggalkan stasiun itu.

image

“Saya lebih sayang sama kamu, Azalea. Sampai-sampai rasanya sesak lihat kamu pergi, sakit rasanya, Lea, sakit sekali.” batin Haekal berbicara.

“Bunga cantik yang sedehana, semoga bahagia selalu kamu rasakan di sana, maaf ... maafkan saya yang sempat menorehkan luka. Semoga kita dipertemukan lagi, dan saat itu terjadi, semoga rasa sayang kamu kepada saya enggak berkurang. Cinta pertama saya, Azalea, selamat tinggal, semoga berjumpa lagi untuk menjadi cinta terakhir yang akan abadi selamanya.”

image

-Ara.