Sendiri, sepi.

Alana menghela napas beratnya tanpa henti, menyalurkan sesak di dada yang terasa sedari tadi. Matanya tak kunjung menitihkan bulir bening, membuat sesak yang ia rasa semakin menjadi. Tanpa sadar, tangannya meremas kuat kaus yang ia kenakan.

“Bodoh, Al, bego, goblok, emang lo, tuh, tolol. Gak pantes lo ngerasain bahagia, cinta tulus, kasih sayang, gak pantes.” Ucapnya seorang diri.

Hari ini, tepat di perayaan satu bulannya menjalin kisah kasih bersama Sakha, mata Alana dengan jelas melihat Sakha merangkul mesra mantan kekasihnya. Saat itu juga, tanpa berpikir panjang, Alana segera menghampiri keduanya yang nampak terkejut dengan kedatangan Alana.

Alana marah, namun, entah mengapa rasanya ia tak bisa meluapkan emosinya, sehingga yang ia lakukan hanyalah tersenyum tipis kepada keduanya, sembari mengatakan, “Seneng liat sampah diangkut sama truk sampah. So, ambil dia, gue udah buang dia.” Ucap Alana kepada perempuan berwajah lugu tersebut. “Sakha, mulai sekarang kita putus. Nikmatin pilihan lo, dan tunggu semesta yang bales jahatnya lo ke gue.” sambung Alana kemudian memilih pergi meninggalkan keduanya.

Bohong apabila Alana bilang kepada teman-temannya bahwa ia baik-baik saja. Sekuat apapun Alana menahan, tetap saja sakit di hatinya tak bisa disembunyikan oleh dirinya sendiri yang merasakan.

Temannya pikir Alana benar-benar kuat, sehingga tak terlalu khawatir karena Alana sama sekali tak menitihkan air matanya. Tanpa mereka sadari, bahwa sakit sesungguhnya berasal dari air mata yang tertahan dan menimbulkan sesak yang luar biasa di dada.

“Gak apa-apa, gue udah bisa, kok, sama pola kayak gini. Gue hanya cukup tidur, makan yang enak, dan lupain semuanya. Gampang, kok, Al, lo pasti bisa.” Kembali Alana berbincang dengan dirinya sendiri, walau tangannya masih saja mencengkram kuat kausnya. Ia berusaha tersenyum, bahkan tertawa seorang diri, berharap usahanya tersebut dapat meredakan nyeri di dadanya.

“Gak apa-apa…” kali ini suaranya terdengar lirih.

“Gak apa-apa, kok, Al…” semakin lirih dari sebelumnya.

Kepalanya lalu menunduk dalam, bahunya tak lagi tegap, ia duduk di lantai kosannya seorang diri, dengan lampu kamar yang sengaja ia matikan. “Gak apa-apa….” lanjutnya lagi.

“Emang lo gak ditakdirin bahagia, Al….”

Bahu Alana bergetar setelahnya, isak tangisnya mulai terdengar walau pelan. Namun, pelan tersebut ternyata tak berlangsung lama, karena beberapa detik berikutnya isak tersebut berubah menjadi kencang, tangan Alana yang tadinya mencengkram kausnya berubah menjadi gerakan memukul dadanya secara berulang, menumpahkan segala kecewa dan sedih yang ia rasa.

“Gagal… tuhan kasih gue gagal… mau sampe kapan… hiks… capek… capek….” Rintihnya seorang diri.

Entah untuk yang keberapa kalinya Alana disakiti, hubungan percintaannya selalu berakhir tragis. Entah itu perselingkuhan, tak direstui, dibohongi, rasanya semua bentuk kebrengsekan laki-laki sudah Alana lalui.

“Capek… gue capek gini terus….”