Si Bunga yang indah, Azalea.

“Saya ada di sini, loh, Lea. Di samping kamu persis, jarak kita bahkan enggak sampai satu meter.” Keluh Haekal, sepertinya kesabaran Haekal berkomunikasi melalui pesan singkat dengan Azalea semakin menipis.

Mereka sudah satu jam lebih berada di taman yang dipenuhi berbagai macam bunga itu, duduk di bawah pohon besar yang nampak sudah berusia tua. Cemilan yang dibeli juga sudah hampir habis semua, dimakan oleh Haekal yang merasa bosan karena tak ada obrolan yang tercipta.

Azalea hanya menatap Haekal dengan wajah memelasnya, kemudian mengambil ponselnya untuk kembali menjawab pertanyaan Haekal barusan melalui pesan singkat. Haekal yang melihat itu, segera mengambil ponsel milik Azalea, kemudia ia sembunyikan di belakangnya. Azalea kaget dengan tingkah Haekal, ia hendak mengambil kembali ponsel miliknya, namun, Haekal dengan cekatan menghalang pergerakan Azalea.

“Gini, saya rindu, Lea. Jadi, tolong bekerja sama, ya? Saya mau ngobrol langsung sama kamu.” Ucap Haekal serius, matanya menatap lekat ke arah Azalea yang sedang kebingungan, tangannya masih menggenggam dengan erat ponsel milik Azalea.

“Mau, ya?” Sambung Haekal lagi, kali ini nada bicaranya terdengar memohon.

Azalea masih tak bersuara, ia malah mengambil tas yang ia bawa, dan merogoh isinya, mencari sesuatu di dalam sana. Haekal menggeserkan duduknya agar lebih dekat lagi, ikut penasaran dengan apa yang sedang Azalea cari.

“Cari apa, Lea?” Tanyanya penasaran.

Cola?” Kata Haekal heran saat dilihatnya Azalea mengeluarkan botol Cola berukuran sedang. Azalea mengangguk, dan memberikan sebotol Cola itu kepada Haekal.

“Buat saya?” Tanya Haekal kembali memastikan, lagi dan lagi Azalea hanya menjawab melalui anggukan kepalanya saja.

“Diminum sekarang?” Tanpa henti Haekal bertanya, berusaha memancing agar Azalea mau mengeluarkan suara, namun nihil, Azalea masih memberikan jawaban melalui anggukan saja.

“Gimana, sih, cara minumnya?” Alibi Haekal memancing Azalea, karena tidak mungkin pertanyaan barusan bisa Azalea jawab hanya melalui anggukan saja. Senyum usil samar terlihat dari bibir Haekal, sedangkan Azalea yang sadar akan modus Haekal barusan hanya bisa menghela napasnya kesal, sembari memutar bola matanya malas.

“Sini.” Jawab Azalea singkat. Satu kata pertama yang keluar dari mungil milik Azalea, selama bersama Haekal hari ini.

“Apa?” Seolah belum puas dengan jawaban barusan, Haekal malah berpura-pura tak mendengar Azalea. “Enggak kedengaran, Lea, kamu ngomong apa barusan. Coba ulangi, dong.” Lanjutnya lagi.

Azalea tak terjebak oleh aksi iseng Haekal, ia memilih mengambil kembali botol Cola itu, dan membukakan tutup botolnya. “Yah enggak asik, Azalea.” Protes Haekal, karena Azalea tak menanggapinya.

Setelah berhasil membuka tutup botol tersebut, Azalea serahkan lagi botol itu kepada Haekal agar diminum. Haekal menerima botol itu dengan raut tak bersemangat karena Azalea masih saja enggan mengeluarkan suaranya.

“Minum sekarang? Kamu enggak?” Walau sedikit kecewa dengan usahanya yang tak berbuahkan hasil, Haekal masih bertanya kepada Azalea, padahal ia sudah tahu, Azalea hanya akan menggeleng atau mengangguk untuk menanggapi pertanyaannya.

“Ya sudah, saya minum kalau gitu.” Ucap Haekal lagi.

Haekal mulai meneguk minuman bersoda itu yang mana dinginnya sudah mulai menghilang karena diletakkan dio dalam tas Azalea.

“Stop.” Perintah Azalea tiba-tiba, Haekal dengan segera menghentikan kegiatan minumnya. Hampir saja ia tersedak dengan perintah tiba-tiba itu.

“Kenapa? Kamu mau?” Tanya Haekal mencoba menebak, namun tebakannya salah, karena detik berikutnya, Azalea menggelengkan kepalanya, menandakan ia tak minat dengan minuman itu.

“Terus kenapa?” Tanya Haekal, telunjuk Azalea mengarah ke arah botol itu, dan dengan segera pandangan Haekal tertuju pada botol Cola yang baru sedikit isinya yang ia teguk.

“Haekal”

Terlihat sebuah tulisan tangan menggunakan spidol hitam di botol Cola tersebut, yang mana tulisan itu hanya bisa terlihat apabila air Cola yang bewarna gelap menutupi tulisan yang ada di botol itu perlahan diteguk.

“Eh?” Kali ini mimik muka Haekal terlihat bingung setelah membaca namanya yang tertulis di botol itu.

“Lagi, Kal, masih ada.” Azalea meminta Haekal melanjutkan meneguk Cola itu, suara Azalea pelan sekali, ia seperti yang ragu untuk bersuara.

Tak banyak tanya lagi, ditambah dengan rasa penasaran Haekal akan kelanjutan dari tulisan yang ada di botol tersebut, segera Haekal kembali meneguk minuman bersoda itu.

“Stop.” Ujar Azalea lagi, segera Haekal menghentikan minumnya. Kemudian dengan tak sabar, Haekal melihat bagian kosong dari botol minum itu.

“Jangan kelahi lagi yaaaa”

Terlihat tulisan itu di bawah nama Haekal barusan. Senyum mulai mengembang di bibir Haekal saat membaca itu.

“Saya lanjut lagi minumnya, ya? Masih ada lanjutan tulisannya kan?” Azalea kembali mengangguk merespon itu. Kembali Haekal melanjutkan sesi menghabiskan Cola itu agar warna gelap dari airnya menyusut, dan Haekal bisa melihat kelanjutan dari tulisan yang ada di botol tersebut.

“Stop.” Perintah Azalea lagi. Yang tersisa hanyalah sedikit dari botol itu. Haekal kembali membaca tulisan baru yang muncul di botol tersebut, senyumnya yang sudah mengembang, bertambah lebar saat melihat tulisan terakhir pada botol Cola itu.

“Soalnya Azalea gak sukaaa.

Azalea menunduk malu setelahnya, karena tiga baris tulisannya di botol itu sudah Haekal lihat semua.

Haekal

Jangan kelahi lagi yaaaa

Azalea gak sukaaa

Tiga baris itu mampu membuat Haekal tak berhenti tersenyum lebar, ia seperti merasakan puluhan kupu-kupu berkerumun di perutnya, membuat hatinya merasakan perasaan yang sangat sulit untuk dideskripsikan. Sama halnya dengan Azalea yang saat ini masih saja menunduk malu, berusaha menyembunyikan pipinya yang sudah bersemu akibat melihat senyum manis dari bibir Haekal yang sangat jarang sekali dilihat, bahkan sepertinya tidak pernah.

Bagi Haekal, Azalea itu unik diantara yang lainnya. Azalea selalu berusaha menyampaikan apa yang ia rasa melalui tulisan, baik itu melalui pesan singkat, kertas origami yang ia bentuk sedemikian rupa, bahkan seperti saat ini melalui botol minuman soda.

“Jadi, Azalea tuh enggak suka kalau saya kelahi, Hm?” Tanya Haekal lembut sekali, tangannya terangkat untuk mengacak-acak rambut Azalea gemas.

“Iya...” Jawab Azalea pelan, masih menyembunyikan pipinya yang terasa semakin panas akibat perlakuan Haekal barusan. Karena bagi Azalea, ketika tangan Haekal terangkat untuk mengacak-acak rambutnya, bukan hanya helaiannya saja yang berdampak, namun juga berdampak pada hatinya, sampai-sampai jantungnya saat ini berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Ya sudah, nanti enggak kelahi lagi deh supaya Azalea suka.” Lanjut Haekal lagi. Haekal sepertinya tak sadar, setiap kalimat yang ia ucapkan itu benar-benar membuat Azalea salah tingkah. Bukan hanya ucapan, tapi juga ketikan Haekal yang sering kali menjadi alasan utama mengapa kamar Azalea sangat bising sekali dengan suara kaki yang dihentak-hentakan.

“Makasih, ya? Makasih karena sudah mengkhawatirkan saya.” Ujar Haekal, namun tak direspon oleh Azalea.

Dengan sangat hati-hati Haekal memegangi dagu Azalea agar tak menunduk lagi pandangannya.

Dan terlihatlah pipi Azalea yang sudah sangat memerah itu, hal tersebut memancing gelak tawa bagi Haekal, kemudian jemari Haekal berpindah dari dagu menuju pipi Azalea, ia usap dengan lembut kedua pipi itu yang nampak pas sekali ditangkup oleh kedua tangannya.

“Makasih, ya, bunga cantiknya saya.”


Haekal melihat dengan seksama bagaimana jemari Azalea yang sangat terampil membentuk kertas origami. Katanya, kertas-kertas itu ia buat khusus untuk Haekal, supaya bisa ditempel di kamar Haekal. Haekal dengan senang hati mau menerima itu, dan sabar menunggu Azalea membentuk origami itu dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Padahal, di kamar Haekal sudah banyak sekali kumpulan origami dari Azalea yang selalu ia kumpulkan. Haekal tak keberatan apabila kertas-kertas itu terus bertambah, ia akan terus mengoleksi origami buatan Azalea selamanya.

Mata Haekal sekarang tertuju kepada wajah Azalea yang nampak sedang fokus sekali dengan origaminya. Dalam hati Haekal bertanya, sebesar apa luka yang Azalea derita sampai-sampai ia enggan untuk mengeluarkan suara. Bahkan kepada Haekal yang notabennya sudah kenal dekat dengannya, Azalea masih malu-malu apabila dipancing untuk berbicara.

“Lea?” Panggil Haekal, Azalea hanya menoleh sebentar, dan kembali fokus dengan origaminya.

“Kamu punya trauma apa?” Tanya Haekal memberanikan dirinya. Jemari Azalea yang tadinya lincah sekali membentuk Origami berukuran sedang, seketika berhenti saat mendengar pertanyaan itu.

“Lea tuh kenapa sampai-sampai enggak mau ngomong walau sedikit? Ada yang bikin Lea takut?” Sambung Haekal bertanya. Azalea tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan, dan kembali dengan kegiatan membentuk origaminya.

“Ya sudah kalau kamu enggak mau cerita, enggak apa-apa, saya gak akan maksa, kok. Tapi, Lea, kalau nanti kamu mau cerita, saya siap dengarkan kamu.” Ucap Haekal berusaha mengerti Azalea. Haekal memutuskan membaca buku yang sengaja ia bawa, sembari menunggu Azalea menyelesaikan origaminya. Berusaha mengalihkan pikirannya agar tak terus-terusan penasaran dengan masa lalu Azalea, yang sepertinya sangat tak nyaman untuk Azalea bahas.

“Kal...” Tiba-tiba Azalea bersuara tanpa diminta, buku yang tadinya sedang Haekal baca lembaran awalnya, segera ia tutup kembali agar bisa fokus dengan Azalea.

“Iya? Kenapa, Lea?”

“Aku takut bicara...” Ungkap Azalea.

“Karena?”

“Dulu aku paling suka banget bicara, bahkan dipanggil si bawel sama orang-orang...” Azalea memulai ceritanya, walau ragu sekali rasanya untuk menceritakan yang ia alami kepada Haekal.

“Tapi itu semua berubah, Kal. Waktu usia 12 tahun, enggak ada yang mau bicara sama aku, enggak ada yang mau percaya sama aku, enggak ada yang mau denger tiap kali aku minta pertolongan. Dunia bener-bener anggap aku kayak orang gila yang gak penting buat didenger, Kal...” Lanjut Azalea. Ini kali pertama Haekal mendengar kalimat panjang keluar dari bibir mungil itu.

“Mau sekuat apapun teriakan aku, enggak ada yang dateng buat tolongin. Aku butuh pertolongan buat keluar dari tempat yang bener-bener menakutkan itu, tapi mereka enggak mau tolongin aku, Kal...”

“Enggak ada yang percaya, enggak ada yang denger, habis suara aku waktu itu. Jadi, sekarang aku jadi takut buat bicara, takut banget enggak ada yang mau dengerin dan percaya sama aku.”

“Aku takut dianggap kayak orang gila, Kal. Aku takut banget kejadian kayak dulu keulang. Jadi aku memutuskan buat diem aja.”

Haekal mengangguk paham, walau Azalea tak menjelaskan secara detail kejadian yang menimpanya di masa lalu, setidaknya Haekal sudah mengerti garis besar ketakutan terbesar Azalea.

“Kamu boleh bicara sepuasnya, Lea.” Setelah beberapa detik terdiam, Haekal mulai menanggapi cerita Azalea. “Untuk sekarang, kamu boleh bercerita semuanya. Kalau dulu enggak ada yang mau dengar dan percaya sama kamu, sekarang sudah berubah, Lea. Ada saya yang dengan setia mau dengarkan dan percaya sama kamu.” Lanjutnya lagi.

“Orang-orang jahat itu masih ada di dekat kamu?”

“Enggak...”

Haekal tersenyum kepada Azalea, setelah itu, perlahan ia genggam jemari lentik Azalea, dan dengan lembut juga ia usap tangan mungil milik Azalea, mencoba memberikan ketenangan untuk Azalea.

“Enggak perlu takut lagi kalau gitu. Saya, Pak Jovan, bahkan saya jamin teman-teman kelas kita, dengan senang hati dengerin Azalea. Azalea cantik, pintar, baik hati, mana mungkin dicap kayak orang gila.”

“Tapi enggak apa-apa kalau belum bisa ngobrol banyak sama dunia. Ngobrolnya sama saya dulu aja, ya? Nanti gantian, Lea, saya yang akan ajarkan kamu untuk membuka diri agar kembali dikenal dunia.”

“Mau, Lea? Saya yakin kok, pasti kamu juga kangen, kan, sama diri kamu yang lama? yang dicap si bawel sama orang-orang.” Walau ragu, Azalea pada akhirnya mengangguk juga.

“Pelan-pelan aja kita coba. Sama saya, jadi, jangan takut lagi, ya?”

“Iya Haekal, makasih, ya...”

Sore itu, Haekal berhasil mengambil kunci yang selama ini Azalea sembunyikan untuk mengurung dirinya yang dulu dipenuhi ceria. Walau Haekal belum bisa membuka itu, setidaknya Haekal sudah mendapatkan izin untuk perlahan membukanya. Perlahan, Haekal yakin, Azalea akan kembali mendapatkan dunianya.

“Sudah, yuk, pulang. Nanti keburu malam, saya enggak enak sama Ayah kamu. Bisa jalan, kan?”

“Hah?”

“Kalo enggak bisa, saya gendong.”

“KAL AH!!!!!” Rengek Azalea mencubit perut Haekal. Sedangkan Haekal meringis dibuat-buat yang membuat Azalea semakin gemas dan mencubit sisi sisi lain dari perut Haekal.

“Gombal mulu!!! Gombal terus!!! Sebel!!!” Azalea masih tak henti mencubit Haekal, ia sudah menahan sedari tadi agar tak mencubit Haekal yang terus-terusan menggoda dan menjahilinya dengan kalimat-kalimat yang membuat dirinya pusing tak karuan.

“Lea, udah, udah, udah ampun.”

“Enggak mau, kamu jail banget soalnya!!!”

“Kalau cubit lagi, saya balas, ya?” Ancam Haekal.

“Enggak takut, wleee.” Tantang Azalea, sebenarnya Azalea tahu, kalau Haekal tidak akan bisa membalasnya. Mana mungkin Haekal mau main fisik kepada perempuan, dia kan terkenal sekali sering melindungi siswi-siswi dari mata jelalatan Pak Darto, pikir Azalea.

“Aduh, yakin gak takut? Aduh sakit, Lea, sumpah, geli juga.” Ringis Haekal tak karuan karena merasa sedikit nyeri dan geli bersatu menjadi satu.

“Yakin lah, kamu mana bisa balas cubit aku.” Jawab Azalea percaya diri.

“Saya balas yang lain, bukan balas cubit.”

“Apa? Mau bales apa? emang berani? kamu kan-”

Cup

Sebuah kecupan mendarat mulus di pipi sebelah kanan Azalea. Sangat singkat, namun berhasil membuat Azalea kaku seketika, begitupun dengan Haekal yang nampak tak sadar dengan apa yang ia lakukan barusan. Dengan serempak keduanya membalikkan badan, Azalea berusaha menyembunyikan pipinya yang kembali merona, dan Haekal berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

Keduanya sama-sama salah tingkah, yang satu memegangi pipinya tak percaya dengan yang terjadi barusan, yang satu lagi memegangi jantungnya untuk mengontrol agar degup kencangnya tak terdengar oleh gadis yang berada di belakangnya.

“Ayo pulang... Takut kemalaman...”

“Iya, ayo pulang, Kal...”

Keduanya berjalan sejajar namun dengan jarak yang berjauhan, Azalea hanya menunduk, tak berani menatap Haekal, sedangkan Haekal berusaha terlihat cool, walau jantungnya masih berdetak kencang tak normal seperti biasanya. Mereka berjalan menuju halte terdekat dengan saling diam, tak berani memulai obrolan untuk mengikis canggung yang tercipta akibat satu kecupan.

Haekal melihat langit sore yang nampak indah dan menenangkan, mencoba mengalihkan perhatian agar tak mati semdirian karena jantungnya terus-terusan berdegup dengan kencang.

“Langitnya bagus, ya?” Ucap Haekal berusaha menyudahi canggung dan sepi selama perjalanan.

“Eh... Iya... Lumayan, eh bagus maksudnya.” Jawab Azalea masih salah tingkah.

“Kamu suka?”

“Langitnya?” Tanya Azalea memastikan konteks dari pertanyaan Haekal barusan, Haekal berdeham mengiyakan pertanyaan itu. “Suka, Kal...”

“Suka saya?”

“Suka. Eh? Gimana, Kal?”

“Saya juga suka kamu.” Ungkap Haekal mantap, langkah kakinya berhenti, diikuti oleh langkah kaki Azalea yang juga berhenti karena kebingungan.

“Kalau jadi pacar saya, mau gak, Lea?”

“Eh?”

“Jawabnya nanti aja kalau udah siap. Izin juga sama Ayah, ya?” Tutur Haekal lagi, Azalea tak mampu menjawab, lidahnya terasa kelu tak bisa lagi berkata-kata, bukan karena ia takut seperti biasanya, melainkan karena bingung dengan ajakan Haekal yang tiba-tiba. Namun, tak bisa juga Azalea pungkiri, jika saat ini ia merasa senang bukan main karena Haekal juga merasakan hal yang sama dengannya.

“Bisnya udah mau datang, ayo, Lea lanjut jalan lagi.”

“Iya.. Ayo...”

Seperti itulah berlalunya sore bersama kedua orang remaja yang sama-sama sedang dimabuk asmara. Keduanya baru mengenal cinta, mungkin ini akan menjadi awal bagi keduanya menikmati cinta di bangku SMA yang seringkali orang bilang sangatlah indah. Jiwa yang muda, semoga direstui oleh semesta.

Image

-Ara.