Sudah bangun jagoan

Tiga hari sudah Haekal terbaring di ruang perawatan intensif pasca operasi, dan sedikitpun belum membuka matanya. Dokter hanya meminta Hanna bersabar untuk menunggu perkembangan kondisi Haekal. Namun, kekhawatiran seorang Ibu tak bisa mereda hanya dari kata-kata saja.

Hanna sedetikpun tak mau meninggalkan Haekal, dengan amat setia dia duduk disisi ranjang anaknya tersebut. Namun sayang, hari ini ia terpaksa meninggalkan Haekal sebentar dikarenakan harus menanda tangani berkas yang diajukan oleh relasinya dari perusahaan luar negri.

Selama pertemuan itu, Hanna sama sekali tak tenang, pikirannya terus tertuju kepada Haekal, bahkan hampir disetiap menitnya Hanna melirik sekretaris pribadinya untuk memastikan keadaan Haekal dari pihak rumah sakit, dan dengan sangat sabar, Sekretarisnya menelpon pihak Rumah sakit dan mengangguk untuk memberi isyarat kepada Hanna bahwa semuanya baik-baik saja.

“Sudah semua, saya gak ada agenda lagi, kan?” Tanya Hanna sembari memastikan tak ada yang tertinggal dari ruangannya.

“Sudah, Bu. Untuk yang lain masih bisa diwakilkan, atau kita undur jadwalnya.” Hanna menghembus napasnya lega setelah mendengar itu, baru saja ia hendak melangkahkan kakinya keluar ruangan, dering ponselnya berbunyi dan Hanna segera menghentikan langkahnya untuk mengangkat telpon tersebut.

“Rumah sakit!” Pekik Hanna setengah berteriak ketika melihat nama yang tertera di ponselnya.

“Halo,” “Bu, saya dari pihak rumah sakit yang ditugaskan untuk melapor perkembangan pasien bernama Haekal, izin memberitahu bahwa pasien sudah sadar terhitung dari satu jam yang lalu.” Kalimat itu berhasil membuat Hanna terpaku untuk beberapa saat, mencoba mencerna kalimat yang baru saja ia denger.

“Bu, maaf, suara saya terdengar?” Ulang perawat disebrang sana karena Hanna tak kunjung merespon.

“Haekal sadar?” Tanya Hanna memastikan, khawatir ia salah dengar atau salah menangkap maksud dari ucapan perawat tersebut, bukan tak mungkin itu terjadi, mengingat beberapa hari ini Hanna tidak tidur sama sekali, dan kerap kali kehilangan konsentrasi.

“Iya, Bu. Satu jam yang lalu, dan baru saja dokter selesai memeriksa pasien untuk memastikan kesadarannya sudah benar-benar pulih.” Tak terasa beberapa bulir bening jatuh membasahi pipi Hanna setelah mendengar itu, “Bahkan beberapa kali Pasien bergumam memanggil mah.. mah…, Bu.” Lanjut perawat tersebut, Hanna semakin tak kuasa menahan tangisnya, bahkan saat ini tangannya ia gunakan untuk membungkam mulutnya agar tak terdengar isakannya oleh lawan bicaranya di sebrang telpon.

“Harap segera datang ya, Bu, kalau bisa membawa Mamahnya Pasien yang daritadi selalu dipanggil oleh Pasien.”

“Saya segera ke sana.” Tanpa banyak bertanya lagi, Hanna segera memutuskan sambungan telpon tersebut dan berjalan dengan sangat tergesa-gesa menuju mobilnya, diiringi Sekretarisnya yang harus menyeimbangi langkah cepat Hanna.

“Saya gak mau tau, dalam waktu 15 menit kita harus sampai di Rumah sakit.” Perintah Hanna tegas ketika masuk ke dalam mobilnya. Supir pribadinya terlihat bingung mendengar perintah itu, namun apa daya, titah Hanna merupakan sesuatu yang mutlak, tak bisa diganggu gugat.

“B-baik, Bu…” Patuh supir tersebut.

—-

Tak peduli dengan tatapan pengunjung Rumah sakit yang lain, Hanna berlari menuju ruangan anaknya, tak memedulikan bisa saja di sekitar terdapat awak media yang akan sangat tertarik mencari tahu apa yang terjadi pada Hanna sehingga berlari tak sabaran seperti sekarang. Yang ada dipikiran Hanna hanyalah menemui Haekal.

Ketika sampai di depan pintu ruangan tersebut, Hanna menghentikan langkahnya, tangannya tertahan ketika hendak memutar knop pintu tersebut, tiba-tiba ragu menghinggapi dirinya. Beberapa detik ia mematung di depan pintu, menutup matanya, dan beberapa kali mengantur napasnya sebelum memberanikan diri masuk ke dalam ruangan tersebut untuk menemui Haekal.

“Lo bisa, Na, perbaiki semuanya…” gumannya pelan, dan setelah itu memberanikan dirinya untuk membuka pintu tersebut. Dilihatnya Haekal yang sedang terbaring dengan matanya yang tertutup, sedang tidur pikirnya.

Perlahan Hanna mendekat, sudah tak ada lagi alat-alat medis yang menempel di tubuh anaknya, tersisa hanyalah infus yang tertancap di tangan Haekal. Dengan amat pelan ia menggeserkan kursi yang tersedia di samping ranjang tersebut, khawatir bunyinya dapat membangunkan Haekal yang nampaknya sedang terlelap. Hati Hanna terasa nyeri melihat keadaan anaknya saat ini, dengan berbagai macam memar di wajah dan bagian tubuh lainnya, hati orangtua mana yang tak sakit ketika melihat anaknya berada dalam kondisi seperti saat ini.

Entah berasal dari mana keberanian Hanna, kini tangannya terulur menuju pipi Haekal, dan mengusap pelan pipi tersebut, dipandangnya Haekal yang matanya sedang tertutup itu, dengan hati yang sangat menyesal karena baru kali ini ia memandang anaknya secara dekat dan baru kali juga ini ia mengusap wajah anaknya itu.

“Maaf…” Gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Namun setelahnya, Hanna merasakan ada pergerakan dari pipi yang sedang ia usap itu, seperti menghindar dari usapannya. Hanna sedikit terlonjak merasakan itu, ia menyadari bahwa Haekal sudah bangun dari tidurnya, dan dengan refleks ia pun menjauhkan jemarinya dari pipi Haekal dan berusaha mengusap air matanya. Masih, Hanna masih terlihat gengsi dan kaku di depan Haekal.

“Haekal?” Panggil Hanna ragu, namun, bukannya menjawab, Haekal jusru mengalihkan pandangannya ke samping kiri, sehingga tak menatap Hanna sama sekali. Hanna menaikkan sebelah alisnya, terlihat bingung dengan respon tersebut.

“Haekal?” Panggil Hanna sekali lagi, namun tetap saja Haekal tak menjawab. Ia malah berusaha menghadapkan tubuhnya agar menyamping juga, dan membelakangi Hanna yang duduk di samping kanan ranjangnya.

“Sudah bangun?” Lagi, Hanna berusaha berkomunikasi dengan Haekal, namun tetap saja hanya sepi yang ada disekitar, yang terdengar hanya suara nafas Haekal yang masih terasa berat. “Kalau boleh saya tau, apa yang kamu rasa sekarang, Haekal?” Hanna berusaha meruntuhkan gengsinya, dan mencoba berbagai cara agar bisa berkomunikasi dengan Haekal, anaknya.

“Sesak.” Jawab Haekal pelan dan singkat, tanpa menoleh sedikitpun kepada Mamahnya yang sedang mengajak bicara.

“Saya panggil dokter, ya? Supaya kamu diperiksa lagi,” Respon Hanna sedikit panik setelah mendengar jawaban Haekal.

“Saya sesak karena ada Mamah.” Satu kalimat tersebut berhasil menghentikan Hanna yang tadinya hendak bangkit dari duduknya untuk memanggil Dokter. Sekujur badan Hanna terasa kaku mendengar jawaban tersebut, ia berusaha menyadarkan dirinya, barangkali tadi ia hanya salah dengar.

“Mamah bikin ruangan ini terasa sesak.” Lanjut Haekal lagi, terdengar amat dingin, tak hangat seperti biasanya saat ia berbicara kepada Hanna.

“Apa yang kerasa? Apa yang kerasa sakit?” Walau merasakan sakit yang amat dalam, Hanna tetap saja menanyakan apa yang Haekal rasakan saat ini, mencoba tak peduli dengan jawaban dingin yang dilontarkan oleh anaknya barusan. Hanna kukuh tak mau termakan gengsinya lagi, lagipula, ia sempat berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan memperbaiki hubungannya dengan Haekal apabila Haekal sudah sadar. Ia tak mau kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya, ia juga mau mempunyai hubungan normal layaknya anak dan Ibu pada umumnya.

“Hati saya sakit, dada saya sesak karena masih diberi kesempatan hidup dan bertemu Mamah lagi, saya cuma mau mati.”

“Haekal...” Suara Hanna terdengar sangat frustasi karena terus-terusan mendengar jawaban yang tidak ia inginkan itu. “Jangan bicara yang sembarang...” Sambung Hanna, lebih terdengar seperti meminta.

“Sesak ada Mamah.”

“Kamu mau saya ngapain, Haekal? Kamu mau apa sekarang?”

“Saya mau Mamah gak disini.” Jawaban tersebut menusuk seperti belati bagi Hanna. Bagaimana tidak, beberapa malam ini Hanna tidak tidur sama sekali, hanya untuk menjaga Haekal dan menunggu perkembangan Haekal. Namun, ketika Haekal sudah sadar dan membaik, ia malah diusir oleh Haekal sendiri.

“Saya gak bisa tinggalin kamu sendiri untuk saat ini.”

“Saya terbiasa sendiri. Tolong pergi, Mah, ruangan ini tambah sesak rasanya.” Tubuh Hanna kaku menatap kosong ke arah anaknya yang sedang membelakanginya itu, Hanna ragu untuk pergi, namun juga ragu untuk tetap di ruangan ini. Ia sebelumnya sangat senang sekali mengetahui kabar bahwa Haekal sudah sadarkan diri, namun, ia sepertinya lupa akan kejadian sebelum terjadinya penyerangan itu, Haekal sempat mengirim Hanna pesan yang berisikan kekecewaannya terhadap Hanna. Hanna benar-benar lupa akan itu, sedangkan Haekal sepertinya masih sangat mengingat kejadian sebelum penyerangan itu, sehingga bersikap dingin kepada Hanna.

“Pergi mah, saya sesak dan juga muak.” Napas Hanna tercekat mendengar itu, belum selesai sesak di dadanya berakhir, Haekal malah menambah kalimat yang amat melukai hatinya. Ibu mana yang tidak merasakan sakit yang mendalam apabila diusir oleh anaknya sendiri. Tetapi, Hanna juga sadar akan salah dan keegoisannya, sehingga ia memilih mengalah untuk saat ini, dan mengikuti permintaan Haekal.

“Saya tinggalkan dulu, nanti saya kembali lagi, ya?” Ucap Hanna terdengar amat berat dan sulit, matanya terasa berat menahan butiran air bening yang berusaha menerobos dan jatuh pada pipinya, namun, sebisa mungkin ia usahakan agar ia tak menangis di depan Haekal.

“Kalau butuh apa-apa, kamu bisa-” “Pergi, Mah.” Ucapan Hanna segera dipotong oleh Haekal, nampaknya Haekal sudah tidak tahan lagi akan kehadiran Hanna di ruang rawatnya.

“Iya saya pergi.” Jawab Hanna dan bangkit dari tempat duduknya, sempat ia berdiri sebentar berharap Haekal menarik permintaannya barusan, namun sayang, Haekal tetap diam dan kukuh dengan permintannnya.

“Maafkan saya Haekal. Maaf...” Lirih Hanna pelan, tapi masih didengar oleh Haekal, mengingat ruangan ini sangat sepi dan hanya ada mereka berdua di dalamnya.

“Pergi, Mah, sesak.” Masih Haekal mengusir Hanna, tak peduli dengan permintaan maaf Hanna barusan.

“Maaf,” Lirih Hanna lagi, namun terdengar lebih menyedihkan dari sebelumnya, “Maafkan Mamah, Nak.” Lanjutnya teramat pelan, diiringi oleh butiran air mata yang akhirnya lolos juga dan membasahi kedua pipi Hanna.

“Pergi Mah...”

Hanna melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan tersebut melihat sudah tak ada lagi harapan Haekal mau ditemaninya. Langkahnya terasa amat berat, badannya terasa sangat lemas, sangat berbeda dengan langkah cepatnya tadi ketika menuju ruangan ini untuk bertemu Haekal yang sudah siuman. Bermalam-malam ia menunggu kabar baik ini, namun sayang, ketika kabar baik datang, ia malah tak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.

Baru saja Hanna hendak membuka knop pintu tersebut, tiba-tiba muncul seorang pria dewasa dengan sangat tergesa-gesa. Hanna kaget melihat sosok tersebut yang terengah-engah menerobos pintu ruang rawat Haekal. Jovan, itu Jovan. sosok itu berhenti dan menatap Hanna lekat dengan napasnya yang memburu, nampak seperti habis berlari terburu-buru.

“Haekal... sadar?” Tanyanya langsung, Hanna tak menjawab karena masih berusaha mencerna keberadaan Jovan saat ini yang sangat tiba-tiba.

“Pak?” Suara Haekal pelan, menyadari akan kehadiran Jovan. Mendengar panggilan itu, Jovan segera menoleh dan melihat Haekal yang terbaring lemah di ranjang ruangan tersebut. Segera ia melangkahkan kakinya menuju ranjang itu, namun tangannya segera ditahan oleh Hanna.

“Pergi, anak saya butuh istirahat.” Ucap Hanna tegas, lebih terdengar seperti perintah, jemarinya mencengkram keras lengan Jovan, seperti tak mau Jovan mendekati Haekal barang sejengkal saja.

“Hanna, sebentar saja, ya?” Bisik Jovan pelan, agar Haekal tak mendengar perdebatan mereka. “Saya janji cuma sebentar.”

“Pergi, Jovan!” Bentak Hanna, rasa sedih, kesal, lelahnya bercampur menjadi satu, sehingga Hanna tak mampu lagi untuk menahan amarahnya.

“Saya mau ditemani pak Jovan.” Kalimat itu berhasil membuat Hanna dan Jovan bersamaan mengalihkan pandangannya ke arah Haekal yang sedang berusaha untuk duduk dengan sangat susah payah. Jovan melepaskan lengannya dari Hanna secara paksa, dan mendekati Haekal yang sedang berusaha duduk itu. Dengan sangat hati-hati Jovan membantu Haekal untuk duduk, khawatir gerakan berlebihan menyebabkan Haekal merasa sakit.

“Makasih pak Jo,” Ucap Haekal setelahnya, “Saya mau ditemani pak Jovan. Mamah silahkan pergi.” Sambung Haekal, tanpa mau melihat ke arah Hanna.

“Haekal...” Lirih Hanna setelahnya, entah sudah berapa kali Haekal mengusir Hanna, bahkan saat ini Haekal mengusirnya tepat di depan Jovan. Hanna hanya bisa menatap penuh putus asa ke arah Haekal, dan memilih pergi meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan Haekal bersama Jovan di dalam sana.


Hanna tertunduk sendirian di bangku yang tersedia di luar ruang rawat Haekal, air matanya tak kunjung berhenti sedari tadi, terhitung dari langkah kakinya meninggalkan Haekal. Hatinya benar-benar terasa sakit mengingat ucapan Haekal barusan, bahkan berkali-kali Hanna memukul dadanya sendiri untuk menyalurkan rasa sesak yang ia rasakan.

Berhari-hari Hanna duduk di samping Haekal yang tak sadarkan diri, berharap cemas dengan kondisi Haekal saat itu yang belum juga sadarkan diri. Bermalam-malam Hanna tak tidur, khawatir terjadi sesuatu terhadap anak semata wayangnya itu, bahkan semua pekerjaan ia tunda dari kemarin dan hanya tadi ia pergi untuk menandatangani berkas yang sama sekali tak bisa diwakili. Semua itu sepertinya terlihat sia-sia saat ini, melihat Haekal yang sangat dingin kepadanya, dan mengusirnya agar tak berada di samping Haekal, rasanya amat sakit sekali bagi Hanna.

Namun, Hanna juga tak bisa marah kepada Haekal, ia sadar semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri, ia terlalu egois saat itu ketika Haekal meminta bantuannya, sampai-sampai Haekal teramat kecewa dengan jawaban yang Hanna beri.

Hanna seketika sadar dengan Handphone Haekal yang masih ada di genggaman tangannya, yang tak sempat ia berikan kepada Haekal. Dengan mata yang masih terasa berat akibat tangisannya barusan, Hanna berusaha membuka Handphone tersebut, dan melihat kali terakhir Haekal mengiriminya pesan.

IMG-20210820-WA0056

Hati Hanna terasa semakin tercabik setelah membaca ulang pesan-pesan itu, dengan segera ia menutup Handphone tersebut. Tangannya mengepal keras, napasnya memburu setelah membaca pesan itu. Sakit yang saat itu ia rasakan, kembali hadir bahkan terasa berkali-kali lipat pedihnya.

“Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.”

Kalimat itu terus-terusan menghantui kepala Hanna, hingga ia menjambak rambutnya sendiri ketika membayangkan raut kekecewaan Haekal kepadanya. Ia merasa sangat gagal saat ini, ia merasa semuanya sudah terlambat apabila ia mau memperbaiki hubungan dengan anaknya. Ia benar-benar gagal, sehingga Haekal mengusirnya tadi dan malah memilih Jovan untuk menemani.

“Gagal, selalu gagal. Hidup gue emang selalu gagal.” Lirihnya sendiri.

Hanna benar-benar sendiri, menyalahkan dirinya sendiri, menangis menyesali keegoisannya sendiri, ironis sekali, ia memang selalu terpuruk sendiri tanpa ada yang menamani.

-Ara.