Sumber dari semua luka.

Sudah teramat larut malam, Haekal sampaikan langkah kakinya ke depan gerbang besar rumah milik keluarga Hanasta, ia segera disambut oleh satpam penjaga yang nampak khawatir dengan keadaannya, namun ia hanya berlalu melewati satpam itu tanpa banyak bicara bahkan tanpa sapa.

Haekal berjalan dengan langkah setengah gontai menuju pintu rumahnya yang berjarak cukup jauh dari gerbang, dengan seragamnya yang sudah kotor dan juga kusut tak karuan, Haekal sebenarnya masih ragu untuk pulang. Kalau saja pesan penuh mohon dari Mamahnya tak Haekal baca, sudah dipastikan Haekal akan memilih untuk bermalam di luar, sembari mencerna tentang semua yang terjadi padanya di hari ini, yang hampir membuatnya gila.

Tibalah ia di depan pintu besar rumahnya, walau sempat terdiam sejenak, dan ragu untuk mendorong pintu itu, akhirnya Haekal memilih untuk membuka pintu besar itu, dan langsung disuguhi pemandangan Mamahnya yang duduk gelisah di sofa ruang tamu rumah mereka.

Hanna terlonjak kaget saat melihat Haekal yang muncul di balik pintu dengan penampilan yang sudah lusuh, ia segera menghampiri anaknya itu, memeriksa beberapa bagian dari badan anaknya, khawatir ada luka atau sesuatu yang buruk menimpa Haekal.

“Haekal enggak berantem, Haekal juga enggak luka, Haekal baik-baik aja, Mah.” ucap Haekal, berusaha menenangkan sang Mamah yang mengkhawatirkannya berlebih. Ia juga segera menjauhkan dirinya dari sang Mamah, membuat guratan kebingungan nampak dari wajah Hanna.

“Kamu marah sama saya, ya?”

“Enggak, saya bau rokok, Mah, takut Mamah gak nyaman kalau terlalu dekat.” jawab Haekal, masih berusaha menjaga jarak dari Hanna, sedangkan Hanna hanya menghela napasnya berat saat mendengar jawaban tersebut.

“Bukannya ada janji gak sentuh rokok, ya?” tanya Hanna lebih mirip seperti sindiran kepada Haekal, yang ditanya hanya tersenyum tipis, terlihat seperti mencibir pertanyaan Mamahnya barusan.

“Janji itu hanya itu mereka yang enggak brengsek, Mah, jadi, untuk apa saya tepati janji dengan dia?” tanya Haekal balik, dari jawaban tersebut Hanna sudah paham, seberapa tak sukanya Haekal saat membahas Jovan, bahkan barusan Haekal dengan santainya memakai kata 'Dia' yang ditujukan untuk Jovan, alih-alih menggunakan 'Beliau' seperti biasanya.

“Beliau, Kal, bukan Dia.” Hanna mengoreksi.

“Beliau itu hanya diperuntukan untuk orang yang pantas disegani dan dihormati, Mah, Dia enggak perlu disebut 'Beliau' lagi.” balas Haekal kukuh.

“Duduk dulu, ya? Kita bicara pelan-pelan.” pinta Hanna, meminta Haekal untuk turut duduk bersamanya di sofa ruang tamu. Namun, Haekal segera menggeleng merespon permintaan itu, menolak langsung ajakan sang Mamah untuk berbincang.

“Kalau untuk bahas Dia, maaf, Mah, saya enggak mau. Cukup benci saya ini hanya ditujukan kepada Dia, saya berusaha untuk enggak melibatkan Mamah dalam hal membenci, walau tetap saja ada rasa kesal yang saya rasakan tiap kali mengingat kenyataan bahwa Mamah juga ikut andil menyembunyikan fakta sebesar ini dari saya.” tegas Haekal, benar-benar tak mau membahas prihal Jovan lagi.

Haekal tak mau emosinya terpancing, Haekal juga tak mau membenci sang Mamah yang juga korban dari kebrengsekan Jovan, jadi untuk saat ini, Haekal memilih menutup telinga dan matanya dari semua penjelasan yang akan Mamahnya sampaikan.

“Jangan benci Ayah kamu terlalu lama, Kal.” Baru saja Haekal hendak melangkahkan kakinya meninggalkan Hanna, tiba-tiba langkahnya tertahan saat mendengar perkataan barusan.

“Mah,” panggil Haekal pelan, seolah meminta untuk Mamahnya mendengar dengan serius apa yang selanjutnya ingin ia ucapkan, “Jangan luluh, Mah. Jangan mudah luluh untuk Dia yang udah hancurkan kehidupan kita. Jangan pernah luluh untuk dia yang udah menjadi sumber luka dan duka kita, jangan pernah berpikir untuk luluh, Mah.” sambung Haekal dengan menatap dalam kepada dua netra Mamahnya.

“Kal ...”

“Enggak ada kesempatan kedua untuk dia yang udah pergi meninggalkan kita selama belasan tahun, Mah. Kalau aja dia ada dari dulu, mungkin hidup saya dan Mamah enggak akan seberat dan serumit ini. Saya enggak akan tumbuh diiringi rasa benci Mamah, dan Mamah enggak akan punya trauma yang mendalam tiap kali melihat saya. Semuanya berawal karena dia, Mah, jadi jangan pernah berharap saya akan memaafkan dia.” lanjut Haekal lagi, berhasil membungkam Hanna. Hanna seperti melihat dirinya ada pada Haekal saat ini, sangat keras kepala, dan enggan memberikan kesempatan untuk orang lain menjelaskan. Merasa hanya dirinya yang terluka, dan pihak lain hanyalah brengsek jahat yang tak perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan bahkan berbicara walau hanya sepatah untuk menjelaskan.

“Saya ke kamar, sudah malam, saya enggak mau debat, Mah, saya takut lepas kendali dan malah menyakiti perasaan Mamah. Istirahat, Mah.” pamit Haekal undur diri, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju tangga rumah, disertai dengan perasaan tak karuan yang semakin menyerangnya.

“Banyak yang kamu enggak tau, Kal.” ucap Hanna, masih bisa Haekal dengar dengan jelas walau berjarak tak cukup dekat.

“Prihal restu orang tua, prihal perbedaan kasta, prihal penghiantan Tama yang membuat kita bertiga terluka dengan cara masing-masing. Terlalu gegabah untuk kamu menyimpulkan sendiri.” lanjut Hanna, sedangkan Haekal hanya diam, tak menjawab, tak juga menoleh ke belakang kepada Hanna yang sedang berbicara kepadanya.

“Istirahat, Kal, besok kita bicara lagi. Semoga kamu mau turunkan ego untuk mendengar semuanya, dan lepas dari terkaan yang kamu buat sendiri.” ucap Hanna lagi, saat dilihatnya jarum jam sudah hampir menuju ke angka 12 malam. Hanna pikir, walau berbusa ia menjelaskan kepada Haekal saat ini, Haekal tetap tidak akan mengerti situasi yang sebenarnya, jadi Hanna memilih untuk menunda dulu penjelasan panjangnya, menunggu Haekal tenang dan bisa diajak berkomunikasi secara pelan.

“Saya lahir sebagai yatim, dan selamanya akan yatim. Selamat tidur, Mah.” jawab Haekal dingin, kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.

image

Hanna hanya mampu memejamkan matanya saat mendengar itu, berharap ucapan Haekal barusan tidak pernah didengar oleh Jovan nantinya, karena entah sehancur apa perasaan Jovan apabila mendengar anaknya lebih memilih menjadi yatim, tanpa mau mengakui hadirnya Jovan yang masih ada di dunia ini.

Di lain sisi, Hanna juga tak bisa memaksa Haekal untuk mau mendengarkannya, wajar apabila emosi Haekal sangat tinggi untuk saat ini, mengingat bagaimana sepinya hidup Haekal selama ini tanpa kasih yang cukup dari Hanna sebagai Ibunya, dan sekarang Haekal tau sebab dari tindakan Hanna yang dingin kepadanya, jadi, akan sangat sulit untuk Haekal memaafkan Jovan yang ia anggap sebagai asal dari semua hal buruk terjadi di hidupnya.


Haekal memilih duduk di warung Bude yang terletak di luar sekolah, walau bel masuk sudah berbunyi, Haekal tak acuh sama sekali, ia malah melanjutkan sesi menghisap batang nikotin di bibirnya.

Satu batang, dua batang, tiga batang, tanpa henti Haekal beri jeda, seperti sengaja menghabiskan satu bungkus itu untuk menyalurkan frustasi akan kejadian kemarin yang memusingkan kepalanya.

Bagi Haekal, hanya zat adiktif ini yang mampu menenangkannya. Tak ada lagi Azalea, tak ada lagi Pak Jovan yang bisa menghentikannya dan mencoba menenangkannya, mereka tak lebih dari sekedar sumber duka yang selama ini Haekal rasa.

“Enggak masuk sekolah, nak ganteng?” tanya Bude, pemilik warung itu. Haekal menoleh sembari tersenyum kecil kepada Bude, menggelengkan kepalanya pelan.

“Enggak, Bude. Sesi belajarnya pindah dulu ke sini, belajar liatin Bude bikin bakwan, hahaha.” jawab Haekal santai, berusaha tidak memperlihatkan kekacauannya yang menimpanya. Bude hanya terkekeh mendengar jawaban itu, dan kembali melanjutkan kegiatannya memasak berbagai macam gorengan.

Sengaja Haekal matikan ponselnya, karena sangat berisik sekali notifikasi dari teman-teman yang menanyakan keberadaannya. Untuk saat ini, Haekal hanya mau sendiri, tanpa diganggu oleh siapapun. Entah sampai kapan, namun biarkan Haekal menikmati komedi semesta saat ini seorang dari.

Tak begitu lama, nampak seseorang yang memarkirkan motornya di depan warung milik Bude, Haekal sudah hapal betul dengan motor dan helm itu, sehingga detik berikutnya Haekal bangkit dari duduknya, dan bersiap untuk pergi dari warung Bude, tak mau memberikan orang itu- Jovan, kesempatan untuk berbicara dengannya.

“Haekal, sebentar, 10 menit Bapak minta waktu kamu,” ujar Jovan setetah terburu-buru memarkirkan motornya asal. Haekal seperti berpura-pura tak mendengar, dan malah mengambil tasnya, bersiap untuk pergi dari warung Bude.

“10 menit untuk saya bicara tentang Azalea, bukan bicara tentang masa lalu saya dan Mamah kamu. Saya janji, enggak akan ada pembelaan untuk diri saya sendiri, Kal, hanya untuk bicara tentang Azalea, perempuan yang kamu cintai.” ujar Jovan lagi, berusaha menahan Haekal agar tak pergi.

“Ya, Kal? Bapak janji hanya bahas Azalea.” ucap Jovan sungguh-sungguh, Haekal hanya menatap datar kepada Jovan, setelah itu kembali duduk di bangku warung Bude, dan meletakkan kembali tas disamping kiri duduknya.

Jovan lega melihat itu, setidaknya Haekal mau mendengar penjelasannya terkait Azalea. Jovan ikut duduk, namun ia sadar diri, sehingga memilih duduk di sisi yang agak berjauhan, agar Haekal tak terlalu merasa risih dengan hadirnya.

“Sudah habis berapa batang-”

“Langsung aja bicara tentang Azalea.” Haekal memotong perkataan Jovan dengan nada yang terdengar ketus.

Jovan tersenyum kecil melihat bagaimana dinginnya Haekal kepadanya, seperti flashback melihat sikap dingin Haekal kepada Hanna saat di rumah sakit dulu, dan sekarang dingin Haekal ditujukan untuknya.

“Kemarin Azalea menangis, Kal, ketakutan sekali,” Jovan mulai mengawali ceritanya, Haekal tak bereaksi, ia hanya mengambil sebatang rokok, dan mematik api untuk kembali menghirup zat penuh candu itu.

“Bapak enggak tau apa yang terjadi setelah kamu keluar dari ruangan Bapak, karena Azalea juga enggak mau cerita kepada Bapak. Azalea hanya menangis sambil minta maaf ke Bapak, dan mersa sangat bersalah ke kamu.”

“Memang seharusnya seperti itu.” respon Haekal ketus.

“Kal, sadar gak kalau saat ini kamu sedang kecewa dengan keadaan yang kamu sangka menjadi penghalang besar untuk cinta kamu terhadap Azalea?” tanya Jovan, berusaha menjelaskan kepada Haekal selembut mungkin agar Haekal mudah memahami apa yang terjadi. Haekal tak menjawab, karena ia masih belum menangkap maksud dari pertanyaan Jovan barusan, ia memilih diam menunggu Jovan melanjutkan perkataannya.

“Kamu marah dengan apa yang sudah kamu simpulkan sendiri. Kamu menyimpulkan bahwa Azalea, anak saya, yang menyebabkan saya pergi meninggalkan kamu dan Hanna. Dan kamu juga marah, karena dengan fakta itu, artinya kamu enggak akan bisa bersatu dengan Azalea dalam ikatan cinta. Iya 'kan, Kal?” Haekal mengangguk membenarkan, setelah menghembuskan asap rokoknya.

“Saya yang akan jadi penentang pertama, Kal, kalau memang faktanya seperti itu. Saya yang akan cegah kamu untuk jatuh cinta kepada Azalea jika memang kalian satu Bapak. Tapi kamu lihat, apa pernah Bapak larang kalian bersama? Enggak, kal, malah Bapak mendukung hubungan kalian berdua.” terang Jovan menjelaskan inti dari pertanyaannya barusan. Haekal yang tadinya sibuk menghisap rokok, sekarang malah berhenti, dan mematikan putung rokok itu.

“Azalea bukan anak Bapak?” tanya Haekal ragu.

“Azalea anak angkat sementara saya, Kal, bukan anak kandung seperti yang kamu kira.” jawab Jovan berhasil membuat Haekal terdiam.

Jovan tak melanjutkan ceritanya, berusaha memberi waktu kepada Haekal yang saat ini terlihat tak tenang dengan mengacak-acak rambutnya kasar.

“Amarah selalu berhasil membuat kita melakukan tindakan gegabah, Kal, yang ujung-ujungnya akan menjadi sebuah penyesalan.” ucap Jovan lagi.

“Mau dengar cerita tentang bagaimana seorang gadis kecil yang diasingkan di kampungnya sendiri? Dianggap gila karena sering berteriak meminta tolong kepada para warga. Gadis kecil yang namanya Azalea, kal, yang kamu panggil dengan sebutan bunga cantik punyamu. Mau dengar, Kal?” tawar Jovan, Haekal tak menjawab, ia hanya diam menatap kosong segelas kopi pahit yang ia pesan.

Jovan menganggap diam itu adalah persetujuan dari Haekal untuknya bercerita tentang masa lalu Azalea, yang pastinya belum Haekal ketahui.

“Dulu, Saya mengikuti program mengajar di daerah terpencil, Kal, jauh sekali dari Jakarta. Itu juga yang menjadi awal pertemuan saya dan Azalea.” Mendengar itu, Haekal memberikan seluruh atensi pada cerita Jovan, tak seperti sebelumnya yang sangat tak acuh dengan hadirnya Jovan, dan sibuk menghisap batang rokoknya.

“Saat saya dan pengajar lainnya berkunjung ke rumah-rumah warga, saya menemui Azalea yang dikunci di dalam ruangan kecil dan pengap. Saya tanya kepada warga sekitar, hampir semua memberi keterangan Azalea itu gila sehingga harus diperlakukan seperti itu oleh pamannya.”

“Rasa iba dan penasaran saya, membawa saya memberanikan diri berkunjung ke ruangan itu, walau hanya bisa melihat dari jendela kecil yang khusus dibuat untuk memberikan Azalea makan. Tepat saat Azalea menyadari kehadiran saya, ia segera menangis kencang, memohon bantuan kepada saya untuk mengeluarkannya dari ruangan kecil yang remang itu. Jujur, awalnya saya kaget, namun, tangisan itu terasa begitu menyakitkan, Kal, seakan-akan dia sangat berharap dengan hadirnya saya untuk membantu dia keluar dari sana secepatnya.”

“Teriakan minta tolong itu dianggap oleh warga gejala depresi Azalea, ditambah lagi dusta yang pamannya sebarkan untuk mendapatkan harta peninggalan orang tua Azalea, dengan cara membeberkan kepada seluruh warga bahwa Azalea menjadi seperti orang gila setelah ditinggal mati kedua orang tuanya, semakin membuat Azalea terkurung lama di ruangan itu, Kal.”

“Hampir satu tahun Azalea terjebak di dalam sana, tanpa ada yang menolong dan mau mendengar teriakannya. Di usia terlalu muda, Azalea harus mendapati cobaan hidup sekejam itu, Kal. Setiap kali saya lewat rumah itu, hati saya rasanya enggak tenang kalau enggak bantu Azalea keluar dari sana. Sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk membantu Azalea, walau harus babak belur, dan mengorbankan banyak waktu dan tenaga, akhirnya saya berhasil menyelamatkan Azalea, dan Pamannya dipolisikan.”

“Sepupu Azalea yang lain sama saja jahatnya, hanya satu yang Azalea percaya, bibi dari almarhum Ibunya, tapi bibi itu masih terikat kontrak kerja di luar negri. Azalea takut dengan dunia luar, tapi ketika Bapak tawarkan untuk tinggal di rumah Bapak sambil menunggu Bibinya bisa pulang, Azalea mau, Kal. Jadi, seperti itu awal mula mengapa Azalea bisa menjadi anak angkat Bapak.” cerita Jovan panjang lebar, berusaha menceritakan semua tentang masa lalu Azalea, agar Haekal tak lagi salah paham.

“Enggak mudah untuk Azalea sambuh dari ketakutannya, kejadian di kampung halamannya benar-benar berbekas, Kal, sampai-sampai dia takut untuk berkomunikasi dengan dunia luar, bahkan kepada saya pun hanya sekedarnya aja mengeluarkan suara.”

“Itu alasan kenapa Azalea enggan kalau diajak bicara, memilih diam dan hanya berkomunikasi melalui pesan singkat, atau tulisan di kertas kecil. Banyak trauma di masa lalunya, Kal. Beberapa waktu ini, Azalea mulai berani berbicara, dia bilang, kamu alasannya. Saya senang karena kamu mampu menyembuhkan Azalea secara perlahan, Kal. Saya juga senang karena Azalea mampu mengajari kamu tentang rasa yang ada. Kalian saling melengkapi kekurangan masing-masing, saling menyembuhkan luka masing-masing, dan saling belajar tentang hal-hal yang kalian belum ketahui tentang dunia ini, itu yang membuat saya mendukung kedekatan di antara kalian berdua.” ungkap Jovan.

Sedari tadi Haekal benar-benar diam tak mengeluarkan suaranya, ingatan tentang hari kemarin saat ia membentak Azalea seketika menghantuinya. Bayang ketakutan Azalea yang menutup telinga dan memejamkan mata saat Haekal marah terlintas seketika, membuat Haekal menyesal karena sudah menyebabkan Azalea ketakutan dan memancing ingatan akan trauma masa lalu Azalea datang kembali.

“Azalea di mana? Ada di sekolah?” tanya Haekal, ia mengambil tasnya lagi, bersiap untuk menemui Azalea segera.

“Azalea ...” Jovan menggantung ucapannya, agak ragu untuk memberi jawaban, “Azalea ada di stasiun kereta, Kal.”

“Stasiun?” respon Haekal bingung dengan jawaban Jovan barusan, sebelah alisnya sudah naik sebelah, menandakan jawaban itu benar-benar tak ia sangka.

“Iya, kemarin Azalea mau pamit sama kamu, mungkin belum sempat pamit, ya? Bibi Azalea sudah pulang ke Indonesia, Kal, jadi Azalea memutuskan untuk pulang ke rumah Bibinya.”

“Tadi Azalea titipkan surat untuk kamu, Kal, katanya kamu enggak bisa dihubungi dari kemarin.” Jovan memberikan surat yang berasal dari saku jaketnya kepada Haekal, dengan ragu Haekal menerima surat itu.

Hati Haekal terasa nyeri saat melihat surat yang dikemas dengan rapih itu, tak pernah Haekal bayangkan perpisahan antara ia dan Azalea akan terjadi seperti ini. Kemarin, hari terakhir keduanya bertemu, sama sekali tak ada pamit, yang ada hanya emosi Haekal yang tak tertahan.

“Masih ada 20 menit sebelum keretanya berangkat, mau saya antar, Kal? Atau kamu bisa pakai motor saya-”

“Enggak perlu.” jawab Haekal segera, masih dengan nada bicaranya yang dingin sekali tak bersahabat. Haekal beranjak dari duduknya, dan mengambil bungkus rokoknya, bersiap untuk pergi meninggalkan Jovan.

“Cerita yang mengharukan, sama sekali enggak bikin saya tersentuh dan memaafkan Bapak. Bapak tetap aja seorang brengsek bajingan bagi saya, dan saya enggak akan pernah bisa anggap Bapak sebagai Ayah saya. Bapak sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah bagi saya, dan, saya memang sudah yatim. Bapak sudah mati tepat disaat Bapak pergi meninggalkan saya dan Mamah.” tegas Haekal.

“Saya duluan, Pak.” pamit Haekal lalu pergi, meninggalkan Jovan yang kaku saat mendengar perkataan Haekal barusan, tangannya masih terulur untuk memberikan kunci motornya kepada Haekal.

Tak ada yang lebih menyakitkan selain dianggap sudah mati oleh anak sendiri. Dan tak ada yang lebih perih dibanding harus mendapatkan cap gagal sebagai seorang Ayah oleh anak yang selama ini ia cari.

“Tuhan, kalau memang jalan seperti ini yang harus saya tempuh untuk menebus kesalahan di masa lalu, saya rela dan ikhlas.” gumam Jovan pelan, ketika melihat punggung sang Anak semakin menjauh dari pandangannya.

“Lakukan, Nak, kalau memang memaki Bapak merupakan cara yang paling ampuh untuk kamu menyalurkan dendam ...” lirihnya lagi.

image

-Ara.