Surat dari si Pendosa yang sudah tiada.

Setelah menghubungi Theo, Kuasa Hukum yang dipercayai Tama terkait rencananya yang pagi ini hendak mengunjungi ruang kerja Tama, Haekal segera bersiap untuk pergi ke sana. Ia menggunakan baju seragamnya, dan ditutupi hoodie agar tak menampakkan kemeja sekolahnya, Haekal berniat datang sendiri ke sana, ia tak mau melibatkan Hanna atau yang lainnya, mengingat Tama hanya meminta Haekal saja yang membuka isi Brangkas tersebut.

“Haekal?” panggil Hanna saat melihat Haekal yang sudah rapih, dan hendak mengenakan sepatu sekolahnya, “Kamu mau masuk sekolah? Jangan dipaksa, ya? Luka di kening kamu juga belum kering.” kata Hanna penuh kekhawatiran.

“Enggak apa-apa, Mah, saya baik-baik aja, kok.” respon Haekal tenang, tak mau Hanna curiga dengan tujuannya.

“Kamu yakin?” nampak Hanna ragu mengizinkan Haekal bersekolah, Hanna mengerti bahawa bukan hanya fisik, namun mental Haekal juga ikut terguncang dengan semua yang terjadi beberapa hari lalu. Apalagi dengan Haekal yang beberapa hari ini enggan keluar kamar, bahkan untuk makan saja, harus diantar ke kamarnya.

“Yakin, Mah, saya pamit ya, Mah?” ucap Haekal bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan kegiatan mengikat tali sepatunya, tangannya terulur untuk mencium tangan Hanna.

“Hati-hati, ya?” walau berat rasanya, Hanna akhirnya mengizinkan Haekal untuk pergi ke sekolah, saat Haekal selesai mencium punggung tangannya, Hanna tak lekas melepaskan tangan Haekal. ditatapnya lekat penuh kekhawatiran wajah Haekal, “Janji ya kalau ada apa-apa di sekolah langsung hubungi saya, tolong ya, Haekal?”

“Mah ...” dengan pelan sekali, Haekal mencoba melepaskan tangan Mamahnya, “Haekal cuma mau ke sekolah, bukan pergi perang.” sambungnya dengan kekehan kecil yang terdengar.

“Diantar Mas Adi ya?” anjur Hanna, dengan segera Haekal menggeleng merespon anjuran itu.

“Naik bis aja kayak biasanya, atau nanti Haekal pesan ojek online. Mas Adi masih di rumahnya juga 'kan?” tolak Haekal dengan senyum yang berusaha ia paksakan. “Haekal berangkat ya, Mah.” pamit Haekal diiringi dengan langkah kakinya menuju pintu rumah.

Rasanya masih berat untuk Haekal bersikap seperti biasa kepada Mamahnya, semenjak Ia mengetahui jika Hanna turut menyembunyikan fakta tentang Jovan, ada rasa kecewa yang Haekal pendam terhadap Mamahnya, belum lagi dengan meninggalnya Tama, seperti muncul kembali dinding penghalang antara Haekal dan Mamahnya.

Untungnya tak lama setelah itu, ada telpon masuk dari ponsel Hanna, sehingga fokus Hanna yang tadinya hendak mengantar Haekal sampai ke depan teras rumah buyar seketika. Haekal mengambil kesempatan itu, hingga langkah kakinya berhasil sampai ke teras rumah tanpa ada halangan dan kekhawatiran berlebih dari sang Mamah.

Namun, kedua bola mata Haekal membulat saat dilihatnya Jovan yang sudah berdiri di depan teras rumah, dengan baju dinas yang sering ia gunakan untuk mengajar di sekolah.

“Haekal,” panggil Jovan yang juga nampaknya ikut terkejut dengan hadirnya Haekal dari balik pintu besar itu.

Mood Haekal yang tadinya sudah tidak bagus, seketika semakin berantakan saat ditemuinya wajah Jovan yang muncul tepat di depan pintu rumahnya. Masih terlalu pagi untuk berdebat pikir Haekal, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, seakan hadirnya Jovan tak terlihat olehnya.

“Boleh saya antar kamu ke sekolah?” tanya Jovan ragu, Haekal tak peduli, masih saja melanjutkan langkahnya.

“Haekal, Bapak minta maaf,” Seakan tak kenal kata menyerah, Jovan mengikuti langkah kaki Haekal menuruni anak tangga yang terdapat pada teras rumah keluarga Hanasta.

“Basi, saya sibuk dan buru-buru.” timpal Haekal enggan memelankan langkahnya, apalagi untuk menatap Jovan yang sedang berbicara dengannya.

Di luar perkiraan Haekal, Jovan mempercepat langkahnya dengan susah payah, sampai-sampai saat ini Jovan berhasil berdiri tepat di depan Haekal, dan otomatis membuat langkah Haekal terhenti agar tak menabrak Jovan.

Haekal yang suasana hatinya sudah sangat memburuk, semakin dibuat kesal oleh tingkah Jovan yang menghalangi langkahnya, baru saja Haekal hendak menumpahkan kekesalannya, Jovan sudah terlebih dahulu duduk bersimpuh lutut di hadapan Haekal, membuat Haekal seketika terdiam kaku.

“Maafkan Bapak, Kal, Maafkan semua kesalahan dan dosa Bapak,” lirih Jovan terdengar sangat menyedihkan, masih dengan posisinya yang berlutut memohon ampun kepada Haekal, ia benar-benar merendahkan dirinya agar sang Anak mau memaafkannya.

“Berdiri, Pak,” ucap Haekal lebih terdengar seperti meminta.

“Maafkan semua dosa saya, Kal, maafkan semua kegagalan saya, maafkan semua duka yang kamu rasa, maafkan Bapak yang enggak punya kekuatan melawan semua, maafkan karena kamu punya sosok Bapak yang gagal seperti saya, ampuni saya, Kal ...”

“Berdiri, Pak, saya enggak nyaman lihat Bapak kayak gini.”

“Maafkan saya-” ucapan Jovan terhenti saat Haekal memegangi kedua sisi bahu Jovan, dan membantu Jovan untuk kembali berdiri, saat Jovan sudah benar-benar berdiri, Haekal segera melepaskan tangannya yang ada di bahu Jovan barusan.

“Enggak perlu menurunkan harga diri demi mengemis maaf dari saya, itu sama sekali enggak berpengaruh besar.” walau terdengar ketus, namun masih nampak perasaan tak enak hati dari sorot mata Haekal.

“Saya pamit.” lanjut Haekal lagi, dan meninggalkan Jovan yang masih berdiri, sembari menatap kepergian Haekal dengan perasaan sedih, karena pagi ini masih gagal usahanya mendapatkan maaf dari sang Anak yang selama ini ia cari.


Pikiran Haekal saat ini sangatlah bercabang, apalagi setelah melihat Jovan yang berlutut di hadapannya, ada rasa tak enak hati dan juga bersalah ketika mengingat bagaimana putus asanya Jovan pada saat meminta maaf kepadanya, namun, sebagaian lagi dari dirinya masih enggan memaafkan Jovan yang ia anggap sebagai sumber dari segala duka dalam hidupnya.

“Haekal? Kamu bisa dengar saya 'kan?”

“Eh iya, maaf gimana, Pak Theo?” respon Haekal terlihat kebingungan saat sadar dari lamunannya, Theo hanya terkekeh pelan melihat ekspresi itu.

“Barusan saya tanya, kamu udah yakin dengan kata sandinya?” dengan sangat sabar, Theo mengulang pertanyaannya, lift yang mereka naiki masih berada di lantai 3, yang berarti masih ada sekiranya belasan lantai lagi untuk sampai di ruang kerja milik Tama.

“Sudah, Tama yang kasih tau sendiri waktu detik-detik ... akhirnya,” jawab Haekal dengan ragu, masih terasa sesak bagi Haekal ketika membahas kejadian itu, bayangan Tama yang menghembuskan napas terakhir di depannya seketika berkelebat dan membuatnya kembali diselimuti rasa bersalah.

“Oh iya, saya boleh tanya sesuatu, Pak Theo? Terkait hukum, sih ...”

“Boleh, sebisa mungkin saya jawab dengan pengetahuan saya, Kal.” Theo menanggapi Haekal dengan sangat ramah.

“Konyol, sih, mungkin, tapi saya benar-benar penasaran, ada gak sih hukuman buat orang yang lebih mendahulukan mengejar pelaku kecelakaan dibanding menyelamatkan korban?”

Theo tak langsung menjawab pertanyaan itu, sesaat ia menatap Haekal yang terlihat ragu dengan pertanyaannya, kemudian Theo kembali tersenyum.

“Masih di tahap enggak bisa terima kepergian Pak Tama ya, Kal?” Theo malah bertanya balik kepada Haekal, Haekal tak menjawab, pandangannya hanya menatap ke bawah.

“Enggak ada, Kal. Lagi pula, dari pada fokus menyalahkan orang lain, kenapa gak lebih fokus dengan tersangka yang sebenarnya, Kal? Kita bisa mengusahakan agar tersangka yang mengendarai mobil itu dihukum sebarat-beratnya, jadi kenapa harus repot-repot menyalahkan yang lain?” Haekal semakin tertampar ketika mendengar jawaban barusan, sampai-sampai ia kehabisan kata-kata untuk merespon jawaban Theo.

“Hasil dari otopsi dan penyelidikan TKP, membuktikan bahwa emang gak ada harapan lagi untuk selamat bagi Pak Tama. Ditabrak dengan kecepatan sekencang itu, dan terpental lumayan jauh, sangat kecil kemungkinan bisa terselamatkan. Saya dan tim menganggap Tuhan memberikan keajaiban, sampai-sampai Pak Tama masih bisa berbicara beberapa kalimat dengan kamu sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Jadi, mau secepat apapun pertolongan menuju rumah sakit, kemungkinan terselamatkan hanya sedikit, Kal, bahkan enggak sampai 10%.” papar Theo menjelaskan.

“Ambil hikmahnya atas semua yang terjadi, beruntungnya kita segera menemukan pelaku. Saksi yang mengejar pelaku juga terluka loh, Kal, barang kali kamu enggak tau?”

“Terluka?”

“Iya, beliau menabrakan mobilnya ke mobil pick up yang dipakai pelaku untuk memberhentikan mobil tersebut. Kalau enggak salah di bagian dadanya ada memar, dan kakinya juga luka. Mau diobatkan, tapi beliau nolak, katanya harus segera memastikan kondisi anaknya.” ungkap Theo, Haekal benar-benar tertegun ketika mendengar fakta itu, seketika bayang Jovan yang tadi berlutut di hadapannya terlintas, pantas saja Jovan terlihat sangat susah payah menyusul langkah kaki Haekal, itu semua dikarenakan luka yang Theo maksud barusan.

“Kal?” Haekal tak menjawab, ia masih termenung memikirkan Jovan.

“Haekal? Kita udah sampai, ayo?” Theo menepuk pelan bahu Haekal, berusaha menyadarkan Haekal, karena tak ada respon sama sekali dari Haekal.

“Eh? maaf, iya, Pak Theo, ayo.”


Tama benar-benar apik menyembunyikan Brangkasnya, siapa sangka dibalik lukisan abstrak yang ukurannya tak terlalu besar itu, terdapat sebuah Brangkas yang disembunyikan oleh Tama. Sudah dipastikan lukisan berukuran sedang itu sama sekali tak memikat perhatian orang-orang, karena, terdapat lukisan besar yang lebih menarik rasa penasaran orang lain, yang ternyata di balik lukisan besar tersebut tak terdapat apa-apa.

“Sudah siap, Kal?” tanya Theo, Haekal mengangguk mantap, kemudian jemarinya terulur untuk mengetikkan beberapa angka dari tanggal ulang tahunnya.

“Wah ternyata satu minggu lagi saya ulang tahun, hahaha.” gumam Haekal saat jemarinya mengetikkan angka yang dimaksud.

Tak lama kemudian, Brangkas itu terbuka, Tama benar-benar menggunakan tanggal lahir Haekal sebagai kata sandinya, seketika Haekal merinding tak percaya.

“Syukurlah! Saya udah khawatir banget kalau Brangkas ini gak akan bisa terbuka, Kal.” ucap Theo dengan perasaan leganya. “Oke, ada beberapa kertas dan berkas sepertinya. Saya enggak mau mengganggu privasi kamu dan Pak Tama, jadi silahkan kamu lihat-lihat dulu dan ambil berkas itu, saya menunggu di luar sembari berjaga ya, Kal?” ujar Theo dan segera direspon dengan sebuah anggukan oleh Haekal. Kemudian, Theo beranjak pergi, meninggalkan Haekal sendirian di ruang kerja Tama, yang nampaknya sudah lama tak disentuh, terlihat sekali dengan banyaknya debu.

Sebelum melihat isi dari Brangkas itu, Haekal terlebih dahulu mempersiapkan dirinya, entah fakta apalagi yang akan terungkap setelahnya, yang pasti Haekal sudah bisa menebak, brangkas ini akan kembali mempermainkan jalan hidupnya.

Dengan sangat ragu, jemari Haekal akhirnya mengambil lembaran kertas yang terdapat pada tumpukan paling atas. Kedua alis Haekal bertaut saat melihat kertas yang sudah sangat lusuh itu, nampak sekali kertas tersebut sudah tersimpan lama, apalagi dengan warna kertas tersebut yang sudah menguning.

image

“Jo?” gumam Haekal seorang diri, “Nenek? Tanggung jawab? Kasta? Janin?” Haekal semakin bingung dengan maksud dari surat itu.

Merasa belum cukup dengan surat pertama yang ia baca, Haekal mengambil lima tumpuk kertas selanjutnya, berbeda dengan surat sebelumnya, lima kertas itu masih nampak bagus dibanding yang sebelumnya.

image1

image2

image3

image4

image5

Tanpa disadari saat ini Haekal sudah duduk terjatuh, kakinya tak sanggup lagi berdiri, sekujur tubuhnya terasa lemas tak karuan setelah membaca surat yang panjang itu. Tangannya melemas, sampai-sampai surat yang ia pegang, sudah berjatuhan ke lantai marmer ruang kerja Tama.

“Bercanda banget dunia ...”

Pikirannya benar-benar kusut saat ini, detak jantungnya pun ikut berdebar lebih kencang dari sebelumnya, napasnya juga terasa semakin berat. Ia hanya mampu menatap kosong ke depan, dan perlahan menjambak kesal rambutnya.

“Bercanda sumpah, LELUCON BANGSAT!” teriaknya frustasi, matanya sudah memerah, deru napasnya semakin terdengar, tangannya meninju kesal lantai marmer itu. “Keluarga Hanasta anjing, bangsat. Nenek, Kakek, Wisnu, penjahat gak punya hati.” desisinya penuh dendam.

“Argh!” Kembali ia meninju marmer itu, tak peduli dengan buku-buku jarinya yang saat ini sudah memerah akibat memar dari hantaman keras tangannya terhadap lantai.

“Bangsat, bajingan ... Hancur semuanya ... Keluarga Hanasta sampah.” Haekal kalut sendirian, ia sangat murka namun tak bisa tersalurkan, karena pelaku utama- Kakek dan Neneknya sudah tak ada di dunia.

Haekal sangat marah atas semua yang terjadi pada hidupnya, Hanna, Jovan dan juga Tama. Ternyata semua berawal dari keangkuhan keluarga besarnya, ternyata harta dan kasta berhasil membuat Nenek dan Kakeknya menjadi manusia yang tak kenal belas kasihan.

“Demi Tuhan, kalau bisa saya meminta, lebih baik saja enggak usah dilahirkan dari keluarga ini, keluarga badebah.” geram Haekal sendirian.

Saat hendak kembali meninju, suara panggilan masuk menghentikannya. Awalnya Haekal berniat untuk mendiamkan panggilan itu, namun, saat dilihatnya nama Reno yang nampak dari layar ponselnya, terpaksa Haekal mengangkat, dengan niatan ingin segera menanyakan keberadaan Jovan di sekolah.

“Halo Kal?” terdengar suara Reno yang tak seperti biasanya.

“Ya? ada apa?”

“Pak Jovan, Kal ...”

“Pak Jovan kenapa? Ada di sekolah 'kan? Saya mau ke sana, tolong bantu saya manjat tembok belakang, ya?”

“Pak Jovan Kal, astaga barusan dia ketimpa kayu gede yang tukang bangunan sekolah jatuhin.”

Haekal terdiam saat mendengar ucapan Reno barusan, yang terlintas dipikirannya saat ini hanyalah darah yang bercucuran seperti kemarin melihat Tama kesakitan.

“Kal?”

“Kal? Lo masih dengerin gue?”

“Haekal Hanasta!”

“Di mana, Reno? Ayah di mana sekarang?” sahut Haekal dengan suara yang terdengar bergetar.

“Rumah sakit deket sekolah, gue ada di depan pintu IGD-”

Haekal segera mematikan sambungan telpon, dengan panik ia memasukkan semua kertas dan berkas yang ada di Brangkas itu ke dalam tas gendong yang ia bawa.

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, ia segera berlari menuju pintu keluar, untuk segera pergi menuju rumah sakit yang Reno maksud barusan.

“Haekal? kenapa? sudah selesai-”

“Nanti saya kabari!” seru Haekal kepada Theo yang nampak kebingungan dengan Haekal yang berlari menuju lift gedung, meninggalkan Theo tanpa penjelasan sedikitpun.

Haekal dengan tak sabar menekan tombol lift, berkali-kali dengan panik, berharap dengan cara seperti itu bisa membantunya keluar dengan cepat dari gedung ini untuk menuju rumah sakit. Beberapa detik kemudian, pintu lift tertutup, hanya Haekal sendiri yang ada di lift.

Ia berkali-kali membenturkan kepalanya pada dinding lift dengan cukup keras, sembari mengutuk dirinya sendiri.

Air mata yang berusaha ia tahan, akhirnya tumpah juga, ia menjatuhkan tubuhnya di lantai lift saking kalutnya, tak peduli apabila ada orang lain yang masuk ke dalam lift nantinya.

“Ampuni Bapak, Kal ...” Kalimat tersebut berkali-kali terdengar di telinganya, membuatnya semakin ketakutan.

“Tolong, jangan lagi kasih kehilangan ... Tuhan, saya percaya Tuhan itu ada, jadi tolong, ya? Jangan ambil Ayah saya seperti kemarin kamu ambil Tama ... Saya enggak tau akan gimana nantinya, saya enggak sekuat itu untuk menghadapi perpisahan yang tiba-tiba. Tuhan ... Tolong, ya? Kasih saya kesempatan untuk minta maaf kepada Ayah ...” pinta Haekal.

-Ara.

Kalau gambar suratnya gak jelas, langsung cek link ini ya : https://twitter.com/kejeffreyan/status/1460289767036227586?s=21