Terima kasih sudah bertahan, Jagoan.

Entah sudah berapa menit keduanya dikuasai oleh sepi, baik Haekal maupun Jovan sama-sama termenung setelah ruangan tersebut ditinggal oleh Hanna. Haekal hanya memperhatikan pintu ruangan tersebut terhitung sejak Hanna meninggalkannya, menatap kosong ke arah sana. Sedangkan Jovan, menatap Haekal penuh rasa khawatir dan juga bersalah, pun pikirannya ikut terbagi setelah melihat sendiri bagaimana sikap dingin Haekal kepada Hanna, yang Jovan yakini itu sangat menyakiti perasaan Hanna.

“Haekal?” Jovan akhirnya memilih untuk memulai obrolan dengan Haekal, mendengar panggilan itu, Haekal tersadar dari lamunannya dan memberikan atensinya kepada Jovan, tak lagi menatap kosong ke arah pintu ruangan tersebut.

“Merasa bersalah, ya?” Itu merupakan pertanyaan pertama yang diajukan oleh Jovan. Padahal, ada banyak sekali pertanyaan lainnya terkait kondisi Haekal yang sudah Jovan siapkan tadinya, namun, melihat bagaimana raut kesedihan dan kekecewaan Hanna ketika di usir tadi, dan melihat bagaimana raut penyesalan tergambar jelas di wajah Haekal, akhirnya Jovan memutuskan untuk bertanya prihal itu terlebih dulu.

“Maksud bapak?” Tanya Haekal berpura-pura tak paham pertanyaan Jovan, padahal, ia jelas mengerti yang dimaksud oleh Jovan barusan.

“Terlihat dari wajah kamu saat ini. Nanti minta maaf, ya, sama Mamah?” Tutur Jovan terasa lembut sekali. Haekal hanya diam berusaha tak menanggapi itu.

“Bapak kenapa kok bisa tau saya sudah sadar?” Bukannya merespon nasihat yang Jovan beri, Haekal malah berusaha membahas hal yang lain. “Dan, kenapa kok bisa punya akses masuk ke ruangan ini?” Sambungnya penasaran. Jovan tersenyum mendengar pertanyaan itu, ia paham, Haekal belum mau membahas kejadian barusan, sehingga Jovan memilih mengikuti alur perbincangan yang Haekal mau saja untuk saat ini. Digesernya bangku tersebut agar lebih dekat pada sisi ranjang Haekal, dan ia tatap kembali Haekal dengan sangat hangat.

“Bukan hal yang sulit bagi saya menembus akses rumah sakit ini, Haekal.” Jawabnya tenang, “Dan bukan hal yang sulit juga bagi saya untuk mengetahui perkembangan kamu.” Lanjutnya lagi. Haekal tak menjawab, masih mencoba mencerna maksud dari jawaban Jovan barusan.

“Sesulit apapun itu, saya lakukan, agar bisa tau segala hal tentang perkembangan kamu.”

“Kenapa, Pak?” Pertanyaan itu muncul karena Haekal sedikit tak mengerti dengan jawaban Jovan yang terkesan sangat berlebihan apabila diucapkan oleh seorang guru kepada siswanya.

Jovan diam, seakan tertampar oleh pertanyaan Haekal barusan, terpaksa sadar dengan realita, bahwa pada situasi saat ini wajar Haekal merasa aneh akan perhatiannya yang sudah sangat berlebihan. Ingin sekali rasanya ia memberitahu siapa sebenarnya dia kepada Haekal, namun Jovan sadar, itu hanya akan memperkeruh suasana untuk saat ini, belum tepat waktunya kalau harus membongkar semuanya sekarang.

“Karena...” Jovan menggantung ucapannya, nampak memikirkan terlebih dahulu alasan apa yang masuk akal, karena ia paham betul Haekal tipikal yang sangat memakai logika dan akal sehatnya, “Karena saya kan teman kamu.” Sambungnya berusaha tersenyum. Senyum yang beda dari sebelumnya, senyuman yang nampak terpaksa, dikarenakan sulit sekali baginya untuk berbohong kepada Haekal.

“Hahaha iya, Bapak dan Azalea kan teman terbaik yang saya punya.” Haekal terkekeh setelahnya, tak curiga sama sekali dengan senyum penuh paksaan dari Jovan.

“Karena saya Ayah kamu, Haekal.” Batin Jovan. Sakit rasanya apabila harus berpura-pura menjadi orang lain di depan anaknya sendiri, padahal rasanya ingin sekali Jovan memeluk Haekal saat ini, menyalurkan segela kehawatirannya selama beberapa hari ini menunggu kabar membaik dari Haekal, namun semua itu harus tertahan.

“Bapak bagaimana kabarnya?” Jovan tersadar dari lamunannya mendengar pertanyaan tersebut.

“Kamu nanya kabar saya?” Tanya Jovan seakan tak percaya, Haekal hanya mengangguk merespon pertanyaan tersebut, “Disaat kondisi kamu seperti sekarang? dengan luka lebam dimana-mana, dan perban dimana-mana?” Haekal terkekeh pelan mendengar itu.

“Sudah biasa, Pak, bukan laki-laki kalau enggak pernah babak belur gini.” Jawab Haekal dengan santainya, Jovan menggeleng tak percaya dengan jawaban tersebut.

“Biasa ya, Haekal? Biasa diambang mati, ya, kalau laki-laki?” Tanya Jovan sarkas.

“Saya lagi diomelin sama guru saya atau sama teman saya ya sekarang ini?” Mendengar respon tersebut Jovan tertawa, begitupun Haekal yang ikut tertawa karena Jovan yang ada di depannya saat ini sangatlah terlihat perhatian sekali terhadap kondisinya.

“Sakit?” Tanya Jovan setelah beberapa saat tertawa bersama Haekal, kali ini pertanyaannya terdengar serius, sehingga Haekal pun memutuskan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan serius juga.

“Lumayan,” Ada jeda yang Haekal beri sebelum melanjutkan jawabannya, “Tapi yang lebih sakit adalah harus menerima fakta kalau Tuhan beri saya kesempatan untuk hidup lagi, Pak.” Sambungnya tanpa ragu, nampak sekali keseriusan dari raut wajah Haekal, menandakan ia sedang tidak bergurau saat ini.

“Bagi kamu mungkin itu menyakitkan, tapi bagi orang lain, itu adalah anugrah, Haekal.” Jawab Jovan berusaha tenang, walau dalam hati kecilnya, jawaban tersebut teramat melukainya, melihat sang anak seperti sudah hilang keinginan untuk hidup. “Termasuk bagi saya.” Lanjut Jovan kemudian.

“Maksud bapak?” Haekal tak paham.

“Bagi saya Tuhan telah memberikan Anugrah yang luar biasa kepada saya karena masih memberikan kamu kesempatan untuk tetap hidup.” Masih Jovan merespon tenang, dengan tangan yang terulur untuk membenarkan posisi bantal Haekal, agar tak sakit punggung Haekal ketika bersandar.

“Bagi saya, bagi Azalea, bagi teman-teman geng kamu yang suka saya traktir soto di kantin,” Lanjut Jovan dengan senyuman hangat ciri khasnya, “Dan bagi Hanna, Mamah kamu.” Lanjutnya lagi. Haekal hanya menghela napasnya berat ketika mendengar nama Hanna, seperti berat sekali mendengar nama tersebut diucap.

“Kadang kita tuh gak sadar, kalau kita adalah alasan orang lain untuk tetap hidup, Haekal. Kita terlalu fokus dengan segala macam yang menyakiti kita, tanpa melihat, bahwa kita sangat berharga bagi orang lain.” Haekal hanya menunduk mendengar nasihat tersebut, padahal biasanya Haekal merupakan tipikal yang senantiasa melawan menggunakan logikanya apabila dinasehati oleh orang lain, yang bukan Ibunya.

“Bahkan yang terlihat menyakiti kita pun belum tentu pada faktanya seperti itu. Ada banyak sekali hal-hal yang gak kita ketahui, Haekal. Jadi, jangan terburu-buru untuk mengakhiri semuanya, masih banyak kesempatan, dan masih banyak fakta-fakta yang belum kamu ketahui. Dan yang terpenting, tetaplah hidup, untuk mereka yang menjadikan kamu alasan mereka untuk terus bertahan di dunia yang keji ini,” Haekal masih diam, tak memberikan respon apapun dengan pandangannya yang tertunduk saat ini.

“Pak,” Panggil Haekal pelan setelah beberapa saat hanya diam, perlahan ia mengangkat pandangannya dan menatap kosong ke depannya, “Tadi bapak tanya, kan, apa saya merasa sakit?” Jovan mengangguk, dan mendekatkan lagi kursinya agar bisa mendengar jawaban Haekal dengan sangat jelas.

“Sakit, Pak, sakit sekali. Saya sendirian saat itu, saya juga sedang kalut saat itu, tiba-tiba dihampiri banyak sekali siswa dari sekolah lain. Saya dipukuli, saya ditendang, saya dilempar dengan benda-benda yang saya gak tau apa aja itu. Saya gak diberi kesempatan untuk membela diri, meraka hajar saya sampai habis. Saya sendiri, Pak, gak ada yang menolong, mau minta bantuan juga gak bisa, Pak, saya benar-benar merasa akan mati konyol sendirian, Pak.” Ucap Haekal menjelaskan kejadian pada saat itu, Jovan lah orang pertama yang ia percayai untuk mendengarkan keterangannya, bahkan polisi pun belum mau ia temui untuk saat ini.

“Setelah berusaha beberapa kali bangkit dan melawan, saya merasakan tubuh saya lemas, Pak, saya benar-benar kehilangan tenaga, bahkan untuk tetap membuka mata saja rasanya sulit sekali. Sampai akhirnya saya pasrah, dan tak lama kemudian dunia terasa gelap.” Haekal lanjut bercerita, Haekal tak sadar bahwa lawan bicaranya itu nampak menahan emosi, ia tak melihat kepalan tangan dan rahang Jovan yang saat ini mengeras, menyalurkan emosi yang tak tertahan ketika mendengar penjelasan Haekal.

“Gelap, Pak, saya gak ingat apa-apa lagi, tapi ada satu yang bisa saya ingat, entah itu mimpi atau semacamnya, itu terasa nyata sekali bagi saya, Pak.” Sambung Haekal.

“Apa itu?” Tanya Jovan penasaran, sedikit mereda kekesalannya terhadap gerombolan siswa yang sudah mengeroyok Haekal.

“Saya ingat sekali rasa hangat saat berada di pelukan orang yang wajahnya gak bisa saya lihat dengan jelas, Pak. Entah kenapa, saya gak bisa lihat wajah orang itu, yang saya ingat dia laki-laki, dengan perawakan seperti bapak, menghampiri saya dan memeluk saya.” Jawab Haekal menjelaskan.

“Sampai saat ini, saya percaya bahwa itu adalah Ayah saya yang sudah meninggal, Pak. Mungkin Tuhan pertemukan saya dengan beliau dikeadaan saya yang sedang kritis, enggak rasional, sih, tapi, saya sangat yakin dengan itu.” Sambung Haekal, kali ini ia mengarahkan pandangannya kepada Jovan, terlihat amat serius menceritakan pengalamannya selama tak sadarkan diri.

Jovan diam, tubuhnya terasa kaku, mendengar cerita Haekal barusan. Ayah yang sudah meninggal ucap Haekal polos, tanpa tahu bahwa pria yang duduk di sampingnya saat ini adalah Ayahnya, yang masih hidup di dunia, dan belum meninggal. Hancur rasanya hati Jovan mendengar cerita tersebut, dianggap mati oleh anaknya sendiri.

“Saya datang ke arah laki-laki itu, Pak, berharap itu adalah Ayah, dan berharap apabila saya datang menghampiri Ayah, saya juga akan ikut pergi dari Dunia ini. Saya peluk Ayah erat, saya rasakan hangat yang sangat menenangkan ketika berada di pelukan Ayah, dan saya pejamkan mata saya, berharap saya ikut dengan Ayah saat itu juga. Namun, sayang, setelahnya yang saya ingat malah bau khas rumah sakit, dan suster yang memanggil-manggil nama saya. Ternyata saya masih hidup setelahnya.” Kali ini Haekal menyelesaikan ceritanya, dan menghela napasnya, menandakan ia kecewa dengan akhir cerita yang tak sejalan dengan harapannya.

“Eh?” Haekal sedikit kaget melihat Jovan yang saat ini menatap kosong kearahnya, “Bapak dengar saya, kan?” Tanya Haekal memastikan.

“Bapak dengar, Haekal.” Balas Jovan berusaha terlihat biasa saja di depan Haekal saat ini, “Bagaimana? senang, kan? setidaknya kamu udah merasakan hangatnya pelukan Ayah kamu...” Sambungnya ragu, Haekal hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga bingung harus senang atau malah kecewa.

“Maaf...” Lirih Jovan kemudian, Haekal menatap heran ke arah Jovan yang tiba-tiba meminta maaf kepadanya.

“Untuk?”

“Maaf, karena bapak gak bisa lindungi kamu saat itu. Maaf bapak gagal lindungi kamu dari orang-orang jahat. Maaf karena bapak gak mampu jadi rumah disaat kamu merasa kalut sebelum kejadian penyerangan, Maaf bapak selalu telat, Haekal...” Ucap Jovan penuh penyesalan, Haekal sebenarnya bingung, namun, entah mengapa Haekal bisa rasakan ketulusan dari permintaan maaf itu, seolah-olah melindungi Haekal merupakan kewajiban yang harus Jovan lakukan.

“Maafkan Bapak, Haekal,” Kali ini Jovan mengusap bahu Haekal pelan, teramat pelan, sangat berhati-hati khawatir usapan tersebut malah mengenai bagian yang terluka dari tubuh Haekal.

“Maafkan Ayah, Nak...” Sudah pasti ini tak terucap, hanya batin Jovan saja yang berteriak meminta maaf layaknya seorang Ayah kepada anak laki-lakinya.

“Bapak enggak perlu minta maaf, bukan salah Bapak.”

“Ke depannya saya akan jaga kamu sebagaimana saya menjaga Azalea, Haekal.” Tutur Jovan bersungguh-sungguh, menatap lekat Haekal penuh keseriusan.

“Tapi, kenapa?”

“Karena kamu anak kandung saya satu-satunya.” Batin Jovan menjawab duluan, “Karena kamu teman saya, teman itu harus saling melindungi, bukan begitu?” Jawab Jovan dengan senyumnya, walau dalam hatinya meringis ketika menyatakan mereka hanya sekedar 'Teman'.

Haekal tersenyum mendengar itu, entah mengapa ia merasa tenang dan nyaman ketika berada di dekat Jovan, yang ia tahu, mungkin ini rasanya menemukan teman sejati dalam hidupnya.

“Bapak teman terbaik saya.” Ungkap Haekal setelahnya, Jovan tersenyum tipis mendengar itu, di dalam hati meringis.

“Haekal,” Panggil Jovan setelah beberapa saat diam dan hanya mendengarkan jarum jam di dinding yang terus-terusan berbunyi, Haekal menoleh dan berdeham pelan merespon panggilan tersebut, “Boleh saya peluk kamu?” Tanya Jovan ragu, mata Haekal terbuka sedikit lebih lebar mendengar permintaan tersebut, sempat ia diam sejenak dan tak menjawab Jovan, namun setelahnya ia mengangguk pelan, memberi persetujuan.

“Pelukan persahabatan? Haha.” Kekeh Haekal pelan, namun detik kemudian Jovan segera memeluknya, tanpa menanggapi candaan Haekal barusan.

Haekal terdiam, napasnya tercekat, matanya kembali membulat besar ketika merasakan pelukan tersebut. Pelukan yang terasa hangat, sama persis rasanya ketika sosok yang tak ia kenal memeluknya di dalam mimpi, Haekal seperti ditarik lagi pada mimpi tersebut.

Tak lama kemudian, Haekal merasakan bajunya sedikit basah, ia terkejut ketika menyadari Jovan yang sedang menangis sembari memeluknya. “Pak?” Panggil Haekal ragu.

“Terima kasih, Haekal...” Ucap Jovan, terdengar sengau di telinga Haekal, membuktikan bahwa Jovan benar-benar menitihkan air matanya saat ini. “Terima kasih sudah bertahan, terima kasih sudah tidak menyerah, dan memilih memeluk orang yang kamu tidak kenal di dalam mimpi itu.” Haekal memilih diam, mendengarkan apa yang ingin Jovan ucap, tanpa sedikitpun menginterupsi perkataan Jovan dengan berbagai macam pertanyaannya.

Haekal memilih menutup matanya, dan merasakan kehangatan dari pelukan Jovan, merasakan betapa miripnya pelukan itu dengan pelukan dari sosok Ayah yang Haekal mimpikan.

“Terima kasih sudah bertahan, Jagoan.” Ucap Jovan lagi. Ketika hendak melepaskan pelukan tersebut, Jovan seperti ditahan oleh Haekal, agar tetap memeluknya.

“Pak,” Kali ini Haekal yang memanggil Jovan.

“Iya, Nak?”

“Hangat, seperti pelukan Ayah. Boleh saya merasakannya semenit lagi?” Tutur Haekal pelan.

Jovan kembali menitihkan air matanya, dan memeluk Haekal lebih erat. Dua kali Haekal berucap kalau pelukan Jovan terasa hangat seperti pelukan seorang Ayah. Kali pertama disaat Haekal kehujanan dan datang ke rumahnya, namun saat itu Jovan belum mengetahui faktanya. Dan kali kedua saat ini, saat Jovan sudah mengetahui faktanya. Rasanya amat perih, menerima kenyataan bahwa sang anak sangat mendambakan pelukan hangat seorang Ayah, rasanya teramat sakit ketika sang Anak menganggap bahwa ia sudah tiada di dunia, rasanya teramat pedih menahan diri untuk tidak memberitahu fakta dan berpura-pura menjadi teman yang baik bagi Haekal.

“Sama Haekal, saya juga merasakan yang sama. Hangat, seperti sedang memeluk anak laki-laki kebanggaan saya.”


IMG-20210820-WA0058

-Ara.