Terluka dan tak punya kuasa

Dengan sangat gusar Jovan melangkahkan kakinya memasuki Kafe milik Jay, motor yang digunakannnya terparkir tak rapih karena sang pemilik nampaknya sudah sangat tak sabar bertemu Pria yang selama ini ia cari-cari.

Tangan Jovan sudah mengepal keras, begitupun rahangnya yang nampak begitu tajam saat ini, kobaran amarah nampak sekali dari tatapan elangnya, mencari-cari sosok yang sedari dulu ingin ia temui.

Betul saja, sosok itu- Tama Erlangga, sedang duduk dengan pandangan tertunduk disalah satu kursi bersama dengan Jay, dan juga Hanna. Seolah sudah terlanjur emosi, Jovan tak menghiraukan kehadiran Hanna di Kafe ini, matanya hanya terfokus kepada Tama saja, dan langkah kakinya semakin cepat menghampiri Tama.

BUG

Satu pukulan dengan sempurna melayang mengenai sudut bibir Tama, tak lain dan tak bukan Jovanlah pelakunya. Pukulan itu berhasil membuat Tama terjatuh dari kursi yang ia duduki, ia meringis kesakitan akibat pukulan itu.

Jovan tak mau berhenti sampai disitu, ditariknya kerah baju Tama, ditatapnya tajam kedua mata Tama, “Kemana aja kamu, bangsat?!” Tanya Jovan penuh emosi. Jovan benar-benar sudah gelap dengan amarahnya, ia sampai-sampai tak menyadari ada Hanna yang saat ini sedang menutup matanya, tak mau melihat Jovan kembali memukuli Tama.

“Jo, saya jelasin, Jo,” jawab Tama terbata-bata, ia sangat takut melihat Jovan yang sudah lepas kendali, bahkan Tama sendiri sempat berpikir, mungkin inilah takdirnya, mati di tangan Jovan sebelum mengakui.

“Halah! Alasan sampah!” hardik Jovan, baru saja ia hendak memukuli Tama lagi, tangannya terhenti kala Jay menarik Jovan agar menjauh.

“Lepasin, Jay.” tolak Jovan tak terima saat Jay menahannya.

“Tahan emosi lo, Jo, ada Hanna. Buka mata lo, liat Hanna udah ketakutan gitu.” ucap Jay dengan berbisik, berusaha menyadarkan Jovan yang sudah kalap dengan emosi. Kepalan tangan yang mengeras itu, perlahan melemah, dilihat Jovan ke samping kanan, benar saja, ada Hanna yang sedang mengalihkan pandangannya, nampak tak nyaman dengan yang barusan terjadi.

Walau sebenarnya masih besar hasrat Jovan untuk kembali memukuli Tama, ia coba untuk menahan itu, dan perlahan memundurkan langkahnya, menduduki dirinya pada kursi yang terdapat di samping Hanna.

Jay sedikit lega melihat Jovan yang mulai tenang, setelahnya ia menghampiri Tama yang masih dalam keadaan terjatuh, dan meringis memegangi sudut bibirnya yang terkena pukulan Jovan. Jay segera membantu Tama untuk duduk kembali, kemudian ia pun duduk di kursi samping Tama, antispasi apabila Jovan kembali terpancing emosi. Sebenarnya bukan tak mau Jay ikut memukuli Tama, namun kehadiran Hanna yang menjadi pertimbangan Jay, khawatir Hanna tak nyaman dan malah pergi karena tak tahan.

keempat orang dewasa itu sudah duduk, dengan meja bundar di depan mereka. Kafe sengaja Jay tutup, agar pembahasan penting kali ini tak ada gangguan sedikitpun.

“Ini sebenarnya ada apa, sih?” Karena tak tahan, akhirnya Hanna yang angkat bicara. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, bahkan ia tak menyangka Tama turut mengundang Jovan. Ditambah lagi dengan Jovan yang langsung menghajar Tama, seperti sudah tak mampu menahan emosinya lagi.

Jovan memilih diam, karena tiap kali ia melihat wajah Tama, yang akan keluar hanyalah makian dari mulutnya saja.

“Gini, Na, Tama tiba-tiba dateng ke Kafe gue, terus minta ketemu sama kalian berdua. Selebihnya gue serahin ke Tama, deh, buat jelasin detailnya ke kalian berdua.” Jay berusaha menjadi penengah pada obrolan serius kali ini.

“Ada apa, Mas Tama?” tanya Hanna langsung, meminta Tama segera menjelaskan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Bicara, Tama.” geram Jovan, walau suaranya tak selantang tadi, tetap saja dari nada bicaranya ia berusaha menahan emosi.

“Maaf ...” tutur Tama pelan, pandangannya saat ini hanya bisa menunduk saja, tak mampu membalas tatapan Jovan yang tajam, dan juga Hanna yang menatapnya penuh kebingungan.

“Jelasin semuanya, Tama, saya bahkan enggak perlu dengar permintaan maaf kamu.” timpal Jovan tak tahan, kepalan tangannya di atas meja nampak kembali mengepal keras.

Namun sesaat Jovan merasa kaget, saat lembut jemari Hanna memegangi kepalan tangannya itu, walau hanya beberapa detik saja, itu mampu membuat Jovan tak berkutik lagi, “Tahan emosi, enggak akan selesai penjelasan Mas Tama kalau kamu emosi terus.” ucap Hanna pelan.

“Maaf untuk apa?” lanjut Hanna berusaha tenang, agar Tama tak ragu melanjutkan perkataannya yang menggantung barusan.

“Semua salah saya,” ucap Tama penuh sesal, yang tadinya tak berani menatap Jovan dan Hanna, kali ini pandangannya mulai naik untuk memperlihatkan betapa menyesalnya ia saat ini. “Trauma Hanna, Haekal yang tumbuh tanpa kenal rasa, kelamnya dunia Jovan ... semua salah saya.” lanjut Tama lagi, matanya mulai memerah, dahinya ikut berkerut, memperlihatkan penyesalan yang benar-benar mendalam.

“Maksud Mas Tama?”

“Saya enggak amanah, Na, saya enggak menyampaikan surat yang Jovan kasih untuk kamu.” lanjut Tama menjelaskan, Hanna semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi setelah mendengar pengakuan itu.

“Mas Tama waktu itu kasih surat ke saya, kok, yang isinya si brengsek ini memilih pergi dan menyuruh saya melupakan semua yang pernah kami rencanakan.” sanggah Hanna, napas Jovan tercekat saat mendengar panggilan “Si Brengsek” ditujukan untuknya.

“Na, saya yang lebih pantas kamu panggil 'Si Brengsek', bukan Jovan.” Tama kembali menaggapi, “Si Brengsek ini, Na, yang bikin hubungan kalian hancur.”

“Surat yang saya kasih waktu itu, benar dari Jovan. Tapi itu hanyalah surat palsu yang enggak perlu disampaikan ke kamu. Jovan menuliskan dua surat, surat yang kamu terima itu, Jovan tulis di depan orang tua kamu dengan ancaman dari mereka. Dan satunya lagi Jovan tulis setelah menemui orang tua kamu. Kedua surat itu sangat berbeda isinya, Na-”

“Sebentar, maksud kamu, ada surat yang belum tersampaikan untuk saya?”

“Iya, surat kedua, masih belum saya sampaikan hingga sekarang.” Tama mengakui, Jay meringis saat mendengar kejujuran itu, wajar saja Hanna sangat membenci Jovan, karena isi surat yang Hanna terima hanyalah rangkaian kata sampah yang didikte oleh orang tua Hanna sendiri.

Hanna diam seribu bahasa, pandangannya saat ini menatap kosong ke arah Tama, otaknya masih mencoba memproses pengakuan yang barusan ia dengar.

“Cuma kamu yang bisa saya harapkan saat itu, Tama. Dengan bodohnya saya mempercayakan surat kedua itu kepada kamu, dengan harapan Hanna menerima, dan mau ikut dengan saya untuk mempertahankan janin kami hingga lahir,” Jovan kembali angkat suara, meluapkan kekecewaannya selama ini.

“Hanna, sore itu, saya tunggu kamu di warung kue balok langganan kita, saya bawa baju-baju saya, saya bawa uang hasil dari dijualnya motor Jay, untuk kita mempertahankan janin kita nantinya. Tapi kamu enggak pernah datang, Na.” Sambung Jovan, Hanna masih tak mampu berbicara, ia masih tak menyangka seperti itu kejadian sebenarnya.

“Saya kira kamu enggak mau diajak hidup sederhana, Na, sehingga kamu lebih memilih untuk enggak ikut dengan saya.” Hanna menggeleng saat mendengar itu.

“Kenapa ... Kenapa Mas? Kenapa Mas lakuin itu?” Pelan sekali Hanna bertanya, tetap dengan pandangannya yang masih terlihat kosong menatap ke depan.

“Maaf, Na ... Maaf ...”

“Kenapa?!” teriak Hanna kali ini, Tama hanya mampu memejamkan matanya saat mendengar teriakan itu, “Kenapa kamu enggak kasih suratnya? Seandainya saya terima surat itu, mungkin hidup saya dan Haekal enggak akan semenyakitkan sekarang, Mas Tama!”

“Na, saya enggak berani jadi orang baik setelah kejadian itu, lebih tepatnya saya enggak punya kuasa untuk menjadi orang baik bagi hubungan kalian. Hanna, orang tua kamu benar-benar tegas menolak Jovan, bahkan, saya juga ikut diancam. Sulit rasanya saat itu untuk berontak, kamu tau 'kan, Na, kalau perusahaan keluarga saya enggak akan bisa berdiri tanpa bantuan kedua orang tua kamu.”

“Saya mau bantu Jovan, tapi, kalau saya bantu Jovan, sudah dipastikan keluarga saya yang akan dibuat hancur oleh orang tua kamu. Sulit rasanya memilih untuk menjadi orang baik, atau malah menjadi orang jahat saat itu, Jo, Na. Sama seperti Jovan, saya juga enggak punya kuasa untuk melawan orang tua Hanna, saya hanya bisa mengikuti perintah dengan berbagai macam ancaman yang buruk jika saya menolak perintah tersebut.”

“Saya kira setelah orang tua Hanna meninggal, saya bisa kasih tau fakta ini, tapi sayang, sampai saat ini saya masih diawasi oleh Pak Wisnu, Om Hanna. Bukan hanya prihal surat, bahkan langkah dari perusahaan saya saja harus berdasarkan perintah Pak Wisnu. Sampai detik ini, saya masih belum punya kuasa, Na, Jo, namun hari ini saya memutuskan untuk mengakhiri kesalahan saya selama ini kepada kalian. Saya sudah sangat lelah dijadikan boneka oleh keluarga Hanasta, saya hidup, tapi enggak bebas melakukan segala hal yang saya inginkan.”

Hanna sungguh dibuat tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar penjelasan panjang dari Tama, memang Hanna sudah mengetahui kedua orang tuanya itu sangat lah tegas dengan segala hal yang dapat mencoreng nama perusahaan, namun, Hanna tak pernah menyangka kedua orang tuanya sudah sangat kejam dan melewati batas hanya demi citra perusahaan saja, sampai-sampai mereka tega mengancam Jovan dan juga Tama saat itu.

“Apa kamu pernah pikirkan nasib saya, Hanna, dan Haekal, Tam? Hidup kamu penuh dengan harta 'kan setelah memilih menjadi orang jahat? Pernah gak sekali saja terbesit rasa penyesalan sampai untuk bernapas aja rasanya sulit.” tanya Jovan menanggapi, “Karena ... selama tujuh belas tahun ini, saya sering sekali merasa dunia gak adil, sekaligus merasa bersalah karena telah gagal bertanggung jawab, sampai rasanya napas saya tercekat setiap kali ingatan tentang Hanna datang menghampiri.” sambung Jovan, sangat emosional sekali, bahkan genangan air mata mulai nampak di pelupuk matanya saat ini.

“Jo ... Hidup saya enggak seindah yang kamu bayangkan. Setiap kali lihat Hanna, dan lihat Haekal, saya merasa menjadi manusia paling berdosa karena sudah ikut berkontribusi membuat kehidupan mereka menjadi sekusut ini.” jawab Tama yang sudah terlebih dahulu menitihkan air mata nya selama penjelasan panjang tadi.

Tangan Tama merogoh isi tas yang ia bawa, ia mengeluarkan kotak kecil berisikan obat-obatan, memperlihatkan kapsul-kapsul obat itu kepada Hanna, Jovan dan Jay.

“Semenjak kejadian itu, saya enggak bisa tidur, Jo, Na, rasa bersalah selalu menghantui saya. Sampai-sampai saya harus meminum obat ini agar bisa tidur walau hanya sebentar.”

“Demi Tuhan, sikap baik saya selama ini kepada Haekal, bukan karena ingin mendekati Hanna, dan mencoba mengambil hati Hanna. Semua ini saya lakukan, karena rasa bersalah saya kepada Haekal. Saya yang menyebabkan Haekal tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ayah, jadi, sebisa mungkin saya memberikan yang terbaik untuk Haekal untuk menebus kesalahan saya.”

“Tiap hari rasanya disiksa oleh rasa bersalah saya, Jo, Na, hidup saya enggak tenang. Haekal semakin besar, ulah saya di masa lalu semakin berdampak juga untuk pertumbuhan dia. Tiap kali saya melihat Haekal yang enggak kenal rasa, saya selalu menyalahkan diri sendiri. Saya selalu berusaha mengajarkan Haekal banyak hal, namun enggak pernah berhasil, karena sampai kapanpun saya enggak akan bisa menggantikan posisi Jovan yang kosong selama ini untuk mendidik Haekal.”

“Diam, Tama.” ucap Hanna pelan, kali pertama baginya memanggil Tama tanpa embel-embel 'Mas' seperti biasanya. Hanna saat ini hanya menatap datar kepada Tama, “Saya semakin benci tiap kali bibir kamu mengucapkan penyesala, yang bahkan enggak bisa membalikkan keadaan saya dan Haekal.” lanjut Hanna, walau sangat tenang sekali dari nada bicaranya, namun kalimat barusan berhasil menusuk hati Tama.

“Selamat, kamu berhasil ikut berkontribusi menghancurkan kehidupan saya dan Haekal. Saya harap kita enggak akan pernah bertemu lagi. Tolong singkirkan wajah kamu itu tiap kali melihat saya.” ucap Hanna lagi, setelahnya ia bersiap untuk beranjak pergi dari tempat itu.

“Na, tolong bantu saya ...” pinta Tama menahan Hanna yang hendak pergi, “Saya diancam mati, Na, bantu saya lepas dari Pak Wisnu, Na.” Lanjut Tama lagi.

“Kamu yang masuk perangkap lingkaran setan orang tua saya dan Om Wisnu 'kan? Jadi, silahkan tanggung resikonya sendiri. Saya enggak akan mau membantu kamu, bahkan sedikitpun.” jawab Hanna tegas.

“Bukan hanya saya, Na, bahkan kamu juga ingin dibuat mati oleh Pak Wisnu, jadi tolong-”

BUG

Satu pukulan kembali mendarat mengenai wajah Tama saat belum sempat menyelesaikan ucapannya. Jovan kembali terpancing emosinya saat mendengar potongan kalimat Tama barusan yang terkesan menakut-nakuti Hanna.

“Jo ... Tolong ...”

BUG

Tanpa mau mendengar ucapan Tama lagi, Jovan kembali memukuli Tama. Selanjutnya ia tarik kerah baju Tama, agar bisa bangkit untuk kembali dipukuli lagi.

“Kamu, Wisnu, semua yang ada di lingkaran setan itu yang akan saya buat mati. Jangan pernah berani menyentuh Hanna dan Haekal lagi, karena kali ini saya enggak akan tinggal diam, bangsat!” bentak Jovan kepada Tama yang sudah terkulai lemas akibat terus-terusan dipukuli.

“Jo, udah.” Seru Jay berusaha melerai, namun Jovan menepis tangan Jay segera, menolak untuk berhenti memukuli Tama.

“Bahkan puluhan pukulan belum sebanding dengan hancurnya hidup saya, Hanna dan Haekal.” tutur Jovan, kemudian kakinya menendang kesal Tama yang sudah terjatuh lemas di lantai Kafe milik Jay.

“Jo ...” Panggil Hanna, berusaha menghentikan Jovan yang masih saja menghajar Tama, walau Hanna juga membenci Tama, namun Hanna tak mampu melihat Tama dipukuli habis-habisan oleh Jovan yang termakan emosi.

Jovan tak mendengar panggilan Hanna barusan, ia masih saja berusaha untuk kembali menghajar Tama, meluapkan emosinya selama bertahun-tahun ini.

“Kak Jo!” teriak Hanna tak tahan lagi, teriakan itu berhasil menghentikan Jovan yang berniat akan memukuli wajah Tama yang entah untuk keberapa kalinya lagi.

Hanna berjalan ragu, menghampiri Jovan yang masih memegangi kerah baju Tama, perlahan Hanna mengusap bahu Jovan, “Sudah, ya?” tuturnya pelan, hanya dari mata sendu dan tutur lembut itu, amarah Jovan perlahan meluruh. Tangannya perlahan terlepas dari kera baju Tama yang sudah tak karuan itu, mata tajam penuh dendamnya perlahan hilang digantikan tatapan lembut penuh penyesalan kepada Hanna.

“Maaf, Na ...” sesal Jovan pada akhirnya. Tanpa diduga, Hanna kembali memegangi lengan Jovan, seolah menarik agar Jovan mengikuti langkahnya pergi meninggalkan Kafe ini, Jovan yang terkejut dengan itu, hanya bisa mengikuti langkah kaki Hanna yang membawanya pergi.

“Mukulin dia sampai mati pun enggak bisa merubah apa yang udah terjadi,” ucap Hanna saat membuka pintu Kafe itu, Jovan hanya diam, tak menjawab sedikitpun, masih mengikuti langkah kaki Hanna menuju mobilnya yang terparkir.

Saat sudah sampai tepat di samping mobil putih milik Hanna, dengan segera Hanna melepaskan tangan Jovan, dan memberikan kunci mobilnya kepada Jovan.

“Maksudnya, Na?” tanya Jovan kebingungan, namun jemarinya ikut terulur menerima kunci mobil itu.

“Tanggung jawab,” jawab Hanna singkat, Jovan masih tak mengerti dengan maksud jawaban Hanna barusan. “Kamu sudah hajar orang berkali-kali di depan saya hari ini, bikin saya lemas, dan gak sanggup nyetir sendiri. Tanggung jawab.” lanjut Hanna, menjelaskan maksud dari perkatannya barusan.

Jovan hanya menatap lekat kedua manik indah milik Hanna, dan seulas senyum tipis tersungging dari bibir Jovan saat mendengar ucapan barusan, “Kamu khawatir dia mati di tangan saya, ya?”

“Enggak, saya enggak peduli sama kalian berdua.”

“Pasti karena kamu tau kalau saya masih ada di dalam Kafe itu, maka bisa aja saya hajar si brengsek itu sampai gak bernyawa. Makanya kamu tarik saya, dan minta saya antarin kamu pulang, iya 'kan?” Hanna tak menjawab, ia hanya berlalu dan memasuki mobilnya, duduk di kursi depan penumpang.

Jovan tersenyum kecil melihat tingkah itu, walau hasratnya untuk menghajar Tama masih tinggi, namun Hanna berhasil membuat emosinya meluruh untuk saat ini. Segera Jovan masuk ke dalam mobil, untuk menyetir mobil tersebut, sesuai dengan perintah dari Hanna kepadanya.


Tak begitu lama perjalanan pulang menuju rumah Hanna, hanya sekitar 15 menit saja, mobil putih milik Hanna sudah berhenti tepat di depan rumah besar milik keluarga Hanasta. Mobil sudah berhenti, namun kedua orang yang berada di dalamnya masih saling diam, tak ada obrolan dan tak ada pamit yang seharusnya diucapkan apabila sudah sampai ke tempat tujuan.

Seakan masing-masing dari keduanya masih berusaha mencerna apa yang barusan mereka lewati, fakta besar yang selama ini disembunyikan dengan apik oleh Tama, yang menjadi awal mula kedua mantan sejoli ini menyimpan kecewa mendalam terhadap satu sama lain. Prihal Hanna yang belasan tahun hidup dengan trauma dan kecewa akibat ditinggal sang kasih, dan prihal Jovan yang belasan tahun menyesali status sosial keluarganya yang membuat Hanna enggan hidup bersamanya.

“Apa isinya?” tanya Hanna, memecahkan kesunyian di antara keduanya.

Jovan berdeham, dan menoleh ke arah Hanna, meminta Hanna mengulangi pertanyaannya yang masih belum Jovan mengerti.

“Isi dari surat yang enggak Tama sampaikan.”

Tak segera menjawab, Jovan hanya menyenderkan kepalanya di kursi mobil itu, mencoba menghela napasnya yang terasa berat untuk saat ini.

“Ajakan hidup bersama, Na.” jawab Jovan singkat, Hanna nampak tak puas dengan jawaban singkat itu, membuatnya dengan terpaksa balik menatap Jovan yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

“di surat itu, saya meminta kamu memilih, Na. Memilih datang ke warung kue balok langganan kita apabila mau pergi bersama saya untuk melawan restu dari orang tuamu demi menyelamatkan janin kita. Atau enggak datang, dan mengikuti kemauan orang tuamu yang enggak mau janin itu tetap hidup dan dilahirkan.”

“Sengaja, Na, saya tulis dengan berbeda surat pertama yang disuruh orang tuamu itu, dengan harapan kamu menyadari ada yang berbeda dari surat saya yang sebelumnya. Sengaja saya enggak kasih tanggal di atas surat itu, sengaja juga enggak saya kasih salam hangat yang biasa saya tulis di awal kalimat surat untuk kamu, dan dengan sengaja juga saya tulisakan nama Jovan di surat itu, yang padahal biasanya saya selalu menuliskan Jo di akhir surat untuk kamu. Saya kira kamu bisa membedakan itu, Na, apabila sesuatu yang buruk terjadi dengan surat kedua yang ada di tangan Tama, tapi ternyata enggak.” ujar Jovan menjelaskan kepada Hanna.

“Esok harinya setelah kamu temui saya di kantin fakultas, saya langsung menemui orang tua kamu. Kamu enggak ada di rumah saat itu, sedang ke klinik kandungan saat itu Ibu kamu kasih tau.” Jovan kembali melanjutkan ceritanya, kali pertama Hanna memberikan Jovan kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Pertanyaan pertama yang dilontarkan Ibu dan Ayah kamu adalah, berapa banyak perusahaan yang keluarga saya miliki. Saat itu juga saya kaku, Na, jangankan perusahaan, mobil saja kami enggak punya. Saya hanyalah anak pensiunan pegawai negri, bukan dari golongan atas seperti kamu yang punya banyak sekali saham dan perusahaan.”

“Saat itu juga saya ditertawakan oleh orang tua kamu, namun, saya enggak peduli, saya masih kukuh untuk meminta izin menikahi kamu, dan bertanggung jawab penuh nantinya terhadap kamu. Tapi, tawa meremehkan dari kedua orang tua kamu seketika berubah menjadi caci maki, sumpah serapah yang sangat menyakitkan hati. Kata mereka, orang miskin seperti saya tidak pantas menjadi suami dari keturunan Hanasta. Kata mereka, saya hanya akan menjadi sampah nantinya, yang akan merusak citra harum milik keluarga Hanasta ...” Jovan kemudian berhenti, karena sakit yang ia rasa ketika dihina habis-habisan saat itu masih terasa hingga saat ini.

Hanna menunduk dalam-dalam, benar-benar malu dengan tindakan keji kedua orang tuanya dulu.

“Ancaman juga enggak lupa meraka ucapkan, mengancam keluarga saya mati, hidup saya hancur selamanya, wah ... Saya bahkan enggak sanggup untuk mengingat ancaman lainnya. Sampai akhirnya saya dipaksa untuk membuat surat yang berisikan pesan tak bertanggung jawab, yang saat itu kamu terima. Hancur, Na, hati saya saat menulis surat itu.”

“Tapi, Na, saya masih belum menyerah saat itu. Dengan nekatnya saya memilih untuk membawa kamu pergi dari rumah itu, hidup berdua sementara sampai anak kita lahir, prihal restu, mungkin saja bisa menyusul. Saya berikan surat itu kepada Tama, dan ternyata ... sampai saat ini surat itu enggak sampai kepada kamu. Yang kamu terima hanyalah surat yang di dikte orang tua kamu, sehingga kamu sangat membenci saya yang dibuat sangat pengecut di surat itu.”

“Gagal semuanya, hancur semuanya. Cinta saya, hidup saya, semuanya hancur enggak berbentuk lagi. Dan juga kamu, kamu dengan trauma yang membuat diri kamu berubah menjadi sosok yang dingin, bahkan kepada anak kita, Haekal.” ucap Jovan mengakhiri ceritanya. Hawa dingin di dalam mobil semakin terasa kala pembahasan serius itu mereka bicarakan. Luka-luka lama yang keduanya simpan selama ini, kembali terasa saat fakta yang sebenarnya mulai terungkap.

“Sudah terjadi ...” gumam Hanna pelan, bahkan sangat pelan sekali, “Enggak akan pernah bisa diulang lagi ... semuanya udah terlanjur hancur 'kan? Kamu, saya, Haekal, kita sama-sama hancur, enggak bisa diputar lagi waktunya.”

“Izinkan saya perbaiki yang sudah hancur, Na. Memang betul, enggak akan bisa untuk kita mengulang waktu, tapi, bukan kah kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki dan menyembuhkan satu sama lain?” pinta Jovan.

Hanna hanya menggeleng pelan, ia masih belum bisa untuk menerima Jovan lagi. Lukanya sudah terlalu dalam, kecewanya pun sudah sangat membekas, sehingga tiap kali melihat Jovan, hanyalah sakit yang hatinya rasa.

“Na ... Please ...” mohon Jovan tak berhenti, Hanna masih saja menggeleng, tak bisa mengikuti permohonan tersebut.

“Sudah larut, saya mau masuk ke rumah. Tolong kasihkan kunci mobil ini ke Mas Adi yang ada di pos security.” Hanna malah pamit, seperti tak mau mendengar lagi permohonan Jovan untuk mengajaknya kembali bersama.

“Sudah pergi semuanya, Na ...” ucapan itu menghentikan Hanna yang baru saja hendak membuka pintu mobilnya. “Kakak dipecat tanpa sebab dari salah satu anak perusahaan milik keluarga kamu. Setelah itu, Kakak saya ditolak semua perusahaan yang ada, sampai-sampai keluarga kami kehilangan satu-satunya tulang punggung yang ada. Ayah saya yang harus rutin menjalani pengobatan, terpaksa berhenti karena enggak ada biaya, sampai akhirnya Ayah meninggal, Na.”

“Tentu saya sangat terpukul saat itu. Tapi ternyata masih belum selesai, Na, Kakak cerai dengan suaminya saat sedang hamil, semuanya hancur, ekonomi kami semakin turun, Kakak masih aja ditolak tanpa sebab dari semua perusahaan yang ada. Sampai akhirnya, Kakak menyerah, Na. Tepat 6 bulan kehamilan Kakak saya, dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Hancur, Na, hancur sekali rasanya. Berawal dari cinta saya yang enggak mempertimbangkan kasta, berujung se-tragis itu terhadap kehidupan saya.”

“Masih belum juga selesai, Na, walau hasrat ingin menyusul Ayah dan Kakak kerap kali menghampiri saya, namun saya coba tahan. Dua alasan saya untuk tetap hidup, Na, pertama, Ibu saya yang tinggal sendiri, dan anak yang sedang kamu kandung. Tapi sayang, Na, beberapa tahun kemudian, kamu muncul ke permukaan, memberi pengkuan bahwa kamu hidup sebatang kara setelah meninggalnya orang tua kamu. Persis seperti petir yang menyambar, Na, saya benar-benar terpukul saat mengetahui itu. Itu awal dari penyesalan terbesar saya, saya merasa bersalah karena enggak mampu menyelamatkan bayi kita, Na.”

“Ayah, Kakak, Keponakan yang bahkan belum lahir, ditambah lagi kesimpulan yang saya ambil ketika kamu mengaku lajang dan hidup sendiri, tanpa ada anak yang menemani. Rasanya saat itu juga saya mau mati, Na. Tapi Tuhan berikan Azalea untuk saya, setidaknya sebagai perantara untuk saya tetap hidup dan menebus dosa kepada anak yang selama ini saya kira sudah mati.”

“Sudah banyak kehilangan yang saya lewati, Na. Dan saat ini, satu per satu kebenaran terungkap, jadi, tolong, Na, tolong ... Bantu saya untuk sekali saja merasa memiliki buah hati, dan cinta kasih selayaknya orang-orang di luar sana. Saya lelah, Na, lelah sekali apabila harus dihadapi oleh kehilangan lagi.”

Malam itu, Jovan berhasil menumpahkan semuanya kepada Hanna, rasa sedih, kehilangan, bahkan kecewanya. Berharap Hanna mau mengerti dengan posisi Jovan yang selama ini tak kalah berat dari Hanna. Untuk pertama kalinya Hanna membiarkan Jovan berbicara tanpa sedikitpun interupsi, mendengarkan segala macam pengakuan yang Jovan ucap, tanpa ada perdebatan dan celetukan sinis seperti sebelumnya.

Mereka semua terluka dengan cara masing-masing, si Puan yang merasa dikhianati oleh sang Tuan. Dan si Tuan merasa telah salah mencintai sang Puan yang berasal dari kasta atas nan terhormat.

“Setelah semua yang terjadi, seharusnya kamu sangat membenci saya 'kan, Jo?” Setelah diam beberapa saat, Hanna akhirnya kembali membuka mulutnya untuk berbicara.

“Rasa saya masih sama, Na, sama seperti delapan belas tahun lalu di bulan desember, saat saya lihat kamu duduk di taman kampus mengenakan baju cantik berwarna biru.” jawab Jovan tanpa ragu, tak ada sedikitpun kebohongan dan keragu-raguan dari netranya, yang ada hanyalah kesungguhan yang terpancar jelas.

“Kalau rasa kamu, Na?” tanya Jovan balik.

“Entah, rasanya hati saya sudah mati setelah kamu pergi. Tak ada lagi debaran kencang yang terasa selama belasan tahun ini, tak ada lagi kupu-kupu yang rasanya berkumpul di perut saya saat ditatap laki-laki lain. Mungkin sudah benar-benar mati.”

“Izinkan saya hidupkan lagi hati kamu yang terasa sudah mati, ya, Na?” pinta Jovan sangat lembut sekali.

“Jangan dimatikan lagi untuk yang kedua kali, Kak, karena saya benar-benar trauma dengan semua yang terjadi di masa lalu.” jawab Hanna terdengar ragu sekali.

“Enggak akan ada kali kedua yang bisa menghancurkan kita, Na, saya janji. Tolong percaya Kakak lagi, ya? Akan Kakak wujudkan janji-janji di masa lalu, tentang kamu dan anak kita yang Kakak janjikan akan selalu bahagia tanpa mengenal duka. Mau, ya?”

“Buktikan, Kak, hidupkan lagi, sembuhkan lagi, dan ini akan jadi kali terakhir saya kasih kesempatan untuk kamu memperbaiki semuanya. Tolong jangan dipatahkan lagi, saya sudah sakit sekali selama ini, tolong, ya?”

Jovan mengangguk, kemudian mendekatkan dirinya, membawa Hanna ke dalam dekapannya. Keduanya sama-sama menangis, menumpahkan segala rasa, cinta, rindu, yang selama ini tertahan karena keadaan yang rumit. Sama-sama melapangkan hati untuk bisa berdamai dengan masa lalu yang sangat kelam untuk diingat kembali, berharap semesta kali ini benar-benar merestui mereka untuk kembali menjadi sejoli yang saling mencintai satu sama lain sampai akhir hayat nanti.

“Hanna Hanasta, Terima kasih, saya akan mencintai kamu dan Haekal sepenuh hati.” bisik Jovan disela-sela pelukan hangat mereka.

“Kak Jo, tolong buat saya jatuh cinta lagi.”

Image

-Ara.