Tiga bahagia untuk Jovan.

IMG-20220324-WA0055

Banyak sekali kejadian yang berlalu dengan sangat cepat di dunia ini, yang mampu membuat manusia merasakan kekosongan secara tiba-tiba. Entah itu kepergian, kehilangan, atau bahkan perpisahan untuk selamanya. Banyak yang percaya, bahwa hal tersebut berhubungan dengan takdir dari Sang Pencipta, yang secara paksa, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, harus diterima oleh manusia.

Karena paksaan untuk menerima, sering kali manusia merasa bahwa hidup berjalan dengan tak adil. Untuk mereka yang terus-terusan diterpa kehilangan, dan perpisahan, dipaksa tegar menghadapi takdir justru membuat mereka tersiksa, merasa dirundung dengan rasa bersalah karena beranggapan hal tersebut terjadi karena dirinya yang selalu menjadi sial bagi orang sekitarnya.

Sama persis dengan apa yang sedang Haekal rasakan saat ini, semua terasa tak nyata baginya, dan berlalu begitu cepat sehingga untuk percaya pun menjadi hal yang sangat sulit untuk diterimanya. Yang Haekal ingat, saat ia sedang menuruni anak tangga untuk menunggu kedatangan sang Ayah, tiba-tiba sebuah panggilan telpon masuk ke ponselnya, masih Haekal ingat dengan jelas bagaimana panik suara yang terdengar, memberitahu kepadanya bahwa telah terjadi kecelakaan yang menimpa sang Ayah.

Sempat Haekal enggan percaya, dirinya menganggap telpon tersebut hanyalah bagian dari kejutan ulang tahunnya. Bahkan, Haekal juga sempat tertawa, dan meminta agar tak perlu sebegitu totalitasnya dalam menyiapkan kejutan untuknya. Namun, tawanya sama sekali tak terbalas, yang ada hanya suara bergetar di sebrang telpon itu, memberitahu bagaimana parahnya kondisi Jovan saat ditemukan. Sampai akhirnya, sekarang, dengan napas yang teramat berat untuk dihembuskan, Haekal menunggu di depan pintu bertuliskan “ICU”.

Bukan ini yang Haekal harapkan, bukan kejutan luar biasa seperti sekarang yang Haekal butuhkan. Baru beberapa puluh menit ia mendengar doa penuh harap dari sang Ayah, lengkap dengan janjinya yang akan datang menjemput Haekal untuk merayakan ulang tahunnya. Namun, yang terjadi sangatlah berbeda dengan janji itu, Haekal lah yang datang menemui Jovan, tak ada pesta, tak ada kue ulang tahun yang diharapkan, yang ada hanyalah dinginnya ruang tunggu rumah sakit, dan keheningan yang melanda, pun ia hanya ditemani oleh sang Mamah yang juga ikut terdiam di sebelahnya.

Sudah lima belas menit menunggu, tak kunjung juga ada kabar dari ruangan tersebut. Pun Haekal masih berharap, barangkali akan muncul sang Ayah dari balik pintu tersebut, tersenyum ke arahnya sembari membawakan kue yang dilengkapi oleh lilin ber-angkakan 18 untuknya. Namun, harapan itu segera patah saat Haekal lihat lagi jaket coklat milik Ayahnya yang sedang dipegang oleh Mamahnya dipenuhi dengan merahnya darah.

“Ayah bakalan baik-baik aja 'kan, Mah?” setelah sama-sama diam, pada akhirnya Haekal memberanikan dirinya untuk bertanya kepada sang Mamah.

Tak segera pula Haekal diberi jawaban oleh Hanna, sempat beberapa detik Hanna masih diam, menatap kosong jaket yang sedang ia pegang, kemudian beralih untuk menatap Haekal dengan kedua matanya yang terlihat sangat sembab, kemudian satu senyuman Hanna berikan kepada Haekal, “Iya, Kal, Ayah kamu pasti bakalan baik-baik aja.” jawab Hanna dengan suaranya yang terdengar begitu lemah. Walau senyum tergambar di wajah Hanna, Haekal merasa senyum itu sangatlah berbeda, terkesan dipaksakan, dan terlihat sekali dengan senyuman itu Hanna mencoba menyembunyikan sedihnya di depan Haekal.

“Kalau aja Ayah gak jemput Haekal, ya, Mah, pasti−”

“Sssttt, kita tunggu aja, ya, pasti bentar lagi Ayah kamu sadar.” terlebih dahulu Hanna memotong ucapan Haekal, ia tak mau Haekal khawatir berlebih, dan pula Hanna tak mau mendengar kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Haekal memutuskan untuk diam dan berhenti bersuara, meminimalisir pikiran negatif yang ada dipikirannya. Tak ada lagi yang mampu Haekal lakukan selain berdoa di dalam hatinya penuh pinta kepada Tuhan, sembari menunduk lemah.

Ingin sekali Haekal menangis kencang, menyalurkan rasa perih yang hatinya rasa, namun, sebisa mungkin ia coba tahan, mengingat di sampingnya saat ini ada sang Mamah yang berusaha terlihat tegar, mana mungkin bagi Haekal menangis di saat seperti ini, ia harus menjadi sosok kuat untuk Mamahnya.

Haekal lalu menyalurkan rasa sesaknya melalui cengkraman keras terhadap ujung jaket yang ia kenakan, sekeras mungkin ia cengkram, sembari menahan agar tak ada satupun bening yang berhasil jatuh dari pelupuk matanya. Namun, yang terjadi berikutnya ialah, ia merasakan tubuhnya ditarik oleh Sang Mamah, sehingga saat ini ia sudah berada dalam dekapan Mamahnya. Saat itu juga Haekal rasakan punggung diusap oleh tangan lembut Hanna, begitupun dengan belakang kepalanya, membuat Haekal merasa tak sanggup lagi menahan semua yang ia rasa.

“Jangan ditahan, Kal, nanti malah sakit dan sesak. Nangis aja, ya, ada Mamah,” bisik sang Mamah di telinganya, seketika air mata yang tadinya mati-matian Haekal tahan, luruh tak tertahan. Ia terisak-isak dalam dekapan sang Mamah yang terasa semakin erat mengikuti derasnya air mata Haekal.

Beberapa kali Haekal menyalahkan dirinya sendiri dalam tangisnya, Haekal juga tak peduli lagi dengan tangisnya yang cukup kencang, ia mirip sekali seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan berharga yang sangat ia sayang. Yang Hanna mampu lakukan hanyalah memberikan pelukan hangat beserta usapan lembut untuk menenangkan dan menyadarkan Haekal, bahwa masih ada bahu dan dekap yang ia punya ketika merasa hancur seperti sekarang. Walau ingin juga Hanna menangis sepereti Haekal, sekuat mungkin ia tahan, ia harus menjadi Ibu yang kuat dan tegar di samping anaknya yang teramat rapuh karena terus-terusan dipermainkan oleh takdir kehidupan.

“Saya ..., sial ya ..., hadir saya selalu membawa sial bagi yang lain, Mah ...,” suara bergetar Haekal yang menyalahkan dirinya sendiri tak henti-hentinya Hanna dengar, sengaja Hanna tak menjawab dan meluruskan perkataan tersebut, ia ingin membiarkan Haekal melepaskan segala yang ia tahan dan pendam sedari tadi, agar tak ada lagi sesak tertahan yang anaknya rasakan.

“Ayah ..., saya takut ..., Mah, Ayah pasti sehat lagi kan ...”

“Ayah belum antar saya bikin SIM, Ayah ..., jangan dulu ....”

“Ayah salah, saya ..., saya selalu jadi celaka dan petaka, Mah ....”

Begitu sakitnya hati Hanna mendengar rintihan itu, ia bahkan tak mampu menjawab, hanya untuk menenangkan Haekal. Dalam hati Hanna menjerit penuh sesak, menyalahkan jalan kehidupan mereka yang terasa sangat berat untuk dilewati, dan juga terlalu banyak duka menghampiri tanpa kenal lelah menguji dirinya dan Haekal.

Namun, begitu parah sesak yang ia derita, air mata Hanna enggan untuk meluruh, ia benar-benar dipaksa kuat saat ini, sehingga air matanya terasa kering, sama sekali tak bisa untuk ditumpahkan lagi saat ini. Bagi Hanna, tak ada yang lebih menyakitkan dibanding rasa sesak yang tak dapat terluapkan karena merasa tak punya kuasa hanya untuk menangis saja.

“Maafkan Mamah, ya, Kal ...,” pada akhirnya, hanya kalimat pelan itu yang terucap dari bibir Hanna, masih dengan posisi memeluk sang Putra yang belum selesai menangis sembari menyalahkan diri sendiri.

Butuh waktu beberapa menit untuk Haekal berhenti terisak, walau air mata masih saja berjatuhan dari kedua matanya. Hanna masih belum melepaskan pelukannya, ia menunggu Haekal benar-benar merasa tenang, masih juga ia dengan setia mengusap bahu sang Anak, berharap usapan itu bisa memudarkan sedih teramat yang sedang anaknya rasakan.

“Sudah tenang?” tanya Hanna pelan. Haekal tak menjawab dengan suara, namun Hanna dapat merasakan anggukan dari Haekal yang terasa pada bahunya. Dengan sangat hati-hati, Hanna melepaskan pelukannya. Terlihat jelas bagaimana mata sembab Haekal, detik berikutnya, jemari Hanna terangkat untuk mengapus bekas air mata yang membasahi pipi Haekal, senyum lemah tergambar sembari manatap kedua netra sang Anak, “Ayah kamu pasti bertahan, Kal. Dia itu manusia kuat, percaya dan berdoa, ya?” lembut tuturnya dibalas langsung dengan anggukan oleh Haekal. Walau dalam hati keduanya merasa ragu Tuhan akan berbaik kepada mereka, melancarkan semuanya, dan memberikan akhir yang indah bagi kehidupan mereka.


Kembali diam melanda keduanya, bedanya saat ini, dengan setianya jemari Hanna mengusap tangan sang Anak yang terasa sangat dingin, tak henti-hentinya ia berusaha menenangkan Haekal, dan menyadarkan Haekal bahwa saat ini ada Hanna yang akan selalu ada di sampingnya untuk menghadapi segala macam rencana semesta untuk mereka.

“Bu Hanna, Haekal,” terdengar suara panggilan dari lorong tunggu, diiringi dengan langkah kaki yang terkesan tergesa-gesa, baik Hanna maupun Haekal segera menoleh ke arah panggilan itu. Dilihat mereka, Theo, kuasa hukum Tama yang sedang berjalan cepat hendak menghampiri mereka, sembari menenteng sebuah flashdisk di tangan kanannya.

Saat sampai dan berdiri di hadapan Hanna dan Haekal, Theo terlebih dahulu mengantur napasnya agar jelas menyampaikan berita kepada mereka, “Ada apa, Pak Theo?” tanya Hanna penasaran, apalagi dengan flashdisk yang sedang Theo pegang saat ini. Walau tak ikut bersuara, Haekal terlihat tak kalah penasaran juga dengan apa yang akan Theo sampaikan, mengingat Theo lah yang segera memeriksa TKP untuk menemukan penyebab kecelakaan.

“Ini,” dengan serius Theo memulai laporannya, ia menunjukan flashdisk tersebut kepada Hanna dan Haekal, “Rudi yang rencanakan semuanya. Walau sedikit tidak jelas di rekaman CCTV, tapi saya bisa pastikan ini adalah Rudi, buronan yang selama ini kita cari. Dan dia dalang dari kecelakaan yang menimpa Pak Jovan.” sambung Theo menjelaskan.

“Rem dibuat tidak bisa berfungsi sama sekali, dan sama sekali tidak ada cara untuk menghentikan laju mobil. Begitupun dengan kecepatan mobil yang diatur terus melanju lebih kencang secara bertahap.” Lanjut Theo lagi berusaha menjelaskan sebaik mungkin dan setenang mungkin agar Hanna dan Haekal mampu memahami dengan baik.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir keduanya, mereka menatap tak percaya ke arah Theo, membuat Theo kebingungan sendiri, khawatir terdapat kesalahan pada penjelasannya.

“Maaf, saya salah mungkin, ya, maaf−”

“Biadab,” desis Haekal diiringi dengan dirinya yang bangkit berdiri, seketika Theo menghentikan ucapannya dan memilih diam, “Saya harap dia mati dalam keadaan busuk, dan masuk ke dalam neraka yang paling hina di atas sana. Bangsat!” hardik Haekal tak tahan, tangannya sudah mengepal keras, begitupun dengan kedua alisnya yang bertaut menandakan amarah yang ia rasa sudah teramat memuncak.

Theo menunduk mendengar cacian Haekal yang termakan emosi, ia paham, siapapun yang ada di posisi Haekal saat ini, pasti sangat murka, terlebih lagi, si penjahat sudah memilih mati, sehingga untuk meluapkan emosi secara langsung sudah tak bisa lagi dilakukan.

Hanna hanya mampu memejamkan matanya, meringis tiap kali mendengar suara dari pukulan Haekal ke dinding rumah sakit yang entah sudah keberapa kalinya. Ia belum bisa menahan Haekal yang saat ini sedang meluapkan murkanya, ia hanya mampu menunggu Haekal perlahan tenang. Walau jauh di dasar hatinya, Hanna ikut menyumpahi Rudi dengan berbagai sumpah serapah terburuk yang Hanna yakini akan diamini oleh semesta, dan akan di balas nantinya di alam yang berbeda.

“Dia gak boleh mati dulu! Dia harus saya hajar, dia harus merasakan sakit secara perlahan sampai-sampai matilah yang jadi harapan satu-satunya yang dia punya. Ini enggak adil, dia harus mati!” murka Haekal tanpa henti.

“Bajingan!” teriak Haekal sedikit tertahan, detik berikutnya ia terduduk dengan kedua lutut yang bertumbuh, “Bajingan itu ...,” lanjutnya lagi dengan suara bergetar, dapat Hanna lihat kedua pundak Haekal yang bergetar, menandakan Haekal yang kembali menangis seperti sebelumnya.

Walau rasanya lemah sekali, dengan sekuat tenaga Hanna beranjak untuk menghampiri Haekal yang tertunduk, beberapa tetesan darah akibat luka di jemari Haekal terlihat berceceran di lantai. “Pak Theo, maaf, saya boleh minta tolong ambilkan obat luka, atau boleh juga perawatnya langsung dipanggil ke sini? Tangan Haekal banyak lukanya.” pinta Hanna dengan suara pelannya, segera Theo mengangguk dan meninggalkan ruangan tersebut untuk segera memenuhi permintaan Hanna barusan.

Dengan pelan Hanna mengambil tangan Haekal yang terdapat banyak sekali luka disekitar buku-buku jarinya, menatap jemari tersebut yang mulai dipenuhi kemerahan memar dan beberapa tetes darah. “Sakit, Kal, tahan, ya ...,” ujarnya.

Haekal lantas menggeleng, mata merahnya ikut menatap memar pada tangan kanannya, “Enggak seberapa sakitnya, Mah, dibanding harus melihat Ayah tersiksa di dalam sana akibat ulah manusia bajingan yang enggak tau malu yang hati nuraninya sudah mati.” jawab Haekal masih dengan amarahnya.

“Duduk lagi di bangku, ya, Kal, di sini dingin.” bujuk Hanna hendak membantu Haekal untuk bangkit, namun, tak ada respon sedikitpun dari Haekal, “Kal?” panggil Hanna, kemudian di respon Haekal dengan menggelengkan kepalanya. Hanna pun tak punya tenaga lagi untuk meminta lebih, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah menyamakan posisi duduknya seperti Haekal, di lantai dingin rumah sakit tanpa beralaskan apapun.

Haekal yang menyadari sang Mamah mengikutinya, segera menoleh khawatir, dan melihat bagaimana wajah lelah Hanna di sampingnya, “Mah ...,” lirih Haekal, amarahnya perlahan luruh ketika melihat wajah sang Mamah yang sudah lemah namun nampak mencoba tegar menemani Haekal, “Yuk duduk di bangku lagi, Mah, Haekal bantu, ya.” ucap Haekal, kemudian membantu Mamahnya untuk bangkit dari sana. Hanna tersenyum, dan kembali duduk di bangku tunggu, ditemani oleh Haekal yang berada di sampingnya.

“Maafin Haekal, Mah, harusnya Haekal bisa tahan emosi di depan Mamah. Maaf, Mah ...,” mendengar itu, Hanna menoleh kepada anaknya, ia mengusap kembali bahu Haekal seperti sebelumnya.

“Enggak apa-apa, Kal. Sekarang istirahat dulu, ya? Kamu, Mamah, kita semua sama-sama capek. Kita diam dulu sebentar, ya, Nak, sambil berdoa untuk keselamatan ayah kamu.” dengan pelan dan lembut, Hanna mencoba menenangkan Haekal.

“Iya, Mah ....” jawab Haekal kemudian kembali menatap pintu ICU dengan perasaan cemasnya, menanti kabar dari ruangan itu, dan berharap bisa bertemu Sang Ayah di hari ini, pada hari ulang tahunnya yang beberapa jam lagi akan usai.

“Seenggaknya bisa ada kabar sebelum hari ini berakhir kan, Mah?” tanya Haekal dengan tatapan kosongnya, Hanna tak menjawab, ia juga tak bisa menjanjikan sesuatu yang di luar kendalinya, ia tak mampu menjanjikan Haekal akan hal itu. “Terlalu susah, ya, Mah, permintaan saya?” tanya Haekal kembali, membuat Hanna semakin menunduk tak tahu harus menjawab apa.

“Hari ini akan berakhir indah kan, Mah?” lagi, Haekal bertanya kepada Hanna, lebih tepatnya berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa kabar baik akan datang sebelum hari ini berakhir, atau mungkin pertanyaan itu muncul sebagai tanda bahwa Haekal mulai ragu semesta akan berbaik kepadanya di hari ini.

Selanjutnya, Haekal kembali mengulang pertanyaannya, Hanna membiarkan Haekal bertanya terus menerus, walau tak ada jawaban yang mampu Hanna berikan. Ruangan tersebut terasa semakin dingin, ditambah lagi dengan hati mereka yang tak bisa merasakan tenang walau hanya sedetik saja, menanti keajaiban dari pintu sana.

“Na, Kal,” kembali terdengar suara yang memanggil mereka, kali ini suaranya berbeda, bukan seperti suara Theo sebelumnya.

“Jay?” panggil Hanna, “Gimana, Jay?”

Sebelum menjawab pertanyaan Hanna, Jay nampak melihat ke belakang terlebih dahulu, seperti sedang memastikan sesuatu, “Gue bawa Ibu Jovan, Na, beliau khawatir banget, enggak masalah kan kalau ikut masuk ke ruangan ini?” izin Jay, Hanna sedikit terkejut dengan itu, karena ini akan menjadi kali pertamanya bertemu Ibu Jovan, dan juga dalam kondisi seperti ini, Hanna membayangkan betapa bencinya Ibu Jovan kepadanya, karena terus-terusan menyebabkan petaka di keluarga mereka.

“Mah, maksudnya Om Jay, yang datang itu Nenek saya, ya?” Haekal bertanya, namun tak dijawab oleh Hanna yang masih tenggelam oleh pikirannya.

“Na? Lo gapapa?” Jay menyadarkan Hanna dari lamunan sesaatnya.

“Eh iya, Jay, emang seharusnya masuk ke sini, kan. Tapi ..., tapi gue malu karena terus-terusan bawa sial buat keluarga mereka, pasti Ibu Kak Jo bakal benci banget sama gue, ya?” ungkap Hanna.

“Tenang, Ibu Jovan gak kayak gitu. Yaudah, gue ajak masuk, ya, Na.” kembali Jay meminta izin, setelah beberapa kali menghela napasnya dan mempersiapkan dirinya, Hanna akhirnya mengangguk. Tak butuh waktu lama, Jay segera menjemput sosok yang sepertinya sudah menanti di luar ruangan sana.

“Mah, gapapa, ada Haekal,” ucap Haekal seolah paham dengan ketakutan sang Mamah yang nampak jelas dari gerak-geriknya. Hanna mengangguk, kemudian meraih jemari kiri Haekal, “Apapun itu, Mamah akan terima, Kal.” ucap Hanna siap dengan apapun yang akan terjadi setelahnya.

Walau sudah siap dengan segala macam kemungkinan yang terjadi saat Ibu Jovan bertemu dengannya, tetap saja Hanna merasa malu dan tak pantas bertemu dengan Ibu Jovan, sampai-sampai ia tak mampu menengadahkan pandangannya yang tertunduk, serta bahunya yang tak mampu tegap, berbeda sekali seperti biasanya.

Saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya, mata Hanna secara otomatis terpejam, bersedia mendengar caci maki yang akan ditujukan untuknya, tanpa ada sedikitpun niat untuk membantah atau membela dirinya, karena yang ada di pikiran Hanna saat ini hanyalah, ia memang pantas menerima itu semua atas segala yang sudah terjadi di keluarga Jovan sampai detik ini.

“Bi Nur?” alih-alih mendengar cacian, Hanna malah mendengar suara Haekal memanggil nama ART di rumahnya dulu. Sempat Hanna pikir ia salah dengar, namun, kembali ia dengar suara Haekal yang menyebut nama Bi Nur seperti sebelumnya, terdengar tak percaya dan bingung.

Yang tadinya menunduk, Hanna memberanikan dirinya untuk menoleh kepada sosok yang datang ke ruang tunggu ini, dan benar saja, yang Hanna lihat adalah sosok Bi Nur dengan matanya yang sudah berlinang air mata, dan ditemani oleh Jay di sisi kanannya.

“Bi?” panggil Hanna ragu, otaknya terlalu rumit untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat ini, ia benar-benar bingung akan kehadiran Bi Nur saat ini.

“Na ...,” panggil Jay hendak menjelaskan, namun, detik itu juga Hanna mulai paham dengan apa yang terjadi, seketika kepalanya menggeleng tak percaya menatap Jay yang hendak memberitahunya.

“Enggak ..., bukan 'kan, Jay?” sangkal Hanna lebih dulu sebelum Jay menjelaskan keadaan, “Enggak ..., enggak mungkin, Bi Nur ..., bukan, enggak kan Jay?” kali ini perkataan Hanna mulai berantakan, Haekal yang tak kalah terkejut setelah memahami maksud dari pertanyaan Mamahnya, ikut menanti jawaban dari Jay dengan serius.

“Iya, Na, ini Ibu Jo, Ibu kandung Jovan.” ucap Jay menjawab dengan jelas pertanyaan yang Hanna layangkan barusan.

Baik Hanna maupun Haekal sama-sama merasakan napas mereka yang semakin tercekat, tak ada yang bersuara setelahnya, keduanya menatap ke arah Bi Nur dengan tatapan tak percaya. Otak mereka seakan kembali dipaksa untuk mencerna kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayang sebelumnya.

Sedangkan Bi Nur, tak mampu juga banyak bicara, ia menatap pintu ruang ICU dengan air mata yang terus-terusan bercucuran, merasakan hatinya terasa teramat hancur membayangkan betapa kesakitannya sang anak semata wayangnya di dalam sana.

“Mah ..., itu Nenek Haekal 'kan?” tanya Haekal pelan kepada Hanna, walau sempat diam sejenak, Hanna kemudian mengangguk pelan. “Saya boleh peluk Nenek, Mah? Sama mau minta maaf ke Nenek.” sambungnya lagi, namun, Hanna menahan sejenak Haekal agar tak bangkit lebih dulu.

Detik kemudian ia berdiri, dan berbisik lirih ke Haekal, “Mamah sambut Nenek kamu dulu, ya, Nak, kamu di sini dulu duduk.” tak perlu banyak waktu, Haekal mengiyakan perkataan Mamahnya barusan, dan menatap langkah sang Mamah yang mendekat ke arah Nenek yang baru saja Haekal ketahui.

“Bu ...,” panggil Hanna pelan sekali saat sudah berada di hadapan Bi Nur yang selama ini menjadi ART di rumahnya. Suara Hanna bergetar saat memanggil Bi Nur dengan panggilan 'Bu', walau terdengar asing di telinganya, namun tak mengurangi rasa berdosanya kepada wanita paruh baya yang berdiri di depannya.

Bi Nur tak menjawab dengan lisan panggilan tersebut, namun, ia mulai menatap Hanna yang kembali menunduk di depannya, tatapannya sangat sulit untuk di deskripsikan. Kemudian pandangannya beralih kepada Haekal yang duduk di bangku, senyum ia berikan kepada Haekal yang masih menatapnya bingung.

“Maaf, Bu ..., maafkan saya untuk semuanya.” ungkap Hanna lagi, pundaknya bergetar hebat, begitupun dengan suaranya, air mata yang ia tahan sedari tadi di samping Haekal, luruh juga. Rasa bersalah, berdosa, dan hina bercampur padu menjadi satu, membuat pertahanannya runtuh tak bisa dibendung lagi.

Bi Nur masih tak menjawab, pandangannya kali ini kembali beralih kepada Hanna, tak ada amarah dari tatapan tersebut, namun, diam dari Bi Nur semakin membuat Hanna merasa bersalah atas semuanya.

“Untuk semua ..., bahkan ..., saya selama ini memperkejakan Ibu ..., maaf Bu ..., saya ..., saya berdosa ..., maaf ...,” Hanna tak mampu melanjutkan perkataannya, isakannya semakin menjadi membuat perkataannya tak beraturan, dan tak akan terdengar jelas oleh siapapun yang mendengar.

Mendengar isak tangis yang semakin menjadi, membuat Bi Nur tak tega hati, sampai akhirnya tangannya terulur untuk mengusap pundak Hanna yang bergetar hebat karena tangisan. Namun yang terjadi selanjutnya adalah Hanna yang tiba-tiba menjatuhkan dirinya, bersimpuh terhadap kaki Bi Nur, dengan pandangannya yang hanya menunduk serendah-rendahnya, tak peduli akan harga dirinya.

Hal itu membuat Bi Nur terkejut, sekaligus tak enak, “Jangan seperti ini, Hanna,” ucap Bi Nur pada akhirnya, yang bisa Bi Nur lihat hanyalah kepala Hanna yang menggeleng, dan semakin merendahkan dirinya di hadapan Bi Nur, layaknya menyembah memohon ampun kepada Bi Nur.

“Ampuni segala dosa-dosa saya, Bu ..., atas semua yang terjadi, sampai sekarang Kak Jo ada di dalam, semua salah saya. Maafkan ketidaktahuan saya selama belasan tahun ini, sampai-sampai tega hati saya mempekerjakan Ibu di rumah, bukan maksud saya, bukan ingin saya, Bu ..., seandainya tau, saya enggak akan memberikan Ibu pekerjaan seperti itu. Ampuni saya, Bu.”

“Betapa bodoh dan berdosanya saya selama belasan tahun ini memperlakukan Ibu sebagai pembantu di rumah saya. Saya salah, Bu ..., saya pantas menerima apapun bentuk kebencian dari Ibu atas segala petaka yang terjadi di kehidupan Ibu, saya sangat pantas.” mohon Hanna dengan sungguh-sungguh kepada Bi Nur, sedikitpun Hanna enggan beranjak dari posisinya saat ini yang masih setia bersimpuh pada kaki Bi Nur.

Belum sempat Bi Nur menjawab permintaan maaf tersebut, tiba-tiba Haekal datang juga menghampirinya, dan melakukan hal yang sama seperti yang Hanna lakukan barusan, bersimpuh kepada kaki Bi Nur di samping Mamahnya, menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Mas Ekal ...,” lirih Bi Nur saat melihat Haekal melakukan hal tersebut.

“Bi ..., maaf, Nek ..., Maafkan saya yang selama ini enggak tau kehadiran Nenek. Ekal sudah sangat berdosa selama ini memperlakukan Nenek enggak semestinya, maafkan Ekal, Nek ...,” ucap Haekal sungguh-sungguh.

“Tolong maafkan Mamah, Nek, ini semua terjadi karena saya. Kalau aja saya enggak ada di dunia, sudah dipastikan semuanya akan baik-baik aja. Jadi, tolong maki saya aja, Nek, jangan Mamah ..., saya yang membawa petaka atas semuanya.”

“Kal ...,” Hanna menoleh ke samping, menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar Haekal tak meneruskan ucapannya.

“Enggak Mah, ini salah saya. Semuanya terjadi karena hadirnya saya. Nek, tolong maafkan Mamah saya, ya?” kukuh Haekal menyalahkan dirinya atas segala yang terjadi selama ini.

Baik Hanna maupun Haekal sama-sama bertahan pada posisinya, Jay terpaku menyaksikan Hanna dan Haekal yang sebegitunya memohon ampun kepada Ibu Jovan. Sesekali Jay mengalihkan perhatiannya kepada Ibu Jovan, memastikan wanita paruh baya tersebut baik-baik saja, dan yang nampak oleh Jay adalah ekspresi sedih dari Ibu Jovan saat mendengar permohonan maaf Hanna dan Haekal, tak sedikitpun Jay lihat ada amarah di wajah Ibu Jovan.

“Hanna, Haekal ...,” ucap Bi Nur pelan, kemudian Bi Nur mendudukkan dirinya, tak lagi di posisi berdiri, sehingga saat ini ia hampir sejajar dengan Haekal dan Hanna. Kedua tangannya terulur, memegangi sebelah sisi pundak Hanna dan Haekal bersamaan, mengusap dengan lembut kedua pundak yang bergetar hebat akibat tangisan itu, setelahnya berbisik lembut kepada mereka, “Insha Allah saya sudah memaafkan kalian dari belasan tahun yang lalu, enggak ada dendam yang tersisa untuk kalian, yang ada malah kasih sayang yang saya tanamkan untuk kalian selama belasan tahun ini. Mengurus kalian di rumah, adalah bentuk rasa sayang saya.” dengan sangat lapang dan ikhlas, perkataan itu keluar dari bibir Bi Nur. Membuat Hanna dan Haekal tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar, pandangan mereka yang tadinya tertunduk, seketika menatap wajah damai milik Bi Nur dengan tak percaya.

Melihat kebingungan yang tercipta dari wajah Hanna dan Haekal, Bi Nur dengan sisa air matanya, memberikan senyum penuh keikhlasan untuk keduanya, jemarinya terangkat untuk mengusap pelan puncak kepala Haekal yang masih terpaku menatapnya, “Suatu kebahagian Nenek bisa lihat perkembangan Ekal dari kecil sampai sekarang, ikut berperan juga dalam tumbuh dewasanya Ekal, bisa berikan makanan yang Ekal suka, ajarkan Ekal banyak hal, dan semua yang kita lewati bersama selama belasan tahun kemaren. Nenek enggak butuh pengakuan, Kal, bisa dekat dengan kamu aja sudah lebih dari cukup.” ungkap Bi Nur, butiran bening yang tadinya sempat berhenti sesaat, kembali menetas saat berbicara dengan cucunya pada jarak sedekat itu, dan tanpa ada batasan status yang menghalangi mereka seperti sebelumnya.

Setelahnya, tatapan Bi Nur perlahan beralih kepada Hanna yang dengan segera kembali menunduk saat matanya bertemu dengan mata Bi Nur, “Jangan nunduk, Hanna Hanasta, jadilah seperti biasa. Tegapkan bahu kamu, selayaknya Hanna Hanasta yang semua orang kenal.” titah Bi Nur, alih-alih mencaci maki Hanna, bahkan sekarang kedua tangan Bi Nur memegangi pundak Hanna untuk mengarahkan Hanna agar kembali tegap saat berbicara dengannya.

“Maafkan saya, Bu ...,” saat memberanikan diri menatap kembali mata Bi Nur, ucapan itu kembali keluar dari bibir mungil Hanna yang bergetar, sangat jelas sekali ketakutan dan juga penyeselan mendalam dari manik matanya.

“Enggak mampu saya membenci kamu, anak saya yang sekarang sedang bertaruh nyawa di dalam ruangan itu, dan cucu satu-satunya saya yang sekarang ada di samping kamu, menjadikan kamu sebagai sumber bahagia mereka. Sekeji apapun perlakuan keluarga kamu, kalau sumber bahagia dari anak dan cucu saya adalah kamu, saya bisa apa?”

“Kak Jo sekarang seperti itu−”

“Iya, saya paham karena menyelamatkan kamu. Hanna, mau kayak apapun kondisinya, Jovan pasti selamatkan kamu dan Haekal. Bagi dia, nyawa sendiri enggak penting dibanding keselamatan kalian. Anak keras kepala itu dari dulu selalu memikirkan kalian, jadi, enggak perlu merasa bersalah, karena memang dari awal, jalan ini yang Jovan pilih. Capek rasanya kalau harus marah, lebih baik kita berdoa untuk Jovan, ya?”

“Memang itu jalan yang jovan inginkan dari awal, Hanna, dia pasti sekarang sedang bahagia di dalam sana karena bisa menyelamatkan kalian. Jadi, enggak perlu rasanya kita berdebat menyalahkan siapapun sekarang.” kembali Bi Nur memberi pemahaman kepada Hanna. Semua yang ada di ruang tunggu tersebut menitihkan air mata, tak terkecuali Jay yang menutup wajahnya karena tangisannya yang mulai tak tertahan.

Melihat Hanna dan Haekal yang isakannya semakin menjadi, dengan lembut Bi Nur memeluk keduanya. Membiarkan kedua orang itu menumpahkan air mata mereka di dalam dekapannya, menangis bersama sembari hati mereka meminta kepada Tuhan untuk segera memberikan pelangi setelah badai yang tak terduga di hari yang meraka kira akan dipenuhi haru bahagia.

Jay tak tahan melihat ketiga orang tersebut menangis bersama, ia kemudian melangkahkan kakinya berjalan mendekati pintu ICU, tangannya terkepal bersamaan dengan tetesan bening yang jatuh dari pelupuk matanya.

“Jo, tiga kebahagiaan lo udah kumpul, lo harus berjuang, ya, lo harus ngerasain bahagia dulu, Jo. Bertahan, Jo, bahagia yang lo impikan udah di depan mata. Gue mohon, Jo ....” rintih Jay memohon di depan pintu itu, berharap di dalam sana Jovan bisa mendengarnya, dan segera sadar untuk menjemput bahagia yang selama ini ia cita.

-Ara.