Untuk Pertama Kalinya.

Setelah mengantar Azalea ke sekolah menggunakan motor miliknya, Jovan segera bersiap untuk menuju rumah sakit. Sempat ia bertemu Darto di depan gerbang sekolah, dengan senyum meremehkan Jovan, seperti memperolok keputusan Jovan yang lebih memilih menjadi guru dengan idealisme tinggi sehingga kalah telak darinya.

Kalau saja Jovan sedang tidak ditunggu Haekal, sudah dipastikan Darto habis dipukuli olehnya, mengingat dendamnya kepada Darto belum usai. Jovan benar-benar tidak takut terlibat perkelahian dengan Darto, apalagi ia sudah tidak berada di posisi sebagai seorang guru di sekolah tersebut. Namun, itu semua ia tahan agar bisa sampai tepat waktu untuk membantu Haekal. Masih ada hari lain, pikir Jovan, dan segera memutuskan untuk pergi. Sengaja Jovan bunyikan gas motornya lebih keras pada saat melewati Darto.

“Dasar Honorer belagu!” Maki Darto berteriak kepada Jovan yang sudah pergi dengan motornya, “Miskin gak tau diri kau Jovan!” Sambungnya lagi seakan tak merasa puas karena Jovan tetap melajukan motornya tanpa terpancing sedikitpun.

“Habis kamu nanti, Darto. Gak akan saya kasih ampun.” Batin Jovan amat kesal dan mempercepat laju motornya. Tangannya menggenggang erat kemudi motor tersebut.

“Darto, Tama, abis kalian nanti.” Lagi, seakan masih termakan emosi ketika mengingat dua nama tersebut di otaknya.


Pukul 7 pagi, Hanna masih belum juga tidur, semalaman suntuk ia mengahadap layar laptopnya, sembari menemani Haekal yang sebenarnya tak mau ditemani Hanna. Walau sudah beberapa kali diusir Haekal agar pulang saja, Hanna kukuh tetap disana, duduk dengan tenangnya di sofa yang tersedia, walau harus saling diam, tanpa suara. Bukan masalah bagi Hanna, yang penting ia selalu ada di samping Haekal.

“Ada teman saya nanti.” Setelah belasan jam hanya diam, akhirnya Hanna mendengar suara Haekal, ia tersenyum kecil, akhirnya Haekal mau membuka obrolan dengannya. Sedikit Hanna alihkan atensinya yang sedari tadi hanya untuk layar laptop, ia menoleh ke arah Haekal yang nampaknya sangat terpaksa membuka obrolan.

“Datang aja, berapa orang?” Tanya Hanna sedikit penasaran.

“Mamah keluar aja.” Bukannya menjawab, Haekal jusru kembali mengusir Hanna dari ruangannya. Hanna nampaknya sudah sangat bosan mendengar kalimat itu, sehingga memilih kembali memberikan fokusnya kepada layar laptop.

“Kenapa saya gak boleh ada di sini?” Tanya Hanna terdengar tenang, dengan jemari yang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Mendengar pertanyaan itu, Haekal berdecih pelan.

“Kenapa tanya? Bukannya Mamah yang gak mau publik tau kalau saya anak Mamah?” Kali ini Haekal terdengar ketus dari sebelumnya. Jemari Hanna yang tadinya dengan lincah menari di keyboard laptopnya, seketika terhenti mendengar respon tersebut.

“Terlalu pagi untuk berdebat, bahkan sarapan kamu aja belum datang.” Respon Hanna masih mencoba tenang, walau dadanya terasa sesak apabila mendengar ucapan ketus Haekal yang selalu memojokkannya.

“Mamah keluar aja, saya-” Ucapan Haekal terpotong ketika mendengar knop pintu ruangan tersebut dibuka oleh seseorang, selanjutnya muncullah sosok yang sudah ia tunggu-tunggu, sosok itu diam dan berdiri di dekat pintu, memberikan senyuman hangatnya kepada Haekal.

“Pagi,” Sapanya ramah, Haekal tak balas senyum, hanya mengangguk, namun terlihat dari mimik wajah Haekal saat ini yang lebih damai dari sebelumnya. “Selamat pagi Bu Hanna.” Lanjut Jovan, sosok yang datang mendatangi ruang inap Haekal, menyapa Hanna masih dengan senyum ramahnya.

“Kamu ngapain ke sini, jangan-”

“Saya yang minta Pak Jovan ke sini, untuk bantu saya ganti baju dan bersihkan badan.” Belum selesai Hanna melayangkan protesnya akan kehadiran Jovan, Haekal lebih dahulu memotong ucapannya dengan menjelaskan alasan Jovan datang.

“Cih, licik.” Desis Hanna pelan, sangat pelan sembari menutup layar laptopnya, sedikit kasar Hanna menutup laptop tersebut, memperlihatkan bahwa saat ini ia tak nyaman dengan hadirnya Jovan.

“Bu Hanna saya izin masuk dan bantu Haekal, ya?” Ucap Jovan meminta izin sebelum melanjutkan langkah kakinya mendekati sisi ranjang Haekal. Hanna tak menjawab, hanya menatap tajam ke arah Jovan, seperti mengintimidasi tiap langkah kaki Jovan yang mendekat ke arah Haekal. Hanna kesal, namun ingin melarang pun tak bisa, karena sudah dipastikan Haekal tak akan mendengarnya. Bukannya menuruti kemauan Hanna, yang ada Haekal malah tambah membenci Hanna apabila mengusir Jovan.

“Mah, keluar dulu, ya?” Pinta Haekal, iya, kali ini terdengar seperti sebuah permintaan, berbeda seperti cara mengusir Haekal sebelum Jovan datang.

“Tinggalin kamu sama dia?” Tanya Hanna sembari mendelik ke arah Jovan tak bersahabat, “Enggak bisa, saya gak percaya dengan dia.” Sambungnya lagi.

“Saya gak nyaman kalau ada Mamah.”

“Saya Mamah kamu, Haekal. Silahkan ganti baju dibantu dengan orang itu, tapi saya mau tetap di sini. Saya gak percaya dengan dia.” Ucap Hanna sembari menunjuk Jovan. Kali ini Hanna tak mau kalah, ia tak mau kedua kalinya diusir di depan Jovan oleh anaknya sendiri.

“Saya gak percaya dengan Mamah.” Timpal Haekal dingin dan menusuk, membuat Hanna diam tak percaya dengan ucapan Haekal barusan. “Keluar, Mah. Saya canggung dan gak nyaman dengan hadirnya Mamah.” Lanjutnya lagi, kukuh tak mau Hanna berada di ruangan ini untuk memantau pergerakan Jovan.

“Pergi, Mah-”

“Iya! Saya keluar. Saya keluar, sudah, enggak perlu kamu ulang lagi.” Jawab Hanna dengan nada bicara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Matanya mulai memerah karena terasa panas mendengar ucapan Haekal barusan. Terlihat jelas dari raut wajah Hanna ada amarah yang berusaha ia tahan. Tangannya mengepal kencang, dadanya sesak bukan main, rasa sedih akan ucapan ketus Haekal, dan rasa kesal akan kehadiran Jovan bercampur menjadi satu. Sehingga ia memutuskan untuk pergi, khawatir emosinya lepas kendali di depan Haekal yang sedang sakit.

Jovan hanya diam dan bisu, ia bingung dengan situasi saat ini. Jovan tidak menyangka Haekal akan kembali mengusir Hanna di hadapannya seperti kemarin. Dilihatnya Hanna tengah menatapnya, tatapannya semakin tajam dari sebelumnya, seakan sedang berbicara “Puas kamu?!” Kepada Jovan. Sebelum pada akhirnya Hanna melangkahkan kakinya dengan gusar ke arah pintu keluar.

Brakkk!

Terdengar suara pintu tertutup sangat keras, nampaknya Hanna mendorong dengan kencang pintu tersebut ketika meninggalkan ruangan.

“Maafkan Mamah saya, Pak.” Ucap Haekal pelan setelahnya. Jovan yang tadinya merasakan tegang ketika berada di tengah perdebatan Ibu dan Anak itu berusaha kembali tenang, dan mendudukkan dirinya pada kursi yang ada di sisi ranjang Haekal.

“Maaf untuk apa?”

“Tadi Mamah saya banting pintunya, dan sudah bilang gak percaya dengan bapak.” Nampak sekali dari wajah Haekal, saat ini ia merasa sangat tak enak hati kepada Jovan. Merespon permintaan maaf itu, Jovan hanya tersenyum kepada Haekal, dan membantu untuk menaikkan bagian atas brangkar untuk membantu Haekal berada di posisi setengah duduk dengan punggung yang disandarkan di sana.

“Sebelum bantu kamu bebersih, saya punya tebakan buat kamu.” Bukannya merespon permintaan maaf dari Haekal, Jovan malah mengajak Haekal main tebak-tebakan. Mendengar itu, Haekal menaikkan sebelah alisnya, tak paham dengan maksud Jovan. “Saya suruh kamu tebak, kalau kamu berhasil menebak dengan benar, saya belikan apapun yang kamu.” Lanjut Jovan menawarkan.

“Saya gak mau dibelikan apa-apa.” Jovan lupa, kalau Haekal bisa beli apa saja yang ia mau, tanpa harus memenangkan tebak-tebakan ini.

“Kamu mau apa?” Tanya Jovan ragu, karena apapun yang ada di dunia ini, pasti bisa dibeli oleh Hanna untuk Haekal.

“Saya mau ditemani bikin SIM.” Tanpa terduga, permintaan sederhana itu yang Haekal pinta. Senyum yang sedari tadi merekah di bibir Jovan, perlahan memudar, ia menyadari bahwa Haekal tak butuh apapun, ia hanya butuh waktu dari orangtuanya untuk membantunya mengurus kebutuhannya, yang padahal seharusnya hal remeh seperti ini tak harus dipinta oleh Haekal untuk diwujudkan.

“Boleh.” Jawab Jovan pada akhirnya. Permintaan Haekal sangat amat sederhana, namun, itu sangat sulit untuk diwujudkan oleh Hanna selama ini. Mengingat fakta tersebut, hati Jovan kembali terasa perih, membayangkan sudah berapa banyak masa-masa sulit yang Haekal lewati sendiri, membayangkan betapa kasihannya Haekal ketika teman-temannya bercerita pengalaman mereka membuat KTP, SIM, ATM bersama orangtua mereka masing-masing.

“Nanti kita bikin SIM, ya? Apalagi, Kal? KTP? Atau buku tabungan untuk kamu kuliah nanti?”

“Sudah, Pak.” Jawab Haekal, “Dibantu Bi nur, pembantu di rumah saya.” Haekal menjelaskan.

“Nanti Bapak langsung yang temani kamu bikin SIM, ya? Setelah kamu sembuh, kita segera bikin SIM.” Haekal mengangguk setuju dengan itu.

“Tapi itu kan kalau saya benar menebak, kalau saya salah menebak, bagaimana? Apa ada hukuman, atau bapak ada permintaan untuk saya?” Jovan menjentikkan jemarinya mendengar itu, ia dekatkan duduknya kepada Haekal, memperlihatkan bagaimana bersemangatnya ia kali ini.

“Kalau kamu salah nebak, kamu harus ikuti kemauan saya, satu hari ini. Deal?” Jovan mengulurkan tangannya kepada Haekal, mengajak Haekal untuk berjabat tangan, sebagai tanda bahwa keduanya sudah sepakat dengan ketentuan tersebut.

“Pasti aneh permintaan Bapak...” Haekal nampak menimbang terlebih dahulu, “Jangan terlalu aneh, Pak.” Haekal seperti mengajak Jovan berunding agar tak meminta yang macam-macam padanya.

“Enggak mungkin saya minta yang aneh, Haekal. Kamu duduk saja harus saya bantu, masa iya saya minta aneh-aneh, seperti misalnya sapu semua lantai yang ada di RS ini.” Jovan meyakinkan Haekal agar tak khawatir.

“Okay, Deal. Tapi saya gak bisa balas jabat tangan Bapak, masih sakit tangan sebelah kanan saya untuk digerakkan.” Jawab Haekal dengan menolehkan pandangannya ke arah tangan kanannya yang masih diperban, Jovan hanya tertawa melihat itu, dan tangannya terjulur untuk mengacak-acak rambut Haekal.

“Mulai?”

“Mulai, Pak.” Jawab Haekal dengan mantap.

“Sewaktu kamu gak sadar, ada satu pertandingan bola yang kamu lewati,” Jovan menggantung sebentar ucapannya, dilihatnya Haekal yang sekarang mengerutkan dahinya, seperti sedang berusaha mengingat sesuatu.

“Ah, Man City lawan Arsenal, ya?!” Jovan mengangguk mengiyakan pertanyaan tersebut, “Ah iya! Saya enggak nonton, lagi nongkrong sama malaikat kayaknya.” Celetuk Haekal asal, Jovan tertawa renyah mendengar itu, dan Haekal pun ikut tertawa bersama Jovan.

“Ngaco terus kamu ya, kurang asupan Malboro kayaknya Hahaha.”

“Betul, bapak bawa rokok? Saya pinjam satu, nanti saya ganti.” Timpal Haekal, nampak serius.

“Merokok setelah habis operasi paru-paru kiri penuh cairan darah. Bagus Haekal, bagus, sepertinya masih mau nongkrong sama malaikat. Satu hisapan, sudah pindah alam.” Jawab Jovan sarkatik, Haekal tertawa mendengar itu, sembari memegangi bagian perutnya yang terasa tak nyaman apabila ia tertawa terlalu kencang.

“Jadi, siapa yang menang?” Tanya Haekal penasaran dengan hasil pertandingan bola yang barusan mereka bicarakan.

“Itu tugas kamu untuk jawab.”

“Loh, saya kan lagi sekarat waktu itu, Pak. Jadi enggak tau siapa yang menang.” Jovan sedikit meringis mendengar ucapan Haekal yang sedari tadi memilih menggunakan kalimat-kelimat menyeramkan untuk menggambarkan keadaan kritisnya kemarin.

“Saya minta kamu tebak, Man City vs Arsenal kemarin siapa yang menang. Kalau kamu benar, saya temani kamu bikin SIM, kalau kamu salah, kamu ikuti kemauan saya seharian ini.”

“Sebentar, saya pikirkan dulu jawabannya.” Haekal nampak serius kali ini, memikirkan peluang club mana yang memenangkan pertandingan, “Ada red card keluar?” Tanya Haekal, berusaha mencari clue.

“Ada lah, tapi saya enggak akan kasih tau team mana yang dapat red card.” Perkiraan Haekal salah, ternyata Jovan tak sebaik itu memberikannya clue.

Sempat terlintas di kepala Haekal, mengapa ia mau-mau saja menyetujui permainan konyol ini, padahal, kalau saja Jere atau Reno yang mengajaknya bermain tebak-tebakan seperti ini, sudah pasti Haekal akan berlalu, karena baginya hal seperti ini sangat-sangat tak penting. Namun lihatlah dirinya saat ini, terlihat amat kompetitif untuk memenangkan permainan ini. Padahal kalau dipikir, Pak Jovan hanya perlu mengantarkannya membuat SIM apabila ia benar, sedangkan Haekal, harus menuruti semua permintaan Pak Jovan dalam sehari ini apabila ia salah menjawab.

“Sudah dapat jawabannya, Haekal? Hahaha.”

“Sudah, tapi sebentar, sebentar Pak, saya coba analisa kedua team dulu di pertandingan sebelumnya yang sempat saya tonton.” Jawaban serius itu berhasil membuat tawa Jovan tak berhenti terdengar di ruangan tersebut.

“Okay, sudah! Saya yakin dengan tebakan saya.” Haekal nampak sangat percaya diri saat ini.

“Jadi, Man City vs Arsenal, yang menang adalah?”

Haekal memejamkan matanya sebelum menjawab, untuk yang terakhir meyakinkan dirinya atas jawaban yang akan ia sebut, dan setelahnya dengan lantang ia menjawab, “ARSENAL!” Jawabnya sangat mantap sekali.

Jovan tidak segera menjawab, ia hanya tersenyum ambigu ke arah Haekal, seakan membiarkan Haekal frustasi sendiri mendefinisikan arti dari senyumannya tersebut. “Benar kan pasti saya?” Tanya Haekal tak sabar.

Detik kemudian Jovan tertawa lagi, tak kuasa menahan tawanya ketika melihat Haekal yang saat ini sangat frustasi menanti jawabannya.

“Salah! Hahahaha, Arsenal kalah dari Man city. 1-5 skornya Hahahaha!” Haekal menatap Jovan tak percaya. Karena tak terima atas kesalahannya dalam menebak, segera ia ambil ponselnya, dan mencari tahu sendiri hasil dari pertandingan tersebut.

“Ah, kok bisa kalah?!” Gerutunya setelah melihat dengan matanya sendiri dari google, terkait hasil pertandingan tersebut. “Bisa-bisanya kalah telak, Argh, payah.” Haekal masih kesal, sedangkan Jovan semakin tertawa kencang melihat kekesalan tersebut.

“Okay, kamu kalah ya Haekal berarti Hahaha, jadi, kamu harus ikuti kemauan saya hari ini sesuai kesepakatan tadi.” Haekal hanya mengangguk tak ikhlas merespon itu, “Ikhlas gak?” Tanya Jovan memastikan.

“Iya, ikhlas. Lelaki sejati adalah lelaki yang tepat janji.” Balas Haekal berusaha tabah dengan kekalahannya.

Jovan melirik jam tangan yang melingkar di tangannya, dilihatnya jarum jam sudah menunjukan ke angka setengah delapan, “Sudah jam setengah delapan, kita bersihkan badan sama ganti baju kamu dulu, ya?” Haekal mengangguk setuju mendengar itu, Haekal pikir Jovan akan meminta sesuatu pada saat nanti, ketika ia sudah selesai membantu Haekal bersih-bersih, namun ternyata tidak, Jovan malah menjalankan aksinya saat ini juga.

“Tapi saya butuh bantuan orang lain kayaknya, Kal.” Ucapnya penuh makna, nampak Haekal mengernyitkan keningnya mendengar kalimat itu.

“Saya panggil Mamah kamu untuk bantu saya pakaikan baju kamu, ya? Supaya gak ganggu perban di tangan kamu.” Gotcha, inilah niat awal Jovan mengajak Haekal bermain tebak-tebakan, untuk mengusahakan kehadiran Hanna diterima oleh Haekal.

“Saya gak mau.” Jawab Haekal langsung dan cepat, Jovan tersenyum mendengar jawaban tersebut.

“Ada anak laki-laki yang pernah bilang ke saya, kalau cowok itu tepat janji. Di mana ya anak laki-laki itu? ngumpet kali ya, Kal, di bawah ranjang kamu.” Sindir Jovan, Haekal menghela napasnya kesal, menyadari baru saja ia terperangkap oleh jebakan Jovan yang ingin mendamaikan Haekal dengan Mamahnya.

“Canggung, Pak. Saya juga gak nyaman kalau ada Mamah.” Ungkap Haekal jujur.

“Bukan canggung, tapi kamu itu marah, Haekal, sehingga kamu terus-terusan mencari alasan agar enggak melihat Mamah kamu.” Jawab Jovan dengan nada lembut ciri khasnya, Haekal hanya diam, tak membantah, tak juga mengiyakan.

“Saya panggil Mamah kamu, boleh, kan, lelaki sejati?” Sengaja Jovan tekankan nada bicaranya ketika memanggil Haekal dengan panggilan 'lelaki sejati', “Boleh?” Izin Jovan lagi, dan pada akhirnya Haekal mengangguk pasrah, karena baginya janji, memang harus ditepati, walau ia akan membenci situasi yang akan terjadi.


Di luar ruangan, Hanna kembali duduk sendiri, sama persis seperti kemarin, saat ia diusir oleh Haekal. Tangannya mengepal keras ponselnya, menyalurkan amarah yang sedari tadi ia tahan agar tak meluap, ditambah lagi dengan keadaan perutnya yang terasa lapar karena belum mengonsumsi apapun dari malam tadi, karena sibuk dengan kerjaannya, dan juga berjaga, khawatir infus Haekal habis dan tidak ada yang menyadari. Tapi lihatlah saat ini, lagi dan lagi ia merasa dibuang oleh Haekal, duduk di ruang tunggu ini seperti tidak dihargai oleh anaknya sendiri.

Ketika ia menundukkan kepalanya, diihatnya sepasang sepatu mendekatinya, dan berhenti tepat di depannya. Sebenarnya tanpa menengadahkan pandangannya ke atas, Hanna sudah tahu siapa sosok yang sedang berdiri di depannya ini, karena parfume yang digunakan sosok tersebut masih sama harumnya seperti 17 tahun yang lalu.

“Mau apa ke sini?” Tanya Hanna dingin, memilih tetap berada di posisinya saat ini, menunduk manatap lantai, agar tak melihat wajah dari sosok yang sangat ia benci itu, Jovan.

“Ayo masuk, Na.” Ajak Jovan, terdengar hangat bagi siapapun yang mendengar suaranya, namun, kehangatan itu seakan tak bisa dirasakan oleh dinginnya hati Hanna.

“Kamu mau meledek saya, ya, Jovan?” Kali ini Hanna menganggkat pandangannya, menatap Jovan dingin.

“Haekal minta kamu masuk,” Jovan malah mengulurkan tangannya untuk membantu Hanna bangkit dari duduknya, “Dan saya butuh bantuan kamu untuk pakaikan baju Haekal, khawatir kalau sendiri, gak ada yang tahan tangannya yang masih sakit itu.” Lanjut Jovan, tenang, sangat tenang.

“Puas kamu-”

“Masih seperti kemarin, hati saya juga sakit ketika lihat kamu terpaksa pergi dari pintu tersebut, Na.” Jovan memotong ucapan Hanna, tak mau Hanna terus-terusan berpikiran bahwa dirinya senang melihat Hanna diperlakukan seperti itu oleh Haekal, “Jadi, ayo, kita masuk ruangan itu, pelan-pelan kita perbaiki apa yang membuat Haekal kecewa, dan kita kembalikan Haekal yang dulu, yang selalu menjadikan kamu pusat dari semestanya.” Lanjut Jovan berusaha meyakinkan Hanna agar mau masuk ke dalam ruangan Haekal bersamanya, dan masih dengan tangannya yang menjulur, menunggu sambutan dari tangan Hanna, walau rasanya amat tak mungkin bagi Jovan.

“Selagi kita masih punya kesempatan, Na, kamu juga pasti belum pernah kan bantu Haekal pakai baju ketika ia sudah besar? Ini akan jadi kali pertama bagi kita berdua.” Seakan tak menyerah, Jovan masih tetap membujuk Hanna agar percaya kepadanya, “Selagi Tuhan masih kasih kita kesempatan...” Lirihnya lagi.

Detik kemudian Hanna bangkit, walau tak ia balas uluran tangan Jovan kepadanya. Jovan tersenyum melihat itu, akhirnya ia berhasil meyakinkan Hanna untuk masuk ke dalam bersamanya.

“Ayo, Na.” Ajak Jovan ramah, lengkap dengan senyum manisnya, kemudian melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam ruangan tadi, diikuti oleh langkah kaki Hanna di belakangnya, “Terima kasih, ya, sudah mau.” Ucap Jovan lagi, sebelum membuka knop pintu tersebut, Hanna hanya diam, malas menjawab perkataan Jovan.


“Bu Hanna, tolong angkat sedikit lengan kanan Haekal, supaya enggak kena bagian yang lukanya.” Pinta Jovan yang saat ini sedang sibuk memakaikan baju ganti Haekal. Hanna tak segera melakukan itu. Alasannya kerena, pertama, ia merasa Jovan tak punya hak untuk memerintahnya. Kedua, Hanna tahu, Haekal tak akan mau apabila ia sentuh barang sedikit walau untuk membantunya memakai baju.

“Bu Hanna?” Panggil Jovan sekali lagi, “Kalau enggak dibantu, nanti kena bagian yang masih terasa nyeri oleh Haekal, iya kan, Kal? Kamu butuh dibantu Mamah kamu?” Kali ini Jovan menanyakan Haekal, Hanna paham, Jovan saat ini berusaha untuk menyairkan suasana yang canggung antara Haekal dan Hanna, namun tetap saja, Jovan terlihat menyebalkan di mata Hanna.

“Hmm, iya.” Jawab Haekal tak ikhlas.

“Bilang apa ya, Kal, kalau minta bantuan?” Tanya Jovan sengaja, sedangkan Haekal hanya melirik Jovan kesal dengan pertanyaan tersebut. “Ehem, Man City,” Bisik Jovan pelan setelahnya, tepat di dekat telinga Haekal, mendengar bisikan itu, Haekal hanya memincingkan matanya kesal.

“Mah, tolong saya.” Pinta Haekal dengan suara pelan, sembari tangan bagian kanannya dinaikan sedikit, supaya Hanna mau membantu menahan lengan kanannya itu. Hanna yang bingung dengan apa yang terjadi, segera mengambil lengan kanan Haekal untuk ia bantu tahan selagi Jovan berusaha memakaikan baju Haekal.

Jovan tersenyum iseng ketika melirik dari sudut matanya bagaimana kedua orang di depannya ini berhasil masuk ke dalam jebakannya, di dalam hati Jovan merasa bersyukur, karena Haekal masih mau mengikuti arahannya, untuk menjaga perasaan Hanna dalam sehari ini.

“Okay udah selesai,” Ucap Jovan ketika berhasil merapihkan kancing terakhir di baju pasien yang Haekal gunakan, lengkap dengan senyuman manisnya.

“Terima kasih, Pak,” Balas Haekal setelahnya dengan melirik ke arah Jovan yang ada di samping kirinya. Ada kecewa yang Hanna rasa, karena Haekal hanya mengucapkan Terima kasih untuk Jovan saja, seakan tak menganggap Hanna yang ada di samping kanannya. Dengan perasaan yang agak sedih, Hanna memutuskan untuk berjalan kembali menuju sofa yang terdapat pada ruangan tersebut.

“Terima kasih, Mah...” Tanpa terduga, Haekal mengucapkan itu, dan berhasil menghentikan langkah kaki Hanna sejenak, detik berikutnya Hanna membalikan tubuhnya untuk melihat Haekal sejenak, “Hmm, sama-sama.” Jawab Hanna singkat, dan kembali melanjutkan langkahnya menuju sofa. Jovan dan Haekal yang dibelakanginya tak tahu, bagaimana bibir Hanna perlahan melukiskan sebuah senyuman lebar setelah mendengar ucapan Terima kasih dari Putranya itu.

“Pintar, anak baik.” Puji Jovan pelan, yang masih bisa di dengar oleh Hanna. Ada rasa penasaran yang timbul dalam benak Hanna, tentang bagaimana cara Jovan membuat Haekal bisa menurutinya. Namun, Hanna berusaha untuk bodo amat dengan itu, toh, pikir Hanna, Jovan itu laki-laki manipulatif yang bisa saja mengelabui banyak orang.

“Sarapan dari Rumah sakit belum datang ya, Bu Hanna?” Jovan bertanya kepada Hanna yang saat ini kembali fokus dengan laptopnya di sofa sana.

“Kalau ada, sudah pasti ada bekasnya.” Jawab Hanna masih ketus kepada Jovan, dengan pandangannya yang masih fokus menghadap layar laptopnya.

“Belum ada, Pak, paling sebentar lagi.” Haekal turut menjawab ketika dirasanya jawaban dari Hanna barusan terdengar sangat tidak mengenakkan, dan bisa saja menyinggung perasaan Jovan.

Tepat setelah Haekal menjawab, pintu ruangan tersebut diketuk oleh perawat yang bertugas menghantarkan makanan ke tiap-tiap ruangan para pasien. Hanna yang tadinya terlihat sibuk dengan laptopnya, segera menghampiri perawat tersebut untuk mengambil makanan yang telah disediakan, dan berterima kasih kepada perawat itu sebelum meninggalkan ruang rawat Haekal.

Hanna dengan sangat hati-hati menata makanan tersebut pada overbed table yang tersedia, agar memudahkan Haekal makan, selagi Hanna menyiapkan makanan Haekal, Jovan kembali membantu Haekal untuk setengah duduk, agar nyaman saat makan nanti.

Setelah berhasil membantu Haekal duduk, Jovan segera berdiri dari bangkunya, dan hendak mempersilahkan agar Hanna yang duduk di sana, membantu Haekal makan, namun, betapa kagetnya Jovan, ketika dilihatnya Hanna malah kembali ke sofa tempat di mana ia sibuk dengan laptopnya tadi. Begitupun dengan Haekal, yang langsung memakan makanannya sendiri, tanpa bantuan siapapun.

IMG-20210906-WA0015

Jovan menggeleng pelan, menyadari bahwa anak dan Ibu ini memang sudah terbiasa sendiri, tanpa menemani dan membantu satu sama lain.

“Haekal, bisa makan sendiri?” Tanya Jovan pada akhirnya, Haekal mengangguk, walau terlihat Haekal sedikit kesusahan menyuap dengan tangan kirinya, mengingat kondisi tangan kanannya saat ini sedang diperban.

“Bu Hanna, barusan Haekal bisik-bisik ke saya, katanya mau disuapin.” Seperti tak tahan melihat dinding yang secara tak sadar sudah dibangun oleh Hanna dan Haekal, Jovan kembali memulai permainannya.

“Hah? Uhuk uhuk...” Haekal sedikit tersedak mendengar itu, baru saja ia ingin melayangkan protes, Jovan sudah terlebih dahulu membisikkan sesuatu di telinganya, “Man City menang, Kal.” Sehingga Haekal kembali tak berdaya dibuatnya.

“Di suap?” Hanna seakan tak percaya, menatap Haekal, seperti mencari kebenaran dari mata Haekal, namun, yang Hanna lihat hanya Haekal yang sedang menatap sedikit kesal ke arah Jovan.

“Iya, kan, Kal, tadi kamu minta disuapin?” Jovan sedikit menyenggol lengan kiri Haekal, Haekal hanya bisa pasrah setelahnya.

“Iya... Tolong, Mah...” Walau ragu, akhirnya Haekal meminta bantuan Hanna untuk menyuapinya makan. Hanna semakin bingung dengan situasi ini, “Tolong suapi saya.” Lanjut Haekal lagi ketika dirasanya Hanna tak kunjung memberi jawaban atas permintaannnya.

Ragu, teramat ragu Hanna akhirnya datang menghampiri ranjang Haekal untuk menyuapinya. Ini akan jadi kali pertamanya menyuapi Haekal, semenjak kecil, Haekal sudah diambil alih oleh pengurus rumah tangga untuk mengasuhnya, Hanna hanya memberikannya ASI, setelah itu, ia diberi jarak oleh orangtuanya agar tak terlalu dekat dengan Haekal.

“Di sini, Bu Hanna, silahkan duduk di sini supaya lebih leluasa menyuapi Haekal.” Jovan mempersilahkan Hanna untuk duduk di kursi yang terdapat di samping ranjang Haekal, dan berganti posisi, menjadi ia yang duduk di sofa ruangan tersebut, memperhatikan bagaimana kecanggungan yang sedang melanda Anak dan Ibu tersebut.

“Jangan pakai sayurnya,” Ucap Haekal ragu, ketika dilihatnya Hanna sedang menyiapkan brokoli pada sendok yang akan ia suapkan kepada Haekal.

“Harus makan sayur, bukan?” Tanya Hanna balik tak kalah ragu.

“Tapi saya gak suka sayur.” Jawab Haekal terus terang, mendengar itu Hanna kembali mengambil sayur yang ada di piring tersebut, lebih banyak lagi.

“Kalau itu bukan alasan untuk gak makan sayur.” Hanna mengarahkan sendok tersebut ke arah mulut Haekal yang masih tertutup, Haekal menggeleng pelan, menolak suapan tersebut, “Supaya cepat sehat, aaaa, ayo.” Hanna tanpa sadar membuka mulutnya, memberi isyarat agar Haekal juga membuka mulutnya. Haekal seperti terhipnotis dengan itu, dan ikut membuka mulutnya perlahan, sehingga sendok berisikan nasi, lauk, dan sayur itu dengan sempurna masuk ke dalam mulut Haekal untuk dikunyah.

Jovan tersenyum bahagia mengamati pemandangan di depannya ini, memang seharusnya seperti itu, kan, layaknya Anak dan Ibu yang saling mengasihi, saat itu juga Jovan bertekad, untuk memperbaiki hubungan antara Haekal dan Hanna agar keduanya merasa saling sayang, dan saling melindungi satu sama lain.

“Lagi, mau pakai wortel atau brokoli?” Kali ini Hanna memberi kesempatan Haekal untuk memilih.

“Enggak keduanya, rasanya aneh.” Jawab Haekal menolak, masih berusaha untuk menelan abis suapan sebelumnya.

“Pakai wortel, ya, sama ayamnya saya banyakin.” Kembali Hanna mengarahkan sendok tersebut kepada Haekal yang dengan wajah pasrahnya membuka kembali mulutnya secara perlahan. Jovan terkekeh pelan melihat itu, persis seperti dirinya sewaktu kecil dulu, harus dipaksa dulu oleh Ibunya untuk memakan sayur.

Jovan tak mau moment indah ini hanya terlewatkan saja, segera ia ambil handphone yang berada di saku celananya, dan dengan segera memotret Haekal dan Hanna. Di potret tersebut, terliha Hanna sedang menyuapi Haekal, dengan tangannya yang menengadah di bawah dagu Haekal, bersiap menampung apabila ada makanan yang tak masuk dengan sempurna dari mulut Haekal agar tak jatuh berserakan.

“Tuhan sangat sempurna kebahagiaan yang saya lihat kali ini. Saya mau seperti ini saja, Tuhan. Tolong... Pertahankan bahagia kami...” Batin Jovan meminta, dapat ia bayangkan, bagaimana indahnya apabila semesta merestui hubungannya dengan Hanna pada saat dulu, mungkin mereka akan menjadi keluarga kecil yang sangat bahagia dan saling mengasihi.

“Bapak sedang apa?” Pertanyaan itu berasal dari Haekal, menyadarkan Jovan dari lamunan sesaatnya, dengan posisi tangannya yang terlihat sedang memotret dua orang di depannya itu.

“Oh ini, saya fotokan kalian, silahkan senyum ke kamera,” Tawar Jovan, padahal sebelum menawarkan ini, Jovan sudah terlebih dahulu memotret Hanna dan Haekal diam-diam.

“Jangan,” “Enggak,”

Respon Hanna dan Haekal menolak secara bersamaan, keduanya langsung mengalihkan wajah mereka dari kamera ponsel Jovan secara bersamaan juga.

“Loh, tadi Haekal juga bukan yang minta difotokan bersama Mamah?” Lagi, Jovan menjebak keduanya ke dalam permainannya. Baru saja Haekal ingin protes, Jovan sudah terlebih dahulu berdeham memberi kode, dan mengedipkan sebelah matanya kepada Haekal.

“Iya, kan, tadi bilang ke saya, sekarang sudah ada Mamahnya, malah malu-malu.” Goda Jovan tak hentinya. Hanna yang mendengar itu, menjadi salah tingkah, dan mengalihkan fokusnya untuk membereskan sisa makanan Haekal.

“Iya...” Pada akhirnya Haekal kembali mengalah dan mengikuti kemauan Jovan yang baginya sangat sangat menyebalkan. “Ayo foto, Mah, sebentar, soalnya belum pernah foto bersama.” Sambung Haekal sedikit ragu.

“Tapi kalau gak mau, enggak masalah, Mamah mungkin khawatir publik-”

“Cepat fotokan.” Ucap Hanna memotong perkataan Haekal, walau ucapan tersebut lebih terdengar seperti perintah dibandingkan permintaan tolong yang sopan, Jovan sama sekali tak mempermasalahkan itu, malah ia tersenyum lebar mendengar itu, dan dengan semangat mengambil potret Ibu dan Anak itu.

“Satu... Dua... Tiga, senyum!” Tepat dihitungan ketiga, Jovan berhasil mengambil potret keduanya yang sedang tersenyum, walau terlihat sekali bagaimana lengkung dibibir mereka sangat canggung, namun Jovan tetap tersenyum bahagia melihat hasil dari potret tersebut.

“Hasilnya bagus, nanti saya kirim-”

“Enggak perlu.” “Jangan kirim ke saya.”

Lagi, Ibu dan Anak itu dengan kompak menolak tawaran Jovan, Jovan terkekeh mendengar kekompokkan itu, dan mengangguk paham, walau nanti tetap saja ia akan mengirim foto ini pada keduanya, tanpa harus diminta terlebih dahulu.


Hanna duduk seorang diri di luar ruang inap Haekal, 30 menit yang lalu, datanglah teman-teman Haekal yang hendak menjenguk Haekal, karena itu Hanna kembali keluar ruangan, supaya hadirnya tidak diketahui oleh teman-teman Haekal, pikirnya masih terlalu tak aman apabila hubungan darah antara keduanya tercium publik untuk saat ini.

Seulas senyum tipis terpoles di bibir indah Hanna, walau berusaha menahan, tetap saja senyuman itu terlihat dari bibir mungilnya. Hatinya terasa hangat ketika mengingat bagaimana tadi ia menghabiskan waktu bersama Haekal, walau dengan canggung yang melanda keduanya.

Hanna sadar, ia sama sekali tak pernah sedekat itu dengan Haekal, yang Hanna ingat hanyalah ia pernah menyusui Haekal di beberapa bulan awal kelahiran Haekal, setelah itu, ia benar-benar dilarang oleh orangtuanya untuk terlalu dekat dengan anaknya sendiri. Ironis sekali, namun begitulah konsekuensi hidup yang harus Hanna jalani demi menyelamatkan Haekal kecil yang dulu hampir saja tak terselamatkan apabila ia tak membuat kesepakatan dengan orangtuanya.

Hanna memandangi jemarinya, kembali bayang akan jemarinya yang tadi menyuapi Haekal terlintas dipikirannya, senyum yang tadinya hanya terulas tipis, perlahan semakin mengembang, namun, satu tetes air mata kebahagiaannya ikut terjun mengenai jemarinya. Hanna bahagia, itulah yang ia tahu saat ini. Harunya menyeruak, dan diam-diam hatinya berharap, agar masih bisa menyuapi Haekal di lain hari, seperti tadi.

“Hai,” Sapaan tersebut menyadarkan Hanna, segera ia hapus bulir bening yang membasahi pipinya. Hanna sudah mulai terbiasa dengan suara itu yang kembali hadir lagi akhir-akhir ini, jadi tak perlu lagi ia terkejut apabila mendengar suara tersebut, suara Jovan.

Hanna tak menjawab, hanya menatap datar ke arah Jovan yang saat ini duduk di sampingnya, dan kemudian menghela napasnya, menandakan ia sangat tak mengharapkan hadir Jovan di sisinya, walau sebenarnya mereka terhalang oleh satu bangku yang sengaja Jovan kosongkan agar Hanna sedikit merasa aman dengan jarak tersebut.

“Roti isi pisang dan coklat, dan susu vanilla kesukaan kamu.” Jovan memberikan sebuah kantong kresek, ia letakkannya kresek putih tersebut di samping Hanna, tepatnya pada bangku yang sengaja ia kosongkan untuk membuat jarak. Hanna hanya melirik sekilas pada kantong kresek tersebut.

“Saya gak butuh.” Jawabnya singkat, namun sial, detik berikutnya terdengar bunyi yang berasal dari perut Hanna, seakan meminta untuk diisi sang empunya, karena dari kemarin perutnya belum diberi asupan sama sekali. Jovan terkekeh mendengar itu, dan semakin mendekatkan kresek putih tersebut kepada Hanna.

“Kamu gak butuh, tapi barusan perut kamu teriak butuh roti pisang ini,” Hanna mendengus kesal mendengar ucapan tersebut.

“Saya pamit pulang ya, Na, titip Haekal. Kalau berkenan, silahkan makan roti yang saya kasih, kalau enggak mau, gapapa, Na. Nanti saya sampaikan ke orang yang berjaga di luar untuk belikan bosnya makan.” Ucap Jovan berpamitan, Hanna tak menjawab, seolah tak peduli dan tak mendengar ucapan Jovan barusan. Jovan kembali tersenyum, setidaknya kali ini Hanna tak menyumpahinya dengan berbagai serapah yang kasar.

“Hanna...” Panggil Jovan sebelum benar-benar melangkahkan kakinya untuk pergi, Hanna tak menjawabnya, malah mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.

“Hanna...” Lagi, Jovan kembali memanggil Hanna. Panggilan kedua ini seakan membangkitkan kembali kekesalan Hanna, walau tak menjawab, terdengar decakan kesal Hanna.

“Na...”

“Apa?!”

“Terima kasih sudah mau bekerja sama memberi bahagia kepada Haekal hari ini.” Ucap Jovan, dan menunduk sopan kepada Hanna sebelum melangkahkan kakinya untuk pulang. Hanna tak menjawab itu, karena Jovan pun segera pergi setelah mengatakan itu. Dilihat Hanna bagaimana punggung itu semakin menjauh, hingga perlahan menghilang dari pandangannya.

Perasaannya campur aduk saat ini, rasa kesalnya tak begitu meluap-luap pada saat tadi Jovan menemuinya, mungkin karena rasa bahagia yang lebih mendominasi Hanna. Dan, Hanna pun menyadari, kedekatannya hari ini dengan Haekal tak lepas dari usaha Jovan yang sangat terlihat sedang mengusahakan untuk mendamaikan Hanna dengan Haekal. Namun, tetap saja, Hanna masih belum bisa mempercayai Jovan lagi, tetap saja rasa sesak timbul apabila mengingat bagaimana cara Jovan meninggalkannya dulu. Masih sulit bagi Hanna kalau harus berdamai dengan Jovan, bahkan rasanya masih tak mungkin.

“Permisi, Bu...” Seorang pekerja yang ditugaskan untuk mengambil alat makan para pasien melewati Hanna yang sedang duduk termenung sendiri, Hanna hanya mengangguk merespon pekerja itu.

Di lihat Hanna pekerja itu membawa beberapa bekas piring, mangkuk dan sendok bekas makan Haekal tadi, dan saat itu juga dengan terburu-buru ia mengirim pesan kepada seseorang melalui handphonenya.

IMG-20210906-WA0016

Hari ini menjadi kali pertama untuk ketiga orang itu. Kali pertama bagi Jovan membantu anaknya membersihkan badan, Kali pertama bagi Hanna menyuapi anaknya makan, dan kali pertama bagi Haekal bisa foto berdua dengan ibunya selama hampir 18 tahun hidup di dunia ini.

Sangat sederhan, kan, kali pertama bagi mereka, yang bahkan hal-hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang biasa saja bagi orang lain, namun, Jovan, Hanna, Haekal baru diberi kesempatan oleh semesta untuk merasakan hal-hal sederhana itu hari ini, setelah belasan tahun ketiganya terjebak antah berantah semesta yang mengakibatkan mereka terluka dengan berbagai cara. Entahlah semesta sedang mempersiapkan apa, yang pasti ketiganya saat ini sedang mensyukuri kali pertama yang Tuhan beri kepada mereka.


IMG-20210906-WA0014

-Ara