kejeffreyan

Sudah terbit.

Dikta dan Jeffrey

jaedo

Tepat seminggu sudah Jeffrey meninggalkan kamar Kosnya, ia kesana kemari mengunjungi rumah teman-temannya untuk menumpang tidur dan mandi, bahkan tak jarang ia tertidur di warung kopi 24 jam yang biasa ia kunjungi. Selama seminggu itu pikirannya sangat kacau, tiap kali ditanyai oleh temannya Jeffrey hanya menjawab, “Gak kenapa-kenapa, gue lagi cari ilham buat selesaiin Skripsi aja.”

Hingga pada akhirnya ia memutuskan untuk pulang ke Kosannya, mengingat baju yang ia pakai sudah sangat lusuh dan ia pun sudah sangat malu untuk terus menumpang tidur di kamar kos temannya yang bahkan tak terbilang dekat dengannya. Setelah memastikan tak ada motor atau mobil dari Johnny, Atuy, Theo dan Dikta yang terparkir didepan Kosannya, Jeffrey melangkah menuju kamar Kosnya yang terletak pada lantai dua.

“Dari mana aja kasep seminggu gak ada dikosan?” Ucap mang ujang, penjaga Kos ketika berpapasan dengan Jeffrey di tangga.

“Bertapa mang di gunung semeru.” Jawab Jeffrey asal. Beginilah tingkahnya dari kemarin, ia berusaha tetap menjadi Jeffrey seperti biasanya yang dikenal konyol, walaupun sebenarnya pikiran dan hatinya sedang tidak baik-baik saja.

“Si bodor.” Jawab mang ujang dan meninggalkan Jeffrey.

Jeffrey melanjutkan langkah kaki nya menuju kamar Kosnya, berjalan dengan langkah yang amat lamban dan kepala yang ia tundukkan. Didalam kepalanya sedang terjadi perdebatan, sebagian dari dirinya ingin bertemu dengan Dikta, sebagian lagi menyuruhnya untuk menjauh. Bukan, bukan karena ia kecewa karena Dikta merahasiakan penyakitnya, namun karena Jeffrey terlampau kecewa dengan dirinya sendiri yang dengan jahatnya merebut kebahagiaan Dikta, terlebih lagi dalam kondisi Dikta yang sedang sakit.

“Tolol.” Gumamnya pelan. Sudah beribu-ribu kali Jeffrey memaki dirinya sendiri, tak jarang memukul kepalanya kesal tiap kali teringat Dikta dan kejadian di masa lalu ketika dengan tak tahu dirinya ia berhubungan dengan Alea, pacar Dikta kala itu.

Ketika beberapa langkah lagi Jeffrey sampai pada kamar kosnya, tiba-tiba langkah kakinya terhenti tepat pada saat ia melihat seorang laki-laki tengah terduduk di depan pintu kamar kosnya. Jeffrey kenal betul dengan tubuh yang sedang terduduk itu, terlebih lagi laki-laki itu sedang memeluk jaket yang seminggu lalu Jeffrey tinggalkan disana. Ya, orang itu adalah Dikta.

Mendengar langkah kaki Jeffrey, Dikta langsung menyadari dan mengarahkan pandangannya kepada Jeffrey yang sekarang sudah berdiri kaku. Dikta menunjukan Jaket yang ia peluk tadi kepada Jeffrey dan berkata,

“Lo belum bilang makasih karena gue udah pinjemin ini.” Ucap Dikta datar. Masih sama seperti Dikta yang sebelumnya Jeffrey kenal.

Jeffrey hanya terdiam, ia tak berani manatap Dikta. Sial, usaha menghindari Dikta ternyata gagal. Tanpa berpikir panjang lagi, Jeffrey langsung membalikkan badannya dan berjalan menuju tangga. Ia ingin pergi menjauh dari Dikta, ia masih tak siap jika harus bertemu dengan Dikta.

“Jeff.” Panggil Dikta. Namun Jeffrey berpura-pura untuk tidak mendengar panggilan tersebut dan tetap melangkahkan kakinya untuk pergi menjauh secepatnya.

Belum sempat Jeffrey menuruni tangga, Jeffrey mendengar suara jatuh dari arah pintu kamarnya. Ia langsung menoleh kesana dan melihat Dikta yang sudah terjatuh dilantai dengan rak sepatu yang ikut terjatuh berantakan.

Dikta tertawa kecil setelah itu. “Hahaha letoy banget anjing gue.”

Jeffrey segera menghampiri Dikta yang terjatuh, ia langsung membantu Dikta untuk bangkit, tak lupa ia memastikan tidak ada yang terluka pada tubuh Dikta. Dikta kembali tertawa menyadari hal tersebut.

“Gue tuh sekarang sering lemes, jadi jangan nyuruh gue buat kejar lo.”

“Lo mau gue antar balik?” Tanya Jeffrey.

“Enggak, gue mau numpang tidur sebentar. Badan gue lemes.” Jawab Dikta dan langsung merampas kunci yang sedang Jeffrey pegang. Dikta langsung membuka pintu kamar tersebut dan masuk tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari Jeffrey. Melihat itu Jeffrey hanya bisa pasrah dan mengikuti Dikta memasuki kamar kosnya.

“Masih aja bau apek kamar lo kayak dulu.” Ucap Dikta dan langsung menjatuhkan tubuhnya pada kasur yang ada di kamar tersebut.

“Lo kapan mau balik?” Jeffrey bertanya lagi.

“Nanti kalo lemesnya udah ilang.”

Keduanya terdiam dan hening, Dikta yang terbaring sembari menatap langit-langit kamar Jeffrey, dan Jeffrey yang duduk di lantai kamarnya tanpa ada alas sedikitpun. Sudah lama sekali tak seperti ini, bahkan mereka pun tak ingat kapan terakhir kali mereka bersama dan hanya berdua saja. Keduanya tenggelam dalam ingatan setahun yang lalu, dimana keduanya masih sangat dekat dan selalu bersama. Bahkan yang orang lain tau, dimana ada Dikta disitupun pula akan ada Jeffrey.

“Jeff maafin gue.” “Ta, maaf.”

Ucap mereka bersamaan.

Dikta tertawa dan bangkit dari posisi terlentangnya, ia pun mengambil posisi duduk di pinggir kasur Jeffrey dan menatap sahabatnya yang masih tertunduk sekarang.

“Maafin gue, Ta.” Lanjut Jeffrey.

“Gue kira lo marah sama gue, Jeff.”

“Mana mungkin, gue cuma malu, Ta. Gue ngerasa enggak pantas buat ketemu lo lagi, gue udah jahat banget. Gue malu, Ta.”

Dikta tak menjawab, ia mencoba menahan apa yang ingin ia sampaikan dan mendengarkan semua penjelasan Jeffrey terlebih dahulu.

“Tujuh hari hidup gue gelisah, gak bisa tidur, makan juga gak ada rasanya, Ta. Anjing, kok bisa ya gue jadi manusia sejahat ini yang egois, yang gak tau diri, dan sekarang malah jadi pengecut yang lari.”

“Tolol banget anjing gue, Ta. Dibutakan sama cinta tai anjing gini. Gue nyesel, Ta. Nyesel banget jadi manusia gak tau diri gini. Boro-boro bantuin lo di HIMA, boro-boro tau penyakit lo dan support lo, yang gue lakuin malah nusuk lo dari belakang. Demi tuhan, selama jalanin status gak jelas sama Alea hidup gue enggak tenang bahkan sampai sekarang.”

“Ditambah lagi berita kemaren...”

Jeffrey berdiri mengampiri Dikta yang terduduk. Dikta menatap Jeffrey bingung.

“Ta, pukul gue. Tonjok gue, Ta. Tendang gue, sekarang.” Jeffrey mengambil tangan Dikta dan memberi intruksi agar Dikta segera memukulnya. Namun Dikta hanya diam dan tersenyum kecil melihat tingkah Jeffrey.

“Atau lo pegang vas bunga ini, lo lempar ke kepala gue, Ta. Gapapa sumpah, seenggaknya dengan cara itu rasa sakit lo terbalaskan.” Jeffrey meraih Vas bunga yang diletakkan di atas meja. Dikta mengambil vas bunga tersebut dan menuruh di lantai.

“Sini duduk, kalo lo berdiri gitu gue susah buat nonjok lo. Gue mager berdiri.” Jawab Dikta pada akhirnya.

Mendengar itu Jeffrey segara duduk dan berhadapan dengan Dikta. Ia langsung memberi akses kepada Dikta agar dapat dengan leluasa memukul wajahnya.

“Nih, lo boleh tonjok gue sampe mampus, atau kalau lo mau lempar juga vas bunga nya, Ta. Gue pantes nerima itu.”

“Tolol.” Ucap Dikta sembari tertawa mendengar ucapan sahabatnya itu. Detik kemudian ia langsung memeluk Jeffrey. Sejujurnya, dari tujuh hari yang lalu Dikta selalu mampir ke kosan Jeffrey untuk memastikan bahwa Jeffrey sudah pulang, namun Jeffrey tak kunjung pulang. Ada banyak yang ingin Dikta sampaikan kepada Jeffrey, dan ada maaf yang belum sempat Dikta ucapkan kepada Jeffrey.

“Gue kangen lo bego, Jeff.”

“Maafin gue, Ta. Maafin gue yang udah jahat ke lo.” Bisa Dikta rasakan kaos yang ia gunakan mulai basah oleh air mata Jeffrey.

“Jangan nangis anjing, kayak bocah aja.”

“Maafin gue, Ta. Maaf...” Hanya kalimat itu yang dapat keluar dari bibir Jeffrey sedari tadi, tak ada pembelaan, tak ada pula sanggahan lainnya.

“Basah anjing baju gue.” Dikta melepaskan pelukannya, sebenarnya bukan karena ia risih akan bajunya yang mulai basah, namun melihat Jeffrey menangis seperti itu sangat menyakitkan hatinya, semua ini bukan hanya tentang kesalahan Jeffrey tetapi juga kesalahan dirinya yang egois di masa lalu.

Dikta memegang kedua sisi dari bahu Jeffrey supaya tegap. “Jangan letoy, udah kayak Maba lagi Osjur aja.” Ucapnya. Sedangkan Jeffrey sibuk menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti.

“Lo seminggu kemana aja?” Tanya Dikta. Namun Jeffrey tak menjawab, ia kembali menunduk tak berani menatap Dikta.

“Jeff, lo gak salah.” Ujar Dikta, mendengar itu Jeffrey langsung menatap Dikta dengan mimik wajah tak setuju dengan ucapan Dikta barusan.

“Gue salah, gue berdosa!” Sangkal Jeffrey secara langsung.

“Jujur, gue gak pernah marah sama lo, Jeff. Gue yang salah, selama ini pura-pura marah dan memperlakukan lo separah ini, jadi lo jangan ngerasa bersalalah dan berdosa kayak gini.” Mendengar itu Jeffrey semakin bingung mencerna maksud dari ucapan Dikta barusan.

“Gue bersyukur banget Alea nemuin cowok yang pantas buat dia, lebih dari itu dia menemukan cowok yang mampu menemani dia sampai akhir, sampai tua. Dan cowok itu lo, Jeff.” Lanjut Dikta.

“Gue paham sama kondisi gue, Jeff. Tapi pada saat itu gue selalu egois keukeuh mau mempertahankan Alea sampai akhir, dan enggak kasih tau dia tentang kondisi gue yang sebenernya. Dan gue pun sadar, gue harus lepasin Alea, karena gue enggak akan bisa kasih dia kebahagiaan jangka panjang, Jeff. Tapi, karena keegoisan, gue gak bisa mutusin Alea. Gue gak bisa lepasin Alea, kecuali Alea yang mencoba pergi dan lepas dari gue.”

“Sampai pada akhirnya gue sadar, hati Alea udah bukan buat gue lagi, perhatian Alea udah mulai terbagi, kalau udah gitu berarti emang pertanda gue harus mundur kan, Jeff? Toh kalo gue egois bertahan dengan alasan Alea masih sayang sama gue, itu udah gak berlaku ketika Alea memilih membagi hatinya buat lo.”

“Dan gue pun sadar, udah gini jalannya. Tuhan menyelamatkan Alea dengan cara mempertemukan dia dan lo. Gue gak marah, sumpah. Gue cuma iri, jeff. Pada saat itu gue iri karena lo pantas buat Alea, iri karena kesempatan lo banyak buat membahagiakan Alea, iri karena lo punya fisik yang sehat dan kuat, sedangkan gue benar-benar kalah dalam hal tersebut.”

“Ta, anjing gak gitu.” Jeffrey tetap tak terima dengan ucapan Dikta barusan.

“Kita ngomongin sesuai kenyataan aja, Jeff. Harusnya gue yang minta maaf karena udah diemin lo selama ini. Dan alasan gue buat diemin lo konyol banget. Pertama, gue takut orang curiga sama gue dan akhirnya tau kalo gue sakit. Kedua, tiap kali ngobrol sama lo, gue takut ada bayang-bayang Alea lagi dan bikin gue mau balik sama dia. Padahal enggak seharusnya gue kayak gitu, gue kalut sendirian pada saat itu, enggak ada teman cerita dan enggak ada teman yang bisa gue minta saran, dan pada akhirnya gue malah memilih jalan yang salah dan bikin kondisi jadi seribet sekarang.”

Dikta menggeserkan posisi duduknya mendekati Jeffrey, ia menatap Jeffrey sendu. Tangan kanannya terangkat dan menepuk pundak Jeffrey pelan,

“Makasih, Jeff. Makasih udah selamatin gue dan Alea, makasih udah bantu gue buat lepasin Alea, dan makasih sudah melepaskan Alea dari ikatan penuh keegoisan gue. Maafin gue yang baru bisa jujur sekarang, maafin tingkah bodoh gue, Jeff. Maaf gue selalu menghindar dan ketus sama lo, padahal pada kenyataanya gue kangen sama lo, kangen ngobrol sama lo, kangen makan warteg di belakang kampus sama lo, kangen semuanya yang sering kita lakuin bersama.”

Jeffrey semakin terisak mendengar itu, ia tak bisa mengeluarkan sepatah katapun. Jeffrey tak lagi memperdulikan rasa malunya sebagai seorang lelaki. Lelaki juga bisa menangis, bukan?

“Jangan nangis anjing, tetangga kos lo pada keluar kamar. Anjing gue yang malu.” Dikta berusaha menenangkan isakan Jeffrey dengan caranya.

“Gak... kuat gue. Ta... maaf.... gatau anjing...”

“Gue yang banyak salah sama lo, Jeff. Sorry sahabat lo ini sok kuat, sok bisa selesaikan semuanya sendiri, akibatnya malah kayak gini... Kita jadi jauh, hubungan lo sama Alea juga tambah memburuk, dan penyakit gue juga semakin parah.”

“Lo harus sembuh, Ta. Gue marah banget sama tuhan kalau jahat sama sahabat gue. Atau, ini ginjal gue buat lo. Gue rela, asal bisa tua bareng sama lo.” Dikta tersenyum mendengar itu, ia semakin tersadarkan bahwa banyak sekali yang sangat menyayanginya, ia memiliki empat orang sahabat yang sangat mengkhawatirkannya. Dikta amat menyesali betapa bodohnya dirinya dahulu, memilih pilihan yang salah, jika saja dulu ia tidak egois dan merasa bisa menghadapi penyakit ini sendirian tanpa dukungan yang lain, mungkin jalan yang ia lalui tak akan terasa seberat ini.

“Lo ngasih ginjal udah kayak ngasih rokok aja, enggak ada ginjal-ginjalan, rawat baik-baik ginjal lo. Cukup gue aja, ginjal gue udah rusak parah padahal gue masih muda. Gue pengen temen-temen gue punya ginjal yang sehat dan baik-baik aja, karena gue udah ngerasain betapa sakitnya ketika ginjal kita ada masalah.”

“Ta, gue serius.” Jeffrey terlihat sangat serius, ia hanya ingin Dikta sembuh. Ada banyak penyesalan yang harus ia bayar kepada Dikta.

“Kalo lo macem-macem, gue bakal musuhin lo beneran, enggak pura-pura kayak kemaren. Hahaha.”

“Sampai tua ya, Ta. Lo harus bertahan sampai kita tua. Nanti kalau lo punya anak, kita jodohin. Masa lo gak mau besanan sama gue?”

Mendengar itu Dikta hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya, sungguh ia tak bisa menjanjikan sesuatu yang berjangka panjang, apaagi Tuhan selalu punya kejutan di setiap harinya.

“Kalau tuhan denger, semoga tuhan bantu buat kita jadi besan ya, Jeff.”

“Iya harus. Kalau enggak, gue bakal marah banget sama Tuhan.”

Sore itu Dikta berhasil berdamai dengan Jeffrey,mungkin lebih tepatnya berdamai dengan dirinya sendiri. sore itu pula keduanya kembali mengobrol seperti biasa lagi, layaknya dahulu.

-Ara.

Alkohol dan Kejujuran

jaedo

“Jeff, udah anjir. lo udah habisin berapa botol itu.” Johnny berusaha mengambil botol keempat yang hendak diminum oleh Jeffrey.

“Diem dulu kenapa sih, John. Gue udah lama gak minum, ya gak bro?” Jeffrey menyenggol lengan Dikta. Dikta tak menggubrisnya namun ia menatap Johnny dan memberi isyarat untuk membiarkan Jeffrey.

Sekitar jam delapan tadi mereka berlima sepenuhnya sadar, mereka mengobrol dan bercanda cukup lama. Mengingat sudah lama sekali kelimanya tidak berkumpul seperti sekarang, sudah pasti banyak sekali bahan obrolan yang muncul karena itu. Diawali dengan kecurigaan Atuy terhadap Dikta yang menonton film tak senonoh sehingga jarang sekali masuk kuliah pagi, Dikta hanya tertawa mendengar itu sembari berucap “Ngaco aja lo tuy. Lo kali itu mah.” Berbeda sekali dengan respon Johnny yang terlihat sangat tidak nyaman dengan kecurigaan itu, ia terus-terusan menginjak kaki Atuy tiap kali Atuy mengintrogasi Dikta dengan berbagai pertanyaan yang tak masuk akal.

Hingga sekarang tepat pukul satu pagi, nampak beberapa botol bekas minuman yang telah mereka habiskan. Theo yang memiliki toleransi paling rendah terhadap alkohol sudah terkapar di kasur Johnny padahal ia hanya meminum beberapa gelas saja. Atuy yang memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol nampak berbeda hari ini, ia baru meminum satu botol namun sekarang sudah tertidur pulas disamping Theo. Berbeda lagi dengan Jeffrey yang sampai sekarang masih memaksakan dirinya untuk terus meminum beberapa botol yang tersisa.

“Jeff, anjir udah ngaco gini ngomongnya masih aja minum.” Johnny terus-terusan memperingati Jeffrey agar ia berhenti menegak botol minuman tersebut, namun nihil, ucapan Johnny sama sekali tak didengar oleh Jeffrey. Sekarang ia malah mendekati Dikta dan memegang kedua pipi Dikta menggunakan kedua telapak tangannya. Dikta sontak kaget, ia berusaha melepaskan namun tak bisa.

“Ini Dikta bukan? hehehe.” Jeffrey memanggil dikta dengan senyum cengengesan yang tak karuan, dengan jarak sedekat ini jelas sekali Dikta dapat mencium aroma alkohol dari mulut Jeffrey.

“Jeff anjir.” Johnny mulai kesal dan langsung menarik tubuh Jeffrey agar menjauh dari Dikta. Jeffrey langsung menepis Johnny dan kembali mendekati Dikta. “Ini orang Mirip Dikta yaa, tapi masa Dikta disamping gue?”

“Udah biarin, John. Kita lihat ini anak mau ngapain.” Jawab Dikta pada akhirnya.

“Gue tuh kangen banget sama Alea Hahaha.”

Satu kalimat yang keluar dari mulut Jeffrey membuat Dikta dan Johnny yang mendengarnya langsung terdiam. Ini adalah bahasan paling sensitif bagi mereka berlima, dan sekarang Jeffrey dengan pengaruh alkoholnya berani membuka bahasan mengenai itu.

“Jeff...” Johnny kembali memanggil Jeffrey supaya ia sadar dengan apa yang barusan ia ucapkan.

“Kangen Alea banget.” Lanjut Jeffrey. Tatapannya kosong sembari memainkan botol minuman yang ia pegangi.

“Yaudah samperin.” Jawab Dikta setelah itu.

Mendengar itu Jeffrey langsung mengarahkan pandangannya kepada Dikta lalu ia tertawa kencang. Namun tawanya berbeda dengan tawa beberapa jam yang lalu, siapapun yang mendengarnya pasti paham ada luka balik tawa tersebut.

“Tapi... Gue lebih kangen Dikta.” Lanjut Jeffrey pelan dan menunduk.

“Kangen ngopi sama Dikta, kangen makan di warteg bareng Dikta, kangen nganterin Dikta ke Fakultas buat ketemu pak Dekan, Kangen main ke rumah Dikta, kangen bercandain Dikta.”

Dikta membuang napas beratnya ketika mendengar itu semua dari mulut Jeffrey. Ingin sekali ia merangkul Jeffrey dan mengakui bahwa ia pun merindukan semua itu, bahkan sangat.

“Awalnya gue pikir kehilangan Alea bakal kerasa sakit banget hati gue. Tapi ternyata kehilangan sahabat yang selalu bareng-bareng terasa lebih menyakitkan Hahaha.” Lagi dan lagi Jeffrey tertawa.

“Jeff, udah-udah. Lo udah mabok banget, tiduran aja yuk.”

“Biarin, John. Dia udah gak minum lagi kok. Udah biarin dulu aja, gue mau denger penjelasan dia yang selama ini gue tolak.” Mendengar itu akhirnya Johnny menyerah.

Mereka berdua mendengarkan semua ocehan Jeffrey, memang benar ketika mabuk, bagian otak yang berfungsi untuk menahan manusia mengekspresikan semua perasaanya di shut down secara otomatis oleh alkohol, terbukti sekarang dengan Jeffrey yang mengeluarkan semua perasaan yang ia tahan dari dulu.

“Ingat cewek yang selalu gue ceritain pas maba sama kalian? Yang gue suka dari awal ketemu dia, bahkan kalian suruh gue buat tembak dia sebelum diambil orang? Hahahaha iya itu Alea, sial banget itu Alea. Sial banget waktu itu baru satu langkah gue usaha gue buat deketin dia, ternyata Alea lebih dulu pacaran sama Dikta, sial banget bahkan gue belum sempat deketin dia, sial banget kenapa harus Alea, sial Hahahaha.”

“Jeff...”

“Gak apa-apa lanjut aja, Jef.”

Johnny hanya bisa pasrah dengan apa yang akan diucapkan Jeffrey selanjutnya, memang kesalahan besar mempertemukan Jeffrey dengan botol-botol yang berisikan Alkohol.

“Alea kesepian banget, tiap jam nanya kabar Dikta ke gua. Walaupun isi pesannya cuma nanyain Dikta, tapi gue senang banget seenggaknya gue ada komunikasi sama dia.” Lanjut Jeffrey.

“Tetap aja lo salah.” Gumam Johnny pelan mendengar itu.

“Kesalahan terbesar gue adalah mengikutsertakan perasaan pribadi pada saat Alea curhat, bego banget anjing tolol Jeffrey.”

Dikta menggeserkan duduknya berusaha mendekatkan lagi dirinya kepada Jeffrey, hingga sekarang ia tepat berada disamping Jeffrey. Jeffrey yang sadar akan pergerakan tersebut langsung tertawa ketika menaikan pandangannya dan bertemu wajah Dikta.

“Dikta Hahaha.” Ada air mata yang jatuh disela-sela tawanya. Tawanya perlahan berubah menjadi isakan. Jeffrey menangis tepat disamping Dikta.

“Gue kehilangan dua orang yang gue sayang sekaligus, tai anjing kalo gue masih bisa ketawa didepan orang banyak. Itu semua bohong, padahal tiap malam rasanya hati gue sakit banget mau hubungin dua orang itu, dan ujung-ujungnya gak bisa tidur sampai pagi.”

“Gue kangen Alea, tapi gue gak mau kayak gini terus sama Dikta.”

“Gue cuma mau ngerasain cinta dan persahabatan yang indah, bukan kayak gini. Tolol banget emang gue, bikin semuanya kacau.”

“Gue kangen Alea, tapi yang paling menyakitkan hati gue adalah ketika jadi orang asing bagi Dikta. Gue kangen Alea, tapi dianggap gak ada sama Dikta jauh lebih bisa bikin gue gak bisa tidur tiap malam.”

Jeffrey mengusap air matanya secara kasar, ia mengambil botol minuman yang tadinya hanya dimainkan. Namun, belum sempat Jeffrey menegak botol tersebut, Dikta sudah merampasnya duluan dari tangan Jeffrey.

“Jangan, Jeff. Lo udah minum banyak.” Dikta langsung menghabiskan sebotol minuman hingga tak bersisa. Ia tak ingin minuman itu di teguk lagi oleh Jeffrey.

“DIKTA LO GILA?!” Teriak Johnny.

Tepat pada saat itu juga tubuh Jeffrey ambruk kebawah lantai, tampaknya ia sudah benar-benar kehilangan keseimbangan dan kesadarannya.

“Gue kangen lo, Ta. kangen kayak dulu lagi.” Ucap Jeffrey terakhir sebelum ia benar-benar tertidur.

Satu menit berlalu sampai akhirnya Dikta melepaskan jaket yang ia kenakan. Dikta menyelimuti tubuh Jeffrey dengan jaketnya itu.

“Gue juga, Jeff.” Ucap Dikta pelan.

Hampir 30 menit suasana hening, Dikta dan Johnny sama-sama terdiam. Jarum jam sudah menunjuk kearah jam Dua. Keduanya menatap teman-temannya yang sudah tertidur, Theo dan Yuta yang tertidur dikasur Johnny dan Jeffrey yang tertidur dilantai.

“Ta...” Panggil Johnny pelan pada akhirnya.

“Liat tuh temen lo, si bego. Dalam keadaan mabok tetap aja gak ada pembelaan, yang keluar dari mulutnya cuma penyesalan.” Dikta menatap Jeffrey yang tertidur dengan pulas.

“Ta, lo gak seharusnya minum yang ada kadar Alkohol.” Johnny mengungkit kejadian yang barusan saja terjadi.

“Lo biasanya paling banyak minum, John. Kenapa enggak nyentuh satu gelaspun?” Tanya Dikta.

“Lagi enggak pengen aja, gak sehat.” Jawab Johnny tanpa menatap Dikta, jelas sekali ia sedang berbohong.

“Enggak enak sama gue?”

“Enggak, gak gitu, Ta.”

Dikta hanya tertawa kecil mendengar jawaban Johnny. Ia membereskan bekas-bekas botol minuman yang berserakan dilantai.

“Ini alasan gua enggak mau banyak yang tau penyakit gue, gue gak suka lihat orang lain merasa gak enak dan selalu menahan diri karena gue. Kayak contohnya sekarang, lo berusaha gak minum karena gak enak sama gue yang gak bisa minum. Contoh lainnya, Mamah gue yang selalu enggak ikut arisan dan kumpul sama temen-temennya karena harus jagain gue pas cuci darah, dan...” Ucapan Dikta terhenti sejenak, ia kembali duduk,

“Dan mungkin nanti pasangan gue yang bakal selalu menganggap gue lemah dan butuh perhatian lebih. Padahal peran cowok enggak kayak gini kan, John?”

'Ta, enggak gitu maksud gue.”

“I know Hahaha, ohiya gue hari ini HD, John. Tanpa paksaan, tanpa disuruh.” Johnny yang mendengar itu sedikit membuka mulutnya tak percaya.

“Thanks udah bilang kalau kita harus hidup tanpa penyesalan.”

“Enggak, Ta. Harusnya gue yang berterimaksih karena lo udah mau hidup tanpa penyesalan.” Johnny tersenyum menatap Dikta. Dikta tertawa kecil mendengar itu.

“Tapi, enggak bisa gue pungkiri kalau Cuci darah itu semakin kesini semakin kerasa berat, John.” Ucap Dikta jujur, ia memperlihatkan bekas tusukan jarum ditangannya yang membengkak kepada Johnny.

“Berat ya, Ta? Tahan ya... Nanti jadwal HD selanjutnya gue yang temenin dan jagain lo, supaya Mamah lo bisa ikut arisan. Gimana?” Johnny merangkul Dikta, Dikta tersenyum mendengar itu. Setidaknya ada Johnny sekarang, setidaknya ia mempunyai tempat untuk mengeluh sekarang, setidaknya ia bisa berbagi sedikit rasa sakit kepada sahabatnya itu.

“Thanks, John.”

Tanpa mereka berdua sadari, ada sepasang telinga yang mendengar semua percakapan mereka dari awal sampai akhir. Ada air mata yang mati-matian ditahan oleh orang tersebut ketika mendengar percakapan mereka mengenai penyakit Dikta dan cuci darah.

“Ta, maaf... Maaf gue gagal jadi sahabat lo, brengsek banget gue ini.” Lirihnya pelan setelah memastikan Johnny dan Dikta sudah tertidur.

-Ara

Pertemuan tak sengaja

diktoy

Setelah sempat mengobrol sebentar dengan orangtua Nadhira, segera Dikta melangkahkan kakinya menuju lantai dua rumah Nadhira, lebih tepatnya menuju kamar Nadhira. Dikta sangat yakin Nadhira sedang menyiapkan drama menyebalkannya untuk menghindari sesi belajar soal SBM hari ini bersamanya.

Sesampainya Dikta didepan pintu kamar itu, Dikta mencoba untuk mengetuk pintu kamar Nadhira untuk beberapa kali, namun nihil tidak ada jawaban dari Nadhira.

“Nadh gua tau lo denger, Buka.” Ucap Dikta dengan nada datarnya.

Karena tak kunjung mendaptkan jawaban, Dikta mencoba membuka knop pintu kamar tersebut, dan ternyata langsung terbuka, pintu tersebut tidak terkunci.

'kebiasaan banget lupa kunci pintu kamar.' Batin Dikta.

Setelah pintu itu terbuka, Dikta melihat Nadhira yang sedang tertidur di ranjangnya.

“Lo tuh gak jago akting, jadi gausah pura-pura tidur.” Ucap Dikta ketika melihat mata Nadhira yang sedikit mengintipnya lalu berusaha berakting tertidur kembali.

“Nadh bangun gak! ayo gue ajarin soal SOSHUM.” Kembali Dikta berusaha membujuk Nadhira, namun sayang usahanya tidak membuahkan hasil, Nadhira keukeuh dengan akting pura-pura tertidurnya.

“Gue gelitik, serius kalau hitungan ketiga lo masih gak mau bangun.” Ancaman Pertama Dikta.

“Satu...” Dikta melangkahkan kakinya berjalan mendekati Nadhira.

“Dua...” Sekarang Dikta sudah berada tepat disamping ranjang Nadhira.

“Tiga!!!!” Dikta langsung menggelitiki sekitaran kaki Nadhira, namun sayang usaha itu tetap saja gagal, Nadhira hanya memberi reaksi sebentar dan kembali untuk berpura-pura tidur.

“Nadh gak lucu tau.”

“Bangun gak! Gue kasih napas naga nih ke muka lo. Lo ingat kan napas naga? yang bikin lo nangis pas umur 6 tahun dulu.” Ancaman kedua Dikta.

“Nadh gue serius, gue kasih napas naga ke muka lo kalo gak bangun.”

Nadhira yang mendengar itu semakin gelisah, ia langsung teringat pada saat umur 6 tahun Dikta membuang napas dari mulutnya tepat pada muka Nadhira dan berakhir dengan Nadhira yang menangis kencang pada saat itu.

'Ah bodo, ayo nadh lo gak boleh goyah, gak ada belajar di hari minggu!' Batin Nadhira berteriak kencang.

“Nadh, beneran ya gue kasih napas naga.” Sekarang Dikta sudah mulai mendekati Wajah Nadhira, bisa Nadhira dengar dengan jelas suara Dikta yag semakin mendekat.

“Satu...” Dikta mendekatkan wajahnya kepada Nadhira, bersiap mengerjai Nadhira dengan membuang nafas dari mulutnya ke wajah Nadhira.

“Dua...” Dikta kembali mendekatkan wajahnya untuk lebih dekat, sekarang jarak yang tersisa antara keduanya hanya sekitaran sejengkal saja. Ketika ingin mengucapkan 'Tiga', tiba-tiba Dikta terhenti ketika menatap wajah Nadhira dengan jarak sedekat ini.

Setelah bertahun-tahun lamanya baru sekarang ia menyadari bahwa Nadhira sudah tumbuh besar dan dewasa. Selama ini Dikta hanya menganggap bahwa Nadhira hanyalah bocah kecil yang seringkali merengek kepadanya untuk dibelikan permen karet, yang seringkali merajuk ketika Dikta tidak mau memboncengnya menggunakan sepeda untuk bermain bersama.

Dengan jarak sedekat ini pula Dikta baru menyadari bahwa Nadhira sangat cantik, rambutnya yang sedikit berantakan, mata tertutupnya yang dihiasi bulu mata lentiknya, hidung mancungnya, dan... Bibir mungil Nadhira yang berwarna Pink. Seakan-akan Dikta baru menyadari bahwa Nadhira sudah tumbuh sangat besar, bukan lagi bocah ingusan yang gampang sekali menangis dan merajuk.

“Tiga...” Ucap Dikta pelan, sebenarnya Dikta berniat untuk menjauhkan wajahnya dan mengurungkan niatnya untuk mengerjai Nadhira, namun berbeda dengan Nadhira. Mendengar hitungan ketiga itu membuat Nadhira panik dan dengan secara refleks ia berusaha untuk bangkit dari tidurnya, namun...

“Iya iya gua nyerah eumpp—–”

Gerakan refleks Nadhira tersebut berhasil menghentikan ucapannya, gerakan itu langsung mengikis habis jarak yang tadinya hanya sejengkal menjadi tidak ada jarak sama sekali, dan gerakan tersebut pula yang berhasil mempertemukan bibirnya dengan bibir Dikta secara tak sengaja.

Keduanya terkejut dan terdiam, tak ada salah-satupun dari mereka yang berusaha untuk langsung melepaskan, mereka berdua hanya bertahan diposisi tersebut. Hingga pada akhirnya setelah beberapa detik berlalu Nadhira tersadar dan langsung melepaskan 'pertemuan' tak sengaja itu dan menjauhkan wajahnya dari Dikta.

Dikta pun langsung menjauhkan dirinya dari Nadhira, ia langsung mundur beberapa langkah menjauh dari ranjang Nadhira. Keduanya sangat bingung dengan apa yang terjadi barusan.

“Anu... Nadh... Gue lupa ada mata kuliah pagi. Jadi eum... apa ya, gue eum... gue ke kampus... harus... iya harus ke kampus, aduh... jadi batal dulu belajar SBMnya ya, nanti lagi aja okay?” Ucap Dikta dengan gelagapan. Nadhira pun sama, ia tak berani menatap Dikta ia hanya menggerakkan tangannya memberi isyarat Dikta untuk pergi.

“Oh... Oke gue pulang. Eh maksudnya mau ke kampus. Gapapa ya?” Ucap Dikta masih dengan kebingungan.

“Iya pulang, gue juga mau mandiin kucing gue.” Jawab Nadhira.

“Oke, bye Nadh!” Dikta meninggalkan kamar Nadhira setelah suasana canggung tersebut terjadi

Tanpa disadari keduanya telah membuat alasan yang tak masuk akal. Dikta yang beralasan ingin ke kampus karena ada mata kuliah pagi, padahal jelas hari ini adalah hari minggu. Nadhira yang beralasan akan memandikan kucingnya, padahal kucingnya sudah mati 3 tahun yang lalu.

diktoy2

-Ara

Dikta lo sakit apa? Kenapa ada disini?

diktajohn

“Dikta, mamah kesana sebentar ya. Kamu tunggu disini dulu, gapapa ya nak?” Gue yang mendengar itu hanya bisa tertawa kecil melihat kekhawatiran berlebihan Mamah yang padahal cuma mau meninggalkan gue sebentar.

”Mah, Dikta ini udah mau 23 Tahun, bukan anak umur 5 tahun yang nangis ditinggal Mamahnya ke Toilet.” Jawab Gue sembari tersenyum kepada Mamah. Gue sangat paham akan kekhawatiran Mamah terhadap kondisi Gue yang sekarang, terlebih lagi gue sedang terduduk di kursi roda dan menunggu giliran untuk jadwal cuci darah . “Dikta gapapa loh mah, sehat. Suster aja yang lebay segala suruh pakai Kursi roda, supaya kelihatan kayak orang sakit katanya hahaha ada-ada aja.” Lanjut Gue berusaha menenangkan Mamah yang tampaknya takut banget buat meninggalkan gue barang sedetik aja.

“Yaudah Mamah kesana dulu yaa nak, sebentar kok Mamah janji. Kalo ada apa-apa langsung minta tolong aja, disana ada perawat.” Gue mengangguk setelah mendengar itu.

“Gapapa ya nak sebentar aja?” Lanjut Mamah lagi.

“Mah… hahaha Dikta gapapa.”

Akhirnya Mamah meninggalkan gue, kayaknya mamah mau ke toilet. Semalaman Mamah ada disamping gue karena malam tadi gue kembali Drop. Payah banget badan gue ini, dalam seminggu bisa 3 kali ngedrop.

Sebelum memulai proses Cuci darah, gue selalu punya rutinitas sendiri, yaitu melihat taman kecil yang ada di bagian luar Rumah sakit ini melalui jendela kaca. Rasanya tenang bisa melihat bunga-bunga dan juga Matahari, terkadang gue khawatir ketika nanti keluar dari ruangan Cuci darah udah enggak bisa lihat Matahari dan Bunga lagi, Umur enggak ada yang tau bukan? Apalagi mengingat kondisi fisik gue yang semakin hari semakin lemah. Pada saat pagi gue biasa aja, tapi tiba-tiba di malam gue merasakan sakit yang amat luar biasa. Entahlah, mereka bilang gue punya harapan, tapi gue yang tau kondisi fisik gue setiap harinya, gue yang merasakan betapa semakin melemahnya tubuh gue sekarang.

Gue mengambil hp yang sedari tadi getar terus, gue yakin banget pasti isinya Chat dari Grup Whatsapp temen-temen gue. Dan benar aja, padahal masih pagi tapi grup udah rame karena mereka semua mau bimbingan. Gue juga harusnya ada jadwal bimbingan, tapi gimana mau bimbingan kalo jalan aja gak bisa, badan lemas banget rasanya.

“Atuy bego hahaha.” Gumam gue pelan ketika membaca pesan di grup yang berisikan kecurigaan terhadap gue yang gak pernah lagi datang pagi ke kampus.

”Nonton apaan haha, nontonin ruang IGD yang tiap harinya penuh? Hahaha.”

Sengaja gue gak pernah cerita tentang penyakit gue kepada siapapun keculi keluarga dan orangtua Nadhira, bahkan Nadhira sendiripun gak tau prihal ini. Gue gak mau orang lain tau dan gue gak mau suasana jadi canggung karena penyakit gue. Terlebih lagi, gue gak mau Jeffrey merasa tambah bersalah karena gue.

“Dikta?” Tiba-tiba seseorang menepuk pundak gue pelan.

“Johnny?” Ucap gue ketika melihat sosok yang menepuk pundak gue berusan.

Johnny terlihat sangat terkejut ketika melihat gue, sama halnya dengan gue yang masih gak percaya bisa bertemu Johnny di Rumah Sakit ini, terlebih di ruangan ini yang biasanya dipakai untuk pasien yang menjalankan perawatan Cuci Darah.

“Ta lo ngapain anjir disini? Kok? Lo tuh kenapa anjir?” Johnny mulai panik, ia memegangi lengan lengan gue, pundak gue, bahkan kepala gue untuk memastikan keadaan gue.

“Gue gapapa.” Jawab Gue, yang gue yakin pasti Johnny enggak bakal percaya dengan pernyataan gue barusan.

“Bohong lo. Gak apa-apa gimananya? Pakai kursi Roda gini? Muka pucet gini?!” Dan benar aja, Johnny enggak percaya dengan perkataan 'gapapa' dari mulut gue.

“Ini gue iseng aja.” Gue tetap mengelak, walaupun alibi yang gue bikin semakin terdengar enggak masuk akal.

“Ta lo kenapa? Kasih tau gue. Lo pakai baju pasien, terlebih lagi lo pakai kursi roda. Dan gue ketemu lo di ruangan ini, ini ruangan khusus pasien Cuci darah ta.” Shit, Johnny tau tentang Ruangan ini.

“Ta jawab gue, lo kenapa?” Johnny terus-terusan bertanya kepada Gue, sedangkan gue udah kehabisan alasan untuk berbohong lagi. Gue cuma bisa diam dan menundukan kepala gue. Bertahun-tahun lamanya gue menyembunyikan ini, dan akhirnya ketahuan juga.

“Ta… lo sakit?” Johnny kembali berucap, tapi sekarang ucapan dia terdengar sangat dipenuhi dengan rasa iba, gue benci itu. Gue benci ketika orang lain mulai Iba kepada gue, gue enggak suka terlihat semenyedihkan ini.

“Suster.” Panggil gue ketika melihat seorang suster yang gue kenal sedang berjalan menuju ruangan yang gue tuju.

“Eh mas Dikta, jadwal Cuci darah ya? Tumben gak sama Mamah.” Jawab suster itu sangat Ramah dan berjalan mendekati gue. Sial, malah diperjelas gue mau Cuci Darah. Bisa gue lihat dengan jelas Johnny yang kaget ketika mendengar ucapan suster barusan.

“Tolong antar saya ke ruangan ya suster.” Ujar gue pelan, Cuma itu yang bisa gue lakukan, menghindar sementara dari Johnny.

“Ohiya boleh, saya antar ya mas Dikta.” Suster itu langsung membantu untuk mendorong kursi roda gue.

“Dikta.” Johnny berusaha mendekati gue.

“Jangan ikutin gue.” Jawab gue datar. Dan untungnya Johny memberhentikan langkahnya untuk mendekati gue.

Gue benci hari ini, hari dimana ada orang lain yang tau bahwa gue selemah ini. Gue benci hari ini, hari dimana bertambahnya orang lain yang menatap gue dengan penuh dengan tatapan iba. Gue Cuma enggak mau dikenal dengan si lemah, dan si dikta yang patut untuk dikasihani.

Ternyata gue memang semenyedihkan ini, haha.

chat

-Ara

Boleh pinjam Nadhira?

“Nadh!!!” Gue yang baru aja keluar kelas dan langsung mendengar panggilan itu, yang mana suara itu sangat amat gue kenal, suara siapa lagi kalo bukan Jeno.

Jeno langsung melambaikan tangannya ke gue, dan langsung tersenyum manis ke gue. Sumpah, kalian semua harus banget sekali aja dalam seumur hidup disenyumin sama manusia yang namanya Jeno ini, manis banget demi tuhan gulali aja kalah.

jeno

“Iyaa!!!” Jawab gue sembari berjalan menuju Jeno.

“Nih Nadh,” Tiba-tiba Jeno memberikan satu kotak susu coklat kesukaan gue.

“Pasti capek kan habis belajar MTK.” Lanjut Jeno dan dia mengacak-acak rambut gue palan. Duh paling gak bisa gue kalo Jeno udah gini, lemah banget kalo udah mainin rambut gini.

“Ih jeno, jangan berantakin rambut.” Protes gue pelan.

“Kenapa? kan Nadhira nya gemesin banget.”

“Yang berantakan bukan cuma rambut tau!!”

“Apa Nadh?”

“Nih ikut berantakan.” Ucap gue sembari menunjukan jari telunjuk gue kearah jantung, sontak Jeno langsung ketawa melihat itu. Kenapa ketawa coba, orang gue serius.

“Udah ah hahaha, ayo ke parkiran.” Jeno langsung ngambil tangan gue untuk digandeng selama jalan kearah parkiran.

“Ke Mcd mau?” tanya Jeno dalam perjalanan menuju parkiran.

“AYOOO!!” Jawab gue dengan penuh semangat. Mcd + Jeno adalah perpaduan paling perfect ketika gue lagi capek karena pelajaran MTK.

“Okay! Happy meal buat Nadhira yang keliatannya pusing banget habis MTK.” Gue cuma bisa senyum-senyum gak jelas dengar Jeno yang selalu mengerti ketika gue capek dan butuh sesuatu untuk hiburan. Sumpah gue merasa jadi manusia paling beruntung karena bisa punya pacar seorang Jeno yang selalu paham kondisi gue.

Jeno tuh baik banget, jarang marah dan ngambek, beda banget sama Kak Dikta yang kalo ketemu cuma diem-diem, sekalinya buka mulut kerjaannya ngomelin gue. Beda banget pokoknya, jauh bedanya sama Jeno.

“Nadh...” Tiba-tiba ada suara yang memanggil gue dari arah belakang.

Bentar gue kayaknya kenal sama suara ini. bukan, itu jelas bukan suara Jeno. Gue langsung melihat kebelakang dan...

dikta

“IH KAK DIKTA?!” Teriak gue kaget. Bisa-bisanya dia muncul disaat gue lagi ngomongin dia dalam hati gini.

“Nadh itu siapa?” Bisik jeno pelan.

“Eh anu itu aduh gimana ya...” Jawab gue gelagapan. Enggak mungkinkan gue bilang dia calon suami gue, gila aja.

“Dikta.” Kak Dikta langsung mengulurkan tangannya kepada Jeno. Jeno pun langsung membalas jabatan tangan tersebut.

“Jeno.” Bales Jeno sembari menatap kak dikta dengan penuh kebingungan, seakan-akan meminta kejelasan karena telah memanggil gue.

“Oh Jeno, pacarnya Nadhira ya?” Ucap kak Dikta dengan santai.

“Kak Dikta ngapain disini ih?!” Tanya gue ngegas ke Kak Dikta. Boro-boro dijawab, dia malah ngelihat kearah motor Jeno.

“Bawa helm satu doang?” Tanya Kak Dikta ke Jeno setelah melihat motor Jeno.

“Eh? iya tadi lupa bawa satunya.” Jeno menjawab pertanyaan Kak Dikta dengan penuh kebingungan.

Gue langsung melototin kak Dikta, berusaha memberi kode yang berisikan 'pergi gak!!!' Tapi nihil, boro-boro nanggepin kode-an dari gue, dia malah cuek dan narik tangan gue buat berdiri disamping dia. Jeno yang lihat itu pun langsung kaget.

“Nadhira nya saya pinjam dulu boleh?” Tanya Kak Dikta.

“Hah?” Jeno bingung mendengar pertanyaan Kak Dikta barusan. Jeno bingung dan gue makin naik pitam dengar pertanyaan Kak Dikta barusan.

“Saya pinjem dulu pacar kamu, saya bawa mobil.”

“Sorry, maksudnya?” Jeno masih enggak paham maksud kak Dikta. Mendengar ucapan Kak Dikta yang makin gak jelas, gue langsung nyubit perut sebelah kiri Kak Dikta lumayan kencang. Kak Dikta langsung meringis kecil setelah gue cubit.

“Lo mau berhenti cubit gue atau besok gue nikahin.” bisik Kak Dikta pelan ke telinga gue, ancaman paling gila yang pernah gue denger. Sumpah demi Tuhan, mau pukul Kak Dikta banget sekarang.

“Jadi gini, kamu kan gak bawa helm buat Nadhira, jadi Nadhira nya saya pinjam dulu buat diantar pulang. Paham?” Jawab Kak Dikta berusaha menjelaskan kepada Jeno agar paham.

“Tapi kenapa?” Jeno masih nggak paham.

“Jangan khawatir, Nadhira nya baik-baik aja kok nanti, besok kamu bisa ketemu lagi sama pacar kamu. Buat lepasin Nadhira pulang sama kamu dan nggak pakai helm saya gak bisa, kalo calon istri saya kenapa-kenapa gimana?” Dengan santainya Kak Dikta jawab pertanyaan Jeno disertai penekanan pada kalimat 'calon istri' pula.Gila, Kak Dikta gila.

Jeno benar-benar langsung diam mendengar jawaban Kak Dikta barusan, kelihatannya masih mencerna kalimat yang barusan diucapin sama Kak Dikta. Lebih tepatnya Jeno kaget dengan pernyataan 'Calon Istri saya'.

“Gapapa kan Jeno kalo Nadhira nya saya pinjam dulu?” Lagi dan lagi Kak Dikta bertanya kepada Jeno. Gue? Gue udah pasrah.

“Nadhira mau?” Tanya jeno lembut sembari menatap mata gue. Gue bingung mau jawab apa, kalo bilang nggak mau pasti percuma karena Jeno pasti bakalan kalah argumen sama Kak Dikta. Kalo gue jawab mau, pasti bikin Jeno sakit hati. Ah sumpah bingung.

“Yaudah gapapa, pulang sama aku nya besok aja Nadh. Besok aku janji gak bakal lupa bawa helm buat kamu.” Lanjut Jeno sambil tersenyum ke gue. Tapi senyumnya jeno beda, gak semanis senyum yang tadi gue lihat didepan kelas. Ah mau nangis aja rasanya.

“Hati-hati ya Nadh.” Ucap Jeno lagi sebelum pergi menuju motornya dan meninggalkan gue dan Kak Dikta.

“Yuk.” Kak Dikta menarik tas gue. Tuhkan lihat beda banget sama Jeno. Jeno tadi ngajak gue jalan ke parkiran sambil digandeng tangan gue. Dan lihat Kak Dikta, dia malah narik tas Gue. Nyebelin banget.


Di mobil gue cuma diam aja, mau nunjukin kalo gue lagi ngambek sama Kak Dikta. Pokoknya gak mau diajak ngobrol, ya Walaupun gue tau Kak Dikta gak bakal ngajak ngobrol. Dia kan tembok yang gak bisa ngomong.

“Kayak bisa tanggung jawab aja kalo ditilang polisi.”

DIH

“Gue ada uang kok buat bayar kalo ditilang!” jawab gue langsung ngegas, karena kesel banget denger dumelan Kak Dikta barusan.

“Aduh Indonesia, Anak SMA aja udah membiasakan korupsi.” Jawabnya pelan seolah-olah yang dia ucapin tadi hal yang biasa dan gak menyakitkan orang yang mendengar, gila ya nih orang gak ada perasaan banget.

“Apaan sih Kak?!” Jawab gue sewot.

“Kalo ditilang tuh ya ikut sidang, bukannya malah bayar ke Polisinya. Itu namanya nyogok.”

Ah iya lupa, Kak Dikta kan anak hukum. Bukan karena anak hukum sih, tapi emang hidupnya Kak Dikta aja yang terlalu kaku.

“Terserah bang jago deh.”

Tiba-tiba kak dikta meminggirkan mobilnya dan berhenti. Dia langsung melihat kearah gue dengan tatapan datarnya.

“Kebiasaan banget.” Ucap kak Dikta pelan dan mendekat kearah gue, gue kaget dong yaa, otomatis langsung mundur gitu buat menjauh.

“ngapain sih ih deket-deket.”

Kak Dikta enggak peduli dengan nada risih gue barusan dan masih lanjut mendekati gue. Ternyata dia mau mengambil sabuk pengaman yang nggak gue pakai sedari tadi.

“Gue mau masangin sabuk pengaman lo kali, bukan mau nyium. Geer.” Ujar Kak Dikta dan kembali menjalankan mobilnya.

“Apasih, siapa juga yang mikir kesana.”

Setelah itu keadaan kembali hening, nggak ada lagu yang diputar di mobil, mobil juga nggak jalan karena macet total di kota Bogor sore itu. Mau main hp tapi batrainya habis, mau numpang ngisi batrai tapi gengsi ngomong ke Kak Dikta. Alhasil gue cuma ngetuk-ngetuk kaca jendela buat ngalihin kebosanan gue dan mulai mikirin Jeno yang tadi senyumnya beda.

Andai aja Kak Dikta nggak jemput gue, pasti sekarang udah duduk di MCD dan lagi makan happy meal sama Mcflurry Oreo bareng Jeno.

“Masih mending kalo cuma ditilang,” Tiba-tiba kak Dikta buka mulut. Loh ini masih bahas tilang-menilang? Ngeselin banget deh. Gue pun nggak jawab karena males, pasti Kak Dikta mau ngomel lagi.

“Kalo lo jatuh dan gak pakai helm gimana? Gue kan udah bilang, lo jangan sakit, nanti gue khawatir.”

Deg.

Kenapa sih Kak Dikta...

Kemarin pas baca “jangan sakit, gue kahawatir” di Chat biasa aja rasanya, tapi sekarang dengar ucapin itu secara langsung kenapa rasanya rada berbeda ya... Bikin gue bingung mau jawab apa, dan bikin jantung gue rada cepet bekerjanya kayak tadi pas rambut gue diacak-acak sama Jeno.

“Nadh lo denger gue?”

“hah?”

“Jangan Sakit, gue khawatir. Suruh cowok lo bawa helm besok-besok kalo gak mau ceweknya gue anter pulang.”

“i-iya...” Jawab gue pelan.

-

-

Untuk perempuan yang selalu saya tunggu di depan ruang Osis

disa

“Mengingat kenangan bersama mantan hanya menghabiskan waktu.”

-