kejeffreyan

Sudah hampir satu jam Haekal berada di dapur. Haekal belum pernah memasak, ini kali pertama baginya. Maka dari itu ia meminta Bi Nur untuk menunjukan Rempah-rempah yang ia butuhkan, yang bahkan bentuknya saja Haekal tak tahu.

“Mas Ekal kok tau nyonya enggak suka pakai Bawang Merah?”

“Saya enggak tau, Bi. Enggak pakai bawang merah karena saya mengikuti resep.”

Rasa kecewa sedikit menghampiri Haekal, bagaimana bisa ia tidak mengetahui bahwa Ibunya tak menyukai Bawang Merah, untungnya resep dari pak Jo tidak memakai Bawang Merah, sehingga meminimalisir kemungkinan buruk yang terjadi ketika Ibunya mencoba Nasi goreng buatannya.

“Tomatnya disini, benar?”

“Benar Mas Ekal Hahaha, bagus banget hiasan Nasi Gorengnya. Rasanya juga enak, punya Bibi kalah rasanya.”

Haekal terkekeh mendengar pujian itu. Bi Nur sudah bekerja lama sekali di rumahnya, sehingga Bi Nur mempunyai kedekatan yang sangat akrab dengan Haekal. Bahkan, Bi Nur lebih lama menghabiskan waktu bertatap muka dengan Haekal dibanding Ibunya yang jarang sekali pulang ke rumah. sekalinya pulang ke rumah juga tak ada obrolan dan sapaan dari ibunya, bahkan kerap kali terlihat menghindar dari Haekal.

“Mamah suka tidak ya, Bi?”

“Pasti suka dong. Semangat Mas Ekal! Bentar lagi nyonya keluar kamar.”

“Ohiya, tolong letakkan Nasi gorengnya di meja ya, Bi. Saya mau tunggu mamah di ruang tv.”

“Siap Mas Ekal.”


Entah mengapa rasanya jantung Haekal berdegup lebih kencang daripada biasanya, telapak tangannya basah dengan keringat, pipi dan keningnya terasa hangat menanti sang Ibu keluar dari kamarnya.

“Handphone mamah disini.” Haekal bergumam sendiri ketika melihat ponsel Ibunya tergeletak di sofa.

Tiba-tiba terlintas sebuah pertanyaan di kepala Haekal, prihal Wallpaper apa yang Ibunya pakai. Haekal seringkali melihat orangtua lain memakai Wallpaper foto anak-anaknya di handphone, ada sedikit harapan pada diri Haekal ketika mencoba membuka layar ponsel tersebut, barangkali Ibu nya memasang foto Haekal sebagai Wallpaper handphone.

“Ah, mati ternyata batrainya habis.” Haekal sedikit kecewa karena handphone tersebut mati total ketika ia mencoba menyalakannya. Ia pun langsung mengembalikan ponsel tersebut di posisi semula.

Tak begitu lama, terdengar suara pintu dari Kamar Ibunya terbuka, dan terlihatlah sang Ibu yang sudah memakai setelan rapih untuk pergi bekerja.

“Mah...” Panggil Haekal pelan. Hanna sedikit terkejut melihat Haekal yang sudah menunggunya di sofa.

haekalll

“Kenapa belum ke sekolah?” Hanna bertanya sembari mengambil ponselnya yang terletak di dekat Haekal. Masih, ia tak mau menatap wajah anaknya.

“Ada class meet Mah, jadi boleh datang terlambat. Mamah duduk disini dulu, nanti saya yang ambil sepatu Mamah, ya?”

haekalkesian

“Oh, tidak perlu. Saya bisa sendiri.” Jawab Hanna cepat, padahal Haekal sudah berdiri dan mempersilahkan Hanna untuk duduk dan menunggu.

“Bi Nur, Mas Adi sudah siap antar saya?” Hanna malah pergi dan berjalan menuruni anak tangga, meninggalkan Haekal yang sudah menunggunya sedaritadi.

“Mah tunggu.” Haekal tak menyerah, ia segera menghampiri Hanna dan berusaha menahan langkah Hanna menuruni tangga.

“Haekal tadi bikinkan Nasi goreng untuk Mamah, dicoba dulu ya, Mah?”

“Saya ada meeting 20 menit lagi.”

“Sedikit saja, Mah. Haekal bikinkan Nasi goreng spesial untuk Mamah. Untuk sekarang masih belum bisa masak yang lain selain nasi goreng, kedepannya Haekal masakin yang lebih enak lagi. Nasi gorengnya tidak pakai bawang merah, mamah suka kan? Haekal pakai daun bawang sedikit sebagai gantinya. Mau ya Mah? Mamah ada sakit lambung kan, supaya tidak sakit nanti waktu kerja.”

Mendengar itu, seketika langkah Hanna terhenti. Bukan karena ia luluh dengan ucapan manis dari anaknya barusan. Ia seakan ditarik paksa untuk kembali pada kejadian 17 tahun yang lalu, ketika seorang lelaki menghampirinya yang sedang terburu-buru menuju gedung perkuliahan.

'Hanna, saya buatkan nasi goreng spesial untuk kamu. Enggak pakai bawang merah seperti kemarin.'

'Kak Jo, aku buru-buru! Dosen sebentar lagi masuk.'

'Sepuluh menit lagi, Hanna. Dimakan dulu, kamu itu punya penyakit maag, nanti kalau sakit gimana?'

'Kak Jo ih! mepet waktunya.'

'Sepuluh menit saja, Hanna. Lima menit kamu makan ini, lima menit sisanya untuk jalan menuju kelas. Saya gendong kalau tidak percaya. Makan dulu ya?'

Ingatan Hanna dipaksa kembali di masa itu, dimana lelaki itu selalu menunggunya di lobi fakultas hanya untuk memberi bekal untuk sarapannya. Tak peduli seberapa terburu-burunya Hanna kala itu, ia tidak akan menyerah sebelum Hanna memakan apa yang ia bawakan, tidak masalah walaupun hanya disentuh sedikit oleh Hanna. Khawatir sakit Maag Hanna kambuh ucapnya selalu ketika Hanna menolaknya dengan berbagai alibi.

“Mah?” Suara panggilan itu menyadarkan Hanna dari lamunannya. Hatinya terasa sakit tiap kali bayangan masalalu menghampirinya, terlebih disampingnya kini berdiri seorang anak laki-laki yang amat mirip dengan lelaki itu. Entah itu dari segi rupanya, penampilannya, gaya bahasanya, bahkan sekarang dengan cara ia menawarkan sarapan kepada Hanna. Mereka sangat mirip, dan itu sangat menyiksa bagi Hanna.

“Haekal bekalkan saja, ya?”

Saya dikejar waktu. Kamu tau kan bagaimana macetnya jalan di jam segini?”

“Mah, kali ini aja, ya?” Ucap Haekal memohon. Haekal hanya ingin Hanna mencicipi hasil masakannya, walau hanya sesendok, itu tidak masalah baginya.

“Halo, ada apa? Rapatnya dimajukan? Oke, Saya sebentar lagi sampai kantor. Dipersiapkan saja semuanya.” Hanna melanjutkan langkah kakinya sembari berbicara di telpon, menghiraukan permohanan Haekal barusan.

Haekal terdiam ketika melihat itu, Haekal tak lagi mengikuti langkah kaki Hanna. Ia hanya diam sembari menatap Hanna yang berjalan menjauh menuju pintu rumah.

Haekal sangat jelas melihat ponsel Hanna mati dan tak bisa menyala barusan. Dan sekarang, ia menyaksikan kebohongan Hanna secara langsung, berpura-pura mengangkat telpon dari sekretarisnya hanya untuk menghindar dari sarapan pagi yang telah Haekal siapkan dengan sepenuh hati.

“Kenapa harus berbohong?” Gumam Haekal sangat pelan. Ia tak tahu perasaan apa ini, yang ia tahu dadanya terasa sesak ketika mendengar kebohongan Hanna barusan, matanya terasa sedikit panas melihat langkah Hanna yang tidak pernah berhenti dan menoleh meski Haekal memohon setengah mati.

Pagi yang dikiranya akan menghangatkan hati nyatanya menusuk layaknya belati. Entah harus apalagi, semua usaha Haekal gagal. Segala bentuk perhatian selalu berujung dengan pengabaian, dan segala bentuk pengertian selalu berujung ketidakpedulian.

Dan pada ujungnya, Haekal hanyalah sebuah tanda petik yang hadir sebelum titik dan setelah koma, ada namun tak pernah terbaca oleh Ibunya.

“Mah.” Panggil Haekal akhirnya.

“Saya sibuk, kamu bisa paham kan? Waktu saya gak banyak hanya untuk-”

“Hati-Hati.” Ucap Haekal singkat dan langsung pergi.


-Ara

jokal

Setelah hampir setengah jam, akhirnya guru BK itu datang. Haekal pikir guru baru itu seorang wanita paruh baya seperti kemarin, ternyata bukan. Kali ini guru BK sekolahnya adalah seorang pria yang masih terbilang cukup muda, bahkan Haekal bisa menebak guru barunya ini memiliki umur yang tak jauh dengan Mamahnya.

Hampir lima menit kedatangannya, Haekal belum juga ditanya. Guru baru itu malah membereskan mejanya yang masih sedikit berantakan, dan itu membuat Haekal cukup kesal, ia hanya ingin cepat kembali ke kelas dan menghubungi Tama apabila dibutuhkan.

“Pak saya-”

“Sebentar, meja saya masih berantakan. Meja saja belum dirapihkan, sudah ada siswa yang menghadap. Sebentar ya? Harus sabar.” Seperti itulah jawaban yang keluar dari mulut sang guru. Dengan sedikit terpaksa Haekal menunggu guru barunya melanjutkan kegiatan merapihkan meja tersebut.

“Sudah selesai.”

“Kali ini saya perlu panggil wali?” Tanya Haekal secara langsung. Si guru baru itu malah tertawa mendengar ucapan Haekal barusan.

“Sudah langganan masuk ruangan ini, ya? Sampai-sampai lebih tau alur penyelesaian masalahnya dibanding saya.”

Haekal tak menjawab lagi, ia rasa tak perlu juga menjawab pertanyaan seperti itu.

“Kalau saya sih punya cara sendiri sebagai guru. Sebentar, saya mau bikin kopi. Kamu mau?”

“Saya enggak akan sabar kayak tadi. Sebagai siswa, saya punya hak untuk belajar. Waktu saya sudah terbuang sia-sia untuk menghadap bapak. 30 menit saya terbuang untuk menunggu bapak di ruangan ini, 10 menit saya habis untuk menunggu bapak membersihkan meja, dan butuh berapa menit lagi untuk saya menunggu bapak membuat kopi?”

Diluar perkiraan Haekal, sang guru malah tersenyum mendengar jawaban tak ramah itu, Haekal pikir guru itu akan terpancing emosi dengan kalimatnya, seperti guru-guru lain yang membenci Haekal karena kritik yang sering kali Haekal lontarkan kepada mereka.

“Saya suka jawaban kamu. Saya Jo, guru BK baru di sekolah ini.” Guru tersebut mengulurkan tangannya mengajak Haekal untuk berjabat tangan.

“Saya Haekal, 11 ips 2.” Haekal membalas jabatan tangan tersebut.

“Okay, Haekal, kelas sebelas ips dua. Kita lihat dulu catatan masalahnya...”

“Waw, Tujuh lembar penuh dengan catatan kamu semua, Haekal.”

“Ya, kalau saja guru bisa objektif, lembar yang terisi hanya satu. Saya salah hanya di kelas sepuluh, telat dan memanjat pagar, yang lainnya permasalahan tidak penting dan bahkan fitnahan dari Darto.”

“Saya sih percaya.”

Sebentar, Haekal tidak salah dengar? Apakah benar guru di depannya ini barusan bilang mempercayainya? Haekal sedikit ragu dengan pendengarannya kali ini.

“Bapak percaya saya?” Tanya Haekal memastikan. Sedangkan Jovan hanya mengangguk dan kembali membaca lembaran berisi laporan masalah yang telah Haekal perbuat.

“Kenapa bapak percaya saya?”

“Kamu berani kritik saya barusan, kamu berani meminta Hak kamu sebagai murid barusan, dan catatan ini masih banyak sekali kurangnya barang bukti.”

Untuk pertama kalinya Haekal mendengar itu, untuk pertama kalinya ada guru yang mempercayainya tanpa perlu Haekal mohon.

Haekal itu langganan keluar masuk ruang BK, sudah bukan hal yang baru lagi jika Haekal dipanggil ruang BK. Selama keluar masuk ruangan itu, tidak pernah ada guru yang mempercayainya, sampai akhirnya Haekal lelah, dan tak pernah mau di mintai keterangan, menurutnya hanya buang-buang tenaga saja menjelaskan masalah kepada orang yang tidak Objektif dalam memandang suatu permasalahan.

“Rokok kamu apa?” Tiba-tibaa Jovan bertanya kepada Haekal.

“Saya tadi tidak merokok, saya hanya berdiri disana bersama teman saya. Putung Rokok itu bukan punya saya.”

“Saya kan tanya, Rokok kamu apa? Saya enggak tanya kamu tadi merokok atau tidak.”

“Marlboro.”

Jovan hanya mengangguk paham.

“Ya sudah, kamu boleh balik ke kelas.”

“Balik ke kelas?” Haekal kembali tak percaya dengan pendengarannnya barusan. Apa mungkin kali ini ia dilepaskan semudah itu? Bukannya biasanya mereka meminta Haekal memanggil wali untuk menghadap sekolah?

“Loh? Kamu mau belajar di ruangan saya?”

“Masalah saya selesai?”

“Putung rokok yang tadi di temukan Mild, bukan Marlboro.” Jovan mengambil sesuatu dibalik kantong celananya. Dan benar saja, itu adalah putung Rokok yang tadi pagi Haekal lihat di tempat kejadian.

“Bapak ke tempat kejadian?”

“Menurutmu? Masa saya mau sok tau kayak tuhan.”

“Biasanya guru yang kemarin langsung percaya pengakuan dari teman gurunya, tanpa mau melihat tempat kejadian atau menanyakan saksi lain.”

“Apa gunanya kita berjabat tangan tadi? Saya kan Pak Jo, bukan guru yang sebelumnya. Saya dengan cara saya sendiri sebagai guru.”

“Ohiya Haekal, kalaupun ada kesempatan, jangan pernah merokok di lingkungan sekolah. Saya juga akan tegas terhadap siswa yang jelas salah dan melanggar aturan sekolah.”

“Saya gak pernah merokok di sekolah.” Jawab Haekal tak kalah tegas.

“Dimana? Dirumah bersama ayah?”

“Ayah saya sudah mati.”

Jovan terdiam mendengar jawaban itu. Entahlah, ada sedikit rasa sakit di hatinya ketika mendengar jawaban itu. Mungkin karena rasa tak enak karena sudah menanyakan sesuatu yang ternyata sudah tak ada kepada Haekal.

“Maaf, saya tidak tau. Kamu boleh kembali ke kelas.”

“Opini bapak keren, Rokok bapak apa?”

Jovan sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Baru kali ini ada siswa yang berani bertanya tentang Rokoknya, terlebih siswa ini menyelipkan “Opini” dipertanyaannya.

“Hahaha, yang pasti Rokok pemikir.”

“Garpit?”

Kembali Jovan tertawa mendengar ucapan Haekal barusan. Anak didepannya ini beda dengan yang lain, dia berani mengeluarkan apapun yang ada dipikirannya, dia juga berani menyampaikan kebenaran, tutur katanya juga berbeda dengan anak 17 tahun lainnya. Sangat Unik untuk anak seusinya.

“Saya sudah lama enggak menyentuh Rokok. Mau hidup sehat, supaya nanti kalau mati masih bisa bermanfaat untuk oranglain.”

Haekal hanya mengangguk dan beranjak dari duduknya. Tanpa pamit dan berterimakasih sedikitpun kepada Jovan.

“Haekal.” Panggil Jovan ketika Haekal hendak menutup pintu ruangan.

“Ya?”

“Kamu mirip saya di waktu muda.

jokall

-Ara

jovan

Jovan bergegas menuju kantin ketika diberi kabar oleh temannya bahwa ada seorang perempuan yang sedang mencarinya dan sekarang tengah menunggunya di Kantin. Jovan yakin sekali itu adalah Hanna.

Lima hari Hanna tidak terlihat, bahkan tak ada kabar sedikitpun, Jovan sangat cemas. Beberapa teman kelasnya yang ditanyai pun selalu menjawab tidak tahu. Jovan sudah berencana akan datang ke rumah Hanna sore ini dan memastikan keadaan Hanna secara langsung, namun ternyata siang ini Hanna datang mencarinya.

“Hanna!” Panggil Jovan dan menghampiri Hanna yang sedang duduk di salah satu bangku kantin. Ada yang berbeda dengan Hanna, Jovan tak melihat senyum bahagia di wajah Hanna, tak seperti hari-hari sebelumnya. Wajah cantik itu biasanya berseri ketika bertemu dengan Jovan, namun hari ini tidak. Terlihat jelas kegelisahan di wajahnya, dan Hanna tak henti-hentinya menggigit kuku ibu jarinya.

“Hanna?” Jovan duduk didepan Hanna.

“Kak...” Suara Hanna sedikit bergetar, saat itu juga Jovan yakin Hanna sedang tidak baik-baik saja.

“Hei, kenapa? Ada apa?” Jovan mengambil tangan Hanna dan mengelusnya pelan, mencoba memberikan sedikit ketenangan untuk Hanna.

“Ada saya, kamu tenang ya, ada saya-”

“Kak... Aku hamil.”

Jovan langsung terdiam mendengar itu. Ia menatap Hanna sedikit tak percaya, namun tangannya masih menggenggam tangan Hanna dan tak di lepaskan.

Hening.

Seketika hening menyelimuti. Hanna yang mulai terisak dan Jovan yang masih mengolah perkataan Hanna barusan.

“Aku harus gimana Kak...” Hanna masih menangis, untungnya kantin saat itu sedang sepi, tak ada oranglain yang melihat Hanna sedang terisak kecuali beberapa pedagang yang sepertinya tidak terlalu peduli dengan apa yang sedang terjadi.

“Hanna, jangan menangis. Ada saya, kamu enggak perlu khawatir, ya?”

“Takut...”

“Jangan takut, ya? Ada saya. Saya selalu ada disamping kamu. Saya akan tanggung jawab. Jangan takut.” Jovan berusaha menenangkan Hanna. Jika saja saat ini mereka tidak berada di lingkungan kampus, mungkin Jovan sudah memeluk Hanna erat, dan meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Kalau boleh jujur, saat itu juga rasanya Jovan seperti disambar petir, namun melihat Hanna yang di depannya terlihat sangat ketakutan, membuat Jovan berusaha tenang.

“Saya sayang sama kamu, Na. Kamu tahu kan? Saya enggak akan meninggalkan kamu. Kamu jangan khawatir, kita bisa lewati ini bersama, ya?”

Isakan Hanna sedikit mereda, tak seperti tadi. Namun tetap saja, guratan kegelisahan masih terlihat dari raut wajahnya. Jovan paham, bukanlah hal yang mudah bagi Hanna untuk melewati ini, terlebih ia baru saja memulai pendidikan di bangku kuliah.

“Maafkan saya, Na. Seandainya saya enggak melakukan itu, mungkin kamu enggak akan setakut ini. Maafkan saya.”

“Aku enggak bisa salahin siapa-siapa Kak. Aku juga enggak akan salahin Kak Jo, aku cuma takut kedepannya akan gimana.”

“Hanna, coba tatap mata saya.” Jovan kembali mengeratkan genggaman tangannya kepada Hanna, Hanna pun perlahan menatap Jovan. Jovan lihat mata gadisnya yang memerah, ditambah kantung mata yang terlihat sangat jelas, Jovan sangat yakin bahwa lima hari ini, Hanna menahan semuanya sendirian. Hati Jovan perih membayangkan betapa kacaunya Hanna kemarin sendirian.

“Saya enggak pernah main-main sama kamu. Sejak pertama kali memutuskan mengirim kamu surat, rasa saya sudah serius untuk kamu. Kamu jangan takut ya? Saya akan tanggung jawab. Kita jalani bersama-sama. Saya sebentar lagi lulus, Na. Saya akan kerja, dan bisa menghidupi anak kita. Saya janji. Jadi, jangan khawatir ya? Pendidikan kamu juga masih bisa dilanjut nanti, saya akan bertanggung jawab atas kamu, dan anak kita.”

“Hanna enggak perlu khawatir, Hanna jangan berduka, ini anugrah dari Tuhan untuk kita, Na. Saya janji, saya akan bertanggung jawab, saya akan jadi suami dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita nanti.”

Hanna kembali menangis mendengar itu, sudah lebih dari Tiga hari ia mengurung diri. Tak berani bercerita kepada siapapun, termasuk kepada Jovan, karena ia takut akan menganggu Jovan yang sedang sibuk dengan skripsinya.

Hanna takut Jovan marah, Hanna takut Jovan malah pergi meninggalkannya, padahal ia tahu Jovan bukanlah pribadi yang seperti itu.

Lihatlah sekarang, Jovan bersedia bertanggung jawab untuknya, ia bahkan tak menyesali apa yang sudah terjadi dan mengajak Hanna untuk menjalani ini, yang dianggapnya anugrah yang telah diberi oleh Tuhan untuk mereka.

“Hanna enggak perlu susah payah memikirkan kedepannya akan bagaimana, kita jalani aja dulu. Prihal tanggung jawab, itu bukan urusan Kamu. Namun urusan saya, dan ayah kamu.”

“Besok saya yang akan menemui orangtua kamu. Sore ini saya akan bicarakan dengan keluarga saya. Apapun nanti reaksi dari keluarga saya, tidak akan pernah menghentikan saya untuk bersama kamu. Janji ya jangan khawatir lagi? ada saya. Saya selalu ada, saya sayang sama kamu, dan calon dari anak kita. Hanna tenang saja.”

Hari itu Hanna percaya dengan semua janji yang Jovan beri, ia yakin semuanya akan baik-baik saja, ia yakin akan melewati ini bersama, ia pun yakin bahwa ini bukanlah celaka, namun Anugrah yang diberi Tuhan untuk mereka.

-Ara.

🔞 Sexual Content, namun tidak akan dijelaskan dengan sangat eksplisit. Tetapi saya amat menyarankan, bagi pembaca dibawah umur, untuk tidak membaca narasi ini. Mohon bijak dalam memilih bacaan sesuai usia.


bandung

“Kamu senang hari ini, Hanna?” Jovan bertanya setelah menyesap habis kopi panas yang dipesannya.

Yang ditanya hanya tersenyum malu dan mengangguk pelan. Jovan ikut tersenyum ketika melihat lengkung manis di bibir itu.

“Cantik.” Ucapnya lagi.

Yang dipuji sekarang menunduk malu, berusaha menutupi wajahnya yang kembali memerah akibat Jovan yang selalu terang-terangan memujinya secara langsung dan tiba-tiba.

“Maaf ya baru bisa ajak kamu keliling Bandung, pakai motor pinjaman pula. Saya belum ada uang untuk beli motor sendiri, apalagi buat beli mobil.”

“Aku suka pakai apa aja, asalkan sama Kak Jo.”

“Hahaha, tunggu saya ya, Hanna. Sebentar lagi saya lulus, cari pekerjaan, dan beli kendaraan. Kamu bebas mau jalan-jalan kemana pun.”

Hanna kembali tersenyum dan mengangguk pelan. Jovan selalu menjanjikan banyak hal kepada Hanna, dan entah kenapa, Hanna percaya dengan itu semua, ia yakin bahwa Jovan tidak pernah main-main, ia sungguh-sungguh ketika mengucap janji.

“Hanna, saya belikan gelang untuk kamu. Memang murah sih, tapi modelnya terlihat bagus untuk ada di tangan kamu. Saya beli dua, untuk kamu dan saya. Katanya perempuan suka barang yang sepasang kan?” Jovan mengeluarkan sepasang gelang dari kantong Jaketnya, ia sedikit ragu menunjukan kepada Hanna gelang tersebut, khawatir terlalu murah dan Hanna tidak menyukai modelnya.

“Kak Jo, ini indah banget.”

“Kamu suka?” Tanya Jovan mencoba memastikan tak ada kebohongan dari reaksi Hanna.

“Suka banget kak!” Jovan tersenyum lebar melihat itu, tak ada kebohongan dari mata Hanna, ia tampak bahagia melihat gelang yang dipegang Jovan.

“Tapi ini gak semahal gelang yang dipakai perempuan lain, Hanna. Maaf ya.”

“Harga enggak penting, Kak. Gelangnya indah kok, apalagi dikasih dengan ketulusan. Aku mau terima gelangnya.” Hanna menggenggam sebelah tangan Jovan, meyakinkan tak ada masalah dengan berapa pun harga dari gelang tersebut.

Saya pakaikan, mau?”

“Mau!

Jovan memakaikan gelang tersebut di tangan Hanna, terlihat sangat pas dan Indah melingkar disana.

“Kak, Makasih yaa. Aku suka, dan aku bakal jaga baik-baik.”

“Hanna, harusnya saya yang berterimakasih karena kamu mau menerima pemberian saya. Makasih ya, sudah menjadi perempuan cantik dan sangat baik.”

“Kalau saya peluk, boleh?” Jovan meminta izin. Hanna kembali mengangguk pertanda memberi izin untuk permintaan Jovan.

Detik selanjutnya, Jovan membawa Hanna ke dalam pelukannya. Ia membelai lembut rambut Hanna dan membisikkan,

“Terimakasih sudah hadir di hidup saya.”


Setelah selesai menghabiskan makanan dan minuman yang mereka pesan, akhirnya mereka berdua memutuskan untuk pulang. Jalanan kota Bandung sangat sepi, tak ada mobil, dan hanya beberapa motor yang terlihat dijalanan.

“Saya izin tambah kecepatan ya, Hanna? Sudah mendung. Takut nanti malah kejebak hujan.”

“Iya Kak Jo.”

“Bukan modus sih, tapi kamu boleh peluk saya. Takutnya malah kaget kalau saya ngebut nanti, dan supaya kamu enggak kedinginan juga.”

Dengan malu Hanna melingkarkan tangannya dipinggang Jovan. Dari kaca spion, terlihat Jovan tersenyum bahagia ketika tangan itu melingkar.

Benar saja, beberapa menit kemudian rintik hujan mulai turun, sedangkan tujuan mereka (rumah Hanna) masih terlampau jauh.

“Hanna, mau berhenti dulu?” Jovan bertanya, suaranya tak begitu jelas karena kecepatan motor yang ia kendarai cukup kencang, ditambah hujan yang turun semakin deras sehingga Hanna tidak mendengar ucapan Jovan dengan sangat jelas.

“Kak enggak kedengaran.”

“Hujannya deras, mau neduh di Kosan saya dulu enggak? Rumah kamu masih jauh.”

Hanna hanya mendengar bagian neduh di kosan dari ucapan Jovan barusan.

“Kosan siapa? Enggak jelas suaranya.”

“Kosan saya.”

“Iya boleh Kak Jo.”

Jovan menambah kecepatan pada motornya lagi karena hujan yang turun semakin deras. Khawatir gadis yang diboncengnya sakit karena terlalu lama terkena guyuran hujan.

“Hanna, saya sayang kamu.

“Kak enggak kedengaran suaranya, Hanna kenapa tadi?”

“SAYA SAYANG KAMU, HANNA!!” teriak Jovan keras. Hanna tentu saja kaget setelah itu.

Mendengarnya membuat Hanna seperti ditinggalkan ruhnya melesat ke angkasa. Hanna hanya berdiam, dan perlahan melahirkan senyum bahagia. Senyum yang tak pernah lahir sebelumnya, senyum yang hanya bisa muncul ketika ia bersama Jovan.

“SUDAH TAU, HANNA JUGA SAYANG KAK JOVAN.” Balas Hanna tak kalah kencangnya. Keduanya tertawa setelah itu.


Disinilah keduanya berada, Kamar kos kecil milik Jovan. Hanna kagum, karena kamar kos ini sangat rapih meskipun sempit. Tak seperti kamar kos teman-teman lelakinya yang sangat berantakan dan bahkan tercium bau tak enak karena jarang dibersihkan.

Keduanya sangat basah kuyup karena derasnya hujan selama perjalanan pulang. Beberapa tetes air dari baju mereka yang basah jatuh dilantai kamar kos Jovan.

“Hanna mau saya buatkan teh-” Ucapan Jovan terhenti saat ia menyadari Hanna yang berdiri menggigil di dekat pintu. Baju Hanna sangat basah, apalagi kaos yang digunakannya berwarna putih, Jovan terkejut menyadari itu. Kaos putih itu yang sangat menempel di kulit Hanna, membuat siluet Dada Hanna tercetak dengan sangat jelas, dan jeplakan dari Bra hitam yang dipakai Hanna terlihat sangat jelas.

Jovan berusaha menyadarkan dirinya berkali-kali, ia membuang jauh-jauh pikiran aneh yang ada pada dirinya ketika melihat Hanna yang sedang kuyub itu.

“eum... Ganti baju... pakai kaos saya gimana, Na? Kamu kuyup...” Ucap Jovan pada akhirnya, yang tadinya ia ingin menawarkan Teh hangat kepada Hanna, sekarang malah menawarkan bajunya untuk Hanna.

Hanna tidak akan sadar dengan bajunya yang menjeplak jika Jovan tidak menawarkan baju. Hanna kaget ketika menyadari kaos putihnya seakan kehilangan peran untuk menutupi lekuk tubuhnya. Ia langsung menunduk malu ketika menyadari itu.

“Mau, Na?”

“Eh mau apa, Kak?” Tanya Hanna bingung.

“Baju saya.” Jawab Jovan singkat, tak sepeti biasanya. Tak dapat Jovan pungkiri, Hanna yang sedang berdiri di depannya sekarang membuat pikirannya kemana-mana.

“Kak, mau...” Jawab Hanna pelan.

Jovan sedikit kaget mendengar itu, “Eh, Mau apa?”

“Mau baju...”

“Ohiya baju, maaf maaf. Sebentar ya saya carikan dulu.”

Dengan terburu-buru Jovan mengambil kaos di lemari pakaiannya, sudah pasti kaos itu terlalu besar jika dipakai Hanna, tapi tidak apa-apa kan? Jovan pikir ini akan lebih aman, daripada harus melihat kaos putih Hanna yang menjeplak seperti barusan. Bahaya jika ia terus-terus melihat itu, apalagi bentuk Dada Hanna terlihat sangat sempurna tercetak dibalik Bra hitamnya tersebut.

'Astaga kok mikir itu lagi' Batin Jovan memberontak. Otaknya seakan tak mengizinkannya untuk melupakan secara cepat apa yang barusan ia lihat.

Jovan memberikan kaosnya kepada Hanna dengan menunduk. Tak ada cara lain, hanya menunduk jalan satu-satunya untuk mengontrol diri. Benar kata orang-orang, semua berasal dari pandangan. Dari mulai jatuh cinta, sampai hawa nafsu.

“Ini kaosnya, mungkin kebesaran, tapi enggak apa-apa ya, Na. Daripada kamu kedinginan.” Tak sedikitpun Jovan menatap Hanna, tatapannya benar-benar menuju ke bawah lantai yang basah.

Jovan benar-benar gelisah dan salah tingkah, akhirnya ia memutuskan untuk duduk dilantai, agar pandangannya tak dapat menatap bagian atas tubuh Hanna.

“Kak... gantinya dimana?”

Sial, Jovan lupa kalau kamar Kos nya tidak memiliki kamar mandi di dalam. Tidak mungkin kan menyuruh Hanna keluar dan mengganti pakaiannnya di kamar mandi bersama. Jovan sendiri saja risih dengan kamar mandi tersebut yang sangat banyak putung rokok, apalagi Hanna. Belum lagi keluar dari sini, berarti Hanna harus berjalan dan mungkin saja anak kos yang lain bisa melihat lekukan tubuh Hanna dengan bebas, walaupun bisa diakali dengan handuk, tetap saja Jovan tak mau ada yang melihat Hanna yang sedang kuyub sekarang.

“Disini aja kali ya? Saya enggak lihat, saya tutup mata dan menghadap ke belakang.”

“Ohiya, aku ganti dulu ya.”

Mendengar itu, Jovan bersiap untuk membalikan tubuhnya untuk menghadap ke belakang.

Namun...

Belum sempat tubuhnya membalik, teriakan Hanna terdengar di telinganya. Detik kemudian, ia merasakan tubuh Hanna jatuh dan menimpa dirinya hingga berada di posisi terlentang dengan Hanna yang ada diatasnya.

Sepertinya lantai yang licin akibat tetesan air dari baju mereka adalah penyebab Hanna terjatuh tepat menimpa Jovan.

Keduanya terkejut, jarak diantara keduanya begitu dekat, bahkan mereka bisa merasakan napas masing-masing yang berhembus dan mengenai kulit wajah keduanya.

Bisa Hanna lihat dengan jelas wajah Jovan dan rambut basahnya yang terkena hujan. Sedangkan Jovan, dengan jelas melihat bibir mungil yang sedang digigit kecil oleh sang pemiliknya.

Entah berasal darimana keberanian pada diri Jovan, hingga detik kemudian ia membalik posisi secara tiba-tiba. Sekarang bukan lagi Hanna yang berada diatas Jovan, namun Jovan lah yang berada diatas Hanna.

“Kak...” ucap Hanna pelan. Hanna sangat terkejut sekarang, namun tak ada keinginan juga dari diri Hanna untuk lepas dari posisi itu, entah apa yang ada pada dirinya sampai-sampai ia tak memberontak dan mencoba keluar dari posisi itu.

“Hanna... Boleh saya cium?” Jovan masih sempat meminta izin terlebih dahulu, tak mau gadisnya marah dan merasa di lecehi apabila mencium bibir Hanna tanpa ada persetujuan terlebih dahulu.

Hanna mengangguk pelan, menyetujui permintaan tersebut.


Kokok ayam, menyadarkan keduanya yang mulai lelah. Jovan membawa Hanna ke dalam pelukannya, dan bergegas menyelimuti tubuh Hanna dengan selimut yang ada di kamarnya.

Jovan mengecup Hanna sekali lagi di dahi. “Hanna terimakasih, kamu indah. Sangat indah.”

huft

-Ara

Sudah terbit.

Sudah Terbit

goodbye

Nadhira bergegas meninggalkan ruang ujian setelah menyelesaikan puluhan soal mata pelajaran yang ia pilih, Sosiologi. ia bahkan melewati sesi foto bersama teman-teman sekelasnya untuk yang terakhir kalinya dengan seragam sekolah. Fokusnya hanya kepada Dikta yang menunggu kedatangannya.

Sialnya, aplikasi Ojek online di hpnya tiba-tiba eror tak bisa diakses. Bus kota dan angkutan umum bukanlah pilihan yang tepat untuk sampai ke Rumah sakit dengan waktu yang singkat. Ia menggigit kuku jari tangannya dengan gelisah sembari tangan yang satunya sibuk dengan layar handphonenya, berusaha mengunduh aplikasi Ojek online yang lain.

Disaat ia sedang berusaha mengakses aplikasi itu, sebuah motor menghampiri tepat di depannya. Jelas Nadhira sangat mengenal motor tersebut dan pemiliknya, karena dulu sudah menjadi kebiasaannya untuk naik keatas jok tersebut ketika pulang sekolah.

“Nadh, aku anter ya.” Pemilik motor tersebut, Jeno membuka kaca helmnya dan langsung menawarkan Nadhira tanpa menyapa Nadhira terlebih dahulu.

“Eh? Enggak usah Jeno, aku pesan Ojol aja.”

“Servernya lagi down, udah naik aja langsung, buruan.” Tak seperti biasanya, kali ini Jeno sedikit memaksa dan tak terlihat tenang seperti hari-hari sebelumnya.

“Aku bukan mau pulang, Jeno. Aku mau ke Ru-”

“Iya. Aku antar, Ayo cepet naik.” Nadhira menerima tawaran itu dan langsung duduk di jok belakang motor tersebut. Jeno melajukan motornya kencang, tak seperti biasanya yang berada di kecepatan rata-rata, seolah-olah tahu bahwa penumpang yang sedang ia bawa sedang dikejar oleh waktu.

Tak ada obrolan sama sekali selama perjalanan, keduanya sama-sama fokus dengan pikiran mereka masing-masing. Dari tadi Nadhira sibuk memikirkan keadaan Dikta yang dikabarkan telah siuman, Nadhira bahkan berencana akan menghabiskan waktu libur panjangnya untuk berada disamping Dikta, karena sekarang sudah tak ada lagi gangguan dari dunia persekolahannya, semua ujian di sekolah pun telah ia selesaikan. Nadhira tak sabar ingin menceritakan bagaimana pengalaman Ujiannya selama Empat hari secara langsung kepada Dikta, dan yang jelas Nadhira sangat rindu menghabiskan waktu bersama Dikta. Selama perjalanan, tak lupa pula ia menatap langit dan berkali-kali berterimakasih kepada Tuhan walaupun hanya ia ucapkan dalam hati karena Tuhan telah membangunkan Dikta dari tidur yang cukup lama.

“Jeno gapapa disini aja, biar kamu gak bayar parkiran.” Nadhira menepuk pundak Jeno pelan ketika motor Jeno sampai di depan halte Rumah sakit.

“Gapapa sampai dalam aja, Nadh.”

“Gapapa disini aja, Jeno. Makasih banyak ya, kalau gak ada kamu kayaknya aku masih nunggu Ojol atau Angkot sekarang.” Nadhira turun dari motor tersebut dan tersenyum manis kepada Jeno. Jeno tak membalas senyum itu, tak seperti biasanya Jeno seperti itu, bahkan sekarang Jeno menatap Nadhira dengan tatapan yang penuh dengan kekhawatiran.

“Eh? Kenapa Jeno?” Tanya Nadhira ketika menyadari ada yang aneh dari tatapan Jeno.

“Gapapa, Gih sana Nadh, Kamu buru-buru kan?” Nadhira mengangguk dan melambaikan tangannya kepada Jeno.

“Nadh...” Panggil Jeno setelah beberapa langkah Nadhira meninggalkannya, sontak Nadhira menoleh kepada Jeno.

“Iya?” Saut Nadhira.

“Jangan segan hubungi aku ketika kamu merasa gak kuat nahan semuanya sendiri, ya?” Mendengar itu Nadhira hanya tersenyum sembari mengangguk dan kembali melangkahkan kakinya menuju Rumah sakit.

“Tuhan, gue mohon, jangan ambil senyum itu...” Lirih Jeno pelan ketika dilihatnya Nadhira sudah masuk ke dalam Area Rumah sakit.


Kebahagiaan Nadhira perlahan pudar ketika sampai di depan ruang ICU, ruangan yang sama sekali tak terbayangkan olehnya selama perjalanan tadi menuju Rumah sakit.

“Kak, kok masih di ruangan ICU?” Tanya Nadhira kepada teman-teman Dikta yang sudah menunggu kedatangannya. Semuanya berbeda dari harapan Nadhira, ia pikir akan disambut dengan bahagia oleh teman-teman Dikta, namun tidak terlihat kebahagiaan sedikitpun dari wajah mereka.

“Ohiya, Nadh. Ini Alea. Teman Dikta juga.” Jeffrey memperkenalkan seorang perempuan yang berdiri disampingnya. Sebenarnya tanpa diperkenalakan, Nadhira juga sudah tahu kalau itu Alea, karena beberapa kali Dikta menunjukan fotonya kepada Nadhira.

“Iya...” Jawab Nadhira pelan, ia rasa bukan waktu yang tepat kalau harus membahas lebih lanjut mengenai Alea.

“Sebentar ya Nadh, tunggu dulu.” Ucap Theo berusaha tenang kepada Nadhira.

“Kak Dikta baik-baik aja kan? Kenapa kok masih di ICU? Kak Dikta udah sadar kan? Gak terjadi apa-apa kan? Kalian kok mukanya sedih gitu?” Tak tahan lagi, akhirnya Nadhira menyerbu mereka dengan banyak pertanyaan. Namun tak ada satupun jawaban yang keluar dari mereka, semuanya hanya diam dan menunduk ketika mendengar pertanyaan itu.

“Kak?” Panggil Nadhira, namun masih tak ada jawaban dari kelima orang tersebut.

“Kata kalian Kak Dikta mau ketemu gue? Tapi mana?”

“Nadh... Iya Dikta mau ketemu lo, bahkan dia berjuang mati-matian buat ketemu lo.” Akhirnya Johnny menjawab Nadhira yang dari tadi bertanya kepada mereka.

“Gue ke musholah ya, Aing teu kuat.” Ucap Atuy dan pergi meninggalkan mereka. Melihat itu Nadhira semakin takut dengan apa yang sebenarnya terjadi.

“Duduk di bangku itu dulu yuk, Nadh? Pasti capek kan habis ngejain soal yang banyak. Tenang...” Alea menghampiri Nadhira dan mengusap bahu Nadhira pelan.

“Kak Dikta baik-baik aja kan?” Lirih Nadhira pelan.

“Pasti.” Jawab Alea mencoba meyakinkan dan menenangkan Nadhira.

Beberapa saat kemudian, Mamah Dikta keluar dari ruangan ICU, ia langsung menghampiri Nadhira begitu melihat Nadhira duduk di bangku tunggu yang terdapat di depan ruang itu. Wajahnya telihat tenang, walau sangat Nadhira yakini bahwa Mamah Dikta sedang kacau dan menutupi sesuatu, namun berusaha tetap tenang dihadapan Nadhira dan teman-teman Dikta.

“Nadhira, sudah selesai Nak Ujiannya?”

“Sudah tante, Kak Dikta gimana keadaannya? Kak Dikta baik-baik aja kan, Tante?”

“Dikta nunggu kamu nak dari tadi, Kasian jika harus menunggu lebih lama lagi.” Nadhira mengerutkan keningnya, tak mengerti maksud dari ucapan Mamah Dikta barusan.

“Mau lihat kamu katanya, dan mau ngobrol sama kamu.” Ucap Mamah Dikta terhenti,

“Walau cuma sebentar.” Lanjutnya.

Tak menunggu lama, Nadhira langsung masuk ke ruang ICU setelah mendapat izin dari seorang perawat yang bertanggung jawab untuk ruangan itu.


Dikta terbaring di satu-satunya ranjang tidur yang ada pada ruangan tersebut. Detak jantungnya tergambar dalam grafik yang ada pada layar Elektrokardiograf, grafik tersebut menunjukan bahwa keadaan Dikta saat ini sangat lemah, dan pula terdapat alat bantu pernapasan yang terpasang untuk menyalurkan oksigen kepada Dikta.

Dengan amat pelan dan berhati-hati Nadhira duduk di sebuah bangku samping ranjang tersebut. Ketika melihat wajah pucat Dikta yang sedang tertidur, ia tak kuat manahan tangisnya. Rasanya sangat sakit ketika melihat orang yang dicinta harus berjuang dengan berbagai alat-alat medis yang banyak itu. Nadhira mengelus tangan Dikta lembut, hal itu membuat Dikta terbangun dan membuka kedua matanya perlahan.

“Kak...” Bisik Nadhira sangat pelan, khawatir mengganggu Dikta yang tadinya sedang tertidur. “Gapapa, tidur lagi aja. Nadhira yang temenin, ya?” Nadhira tersenyum sembari mengusap air mata yang jatuh pada pipinya, ia tak boleh terlihat sedih di depan Dikta.

Dikta menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Nadhira membantunya untuk melepas alat bantu pernapasannya. Awalnya Nadhira menolak melakukan itu, namun Dikta mengangguk seakan meyakinkan Nadhira bahwa dia akan baik-baik saja. Akhirnya Nadhira melepaskan alat bantu pernapasan itu, membiarkan Dikta mengatakan apa pun yang diinginkannya.

“Nadhira,” Panggil Dikta pelan, bahkan terdengar sangat pelan dan lemah. Nadhira hanya mengangguk dan membawa jemari Dikta ke dalam dekapannya.

“Lama banget datangnya.” Lanjut Dikta dan tersenyum kecil kepada Nadhira.

“Maaf Kak, Maaf bikin kakak nunggu lama.”

Dikta menggeleng pelan mendengar itu, “Gapapa, Nadh...” Kalimat Dikta terhenti, suaranya sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar. Dikta berusaha mengambil napasnya berat dan melanjutkan apa yang ingin ia bicarakan.

“Kalau tadi, rasa sakitnya masih bisa ditahan... Harus lihat Nadhira dulu... Harus lihat senyum Nadhira dulu... Supaya bahagia perginya...”

Mendengar itu, Nadhira kembali menjatuhkan butiran air mata dari sudut matanya, Ia tak tahu harus menjawab apa. Segala bentuk perjuangan dan pengorbanan Dikta berkelebat di kepalanya. Sudah terlalu banyak Dikta bertahan dan menahan semuanya. Dan sekarang, disini, di ruangan yeng penuh dengan alat medis, dengan keadaan separah ini, Dikta masih saja bertahan untuk melihat senyum Nadhira sebelum pergi. Isak tangis Nadhira pecah, membayangkan betapa jahat dan egoisnya dirinya selama ini karena selalu meminta Dikta untuk bertahan bersamanya tanpa pernah memikirkan betapa tersiksanya Dikta selama ini.

“Maafin aku kak, Maafin Nadhira udah bikin Kak Dikta ngerasa sakit kayak gini, Maafin aku, Kak.” Lirih Nadhira di sela isak tangisnya.

“Nadhira... Jangan nangis... Mau... Senyum, Nadh...”

Bagaimana bisa Nadhira tersenyum disaat seperti ini? Bagaimana bisa ia memberi sebuah senyuman ketika perpisahan yang sangat menyakitkan berada tepat di depan matanya, hanya tangislah yang dapat menggambarkan perasaan Nadhira sekarang.

“Jangan nangis, Nadh...” Lanjut Dikta lagi dengan susah payah. “Nadh... Kakak bikin Nadhira sedih ya?”

Ketika mendengar itu, Nadhira langsung menggeleng pelan dan mengusap air mata dengan punggung tangannya, lalu mengangkat wajahnya dan mencoba tersenyum menatap Dikta, Dikta pun balas tersenyum melihat itu.

“Nadhira... Arti namanya, yang berharga, yang terpilih... Itu juga sebagai Definisi kamu di dalam kehidupan Kakak, Nadh...” Nadhira tak menjawab dan hanya mengangguk pelan sembari menatap Dikta.

“Nadhira... Ulang tahun masih 3 bulan lagi, ya?”

“Iya Kak.”

“Selamat ulang tahun, Nadhira sayang, semoga semua yang Nadhira Inginkan terwujud... semoga Nadhira selalu cemerlang di setiap harinya, Ohiya, senyum Nadhira yang bersinar itu, jangan pernah hilang, ya? Kakak... Enggak mau lihat Nadhira kehilangan sinar senyuman itu... Tetap tertawa ya, Nadh, meski nanti enggak ada Kakak... Berbahagialah karena doa Kakak selalu untuk Nadhira, bahkan sampai nanti diatas sana...”

“Dan maaf... Ucapin ini lebih awal... Maaf Kakak enggak bisa lagi jaga Nadhira... Tolong, Nadh... Tolong jadikan Kakak sepenggal kenangan indah yang hanya lewat di kehidupan kamu, Kakak hanya untuk dikenang, jangan lebih... Nadhira enggak perlu khawatir, Nadhira enggak akan pernah pergi dari ingatan Kakak, Nadhira yang akan kekal diingatan Kakak, karena cuma Nadhira yang mau Kakak lihat sebelum pergi...”

“Nadhira juga mau Kakak Kekal, Nadhira mau terus bareng sama Kak Dikta, pasti ada cara kan, Kak? Please...”

“Enggak bisa... Nadh... Enggak kuat, Enggak tertahan lagi... Maaf...”

Nadhira kembali terisak setelah mendengar itu, separuh dari dirinya belum siap menerima sebuah perpisahan, separuhnya lagi menyuruhnya untuk melepaskan Dikta dari rasa sakit yang amat menyiksa ini.

“Maaf Kak, Maaf karena aku, Kak Dikta jadi sakit kayak gini... Kak, Sakit banget ya? Maaf... Maafin Nadhira, Kak...”

Dikta menggeleng perlahan mendengar itu. “Nadhira enggak salah... Nadhira enggak pernah salah... Tolong Ikhlaskan Kakak, Nadh... Kakak juga udah merelakan kamu...”

Nadhira tertunduk lemas, tak mampu lagi ia mendengar kalimat Dikta. hatinya terasa sangat sakit dan sulit untuk melepaskan Dikta pergi, namun mungkin akan terasa lebih sakit jika membiarkan Dikta terus-terusan merasakan kesakitan ini.

“Nadhira... Harus bahagia... Karena Kakak akan terus lihat kebahagiaan Nadhira... dan ikut bahagia dengan apapun pilihan Nadhira...”

“Nadh... Boleh lihat senyum... Terakhir... Nadh.” Dengan susah payah Nadhira menguatkan dirinya untuk kembali menatap Dikta, dengan susah payah ia memberikan sebuah senyum untuk dilihat Dikta, walau buliran bening tak henti terjatuh dari sudut matanya, ia masih berusaha tersenyum untuk Dikta, barangkali perpisahan memang sudah sangat dekat, hanya itu yang bisa ia berikan kepada Dikta.

“Cantik, Nadh... Selalu cantik.” Suara Dikta sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.

“Maaf, Kak...” Nadhira berkata dengan penuh putus asa, dibalas dengan senyuman oleh Dikta, lalu ia mengusap pipi Nadhira lembut. Terasa dingin jemari Dikta ketika mengusap pelan pipi Nadhira.

“Nadh... Kakak udah merelakan kamu...” Ucap Dikta dengan susah payah. “Sekarang Kakak bisa pergi dengan hati yang lapang... Terimakasih, Nadh... Kakak bahagia... hidup... selama ini... Terimakasih...”

Dikta memejamkan matanya dengan tenang setelah berusaha keras menyelesaikan kalimat terakhirnya yang bahkan tak bisa Nadhira dengar dengan jelas. Alat elektrokardiograf itu berbunyi dengan sangat nyaring dan menunjukan garis lurus. Tangis Nadhira berderai dengan sangat deras mendengar alat itu, dengan tergesa-gesa Nadhira kembali memakaikan alat bantu pernapasan kepada Dikta, namun tak ada reaksi apapun dari tubuh Dikta.

“Kak Dikta!!!” Nadhira berteriak dengan kacau, memukul-mukulkan kepalan tangannya kepada sisi ranjang yang kosong. Suara nyaring dari monitor Elektrokardiograf terus-terusan meneror pendengaran Nadhira, membuatnya pusing dan tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.

Dokter dan beberapa perawat menghampiri Dikta yang sudah memejamkan matanya. Nadhira melawan ketika ada perawat yang mencoba membawanya keluar, namun akhirnya ia kalah ketika Jeffrey menghampirinya dan membawanya keluar dari ruangan tersebut.

“Biar Dokter yang urus ya, kita tunggu diluar.”


“Kak Dikta tante... Kak Dikta...” Ucap Nadhira kacau, sedangkan Mamah Dikta hanya menunduk dan menangis, seakan sudah tau apa yang akan terjadi, begitupun dengan teman-teman Dikta yang menunggu diluar dari tadi.

Nadhira kesal, mengapa semua orang seakan-akan sudah siap dengan perpisahan. Tiba-tiba Nadhira teringat perkataan Dikta pada saat dirumahnya, Dikta bilang kalau menginginkan sesuatu memintalah kepada Tuhan, apapun itu Tuhan pasti akan bantu. Jika sekarang Nadhira meminta Tuhan menyelamatkan Dikta, pasti Tuhan akan membantunya, 'kan?

“Kak Alea...” Panggil Nadhira pelan. Alea langsung menghampiri Nadhira dan kembali mengusap pundak Nadhira pelan.

“Iya, Nadh?”

“Tolong antar ke lantai bawah, Nadhira mau berdoa sama tuhan. Mungkin kali ini ada keajaiban.” Nadhira tak peduli jika ucapannya terdengar konyol, padahal ia sendiri sudah melihat bagaimana keadaan Dikta barusan, bagi Nadhira untuk saat ini hanya Tuhanlah yang bisa menolong Dikta melalui sebuah keajaiban.

Alea mengangguk mengiyakan permintaan Nadhira, ia langsung menggandeng tangan Nadhira dan menemani Nadhira menuju lantai dasar Rumah sakit.

Selama perjalanan menuju lantai dasar Nadhira hanya diam, tatapannya kosong dan sesekali bahunya menabrak orang lain yang berjalan berlawanan arah dengannya, Nadhira benar-benar sangat kacau dengan seragam SMA yang terlihat sangat kusut dan berantakan itu. Alea memegangi Nadhira dan menyarankan untuk naik lift saja, karena dirasanya tidak memungkinkan dengan keadaan seperti ini Nadhira bisa menuruni anak tangga untuk sampai di lantai bawah.

Belum sempat memasuki lift, sebuah pesan masuk dari handphone Nadhira, menghentikan langkah kaki mereka.

pulang

Nadhira terduduk di lantai dengan lemas setelah membaca dua baris pesan masuk itu, pandangannya terasa sangat kabur, dunia terasa berhenti.

Alea langsung membawa Nadhira ke dalam pelukannya dan membiarkan Nadhira melepaskan tangis kepadanya.

“Kak... Hancur semua, rasanya badan aku kaku, Kak... Kayak ditimpa batu, Sakit... Hancur semuanya, Kak. Hancur.”

Tenggorokan Nadhira tiba-tiba terasa tercekat, Lidahnya kelu seperti ingin mati, kepalanya seperti melayang-layang di udara, dan ingatannya kembali pada saat terakhir kali melihat Dikta tadi. Nadhira membayangkan betapa damainya wajah Dikta dalam tidurnya yang abadi, begitu pasrahnya Dikta dengan segala takdir yang telah diberikan oleh sang penciptanya, Dikta telah pergi, diiringi senyum damai dan aliran air mata yang mengalir membasahi wajahnya sebelum bertemu dengan sang Pencipta.

-Ara

Sudah terbit