kejeffreyan

Setelah mengantar Azalea ke sekolah menggunakan motor miliknya, Jovan segera bersiap untuk menuju rumah sakit. Sempat ia bertemu Darto di depan gerbang sekolah, dengan senyum meremehkan Jovan, seperti memperolok keputusan Jovan yang lebih memilih menjadi guru dengan idealisme tinggi sehingga kalah telak darinya.

Kalau saja Jovan sedang tidak ditunggu Haekal, sudah dipastikan Darto habis dipukuli olehnya, mengingat dendamnya kepada Darto belum usai. Jovan benar-benar tidak takut terlibat perkelahian dengan Darto, apalagi ia sudah tidak berada di posisi sebagai seorang guru di sekolah tersebut. Namun, itu semua ia tahan agar bisa sampai tepat waktu untuk membantu Haekal. Masih ada hari lain, pikir Jovan, dan segera memutuskan untuk pergi. Sengaja Jovan bunyikan gas motornya lebih keras pada saat melewati Darto.

“Dasar Honorer belagu!” Maki Darto berteriak kepada Jovan yang sudah pergi dengan motornya, “Miskin gak tau diri kau Jovan!” Sambungnya lagi seakan tak merasa puas karena Jovan tetap melajukan motornya tanpa terpancing sedikitpun.

“Habis kamu nanti, Darto. Gak akan saya kasih ampun.” Batin Jovan amat kesal dan mempercepat laju motornya. Tangannya menggenggang erat kemudi motor tersebut.

“Darto, Tama, abis kalian nanti.” Lagi, seakan masih termakan emosi ketika mengingat dua nama tersebut di otaknya.


Pukul 7 pagi, Hanna masih belum juga tidur, semalaman suntuk ia mengahadap layar laptopnya, sembari menemani Haekal yang sebenarnya tak mau ditemani Hanna. Walau sudah beberapa kali diusir Haekal agar pulang saja, Hanna kukuh tetap disana, duduk dengan tenangnya di sofa yang tersedia, walau harus saling diam, tanpa suara. Bukan masalah bagi Hanna, yang penting ia selalu ada di samping Haekal.

“Ada teman saya nanti.” Setelah belasan jam hanya diam, akhirnya Hanna mendengar suara Haekal, ia tersenyum kecil, akhirnya Haekal mau membuka obrolan dengannya. Sedikit Hanna alihkan atensinya yang sedari tadi hanya untuk layar laptop, ia menoleh ke arah Haekal yang nampaknya sangat terpaksa membuka obrolan.

“Datang aja, berapa orang?” Tanya Hanna sedikit penasaran.

“Mamah keluar aja.” Bukannya menjawab, Haekal jusru kembali mengusir Hanna dari ruangannya. Hanna nampaknya sudah sangat bosan mendengar kalimat itu, sehingga memilih kembali memberikan fokusnya kepada layar laptop.

“Kenapa saya gak boleh ada di sini?” Tanya Hanna terdengar tenang, dengan jemari yang sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Mendengar pertanyaan itu, Haekal berdecih pelan.

“Kenapa tanya? Bukannya Mamah yang gak mau publik tau kalau saya anak Mamah?” Kali ini Haekal terdengar ketus dari sebelumnya. Jemari Hanna yang tadinya dengan lincah menari di keyboard laptopnya, seketika terhenti mendengar respon tersebut.

“Terlalu pagi untuk berdebat, bahkan sarapan kamu aja belum datang.” Respon Hanna masih mencoba tenang, walau dadanya terasa sesak apabila mendengar ucapan ketus Haekal yang selalu memojokkannya.

“Mamah keluar aja, saya-” Ucapan Haekal terpotong ketika mendengar knop pintu ruangan tersebut dibuka oleh seseorang, selanjutnya muncullah sosok yang sudah ia tunggu-tunggu, sosok itu diam dan berdiri di dekat pintu, memberikan senyuman hangatnya kepada Haekal.

“Pagi,” Sapanya ramah, Haekal tak balas senyum, hanya mengangguk, namun terlihat dari mimik wajah Haekal saat ini yang lebih damai dari sebelumnya. “Selamat pagi Bu Hanna.” Lanjut Jovan, sosok yang datang mendatangi ruang inap Haekal, menyapa Hanna masih dengan senyum ramahnya.

“Kamu ngapain ke sini, jangan-”

“Saya yang minta Pak Jovan ke sini, untuk bantu saya ganti baju dan bersihkan badan.” Belum selesai Hanna melayangkan protesnya akan kehadiran Jovan, Haekal lebih dahulu memotong ucapannya dengan menjelaskan alasan Jovan datang.

“Cih, licik.” Desis Hanna pelan, sangat pelan sembari menutup layar laptopnya, sedikit kasar Hanna menutup laptop tersebut, memperlihatkan bahwa saat ini ia tak nyaman dengan hadirnya Jovan.

“Bu Hanna saya izin masuk dan bantu Haekal, ya?” Ucap Jovan meminta izin sebelum melanjutkan langkah kakinya mendekati sisi ranjang Haekal. Hanna tak menjawab, hanya menatap tajam ke arah Jovan, seperti mengintimidasi tiap langkah kaki Jovan yang mendekat ke arah Haekal. Hanna kesal, namun ingin melarang pun tak bisa, karena sudah dipastikan Haekal tak akan mendengarnya. Bukannya menuruti kemauan Hanna, yang ada Haekal malah tambah membenci Hanna apabila mengusir Jovan.

“Mah, keluar dulu, ya?” Pinta Haekal, iya, kali ini terdengar seperti sebuah permintaan, berbeda seperti cara mengusir Haekal sebelum Jovan datang.

“Tinggalin kamu sama dia?” Tanya Hanna sembari mendelik ke arah Jovan tak bersahabat, “Enggak bisa, saya gak percaya dengan dia.” Sambungnya lagi.

“Saya gak nyaman kalau ada Mamah.”

“Saya Mamah kamu, Haekal. Silahkan ganti baju dibantu dengan orang itu, tapi saya mau tetap di sini. Saya gak percaya dengan dia.” Ucap Hanna sembari menunjuk Jovan. Kali ini Hanna tak mau kalah, ia tak mau kedua kalinya diusir di depan Jovan oleh anaknya sendiri.

“Saya gak percaya dengan Mamah.” Timpal Haekal dingin dan menusuk, membuat Hanna diam tak percaya dengan ucapan Haekal barusan. “Keluar, Mah. Saya canggung dan gak nyaman dengan hadirnya Mamah.” Lanjutnya lagi, kukuh tak mau Hanna berada di ruangan ini untuk memantau pergerakan Jovan.

“Pergi, Mah-”

“Iya! Saya keluar. Saya keluar, sudah, enggak perlu kamu ulang lagi.” Jawab Hanna dengan nada bicara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Matanya mulai memerah karena terasa panas mendengar ucapan Haekal barusan. Terlihat jelas dari raut wajah Hanna ada amarah yang berusaha ia tahan. Tangannya mengepal kencang, dadanya sesak bukan main, rasa sedih akan ucapan ketus Haekal, dan rasa kesal akan kehadiran Jovan bercampur menjadi satu. Sehingga ia memutuskan untuk pergi, khawatir emosinya lepas kendali di depan Haekal yang sedang sakit.

Jovan hanya diam dan bisu, ia bingung dengan situasi saat ini. Jovan tidak menyangka Haekal akan kembali mengusir Hanna di hadapannya seperti kemarin. Dilihatnya Hanna tengah menatapnya, tatapannya semakin tajam dari sebelumnya, seakan sedang berbicara “Puas kamu?!” Kepada Jovan. Sebelum pada akhirnya Hanna melangkahkan kakinya dengan gusar ke arah pintu keluar.

Brakkk!

Terdengar suara pintu tertutup sangat keras, nampaknya Hanna mendorong dengan kencang pintu tersebut ketika meninggalkan ruangan.

“Maafkan Mamah saya, Pak.” Ucap Haekal pelan setelahnya. Jovan yang tadinya merasakan tegang ketika berada di tengah perdebatan Ibu dan Anak itu berusaha kembali tenang, dan mendudukkan dirinya pada kursi yang ada di sisi ranjang Haekal.

“Maaf untuk apa?”

“Tadi Mamah saya banting pintunya, dan sudah bilang gak percaya dengan bapak.” Nampak sekali dari wajah Haekal, saat ini ia merasa sangat tak enak hati kepada Jovan. Merespon permintaan maaf itu, Jovan hanya tersenyum kepada Haekal, dan membantu untuk menaikkan bagian atas brangkar untuk membantu Haekal berada di posisi setengah duduk dengan punggung yang disandarkan di sana.

“Sebelum bantu kamu bebersih, saya punya tebakan buat kamu.” Bukannya merespon permintaan maaf dari Haekal, Jovan malah mengajak Haekal main tebak-tebakan. Mendengar itu, Haekal menaikkan sebelah alisnya, tak paham dengan maksud Jovan. “Saya suruh kamu tebak, kalau kamu berhasil menebak dengan benar, saya belikan apapun yang kamu.” Lanjut Jovan menawarkan.

“Saya gak mau dibelikan apa-apa.” Jovan lupa, kalau Haekal bisa beli apa saja yang ia mau, tanpa harus memenangkan tebak-tebakan ini.

“Kamu mau apa?” Tanya Jovan ragu, karena apapun yang ada di dunia ini, pasti bisa dibeli oleh Hanna untuk Haekal.

“Saya mau ditemani bikin SIM.” Tanpa terduga, permintaan sederhana itu yang Haekal pinta. Senyum yang sedari tadi merekah di bibir Jovan, perlahan memudar, ia menyadari bahwa Haekal tak butuh apapun, ia hanya butuh waktu dari orangtuanya untuk membantunya mengurus kebutuhannya, yang padahal seharusnya hal remeh seperti ini tak harus dipinta oleh Haekal untuk diwujudkan.

“Boleh.” Jawab Jovan pada akhirnya. Permintaan Haekal sangat amat sederhana, namun, itu sangat sulit untuk diwujudkan oleh Hanna selama ini. Mengingat fakta tersebut, hati Jovan kembali terasa perih, membayangkan sudah berapa banyak masa-masa sulit yang Haekal lewati sendiri, membayangkan betapa kasihannya Haekal ketika teman-temannya bercerita pengalaman mereka membuat KTP, SIM, ATM bersama orangtua mereka masing-masing.

“Nanti kita bikin SIM, ya? Apalagi, Kal? KTP? Atau buku tabungan untuk kamu kuliah nanti?”

“Sudah, Pak.” Jawab Haekal, “Dibantu Bi nur, pembantu di rumah saya.” Haekal menjelaskan.

“Nanti Bapak langsung yang temani kamu bikin SIM, ya? Setelah kamu sembuh, kita segera bikin SIM.” Haekal mengangguk setuju dengan itu.

“Tapi itu kan kalau saya benar menebak, kalau saya salah menebak, bagaimana? Apa ada hukuman, atau bapak ada permintaan untuk saya?” Jovan menjentikkan jemarinya mendengar itu, ia dekatkan duduknya kepada Haekal, memperlihatkan bagaimana bersemangatnya ia kali ini.

“Kalau kamu salah nebak, kamu harus ikuti kemauan saya, satu hari ini. Deal?” Jovan mengulurkan tangannya kepada Haekal, mengajak Haekal untuk berjabat tangan, sebagai tanda bahwa keduanya sudah sepakat dengan ketentuan tersebut.

“Pasti aneh permintaan Bapak...” Haekal nampak menimbang terlebih dahulu, “Jangan terlalu aneh, Pak.” Haekal seperti mengajak Jovan berunding agar tak meminta yang macam-macam padanya.

“Enggak mungkin saya minta yang aneh, Haekal. Kamu duduk saja harus saya bantu, masa iya saya minta aneh-aneh, seperti misalnya sapu semua lantai yang ada di RS ini.” Jovan meyakinkan Haekal agar tak khawatir.

“Okay, Deal. Tapi saya gak bisa balas jabat tangan Bapak, masih sakit tangan sebelah kanan saya untuk digerakkan.” Jawab Haekal dengan menolehkan pandangannya ke arah tangan kanannya yang masih diperban, Jovan hanya tertawa melihat itu, dan tangannya terjulur untuk mengacak-acak rambut Haekal.

“Mulai?”

“Mulai, Pak.” Jawab Haekal dengan mantap.

“Sewaktu kamu gak sadar, ada satu pertandingan bola yang kamu lewati,” Jovan menggantung sebentar ucapannya, dilihatnya Haekal yang sekarang mengerutkan dahinya, seperti sedang berusaha mengingat sesuatu.

“Ah, Man City lawan Arsenal, ya?!” Jovan mengangguk mengiyakan pertanyaan tersebut, “Ah iya! Saya enggak nonton, lagi nongkrong sama malaikat kayaknya.” Celetuk Haekal asal, Jovan tertawa renyah mendengar itu, dan Haekal pun ikut tertawa bersama Jovan.

“Ngaco terus kamu ya, kurang asupan Malboro kayaknya Hahaha.”

“Betul, bapak bawa rokok? Saya pinjam satu, nanti saya ganti.” Timpal Haekal, nampak serius.

“Merokok setelah habis operasi paru-paru kiri penuh cairan darah. Bagus Haekal, bagus, sepertinya masih mau nongkrong sama malaikat. Satu hisapan, sudah pindah alam.” Jawab Jovan sarkatik, Haekal tertawa mendengar itu, sembari memegangi bagian perutnya yang terasa tak nyaman apabila ia tertawa terlalu kencang.

“Jadi, siapa yang menang?” Tanya Haekal penasaran dengan hasil pertandingan bola yang barusan mereka bicarakan.

“Itu tugas kamu untuk jawab.”

“Loh, saya kan lagi sekarat waktu itu, Pak. Jadi enggak tau siapa yang menang.” Jovan sedikit meringis mendengar ucapan Haekal yang sedari tadi memilih menggunakan kalimat-kelimat menyeramkan untuk menggambarkan keadaan kritisnya kemarin.

“Saya minta kamu tebak, Man City vs Arsenal kemarin siapa yang menang. Kalau kamu benar, saya temani kamu bikin SIM, kalau kamu salah, kamu ikuti kemauan saya seharian ini.”

“Sebentar, saya pikirkan dulu jawabannya.” Haekal nampak serius kali ini, memikirkan peluang club mana yang memenangkan pertandingan, “Ada red card keluar?” Tanya Haekal, berusaha mencari clue.

“Ada lah, tapi saya enggak akan kasih tau team mana yang dapat red card.” Perkiraan Haekal salah, ternyata Jovan tak sebaik itu memberikannya clue.

Sempat terlintas di kepala Haekal, mengapa ia mau-mau saja menyetujui permainan konyol ini, padahal, kalau saja Jere atau Reno yang mengajaknya bermain tebak-tebakan seperti ini, sudah pasti Haekal akan berlalu, karena baginya hal seperti ini sangat-sangat tak penting. Namun lihatlah dirinya saat ini, terlihat amat kompetitif untuk memenangkan permainan ini. Padahal kalau dipikir, Pak Jovan hanya perlu mengantarkannya membuat SIM apabila ia benar, sedangkan Haekal, harus menuruti semua permintaan Pak Jovan dalam sehari ini apabila ia salah menjawab.

“Sudah dapat jawabannya, Haekal? Hahaha.”

“Sudah, tapi sebentar, sebentar Pak, saya coba analisa kedua team dulu di pertandingan sebelumnya yang sempat saya tonton.” Jawaban serius itu berhasil membuat tawa Jovan tak berhenti terdengar di ruangan tersebut.

“Okay, sudah! Saya yakin dengan tebakan saya.” Haekal nampak sangat percaya diri saat ini.

“Jadi, Man City vs Arsenal, yang menang adalah?”

Haekal memejamkan matanya sebelum menjawab, untuk yang terakhir meyakinkan dirinya atas jawaban yang akan ia sebut, dan setelahnya dengan lantang ia menjawab, “ARSENAL!” Jawabnya sangat mantap sekali.

Jovan tidak segera menjawab, ia hanya tersenyum ambigu ke arah Haekal, seakan membiarkan Haekal frustasi sendiri mendefinisikan arti dari senyumannya tersebut. “Benar kan pasti saya?” Tanya Haekal tak sabar.

Detik kemudian Jovan tertawa lagi, tak kuasa menahan tawanya ketika melihat Haekal yang saat ini sangat frustasi menanti jawabannya.

“Salah! Hahahaha, Arsenal kalah dari Man city. 1-5 skornya Hahahaha!” Haekal menatap Jovan tak percaya. Karena tak terima atas kesalahannya dalam menebak, segera ia ambil ponselnya, dan mencari tahu sendiri hasil dari pertandingan tersebut.

“Ah, kok bisa kalah?!” Gerutunya setelah melihat dengan matanya sendiri dari google, terkait hasil pertandingan tersebut. “Bisa-bisanya kalah telak, Argh, payah.” Haekal masih kesal, sedangkan Jovan semakin tertawa kencang melihat kekesalan tersebut.

“Okay, kamu kalah ya Haekal berarti Hahaha, jadi, kamu harus ikuti kemauan saya hari ini sesuai kesepakatan tadi.” Haekal hanya mengangguk tak ikhlas merespon itu, “Ikhlas gak?” Tanya Jovan memastikan.

“Iya, ikhlas. Lelaki sejati adalah lelaki yang tepat janji.” Balas Haekal berusaha tabah dengan kekalahannya.

Jovan melirik jam tangan yang melingkar di tangannya, dilihatnya jarum jam sudah menunjukan ke angka setengah delapan, “Sudah jam setengah delapan, kita bersihkan badan sama ganti baju kamu dulu, ya?” Haekal mengangguk setuju mendengar itu, Haekal pikir Jovan akan meminta sesuatu pada saat nanti, ketika ia sudah selesai membantu Haekal bersih-bersih, namun ternyata tidak, Jovan malah menjalankan aksinya saat ini juga.

“Tapi saya butuh bantuan orang lain kayaknya, Kal.” Ucapnya penuh makna, nampak Haekal mengernyitkan keningnya mendengar kalimat itu.

“Saya panggil Mamah kamu untuk bantu saya pakaikan baju kamu, ya? Supaya gak ganggu perban di tangan kamu.” Gotcha, inilah niat awal Jovan mengajak Haekal bermain tebak-tebakan, untuk mengusahakan kehadiran Hanna diterima oleh Haekal.

“Saya gak mau.” Jawab Haekal langsung dan cepat, Jovan tersenyum mendengar jawaban tersebut.

“Ada anak laki-laki yang pernah bilang ke saya, kalau cowok itu tepat janji. Di mana ya anak laki-laki itu? ngumpet kali ya, Kal, di bawah ranjang kamu.” Sindir Jovan, Haekal menghela napasnya kesal, menyadari baru saja ia terperangkap oleh jebakan Jovan yang ingin mendamaikan Haekal dengan Mamahnya.

“Canggung, Pak. Saya juga gak nyaman kalau ada Mamah.” Ungkap Haekal jujur.

“Bukan canggung, tapi kamu itu marah, Haekal, sehingga kamu terus-terusan mencari alasan agar enggak melihat Mamah kamu.” Jawab Jovan dengan nada lembut ciri khasnya, Haekal hanya diam, tak membantah, tak juga mengiyakan.

“Saya panggil Mamah kamu, boleh, kan, lelaki sejati?” Sengaja Jovan tekankan nada bicaranya ketika memanggil Haekal dengan panggilan 'lelaki sejati', “Boleh?” Izin Jovan lagi, dan pada akhirnya Haekal mengangguk pasrah, karena baginya janji, memang harus ditepati, walau ia akan membenci situasi yang akan terjadi.


Di luar ruangan, Hanna kembali duduk sendiri, sama persis seperti kemarin, saat ia diusir oleh Haekal. Tangannya mengepal keras ponselnya, menyalurkan amarah yang sedari tadi ia tahan agar tak meluap, ditambah lagi dengan keadaan perutnya yang terasa lapar karena belum mengonsumsi apapun dari malam tadi, karena sibuk dengan kerjaannya, dan juga berjaga, khawatir infus Haekal habis dan tidak ada yang menyadari. Tapi lihatlah saat ini, lagi dan lagi ia merasa dibuang oleh Haekal, duduk di ruang tunggu ini seperti tidak dihargai oleh anaknya sendiri.

Ketika ia menundukkan kepalanya, diihatnya sepasang sepatu mendekatinya, dan berhenti tepat di depannya. Sebenarnya tanpa menengadahkan pandangannya ke atas, Hanna sudah tahu siapa sosok yang sedang berdiri di depannya ini, karena parfume yang digunakan sosok tersebut masih sama harumnya seperti 17 tahun yang lalu.

“Mau apa ke sini?” Tanya Hanna dingin, memilih tetap berada di posisinya saat ini, menunduk manatap lantai, agar tak melihat wajah dari sosok yang sangat ia benci itu, Jovan.

“Ayo masuk, Na.” Ajak Jovan, terdengar hangat bagi siapapun yang mendengar suaranya, namun, kehangatan itu seakan tak bisa dirasakan oleh dinginnya hati Hanna.

“Kamu mau meledek saya, ya, Jovan?” Kali ini Hanna menganggkat pandangannya, menatap Jovan dingin.

“Haekal minta kamu masuk,” Jovan malah mengulurkan tangannya untuk membantu Hanna bangkit dari duduknya, “Dan saya butuh bantuan kamu untuk pakaikan baju Haekal, khawatir kalau sendiri, gak ada yang tahan tangannya yang masih sakit itu.” Lanjut Jovan, tenang, sangat tenang.

“Puas kamu-”

“Masih seperti kemarin, hati saya juga sakit ketika lihat kamu terpaksa pergi dari pintu tersebut, Na.” Jovan memotong ucapan Hanna, tak mau Hanna terus-terusan berpikiran bahwa dirinya senang melihat Hanna diperlakukan seperti itu oleh Haekal, “Jadi, ayo, kita masuk ruangan itu, pelan-pelan kita perbaiki apa yang membuat Haekal kecewa, dan kita kembalikan Haekal yang dulu, yang selalu menjadikan kamu pusat dari semestanya.” Lanjut Jovan berusaha meyakinkan Hanna agar mau masuk ke dalam ruangan Haekal bersamanya, dan masih dengan tangannya yang menjulur, menunggu sambutan dari tangan Hanna, walau rasanya amat tak mungkin bagi Jovan.

“Selagi kita masih punya kesempatan, Na, kamu juga pasti belum pernah kan bantu Haekal pakai baju ketika ia sudah besar? Ini akan jadi kali pertama bagi kita berdua.” Seakan tak menyerah, Jovan masih tetap membujuk Hanna agar percaya kepadanya, “Selagi Tuhan masih kasih kita kesempatan...” Lirihnya lagi.

Detik kemudian Hanna bangkit, walau tak ia balas uluran tangan Jovan kepadanya. Jovan tersenyum melihat itu, akhirnya ia berhasil meyakinkan Hanna untuk masuk ke dalam bersamanya.

“Ayo, Na.” Ajak Jovan ramah, lengkap dengan senyum manisnya, kemudian melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam ruangan tadi, diikuti oleh langkah kaki Hanna di belakangnya, “Terima kasih, ya, sudah mau.” Ucap Jovan lagi, sebelum membuka knop pintu tersebut, Hanna hanya diam, malas menjawab perkataan Jovan.


“Bu Hanna, tolong angkat sedikit lengan kanan Haekal, supaya enggak kena bagian yang lukanya.” Pinta Jovan yang saat ini sedang sibuk memakaikan baju ganti Haekal. Hanna tak segera melakukan itu. Alasannya kerena, pertama, ia merasa Jovan tak punya hak untuk memerintahnya. Kedua, Hanna tahu, Haekal tak akan mau apabila ia sentuh barang sedikit walau untuk membantunya memakai baju.

“Bu Hanna?” Panggil Jovan sekali lagi, “Kalau enggak dibantu, nanti kena bagian yang masih terasa nyeri oleh Haekal, iya kan, Kal? Kamu butuh dibantu Mamah kamu?” Kali ini Jovan menanyakan Haekal, Hanna paham, Jovan saat ini berusaha untuk menyairkan suasana yang canggung antara Haekal dan Hanna, namun tetap saja, Jovan terlihat menyebalkan di mata Hanna.

“Hmm, iya.” Jawab Haekal tak ikhlas.

“Bilang apa ya, Kal, kalau minta bantuan?” Tanya Jovan sengaja, sedangkan Haekal hanya melirik Jovan kesal dengan pertanyaan tersebut. “Ehem, Man City,” Bisik Jovan pelan setelahnya, tepat di dekat telinga Haekal, mendengar bisikan itu, Haekal hanya memincingkan matanya kesal.

“Mah, tolong saya.” Pinta Haekal dengan suara pelan, sembari tangan bagian kanannya dinaikan sedikit, supaya Hanna mau membantu menahan lengan kanannya itu. Hanna yang bingung dengan apa yang terjadi, segera mengambil lengan kanan Haekal untuk ia bantu tahan selagi Jovan berusaha memakaikan baju Haekal.

Jovan tersenyum iseng ketika melirik dari sudut matanya bagaimana kedua orang di depannya ini berhasil masuk ke dalam jebakannya, di dalam hati Jovan merasa bersyukur, karena Haekal masih mau mengikuti arahannya, untuk menjaga perasaan Hanna dalam sehari ini.

“Okay udah selesai,” Ucap Jovan ketika berhasil merapihkan kancing terakhir di baju pasien yang Haekal gunakan, lengkap dengan senyuman manisnya.

“Terima kasih, Pak,” Balas Haekal setelahnya dengan melirik ke arah Jovan yang ada di samping kirinya. Ada kecewa yang Hanna rasa, karena Haekal hanya mengucapkan Terima kasih untuk Jovan saja, seakan tak menganggap Hanna yang ada di samping kanannya. Dengan perasaan yang agak sedih, Hanna memutuskan untuk berjalan kembali menuju sofa yang terdapat pada ruangan tersebut.

“Terima kasih, Mah...” Tanpa terduga, Haekal mengucapkan itu, dan berhasil menghentikan langkah kaki Hanna sejenak, detik berikutnya Hanna membalikan tubuhnya untuk melihat Haekal sejenak, “Hmm, sama-sama.” Jawab Hanna singkat, dan kembali melanjutkan langkahnya menuju sofa. Jovan dan Haekal yang dibelakanginya tak tahu, bagaimana bibir Hanna perlahan melukiskan sebuah senyuman lebar setelah mendengar ucapan Terima kasih dari Putranya itu.

“Pintar, anak baik.” Puji Jovan pelan, yang masih bisa di dengar oleh Hanna. Ada rasa penasaran yang timbul dalam benak Hanna, tentang bagaimana cara Jovan membuat Haekal bisa menurutinya. Namun, Hanna berusaha untuk bodo amat dengan itu, toh, pikir Hanna, Jovan itu laki-laki manipulatif yang bisa saja mengelabui banyak orang.

“Sarapan dari Rumah sakit belum datang ya, Bu Hanna?” Jovan bertanya kepada Hanna yang saat ini kembali fokus dengan laptopnya di sofa sana.

“Kalau ada, sudah pasti ada bekasnya.” Jawab Hanna masih ketus kepada Jovan, dengan pandangannya yang masih fokus menghadap layar laptopnya.

“Belum ada, Pak, paling sebentar lagi.” Haekal turut menjawab ketika dirasanya jawaban dari Hanna barusan terdengar sangat tidak mengenakkan, dan bisa saja menyinggung perasaan Jovan.

Tepat setelah Haekal menjawab, pintu ruangan tersebut diketuk oleh perawat yang bertugas menghantarkan makanan ke tiap-tiap ruangan para pasien. Hanna yang tadinya terlihat sibuk dengan laptopnya, segera menghampiri perawat tersebut untuk mengambil makanan yang telah disediakan, dan berterima kasih kepada perawat itu sebelum meninggalkan ruang rawat Haekal.

Hanna dengan sangat hati-hati menata makanan tersebut pada overbed table yang tersedia, agar memudahkan Haekal makan, selagi Hanna menyiapkan makanan Haekal, Jovan kembali membantu Haekal untuk setengah duduk, agar nyaman saat makan nanti.

Setelah berhasil membantu Haekal duduk, Jovan segera berdiri dari bangkunya, dan hendak mempersilahkan agar Hanna yang duduk di sana, membantu Haekal makan, namun, betapa kagetnya Jovan, ketika dilihatnya Hanna malah kembali ke sofa tempat di mana ia sibuk dengan laptopnya tadi. Begitupun dengan Haekal, yang langsung memakan makanannya sendiri, tanpa bantuan siapapun.

IMG-20210906-WA0015

Jovan menggeleng pelan, menyadari bahwa anak dan Ibu ini memang sudah terbiasa sendiri, tanpa menemani dan membantu satu sama lain.

“Haekal, bisa makan sendiri?” Tanya Jovan pada akhirnya, Haekal mengangguk, walau terlihat Haekal sedikit kesusahan menyuap dengan tangan kirinya, mengingat kondisi tangan kanannya saat ini sedang diperban.

“Bu Hanna, barusan Haekal bisik-bisik ke saya, katanya mau disuapin.” Seperti tak tahan melihat dinding yang secara tak sadar sudah dibangun oleh Hanna dan Haekal, Jovan kembali memulai permainannya.

“Hah? Uhuk uhuk...” Haekal sedikit tersedak mendengar itu, baru saja ia ingin melayangkan protes, Jovan sudah terlebih dahulu membisikkan sesuatu di telinganya, “Man City menang, Kal.” Sehingga Haekal kembali tak berdaya dibuatnya.

“Di suap?” Hanna seakan tak percaya, menatap Haekal, seperti mencari kebenaran dari mata Haekal, namun, yang Hanna lihat hanya Haekal yang sedang menatap sedikit kesal ke arah Jovan.

“Iya, kan, Kal, tadi kamu minta disuapin?” Jovan sedikit menyenggol lengan kiri Haekal, Haekal hanya bisa pasrah setelahnya.

“Iya... Tolong, Mah...” Walau ragu, akhirnya Haekal meminta bantuan Hanna untuk menyuapinya makan. Hanna semakin bingung dengan situasi ini, “Tolong suapi saya.” Lanjut Haekal lagi ketika dirasanya Hanna tak kunjung memberi jawaban atas permintaannnya.

Ragu, teramat ragu Hanna akhirnya datang menghampiri ranjang Haekal untuk menyuapinya. Ini akan jadi kali pertamanya menyuapi Haekal, semenjak kecil, Haekal sudah diambil alih oleh pengurus rumah tangga untuk mengasuhnya, Hanna hanya memberikannya ASI, setelah itu, ia diberi jarak oleh orangtuanya agar tak terlalu dekat dengan Haekal.

“Di sini, Bu Hanna, silahkan duduk di sini supaya lebih leluasa menyuapi Haekal.” Jovan mempersilahkan Hanna untuk duduk di kursi yang terdapat di samping ranjang Haekal, dan berganti posisi, menjadi ia yang duduk di sofa ruangan tersebut, memperhatikan bagaimana kecanggungan yang sedang melanda Anak dan Ibu tersebut.

“Jangan pakai sayurnya,” Ucap Haekal ragu, ketika dilihatnya Hanna sedang menyiapkan brokoli pada sendok yang akan ia suapkan kepada Haekal.

“Harus makan sayur, bukan?” Tanya Hanna balik tak kalah ragu.

“Tapi saya gak suka sayur.” Jawab Haekal terus terang, mendengar itu Hanna kembali mengambil sayur yang ada di piring tersebut, lebih banyak lagi.

“Kalau itu bukan alasan untuk gak makan sayur.” Hanna mengarahkan sendok tersebut ke arah mulut Haekal yang masih tertutup, Haekal menggeleng pelan, menolak suapan tersebut, “Supaya cepat sehat, aaaa, ayo.” Hanna tanpa sadar membuka mulutnya, memberi isyarat agar Haekal juga membuka mulutnya. Haekal seperti terhipnotis dengan itu, dan ikut membuka mulutnya perlahan, sehingga sendok berisikan nasi, lauk, dan sayur itu dengan sempurna masuk ke dalam mulut Haekal untuk dikunyah.

Jovan tersenyum bahagia mengamati pemandangan di depannya ini, memang seharusnya seperti itu, kan, layaknya Anak dan Ibu yang saling mengasihi, saat itu juga Jovan bertekad, untuk memperbaiki hubungan antara Haekal dan Hanna agar keduanya merasa saling sayang, dan saling melindungi satu sama lain.

“Lagi, mau pakai wortel atau brokoli?” Kali ini Hanna memberi kesempatan Haekal untuk memilih.

“Enggak keduanya, rasanya aneh.” Jawab Haekal menolak, masih berusaha untuk menelan abis suapan sebelumnya.

“Pakai wortel, ya, sama ayamnya saya banyakin.” Kembali Hanna mengarahkan sendok tersebut kepada Haekal yang dengan wajah pasrahnya membuka kembali mulutnya secara perlahan. Jovan terkekeh pelan melihat itu, persis seperti dirinya sewaktu kecil dulu, harus dipaksa dulu oleh Ibunya untuk memakan sayur.

Jovan tak mau moment indah ini hanya terlewatkan saja, segera ia ambil handphone yang berada di saku celananya, dan dengan segera memotret Haekal dan Hanna. Di potret tersebut, terliha Hanna sedang menyuapi Haekal, dengan tangannya yang menengadah di bawah dagu Haekal, bersiap menampung apabila ada makanan yang tak masuk dengan sempurna dari mulut Haekal agar tak jatuh berserakan.

“Tuhan sangat sempurna kebahagiaan yang saya lihat kali ini. Saya mau seperti ini saja, Tuhan. Tolong... Pertahankan bahagia kami...” Batin Jovan meminta, dapat ia bayangkan, bagaimana indahnya apabila semesta merestui hubungannya dengan Hanna pada saat dulu, mungkin mereka akan menjadi keluarga kecil yang sangat bahagia dan saling mengasihi.

“Bapak sedang apa?” Pertanyaan itu berasal dari Haekal, menyadarkan Jovan dari lamunan sesaatnya, dengan posisi tangannya yang terlihat sedang memotret dua orang di depannya itu.

“Oh ini, saya fotokan kalian, silahkan senyum ke kamera,” Tawar Jovan, padahal sebelum menawarkan ini, Jovan sudah terlebih dahulu memotret Hanna dan Haekal diam-diam.

“Jangan,” “Enggak,”

Respon Hanna dan Haekal menolak secara bersamaan, keduanya langsung mengalihkan wajah mereka dari kamera ponsel Jovan secara bersamaan juga.

“Loh, tadi Haekal juga bukan yang minta difotokan bersama Mamah?” Lagi, Jovan menjebak keduanya ke dalam permainannya. Baru saja Haekal ingin protes, Jovan sudah terlebih dahulu berdeham memberi kode, dan mengedipkan sebelah matanya kepada Haekal.

“Iya, kan, tadi bilang ke saya, sekarang sudah ada Mamahnya, malah malu-malu.” Goda Jovan tak hentinya. Hanna yang mendengar itu, menjadi salah tingkah, dan mengalihkan fokusnya untuk membereskan sisa makanan Haekal.

“Iya...” Pada akhirnya Haekal kembali mengalah dan mengikuti kemauan Jovan yang baginya sangat sangat menyebalkan. “Ayo foto, Mah, sebentar, soalnya belum pernah foto bersama.” Sambung Haekal sedikit ragu.

“Tapi kalau gak mau, enggak masalah, Mamah mungkin khawatir publik-”

“Cepat fotokan.” Ucap Hanna memotong perkataan Haekal, walau ucapan tersebut lebih terdengar seperti perintah dibandingkan permintaan tolong yang sopan, Jovan sama sekali tak mempermasalahkan itu, malah ia tersenyum lebar mendengar itu, dan dengan semangat mengambil potret Ibu dan Anak itu.

“Satu... Dua... Tiga, senyum!” Tepat dihitungan ketiga, Jovan berhasil mengambil potret keduanya yang sedang tersenyum, walau terlihat sekali bagaimana lengkung dibibir mereka sangat canggung, namun Jovan tetap tersenyum bahagia melihat hasil dari potret tersebut.

“Hasilnya bagus, nanti saya kirim-”

“Enggak perlu.” “Jangan kirim ke saya.”

Lagi, Ibu dan Anak itu dengan kompak menolak tawaran Jovan, Jovan terkekeh mendengar kekompokkan itu, dan mengangguk paham, walau nanti tetap saja ia akan mengirim foto ini pada keduanya, tanpa harus diminta terlebih dahulu.


Hanna duduk seorang diri di luar ruang inap Haekal, 30 menit yang lalu, datanglah teman-teman Haekal yang hendak menjenguk Haekal, karena itu Hanna kembali keluar ruangan, supaya hadirnya tidak diketahui oleh teman-teman Haekal, pikirnya masih terlalu tak aman apabila hubungan darah antara keduanya tercium publik untuk saat ini.

Seulas senyum tipis terpoles di bibir indah Hanna, walau berusaha menahan, tetap saja senyuman itu terlihat dari bibir mungilnya. Hatinya terasa hangat ketika mengingat bagaimana tadi ia menghabiskan waktu bersama Haekal, walau dengan canggung yang melanda keduanya.

Hanna sadar, ia sama sekali tak pernah sedekat itu dengan Haekal, yang Hanna ingat hanyalah ia pernah menyusui Haekal di beberapa bulan awal kelahiran Haekal, setelah itu, ia benar-benar dilarang oleh orangtuanya untuk terlalu dekat dengan anaknya sendiri. Ironis sekali, namun begitulah konsekuensi hidup yang harus Hanna jalani demi menyelamatkan Haekal kecil yang dulu hampir saja tak terselamatkan apabila ia tak membuat kesepakatan dengan orangtuanya.

Hanna memandangi jemarinya, kembali bayang akan jemarinya yang tadi menyuapi Haekal terlintas dipikirannya, senyum yang tadinya hanya terulas tipis, perlahan semakin mengembang, namun, satu tetes air mata kebahagiaannya ikut terjun mengenai jemarinya. Hanna bahagia, itulah yang ia tahu saat ini. Harunya menyeruak, dan diam-diam hatinya berharap, agar masih bisa menyuapi Haekal di lain hari, seperti tadi.

“Hai,” Sapaan tersebut menyadarkan Hanna, segera ia hapus bulir bening yang membasahi pipinya. Hanna sudah mulai terbiasa dengan suara itu yang kembali hadir lagi akhir-akhir ini, jadi tak perlu lagi ia terkejut apabila mendengar suara tersebut, suara Jovan.

Hanna tak menjawab, hanya menatap datar ke arah Jovan yang saat ini duduk di sampingnya, dan kemudian menghela napasnya, menandakan ia sangat tak mengharapkan hadir Jovan di sisinya, walau sebenarnya mereka terhalang oleh satu bangku yang sengaja Jovan kosongkan agar Hanna sedikit merasa aman dengan jarak tersebut.

“Roti isi pisang dan coklat, dan susu vanilla kesukaan kamu.” Jovan memberikan sebuah kantong kresek, ia letakkannya kresek putih tersebut di samping Hanna, tepatnya pada bangku yang sengaja ia kosongkan untuk membuat jarak. Hanna hanya melirik sekilas pada kantong kresek tersebut.

“Saya gak butuh.” Jawabnya singkat, namun sial, detik berikutnya terdengar bunyi yang berasal dari perut Hanna, seakan meminta untuk diisi sang empunya, karena dari kemarin perutnya belum diberi asupan sama sekali. Jovan terkekeh mendengar itu, dan semakin mendekatkan kresek putih tersebut kepada Hanna.

“Kamu gak butuh, tapi barusan perut kamu teriak butuh roti pisang ini,” Hanna mendengus kesal mendengar ucapan tersebut.

“Saya pamit pulang ya, Na, titip Haekal. Kalau berkenan, silahkan makan roti yang saya kasih, kalau enggak mau, gapapa, Na. Nanti saya sampaikan ke orang yang berjaga di luar untuk belikan bosnya makan.” Ucap Jovan berpamitan, Hanna tak menjawab, seolah tak peduli dan tak mendengar ucapan Jovan barusan. Jovan kembali tersenyum, setidaknya kali ini Hanna tak menyumpahinya dengan berbagai serapah yang kasar.

“Hanna...” Panggil Jovan sebelum benar-benar melangkahkan kakinya untuk pergi, Hanna tak menjawabnya, malah mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.

“Hanna...” Lagi, Jovan kembali memanggil Hanna. Panggilan kedua ini seakan membangkitkan kembali kekesalan Hanna, walau tak menjawab, terdengar decakan kesal Hanna.

“Na...”

“Apa?!”

“Terima kasih sudah mau bekerja sama memberi bahagia kepada Haekal hari ini.” Ucap Jovan, dan menunduk sopan kepada Hanna sebelum melangkahkan kakinya untuk pulang. Hanna tak menjawab itu, karena Jovan pun segera pergi setelah mengatakan itu. Dilihat Hanna bagaimana punggung itu semakin menjauh, hingga perlahan menghilang dari pandangannya.

Perasaannya campur aduk saat ini, rasa kesalnya tak begitu meluap-luap pada saat tadi Jovan menemuinya, mungkin karena rasa bahagia yang lebih mendominasi Hanna. Dan, Hanna pun menyadari, kedekatannya hari ini dengan Haekal tak lepas dari usaha Jovan yang sangat terlihat sedang mengusahakan untuk mendamaikan Hanna dengan Haekal. Namun, tetap saja, Hanna masih belum bisa mempercayai Jovan lagi, tetap saja rasa sesak timbul apabila mengingat bagaimana cara Jovan meninggalkannya dulu. Masih sulit bagi Hanna kalau harus berdamai dengan Jovan, bahkan rasanya masih tak mungkin.

“Permisi, Bu...” Seorang pekerja yang ditugaskan untuk mengambil alat makan para pasien melewati Hanna yang sedang duduk termenung sendiri, Hanna hanya mengangguk merespon pekerja itu.

Di lihat Hanna pekerja itu membawa beberapa bekas piring, mangkuk dan sendok bekas makan Haekal tadi, dan saat itu juga dengan terburu-buru ia mengirim pesan kepada seseorang melalui handphonenya.

IMG-20210906-WA0016

Hari ini menjadi kali pertama untuk ketiga orang itu. Kali pertama bagi Jovan membantu anaknya membersihkan badan, Kali pertama bagi Hanna menyuapi anaknya makan, dan kali pertama bagi Haekal bisa foto berdua dengan ibunya selama hampir 18 tahun hidup di dunia ini.

Sangat sederhan, kan, kali pertama bagi mereka, yang bahkan hal-hal tersebut sudah menjadi sesuatu yang biasa saja bagi orang lain, namun, Jovan, Hanna, Haekal baru diberi kesempatan oleh semesta untuk merasakan hal-hal sederhana itu hari ini, setelah belasan tahun ketiganya terjebak antah berantah semesta yang mengakibatkan mereka terluka dengan berbagai cara. Entahlah semesta sedang mempersiapkan apa, yang pasti ketiganya saat ini sedang mensyukuri kali pertama yang Tuhan beri kepada mereka.


IMG-20210906-WA0014

-Ara

Entah sudah berapa menit keduanya dikuasai oleh sepi, baik Haekal maupun Jovan sama-sama termenung setelah ruangan tersebut ditinggal oleh Hanna. Haekal hanya memperhatikan pintu ruangan tersebut terhitung sejak Hanna meninggalkannya, menatap kosong ke arah sana. Sedangkan Jovan, menatap Haekal penuh rasa khawatir dan juga bersalah, pun pikirannya ikut terbagi setelah melihat sendiri bagaimana sikap dingin Haekal kepada Hanna, yang Jovan yakini itu sangat menyakiti perasaan Hanna.

“Haekal?” Jovan akhirnya memilih untuk memulai obrolan dengan Haekal, mendengar panggilan itu, Haekal tersadar dari lamunannya dan memberikan atensinya kepada Jovan, tak lagi menatap kosong ke arah pintu ruangan tersebut.

“Merasa bersalah, ya?” Itu merupakan pertanyaan pertama yang diajukan oleh Jovan. Padahal, ada banyak sekali pertanyaan lainnya terkait kondisi Haekal yang sudah Jovan siapkan tadinya, namun, melihat bagaimana raut kesedihan dan kekecewaan Hanna ketika di usir tadi, dan melihat bagaimana raut penyesalan tergambar jelas di wajah Haekal, akhirnya Jovan memutuskan untuk bertanya prihal itu terlebih dulu.

“Maksud bapak?” Tanya Haekal berpura-pura tak paham pertanyaan Jovan, padahal, ia jelas mengerti yang dimaksud oleh Jovan barusan.

“Terlihat dari wajah kamu saat ini. Nanti minta maaf, ya, sama Mamah?” Tutur Jovan terasa lembut sekali. Haekal hanya diam berusaha tak menanggapi itu.

“Bapak kenapa kok bisa tau saya sudah sadar?” Bukannya merespon nasihat yang Jovan beri, Haekal malah berusaha membahas hal yang lain. “Dan, kenapa kok bisa punya akses masuk ke ruangan ini?” Sambungnya penasaran. Jovan tersenyum mendengar pertanyaan itu, ia paham, Haekal belum mau membahas kejadian barusan, sehingga Jovan memilih mengikuti alur perbincangan yang Haekal mau saja untuk saat ini. Digesernya bangku tersebut agar lebih dekat pada sisi ranjang Haekal, dan ia tatap kembali Haekal dengan sangat hangat.

“Bukan hal yang sulit bagi saya menembus akses rumah sakit ini, Haekal.” Jawabnya tenang, “Dan bukan hal yang sulit juga bagi saya untuk mengetahui perkembangan kamu.” Lanjutnya lagi. Haekal tak menjawab, masih mencoba mencerna maksud dari jawaban Jovan barusan.

“Sesulit apapun itu, saya lakukan, agar bisa tau segala hal tentang perkembangan kamu.”

“Kenapa, Pak?” Pertanyaan itu muncul karena Haekal sedikit tak mengerti dengan jawaban Jovan yang terkesan sangat berlebihan apabila diucapkan oleh seorang guru kepada siswanya.

Jovan diam, seakan tertampar oleh pertanyaan Haekal barusan, terpaksa sadar dengan realita, bahwa pada situasi saat ini wajar Haekal merasa aneh akan perhatiannya yang sudah sangat berlebihan. Ingin sekali rasanya ia memberitahu siapa sebenarnya dia kepada Haekal, namun Jovan sadar, itu hanya akan memperkeruh suasana untuk saat ini, belum tepat waktunya kalau harus membongkar semuanya sekarang.

“Karena...” Jovan menggantung ucapannya, nampak memikirkan terlebih dahulu alasan apa yang masuk akal, karena ia paham betul Haekal tipikal yang sangat memakai logika dan akal sehatnya, “Karena saya kan teman kamu.” Sambungnya berusaha tersenyum. Senyum yang beda dari sebelumnya, senyuman yang nampak terpaksa, dikarenakan sulit sekali baginya untuk berbohong kepada Haekal.

“Hahaha iya, Bapak dan Azalea kan teman terbaik yang saya punya.” Haekal terkekeh setelahnya, tak curiga sama sekali dengan senyum penuh paksaan dari Jovan.

“Karena saya Ayah kamu, Haekal.” Batin Jovan. Sakit rasanya apabila harus berpura-pura menjadi orang lain di depan anaknya sendiri, padahal rasanya ingin sekali Jovan memeluk Haekal saat ini, menyalurkan segela kehawatirannya selama beberapa hari ini menunggu kabar membaik dari Haekal, namun semua itu harus tertahan.

“Bapak bagaimana kabarnya?” Jovan tersadar dari lamunannya mendengar pertanyaan tersebut.

“Kamu nanya kabar saya?” Tanya Jovan seakan tak percaya, Haekal hanya mengangguk merespon pertanyaan tersebut, “Disaat kondisi kamu seperti sekarang? dengan luka lebam dimana-mana, dan perban dimana-mana?” Haekal terkekeh pelan mendengar itu.

“Sudah biasa, Pak, bukan laki-laki kalau enggak pernah babak belur gini.” Jawab Haekal dengan santainya, Jovan menggeleng tak percaya dengan jawaban tersebut.

“Biasa ya, Haekal? Biasa diambang mati, ya, kalau laki-laki?” Tanya Jovan sarkas.

“Saya lagi diomelin sama guru saya atau sama teman saya ya sekarang ini?” Mendengar respon tersebut Jovan tertawa, begitupun Haekal yang ikut tertawa karena Jovan yang ada di depannya saat ini sangatlah terlihat perhatian sekali terhadap kondisinya.

“Sakit?” Tanya Jovan setelah beberapa saat tertawa bersama Haekal, kali ini pertanyaannya terdengar serius, sehingga Haekal pun memutuskan untuk menjawab pertanyaan tersebut dengan serius juga.

“Lumayan,” Ada jeda yang Haekal beri sebelum melanjutkan jawabannya, “Tapi yang lebih sakit adalah harus menerima fakta kalau Tuhan beri saya kesempatan untuk hidup lagi, Pak.” Sambungnya tanpa ragu, nampak sekali keseriusan dari raut wajah Haekal, menandakan ia sedang tidak bergurau saat ini.

“Bagi kamu mungkin itu menyakitkan, tapi bagi orang lain, itu adalah anugrah, Haekal.” Jawab Jovan berusaha tenang, walau dalam hati kecilnya, jawaban tersebut teramat melukainya, melihat sang anak seperti sudah hilang keinginan untuk hidup. “Termasuk bagi saya.” Lanjut Jovan kemudian.

“Maksud bapak?” Haekal tak paham.

“Bagi saya Tuhan telah memberikan Anugrah yang luar biasa kepada saya karena masih memberikan kamu kesempatan untuk tetap hidup.” Masih Jovan merespon tenang, dengan tangan yang terulur untuk membenarkan posisi bantal Haekal, agar tak sakit punggung Haekal ketika bersandar.

“Bagi saya, bagi Azalea, bagi teman-teman geng kamu yang suka saya traktir soto di kantin,” Lanjut Jovan dengan senyuman hangat ciri khasnya, “Dan bagi Hanna, Mamah kamu.” Lanjutnya lagi. Haekal hanya menghela napasnya berat ketika mendengar nama Hanna, seperti berat sekali mendengar nama tersebut diucap.

“Kadang kita tuh gak sadar, kalau kita adalah alasan orang lain untuk tetap hidup, Haekal. Kita terlalu fokus dengan segala macam yang menyakiti kita, tanpa melihat, bahwa kita sangat berharga bagi orang lain.” Haekal hanya menunduk mendengar nasihat tersebut, padahal biasanya Haekal merupakan tipikal yang senantiasa melawan menggunakan logikanya apabila dinasehati oleh orang lain, yang bukan Ibunya.

“Bahkan yang terlihat menyakiti kita pun belum tentu pada faktanya seperti itu. Ada banyak sekali hal-hal yang gak kita ketahui, Haekal. Jadi, jangan terburu-buru untuk mengakhiri semuanya, masih banyak kesempatan, dan masih banyak fakta-fakta yang belum kamu ketahui. Dan yang terpenting, tetaplah hidup, untuk mereka yang menjadikan kamu alasan mereka untuk terus bertahan di dunia yang keji ini,” Haekal masih diam, tak memberikan respon apapun dengan pandangannya yang tertunduk saat ini.

“Pak,” Panggil Haekal pelan setelah beberapa saat hanya diam, perlahan ia mengangkat pandangannya dan menatap kosong ke depannya, “Tadi bapak tanya, kan, apa saya merasa sakit?” Jovan mengangguk, dan mendekatkan lagi kursinya agar bisa mendengar jawaban Haekal dengan sangat jelas.

“Sakit, Pak, sakit sekali. Saya sendirian saat itu, saya juga sedang kalut saat itu, tiba-tiba dihampiri banyak sekali siswa dari sekolah lain. Saya dipukuli, saya ditendang, saya dilempar dengan benda-benda yang saya gak tau apa aja itu. Saya gak diberi kesempatan untuk membela diri, meraka hajar saya sampai habis. Saya sendiri, Pak, gak ada yang menolong, mau minta bantuan juga gak bisa, Pak, saya benar-benar merasa akan mati konyol sendirian, Pak.” Ucap Haekal menjelaskan kejadian pada saat itu, Jovan lah orang pertama yang ia percayai untuk mendengarkan keterangannya, bahkan polisi pun belum mau ia temui untuk saat ini.

“Setelah berusaha beberapa kali bangkit dan melawan, saya merasakan tubuh saya lemas, Pak, saya benar-benar kehilangan tenaga, bahkan untuk tetap membuka mata saja rasanya sulit sekali. Sampai akhirnya saya pasrah, dan tak lama kemudian dunia terasa gelap.” Haekal lanjut bercerita, Haekal tak sadar bahwa lawan bicaranya itu nampak menahan emosi, ia tak melihat kepalan tangan dan rahang Jovan yang saat ini mengeras, menyalurkan emosi yang tak tertahan ketika mendengar penjelasan Haekal.

“Gelap, Pak, saya gak ingat apa-apa lagi, tapi ada satu yang bisa saya ingat, entah itu mimpi atau semacamnya, itu terasa nyata sekali bagi saya, Pak.” Sambung Haekal.

“Apa itu?” Tanya Jovan penasaran, sedikit mereda kekesalannya terhadap gerombolan siswa yang sudah mengeroyok Haekal.

“Saya ingat sekali rasa hangat saat berada di pelukan orang yang wajahnya gak bisa saya lihat dengan jelas, Pak. Entah kenapa, saya gak bisa lihat wajah orang itu, yang saya ingat dia laki-laki, dengan perawakan seperti bapak, menghampiri saya dan memeluk saya.” Jawab Haekal menjelaskan.

“Sampai saat ini, saya percaya bahwa itu adalah Ayah saya yang sudah meninggal, Pak. Mungkin Tuhan pertemukan saya dengan beliau dikeadaan saya yang sedang kritis, enggak rasional, sih, tapi, saya sangat yakin dengan itu.” Sambung Haekal, kali ini ia mengarahkan pandangannya kepada Jovan, terlihat amat serius menceritakan pengalamannya selama tak sadarkan diri.

Jovan diam, tubuhnya terasa kaku, mendengar cerita Haekal barusan. Ayah yang sudah meninggal ucap Haekal polos, tanpa tahu bahwa pria yang duduk di sampingnya saat ini adalah Ayahnya, yang masih hidup di dunia, dan belum meninggal. Hancur rasanya hati Jovan mendengar cerita tersebut, dianggap mati oleh anaknya sendiri.

“Saya datang ke arah laki-laki itu, Pak, berharap itu adalah Ayah, dan berharap apabila saya datang menghampiri Ayah, saya juga akan ikut pergi dari Dunia ini. Saya peluk Ayah erat, saya rasakan hangat yang sangat menenangkan ketika berada di pelukan Ayah, dan saya pejamkan mata saya, berharap saya ikut dengan Ayah saat itu juga. Namun, sayang, setelahnya yang saya ingat malah bau khas rumah sakit, dan suster yang memanggil-manggil nama saya. Ternyata saya masih hidup setelahnya.” Kali ini Haekal menyelesaikan ceritanya, dan menghela napasnya, menandakan ia kecewa dengan akhir cerita yang tak sejalan dengan harapannya.

“Eh?” Haekal sedikit kaget melihat Jovan yang saat ini menatap kosong kearahnya, “Bapak dengar saya, kan?” Tanya Haekal memastikan.

“Bapak dengar, Haekal.” Balas Jovan berusaha terlihat biasa saja di depan Haekal saat ini, “Bagaimana? senang, kan? setidaknya kamu udah merasakan hangatnya pelukan Ayah kamu...” Sambungnya ragu, Haekal hanya mengangkat bahu, menandakan ia juga bingung harus senang atau malah kecewa.

“Maaf...” Lirih Jovan kemudian, Haekal menatap heran ke arah Jovan yang tiba-tiba meminta maaf kepadanya.

“Untuk?”

“Maaf, karena bapak gak bisa lindungi kamu saat itu. Maaf bapak gagal lindungi kamu dari orang-orang jahat. Maaf karena bapak gak mampu jadi rumah disaat kamu merasa kalut sebelum kejadian penyerangan, Maaf bapak selalu telat, Haekal...” Ucap Jovan penuh penyesalan, Haekal sebenarnya bingung, namun, entah mengapa Haekal bisa rasakan ketulusan dari permintaan maaf itu, seolah-olah melindungi Haekal merupakan kewajiban yang harus Jovan lakukan.

“Maafkan Bapak, Haekal,” Kali ini Jovan mengusap bahu Haekal pelan, teramat pelan, sangat berhati-hati khawatir usapan tersebut malah mengenai bagian yang terluka dari tubuh Haekal.

“Maafkan Ayah, Nak...” Sudah pasti ini tak terucap, hanya batin Jovan saja yang berteriak meminta maaf layaknya seorang Ayah kepada anak laki-lakinya.

“Bapak enggak perlu minta maaf, bukan salah Bapak.”

“Ke depannya saya akan jaga kamu sebagaimana saya menjaga Azalea, Haekal.” Tutur Jovan bersungguh-sungguh, menatap lekat Haekal penuh keseriusan.

“Tapi, kenapa?”

“Karena kamu anak kandung saya satu-satunya.” Batin Jovan menjawab duluan, “Karena kamu teman saya, teman itu harus saling melindungi, bukan begitu?” Jawab Jovan dengan senyumnya, walau dalam hatinya meringis ketika menyatakan mereka hanya sekedar 'Teman'.

Haekal tersenyum mendengar itu, entah mengapa ia merasa tenang dan nyaman ketika berada di dekat Jovan, yang ia tahu, mungkin ini rasanya menemukan teman sejati dalam hidupnya.

“Bapak teman terbaik saya.” Ungkap Haekal setelahnya, Jovan tersenyum tipis mendengar itu, di dalam hati meringis.

“Haekal,” Panggil Jovan setelah beberapa saat diam dan hanya mendengarkan jarum jam di dinding yang terus-terusan berbunyi, Haekal menoleh dan berdeham pelan merespon panggilan tersebut, “Boleh saya peluk kamu?” Tanya Jovan ragu, mata Haekal terbuka sedikit lebih lebar mendengar permintaan tersebut, sempat ia diam sejenak dan tak menjawab Jovan, namun setelahnya ia mengangguk pelan, memberi persetujuan.

“Pelukan persahabatan? Haha.” Kekeh Haekal pelan, namun detik kemudian Jovan segera memeluknya, tanpa menanggapi candaan Haekal barusan.

Haekal terdiam, napasnya tercekat, matanya kembali membulat besar ketika merasakan pelukan tersebut. Pelukan yang terasa hangat, sama persis rasanya ketika sosok yang tak ia kenal memeluknya di dalam mimpi, Haekal seperti ditarik lagi pada mimpi tersebut.

Tak lama kemudian, Haekal merasakan bajunya sedikit basah, ia terkejut ketika menyadari Jovan yang sedang menangis sembari memeluknya. “Pak?” Panggil Haekal ragu.

“Terima kasih, Haekal...” Ucap Jovan, terdengar sengau di telinga Haekal, membuktikan bahwa Jovan benar-benar menitihkan air matanya saat ini. “Terima kasih sudah bertahan, terima kasih sudah tidak menyerah, dan memilih memeluk orang yang kamu tidak kenal di dalam mimpi itu.” Haekal memilih diam, mendengarkan apa yang ingin Jovan ucap, tanpa sedikitpun menginterupsi perkataan Jovan dengan berbagai macam pertanyaannya.

Haekal memilih menutup matanya, dan merasakan kehangatan dari pelukan Jovan, merasakan betapa miripnya pelukan itu dengan pelukan dari sosok Ayah yang Haekal mimpikan.

“Terima kasih sudah bertahan, Jagoan.” Ucap Jovan lagi. Ketika hendak melepaskan pelukan tersebut, Jovan seperti ditahan oleh Haekal, agar tetap memeluknya.

“Pak,” Kali ini Haekal yang memanggil Jovan.

“Iya, Nak?”

“Hangat, seperti pelukan Ayah. Boleh saya merasakannya semenit lagi?” Tutur Haekal pelan.

Jovan kembali menitihkan air matanya, dan memeluk Haekal lebih erat. Dua kali Haekal berucap kalau pelukan Jovan terasa hangat seperti pelukan seorang Ayah. Kali pertama disaat Haekal kehujanan dan datang ke rumahnya, namun saat itu Jovan belum mengetahui faktanya. Dan kali kedua saat ini, saat Jovan sudah mengetahui faktanya. Rasanya amat perih, menerima kenyataan bahwa sang anak sangat mendambakan pelukan hangat seorang Ayah, rasanya teramat sakit ketika sang Anak menganggap bahwa ia sudah tiada di dunia, rasanya teramat pedih menahan diri untuk tidak memberitahu fakta dan berpura-pura menjadi teman yang baik bagi Haekal.

“Sama Haekal, saya juga merasakan yang sama. Hangat, seperti sedang memeluk anak laki-laki kebanggaan saya.”


IMG-20210820-WA0058

-Ara.

Tiga hari sudah Haekal terbaring di ruang perawatan intensif pasca operasi, dan sedikitpun belum membuka matanya. Dokter hanya meminta Hanna bersabar untuk menunggu perkembangan kondisi Haekal. Namun, kekhawatiran seorang Ibu tak bisa mereda hanya dari kata-kata saja.

Hanna sedetikpun tak mau meninggalkan Haekal, dengan amat setia dia duduk disisi ranjang anaknya tersebut. Namun sayang, hari ini ia terpaksa meninggalkan Haekal sebentar dikarenakan harus menanda tangani berkas yang diajukan oleh relasinya dari perusahaan luar negri.

Selama pertemuan itu, Hanna sama sekali tak tenang, pikirannya terus tertuju kepada Haekal, bahkan hampir disetiap menitnya Hanna melirik sekretaris pribadinya untuk memastikan keadaan Haekal dari pihak rumah sakit, dan dengan sangat sabar, Sekretarisnya menelpon pihak Rumah sakit dan mengangguk untuk memberi isyarat kepada Hanna bahwa semuanya baik-baik saja.

“Sudah semua, saya gak ada agenda lagi, kan?” Tanya Hanna sembari memastikan tak ada yang tertinggal dari ruangannya.

“Sudah, Bu. Untuk yang lain masih bisa diwakilkan, atau kita undur jadwalnya.” Hanna menghembus napasnya lega setelah mendengar itu, baru saja ia hendak melangkahkan kakinya keluar ruangan, dering ponselnya berbunyi dan Hanna segera menghentikan langkahnya untuk mengangkat telpon tersebut.

“Rumah sakit!” Pekik Hanna setengah berteriak ketika melihat nama yang tertera di ponselnya.

“Halo,” “Bu, saya dari pihak rumah sakit yang ditugaskan untuk melapor perkembangan pasien bernama Haekal, izin memberitahu bahwa pasien sudah sadar terhitung dari satu jam yang lalu.” Kalimat itu berhasil membuat Hanna terpaku untuk beberapa saat, mencoba mencerna kalimat yang baru saja ia denger.

“Bu, maaf, suara saya terdengar?” Ulang perawat disebrang sana karena Hanna tak kunjung merespon.

“Haekal sadar?” Tanya Hanna memastikan, khawatir ia salah dengar atau salah menangkap maksud dari ucapan perawat tersebut, bukan tak mungkin itu terjadi, mengingat beberapa hari ini Hanna tidak tidur sama sekali, dan kerap kali kehilangan konsentrasi.

“Iya, Bu. Satu jam yang lalu, dan baru saja dokter selesai memeriksa pasien untuk memastikan kesadarannya sudah benar-benar pulih.” Tak terasa beberapa bulir bening jatuh membasahi pipi Hanna setelah mendengar itu, “Bahkan beberapa kali Pasien bergumam memanggil mah.. mah…, Bu.” Lanjut perawat tersebut, Hanna semakin tak kuasa menahan tangisnya, bahkan saat ini tangannya ia gunakan untuk membungkam mulutnya agar tak terdengar isakannya oleh lawan bicaranya di sebrang telpon.

“Harap segera datang ya, Bu, kalau bisa membawa Mamahnya Pasien yang daritadi selalu dipanggil oleh Pasien.”

“Saya segera ke sana.” Tanpa banyak bertanya lagi, Hanna segera memutuskan sambungan telpon tersebut dan berjalan dengan sangat tergesa-gesa menuju mobilnya, diiringi Sekretarisnya yang harus menyeimbangi langkah cepat Hanna.

“Saya gak mau tau, dalam waktu 15 menit kita harus sampai di Rumah sakit.” Perintah Hanna tegas ketika masuk ke dalam mobilnya. Supir pribadinya terlihat bingung mendengar perintah itu, namun apa daya, titah Hanna merupakan sesuatu yang mutlak, tak bisa diganggu gugat.

“B-baik, Bu…” Patuh supir tersebut.

—-

Tak peduli dengan tatapan pengunjung Rumah sakit yang lain, Hanna berlari menuju ruangan anaknya, tak memedulikan bisa saja di sekitar terdapat awak media yang akan sangat tertarik mencari tahu apa yang terjadi pada Hanna sehingga berlari tak sabaran seperti sekarang. Yang ada dipikiran Hanna hanyalah menemui Haekal.

Ketika sampai di depan pintu ruangan tersebut, Hanna menghentikan langkahnya, tangannya tertahan ketika hendak memutar knop pintu tersebut, tiba-tiba ragu menghinggapi dirinya. Beberapa detik ia mematung di depan pintu, menutup matanya, dan beberapa kali mengantur napasnya sebelum memberanikan diri masuk ke dalam ruangan tersebut untuk menemui Haekal.

“Lo bisa, Na, perbaiki semuanya…” gumannya pelan, dan setelah itu memberanikan dirinya untuk membuka pintu tersebut. Dilihatnya Haekal yang sedang terbaring dengan matanya yang tertutup, sedang tidur pikirnya.

Perlahan Hanna mendekat, sudah tak ada lagi alat-alat medis yang menempel di tubuh anaknya, tersisa hanyalah infus yang tertancap di tangan Haekal. Dengan amat pelan ia menggeserkan kursi yang tersedia di samping ranjang tersebut, khawatir bunyinya dapat membangunkan Haekal yang nampaknya sedang terlelap. Hati Hanna terasa nyeri melihat keadaan anaknya saat ini, dengan berbagai macam memar di wajah dan bagian tubuh lainnya, hati orangtua mana yang tak sakit ketika melihat anaknya berada dalam kondisi seperti saat ini.

Entah berasal dari mana keberanian Hanna, kini tangannya terulur menuju pipi Haekal, dan mengusap pelan pipi tersebut, dipandangnya Haekal yang matanya sedang tertutup itu, dengan hati yang sangat menyesal karena baru kali ini ia memandang anaknya secara dekat dan baru kali juga ini ia mengusap wajah anaknya itu.

“Maaf…” Gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Namun setelahnya, Hanna merasakan ada pergerakan dari pipi yang sedang ia usap itu, seperti menghindar dari usapannya. Hanna sedikit terlonjak merasakan itu, ia menyadari bahwa Haekal sudah bangun dari tidurnya, dan dengan refleks ia pun menjauhkan jemarinya dari pipi Haekal dan berusaha mengusap air matanya. Masih, Hanna masih terlihat gengsi dan kaku di depan Haekal.

“Haekal?” Panggil Hanna ragu, namun, bukannya menjawab, Haekal jusru mengalihkan pandangannya ke samping kiri, sehingga tak menatap Hanna sama sekali. Hanna menaikkan sebelah alisnya, terlihat bingung dengan respon tersebut.

“Haekal?” Panggil Hanna sekali lagi, namun tetap saja Haekal tak menjawab. Ia malah berusaha menghadapkan tubuhnya agar menyamping juga, dan membelakangi Hanna yang duduk di samping kanan ranjangnya.

“Sudah bangun?” Lagi, Hanna berusaha berkomunikasi dengan Haekal, namun tetap saja hanya sepi yang ada disekitar, yang terdengar hanya suara nafas Haekal yang masih terasa berat. “Kalau boleh saya tau, apa yang kamu rasa sekarang, Haekal?” Hanna berusaha meruntuhkan gengsinya, dan mencoba berbagai cara agar bisa berkomunikasi dengan Haekal, anaknya.

“Sesak.” Jawab Haekal pelan dan singkat, tanpa menoleh sedikitpun kepada Mamahnya yang sedang mengajak bicara.

“Saya panggil dokter, ya? Supaya kamu diperiksa lagi,” Respon Hanna sedikit panik setelah mendengar jawaban Haekal.

“Saya sesak karena ada Mamah.” Satu kalimat tersebut berhasil menghentikan Hanna yang tadinya hendak bangkit dari duduknya untuk memanggil Dokter. Sekujur badan Hanna terasa kaku mendengar jawaban tersebut, ia berusaha menyadarkan dirinya, barangkali tadi ia hanya salah dengar.

“Mamah bikin ruangan ini terasa sesak.” Lanjut Haekal lagi, terdengar amat dingin, tak hangat seperti biasanya saat ia berbicara kepada Hanna.

“Apa yang kerasa? Apa yang kerasa sakit?” Walau merasakan sakit yang amat dalam, Hanna tetap saja menanyakan apa yang Haekal rasakan saat ini, mencoba tak peduli dengan jawaban dingin yang dilontarkan oleh anaknya barusan. Hanna kukuh tak mau termakan gengsinya lagi, lagipula, ia sempat berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan memperbaiki hubungannya dengan Haekal apabila Haekal sudah sadar. Ia tak mau kehilangan satu-satunya keluarga yang ia punya, ia juga mau mempunyai hubungan normal layaknya anak dan Ibu pada umumnya.

“Hati saya sakit, dada saya sesak karena masih diberi kesempatan hidup dan bertemu Mamah lagi, saya cuma mau mati.”

“Haekal...” Suara Hanna terdengar sangat frustasi karena terus-terusan mendengar jawaban yang tidak ia inginkan itu. “Jangan bicara yang sembarang...” Sambung Hanna, lebih terdengar seperti meminta.

“Sesak ada Mamah.”

“Kamu mau saya ngapain, Haekal? Kamu mau apa sekarang?”

“Saya mau Mamah gak disini.” Jawaban tersebut menusuk seperti belati bagi Hanna. Bagaimana tidak, beberapa malam ini Hanna tidak tidur sama sekali, hanya untuk menjaga Haekal dan menunggu perkembangan Haekal. Namun, ketika Haekal sudah sadar dan membaik, ia malah diusir oleh Haekal sendiri.

“Saya gak bisa tinggalin kamu sendiri untuk saat ini.”

“Saya terbiasa sendiri. Tolong pergi, Mah, ruangan ini tambah sesak rasanya.” Tubuh Hanna kaku menatap kosong ke arah anaknya yang sedang membelakanginya itu, Hanna ragu untuk pergi, namun juga ragu untuk tetap di ruangan ini. Ia sebelumnya sangat senang sekali mengetahui kabar bahwa Haekal sudah sadarkan diri, namun, ia sepertinya lupa akan kejadian sebelum terjadinya penyerangan itu, Haekal sempat mengirim Hanna pesan yang berisikan kekecewaannya terhadap Hanna. Hanna benar-benar lupa akan itu, sedangkan Haekal sepertinya masih sangat mengingat kejadian sebelum penyerangan itu, sehingga bersikap dingin kepada Hanna.

“Pergi mah, saya sesak dan juga muak.” Napas Hanna tercekat mendengar itu, belum selesai sesak di dadanya berakhir, Haekal malah menambah kalimat yang amat melukai hatinya. Ibu mana yang tidak merasakan sakit yang mendalam apabila diusir oleh anaknya sendiri. Tetapi, Hanna juga sadar akan salah dan keegoisannya, sehingga ia memilih mengalah untuk saat ini, dan mengikuti permintaan Haekal.

“Saya tinggalkan dulu, nanti saya kembali lagi, ya?” Ucap Hanna terdengar amat berat dan sulit, matanya terasa berat menahan butiran air bening yang berusaha menerobos dan jatuh pada pipinya, namun, sebisa mungkin ia usahakan agar ia tak menangis di depan Haekal.

“Kalau butuh apa-apa, kamu bisa-” “Pergi, Mah.” Ucapan Hanna segera dipotong oleh Haekal, nampaknya Haekal sudah tidak tahan lagi akan kehadiran Hanna di ruang rawatnya.

“Iya saya pergi.” Jawab Hanna dan bangkit dari tempat duduknya, sempat ia berdiri sebentar berharap Haekal menarik permintaannya barusan, namun sayang, Haekal tetap diam dan kukuh dengan permintannnya.

“Maafkan saya Haekal. Maaf...” Lirih Hanna pelan, tapi masih didengar oleh Haekal, mengingat ruangan ini sangat sepi dan hanya ada mereka berdua di dalamnya.

“Pergi, Mah, sesak.” Masih Haekal mengusir Hanna, tak peduli dengan permintaan maaf Hanna barusan.

“Maaf,” Lirih Hanna lagi, namun terdengar lebih menyedihkan dari sebelumnya, “Maafkan Mamah, Nak.” Lanjutnya teramat pelan, diiringi oleh butiran air mata yang akhirnya lolos juga dan membasahi kedua pipi Hanna.

“Pergi Mah...”

Hanna melangkahkan kakinya menuju pintu keluar ruangan tersebut melihat sudah tak ada lagi harapan Haekal mau ditemaninya. Langkahnya terasa amat berat, badannya terasa sangat lemas, sangat berbeda dengan langkah cepatnya tadi ketika menuju ruangan ini untuk bertemu Haekal yang sudah siuman. Bermalam-malam ia menunggu kabar baik ini, namun sayang, ketika kabar baik datang, ia malah tak diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya.

Baru saja Hanna hendak membuka knop pintu tersebut, tiba-tiba muncul seorang pria dewasa dengan sangat tergesa-gesa. Hanna kaget melihat sosok tersebut yang terengah-engah menerobos pintu ruang rawat Haekal. Jovan, itu Jovan. sosok itu berhenti dan menatap Hanna lekat dengan napasnya yang memburu, nampak seperti habis berlari terburu-buru.

“Haekal... sadar?” Tanyanya langsung, Hanna tak menjawab karena masih berusaha mencerna keberadaan Jovan saat ini yang sangat tiba-tiba.

“Pak?” Suara Haekal pelan, menyadari akan kehadiran Jovan. Mendengar panggilan itu, Jovan segera menoleh dan melihat Haekal yang terbaring lemah di ranjang ruangan tersebut. Segera ia melangkahkan kakinya menuju ranjang itu, namun tangannya segera ditahan oleh Hanna.

“Pergi, anak saya butuh istirahat.” Ucap Hanna tegas, lebih terdengar seperti perintah, jemarinya mencengkram keras lengan Jovan, seperti tak mau Jovan mendekati Haekal barang sejengkal saja.

“Hanna, sebentar saja, ya?” Bisik Jovan pelan, agar Haekal tak mendengar perdebatan mereka. “Saya janji cuma sebentar.”

“Pergi, Jovan!” Bentak Hanna, rasa sedih, kesal, lelahnya bercampur menjadi satu, sehingga Hanna tak mampu lagi untuk menahan amarahnya.

“Saya mau ditemani pak Jovan.” Kalimat itu berhasil membuat Hanna dan Jovan bersamaan mengalihkan pandangannya ke arah Haekal yang sedang berusaha untuk duduk dengan sangat susah payah. Jovan melepaskan lengannya dari Hanna secara paksa, dan mendekati Haekal yang sedang berusaha duduk itu. Dengan sangat hati-hati Jovan membantu Haekal untuk duduk, khawatir gerakan berlebihan menyebabkan Haekal merasa sakit.

“Makasih pak Jo,” Ucap Haekal setelahnya, “Saya mau ditemani pak Jovan. Mamah silahkan pergi.” Sambung Haekal, tanpa mau melihat ke arah Hanna.

“Haekal...” Lirih Hanna setelahnya, entah sudah berapa kali Haekal mengusir Hanna, bahkan saat ini Haekal mengusirnya tepat di depan Jovan. Hanna hanya bisa menatap penuh putus asa ke arah Haekal, dan memilih pergi meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan Haekal bersama Jovan di dalam sana.


Hanna tertunduk sendirian di bangku yang tersedia di luar ruang rawat Haekal, air matanya tak kunjung berhenti sedari tadi, terhitung dari langkah kakinya meninggalkan Haekal. Hatinya benar-benar terasa sakit mengingat ucapan Haekal barusan, bahkan berkali-kali Hanna memukul dadanya sendiri untuk menyalurkan rasa sesak yang ia rasakan.

Berhari-hari Hanna duduk di samping Haekal yang tak sadarkan diri, berharap cemas dengan kondisi Haekal saat itu yang belum juga sadarkan diri. Bermalam-malam Hanna tak tidur, khawatir terjadi sesuatu terhadap anak semata wayangnya itu, bahkan semua pekerjaan ia tunda dari kemarin dan hanya tadi ia pergi untuk menandatangani berkas yang sama sekali tak bisa diwakili. Semua itu sepertinya terlihat sia-sia saat ini, melihat Haekal yang sangat dingin kepadanya, dan mengusirnya agar tak berada di samping Haekal, rasanya amat sakit sekali bagi Hanna.

Namun, Hanna juga tak bisa marah kepada Haekal, ia sadar semua ini terjadi karena kesalahannya sendiri, ia terlalu egois saat itu ketika Haekal meminta bantuannya, sampai-sampai Haekal teramat kecewa dengan jawaban yang Hanna beri.

Hanna seketika sadar dengan Handphone Haekal yang masih ada di genggaman tangannya, yang tak sempat ia berikan kepada Haekal. Dengan mata yang masih terasa berat akibat tangisannya barusan, Hanna berusaha membuka Handphone tersebut, dan melihat kali terakhir Haekal mengiriminya pesan.

IMG-20210820-WA0056

Hati Hanna terasa semakin tercabik setelah membaca ulang pesan-pesan itu, dengan segera ia menutup Handphone tersebut. Tangannya mengepal keras, napasnya memburu setelah membaca pesan itu. Sakit yang saat itu ia rasakan, kembali hadir bahkan terasa berkali-kali lipat pedihnya.

“Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.” “Mamah adalah ibu yang gagal.”

Kalimat itu terus-terusan menghantui kepala Hanna, hingga ia menjambak rambutnya sendiri ketika membayangkan raut kekecewaan Haekal kepadanya. Ia merasa sangat gagal saat ini, ia merasa semuanya sudah terlambat apabila ia mau memperbaiki hubungan dengan anaknya. Ia benar-benar gagal, sehingga Haekal mengusirnya tadi dan malah memilih Jovan untuk menemani.

“Gagal, selalu gagal. Hidup gue emang selalu gagal.” Lirihnya sendiri.

Hanna benar-benar sendiri, menyalahkan dirinya sendiri, menangis menyesali keegoisannya sendiri, ironis sekali, ia memang selalu terpuruk sendiri tanpa ada yang menamani.

-Ara.

Hari pertama masa orientasi Mahasiswa dalam lingkup jurusan diwarnai dengan berbagai macam keseruan yang telah disiapkan dengan sangat matang oleh para panitia, walau pagi hari diawali dengan shock therapy oleh para Komisi kedisplinan (Komdis) yang memeriksa kelengkapan atribut para mahasiswa baru, sekaligus menghukum mereka-mereka yang terlambat datang ke aula Fakultas.

Gigi, kita panggil saja perempuan yang rambutnya dikuncir satu ini dengan panggilan itu, terlihat sangat malas sekali mengikuti serangkaian acara ospek jurusan di hari ini. Bukan semata-mata karena rangkaian acara terlihat membosankan, Gigi merasa kesal karena ia tak memiliki anggota kelompok yang ia kenal, sedangkan teman-teman satu Gengnya, Esa, Jinu, Dodo, Daffa yang bisa dengan ajaibnya berada dalam kelompok yang sama.

Pukul dua sore, para Mahasiswa baru dari fakultas Hukum dikumpulkan di luar gedung untuk menyaksiakan pertunjukan dari Band kampus dan beberapa bakat unggulan dari SDM yang dimiliki oleh fakultas Hukum. Gigi hanya berdiri di barisan belakang, tanpa memberikan sedikitpun atensinya terhadap pertunjukan tersebut, ia hanya berharap acara osjur hari pertama ini segera berakhir, dan ia bisa pulang ke rumah, dan merebahkan tubuhnya yang terasa amat pegal karena sudah melewati rangkaian acara membosankan di hari ini.

“Woy!” Satu panggilan cukup keras, bersamaan dengan dorongan pelan pada bahu Gigi berhasil membuatnya menegakkan pandangannya untuk melihat siapa sosok yang dengan berani menyenggol bahu miliknya itu.

“Anjrit lo Daffa!” Ucap Gigi kesal ketika dilihatnya Daffa yang tiba-tiba hadir di barisan kelompoknya. “Jangan mancing emosi gue, mau gue puk-” Ucapan Gigi seketika terhenti ketika dilihatnya Esa yang ternyata ada di samping Daffa, lengkap dengan senyum manis ciri khasnya, “Gajadi, untung ada senyuman Esa, kalo gak ada, udah gue tendang kaki lo ampe bunyi krek.” Lanjut Gigi yang langsung direspon tawa renyah dari Esa.

“Mulut lo kayak gak pernah disekolahin, preman pasar ye lo?!” Jawab Daffa tak terima. Gigi dan Daffa, bagaikan tom and jerry dalam Gengnya, seringkali terlibat perdebatan tak penting, dan diantara keduanya tak mau ada yang mengalah jika berdebat.

“Udah-udah, berantem mulu, nanti jodoh aja.” Ujar Esa garing, berusaha menengahi perdebatan yang bisa saja semakin memanas apabila ia tak cepat mengambil langkah untuk memisahkan keduanya.

“Ogah, mending nikah sama Esa, adem banget anaknya.” Jawab Gigi sembari menatap kesal kepada Daffa, Daffa pun tak mau kalah, ia memutar bola matanya kesal ketika bertatapan dengan Gigi.

“Gue juga ogah, najis najis najis mugholadoh, alias najis besar.” Timpal Daffa masih tak mau kalah, Gigi lantas merengek kepada Esa meminta pembelaan, namun lagi dan lagi, Esa hanya terkekeh manis melihat tingkah kedua sahabatnya itu.

“Udah udah, yang berantem beneran dikawinin Hahaha.” “Najis!” “Najis!” Timpal keduanya bersamaan.

“Hahaha, lagian, ribut terus kayak suami istri. Gini loh, sobat kecil...” Esa menjeda ucapannya, memegang bahu Gigi dan Daffa bersamaan, “Jadi si Daffa nih tadi ngide gitu, katanya liat sobat kecil kasian banget sendirian gak ada temennya, terus diajaklah gue buat nyamperin sobat kecil, biar gak sendirian bete di barisan belakang.” Sambung Esa menjelaskan, nampak Daffa hanya mencibir Gigi setelahnya, sedangkan Gigi hanya tersenyum kaku merasa bersalah karena sudah tak ramah kepada Daffa.

“Hehehe...” Gigi cengengesan sembari menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal.

“Balik aje kita, Sa, emang gak tau disayang anaknya dia mah.” Daffa masih melanjutkan drama merajuknya, namun nampaknya Esa tak mau terlibat drama tersebut dan malah menarik kedua lengan temannya tersebut menuju barisan depan untuk menyaksikan Band kampus yang sebentar lagi akan tampil.

“Bentar lagi mulai.” Ucap Esa singkat, sedangkan Gigi dan Daffa hanya mengikuti langkah Esa yang terlihat amat bersemangat, tanpa memedulikan wajah kebingungan dari kelompok Gigi yang tiba-tiba kedatangan anggota dari kelompok lain.

“Dah di sini aja kita nontonnya, kelihatan pula.” Ucap Esa ketika berhasil membawa Gigi dan Daffa pada barisan terdepan, sebenarnya yang sekarang mereka lakukan ini sangat menyebalkan bagi Mahasiswa baru lainnya, karena terkesan menyerobot secara tiba-tiba barisan terdepan, namun, manusia mana yang tidak luluh apabila diberikan seulas senyum manis milik Esa? Bahkan Gigi percaya, apabila terjadi peperangan antar negara, dan Esa diletakkan di tengahnya, peperangan tersebut akan berhenti sejenak bilamana melihat senyum manis bak gulali tersebut.

Baru saja ketiganya hendak menikmati pertunjukan, tiba-tiba seorang perempuan, yang diketahui adalah Kakak pembimbing kelompok Gigi menghampiri mereka, “Hey, ini kenapa dua orang warna pitanya beda? kelompok mana kalian? kenapa kok ada di barisan anak-anak kelompok gue?” Tanya kating tersebut terdengar tegas.

“Oh enggak boleh nyampur ya, Kak?” Tanya Esa kebingungan. “Yah, kirain boleh...” Timpal Daffa juga.

“Enggak, sana sana pulang, nanti dicariin sama Kakak pendamping kalian.” Tanpa ragu, Kating tersebut mengusir Daffa dan Esa, dengan amat terpaksa keduanya pun meninggalkan Gigi sendirian, namun sebelum pergi, Esa dan Daffa membisikkan sesuatu di telinga Gigi,

“Jangan mundur, di depan aja, nanti kita diem-diem balik ke sini lagi bawa Dodo, Jinu.” Bisik Esa pelan. “Iya, jangan mundur, di depan aja, lu kan pendek.” Sambung Daffa meledek, baru saja Gigi hendak memukul, Daffa sudah duluan berlari menuju barisannya dan menoleh ke belakang sembari menjulurkan lidahnya, Gigi hanya bisa menghembuskan napasnya gusar dan berjanji akan menendang kaki Daffa jika kelak bertemu lagi.

Walau kesal, Gigi tetap mengikuti arahan dari temannya tersebut, dengan raut wajah yang terlihat amat malas, ia berdiri di barisan terdepan, menonton pertunjukan musik itu. Awalnya biasa aja, namun lama kelamaan, musik dan lagu yang dibawakan oleh Band kampusnya berhasil menyita perhatian Gigi lebih banyak dari sebelumnya. Bagaimana tidak, Band kampusnya membawakan lagu LANY favoritnya. Bahkan kini, Gigi ikut menyanyikan lagu tersebut, seakan lupa dengan rasa kesalnya terhadap acara ospek jurusan.

Oh my heart hurts so good I love you, babe, so bad, so bad, oh Oh my heart hurts so good I love you, babe, so bad, so bad

“Ish anjir, ini siapa sih yang nenteng-nenteng camera, ganggu aja.” Gerutu Gigi pelan ketika tiba-tiba seorang laki-laki berdiri tepat di depannya, dan menghalangi pandangannya untuk melihat Band kampus yang masih menyanyikan lagu Lany Favoritnya,

“Kak, maaf, boleh geseran dikit?” Akhirnya Gigi memberanikan diri untuk meminta Kating tersebut menggeserkan badannya agar tak menganggu Gigi menikmati lagu Favoritnya, namun sayang, permintaannya barusan sama sekali tak mendapat gubrisan dari Kating tersebut,

“Ck, conge kali ya, mana badannya gede banget pulak.” Kali ini gerutuan yang dikeluarkan dari bibir mungil Gigi terdengar agak lebih kencang dari sebelumnya, seharusnya sih Kating tersebut mendengarnya, namun ternyata sama sekali tak ada pergerakan dari Kating tersebut, yang membuat Gigi kembali kesal dan emosinya kembali memuncak seperti tadi ketika diledek oleh Daffa.

“Kak, sorry banget bisa geseran gak?! saya enggak kelihatan!” Kali ini Gigi berteriak, bahkan orang-orang di sekitarnya menetap Gigi heran karena teriakan tersebut. Nampaknya teriakan Gigi kali ini berhasil, Kating tersebut menoleh ke belakang setelah mendengar teriakan tersebut. Alih-alih menggeserkan badannya, Kating tersebut malah menatap datar kepada Gigi, dan setelah itu menaikkan sebelah alisnya, seolah-olah melihat Gigi sebagai manusia aneh yang berteriak kepadanya, dan kembali dengan kegiatan memotretnya, tanpa menggeserkan badannya sedikitpun.

“Wah anjir!” Teriak Gigi tak terima, “Saya mau liat panggungnya!” Sambungnya lagi, seakan tak memedulikan bahwa yang ia teriaki saat ini adalah panitia osjur yang bisa saja membuatnya terbentur masalah besar nantinya, bahkan bisa saja membuatnya dihadapkan oleh para Komdis yang dikenal sangat menyeramkan itu.

“Berisik, makanya jangan pendek.” Jawab Kating tersebut pada akhirnya, sontak orang-orang sekitar yang mendengar ucapannya barusan tertawa sembari menatap Gigi seperti lelucon. Gigi benar-benar naik pitam setelah mendengar itu, sudah mana merasa bosan dengan rangkaian acara, sekalinya mendapati satu rangkaian yang baginya cukup seru, malah dikacaukan dengan kehadiran tiba-tiba dari seorang kating berbadan besar di depannya itu.

So bad, oh Oh, my heart hurt Oh, my heart hurt Oh, my heart hurt So bad, oh

Terdengar lantunan dari bait akhir lagu tersebut, hingga akhirnya suara musik berhenti secara perlahan.

“Anjir, kan, selesai lagunya, ah elah!” Gerutu Gigi kesal, bagaimana tidak, ia hanya menikmati menit pertama lagu tersebut, dan sisanya ia habiskan untuk meminta Kating berbadan besar di depannya itu untuk bergeser agar tak menghalanginya.

“Makanya tinggi.” Ucap Kating itu dan menyelonong pergi, tanpa meminta maaf sedikitpun kepada Gigi. Kalau saja bukan di keramaian, sudah dipastikan Gigi akan menendang kaki Kating tersebut tepat mengenai tulang keringnya sebagai balasan dari sikap menyebalkan dan mulut tak sopannya itu. Berhubung sedang remai, dan Gigi masih waras untuk menyadari posisinya yang saat ini sebagai peserta Osjur, ia memaksa dirinya untuk memendam kekesalannya dan memikirkan balas dendam dengan cara lainnya.

Anjir nih Kating satu, harus gue kasih pelajaran.” Batin Gigi tak henti-hentinya menghardik laki-laki tersebut, dikeluarkannya handphone yang sedari tadi berada pada saku bajunya, dan segera ia ambil foto dari Kating tersebut secara diam-diam.

Mampus lo, gue viralin lo badak! biar disalty-in warga Twitter” Batinnya lagi, dan tak lupa seulas senyum licik tergambar pada bibir mungilnya. Tanpa Gigi sadari, tepat pada saat itu juga semesta sedang memulai sebuah permainan takdir diantara keduanya, entah bagaimana akhirnya, yang pasti, mereka sudah masuk ke dalam permainan yang tanpa sengaja tercipta.

IMG-20210807-WA0043

IMG-20210807-WA0044

-Ara.

Hanna dengan sigap menuju Rumah sakit untuk melihat kondisi anak semata wayangnya, tanpa memedulikan rapat penting bersama relasinya, bagi Hanna, yang terpenting saat ini adalah kondisi Haekal yang dikabarkan sedang berada di ruang Operasi. Selama perjalanan menuju rumah sakit, Hanna hanya diam dan mengepal tangannya dengan keras. Tak ada tangis yang tumpah, namun, ia merasakan sesak bukan main di dadanya ketika membayangkan rasa sakit yang Haekal rasakan hingga memerlukan tindakan Operasi.

Tak butuh waktu begitu lama untuk Hanna sampai ke Rumah sakit, segera ia melangkahkan kakinya menuju ruang tunggu yang disediakan khusus untuk keluarga pasien VVIP. Dilihatnya Sarah, sahabat sekaligus guru Haekal sedang duduk diruangan tersebut, “Haekal gimana?” Tanya Hanna langsung sembari memegangi kedua bahu Sarah.

“Maafin gue, Na...” “Haekal gimana?!” Kali ini nada bicara Hanna lebih meninggi dari sebelumnya, seolah mendesak agar Sarah segera memberitahu keadaan Haekal kepadanya.

“Haekal banyak kehilangan darah, Na...” Akhirnya Sarah menjelaskan, walau terdengar ragu, “Dan ada sesuatu di paru-parunya karena pukulan, gue gak begitu paham, Na. Yang pasti Haekal harus segera ditindak, supaya bisa bertahan.” Sambungnya. Kedua tangan Hanna yang tadinya memegang bahu Sarah, perlahan menurun dan terlepas. Hanna tak menjawab apa-apa lagi, ia hanya diam, sembari menatap kosong ruang Operasi yang tertutup itu.

“Na, Maaf...” Ucap Sarah terdengar sangat menyesal. Hanna tak menjawab, ia masih memilih untuk diam. “Na, Haekal bakalan baik-baik aja, gue yakin.” Kali ini Sarah berdiri dan mengusap bahu Hanna pelan, namun, Hanna dengan gerakan pelan menepis usapan tersebut.

“Lo boleh pergi, biar gue aja yang nunggu Haekal disini.” Ucap Hanna pada akhirnya.

“Na, gue temenin-” “Gue mau nunggu Haekal sendiri.” Hanna langsung memotong ucapan Sarah. Akhirnya, dengan sangat terpaksa Sarah beranjak pergi dari ruangan tunggu tersebut, meninggalkan Hanna sendiri disana.

Hanna terduduk lemas setelah Sarah pergi, kakinya terasa tak sanggup walau hanya untuk untuk berdiri. Untungnya ruang tunggu ini sangatlah sepi, tak seperti ruangan tunggu diluar sana, sehingga Hanna tak perlu khawatir dengan tatapan aneh dari orang sekitar yang melihatnya terduduk lemah dilantai Rumah sakit.

“Haekal...” Lirih Hanna sangat pelan, namun terdengar sangat pilu bagi siapapun yang mendengarnya.

Terduduk seorang diri dilantai rumah sakit yang dingin sekali, seakan menarik ingatan Hanna kepada peristiwa menyakitkan yang menimpanya 17 tahun yang lalu, sangat persis sekali, ia menangisi anak semata wayangnya yang sedang berada di ruang Operasi, seorang diri, tanpa ada yang menemani.

Flashback

Melahirkan seorang diri, tanpa ada satupun orang yang menemani sangatlah terasa menyakitkan bagi Hanna. Kali pertamanya, namun, dunia seolah tak peduli hanya untuk sekedar menguatkannya yang sudah ditinggal kekasih yang hilang entah kemana. Hanna pikir hanya sampai disitu saja cobaan yang Tuhan beri kepadanya, namun ternyata ia salah menduga, Bayi mungil yang bahkan belum sempat ia beri nama, terpaksa harus dirawat dengan berbagai macam peralatan medis yang terpasang di tubuh kecil polos tak berdosa itu.

“Ada sedikit masalah pada jantung anak Ibu, dan harus segera ditindak, khawatir sesuatu yang buruk terjadi karena kinerja jantungnya yang tidak baik.”

Saat itu Hanna merasakan lemas disekujur tubuhnya, melihat sisa uang di dompetnya hanya sedikit karena sudah habis untuk keperluan persalinan membuatnya kebingungan. Padahal, seharusnya Hanna butuh banyak istirahat karena baru saja beberapa hari yang lalu melahirkan, namun, keadaan Haekal kecil yang harus memaksanya mencari cara untuk menyelamatkan Haekal.

Ia menghubungi semua temannya, namun, tak ada satupun yang bisa membantunya. Karena, Hanna pun tidak menjelaskan dengan gamblang akan dipakai apa dana pinjaman tersebut, rasanya tak mungkin mengakui bahwa ia baru saja melahirkan seorang anak tanpa ada suami.

Didesak oleh pihak rumah sakit, agar segera memberi persetujuan untuk tindakan, membuat Hanna semakin pusing. Semua uang yang ia kumpulkan sudah habis untuk keperluan persalinan, dan makan sehari-hari, menjual berbagai macam perhiasan yang menempel ditubuhnya pun masih belum cukup untuk biaya Operasi. Saat itu Hanna kalut sendiri, menangis sendirian sembari berjalan memohon bantuan dari orang lain, dengan kondisi tubuh yang masih lemah dan juga sangat kacau sekali.

Saat itu Hanna marah kepada semua, ia marah kepada Tuhan, dan ia marah kepada Jovan yang sudah tega meninggalkannya sendiri, pergi membawa janji-janji manis yang sudah ia beri, bahkan, orangtua yang biasanya membantu anaknya, disaat dunia tak ada yang berpihak, ikut pergi meninggalkan Hanna, atau lebih tepatnya membuang Hanna. Semesta dan seisinya seakan mempunyai kesepakatan yang sama untuk menjauhi, meninggalkan, dan membuang Hanna dan janin yang ia kandung.

Selama masa kehamilannya, Hanna seperti diasingkan oleh orangtuanya sendiri, ia memiliki dua pilihan, menggugurkan kandungannya, atau pergi sejauh-jauhnya agar tak menjadi aib keluarga, terlebih, orangtuanya lebih mementingkan citra perusahaan yang sedang naik-naiknya. Hanya satu alasan Hanna memilih pergi meninggalkan rumah dibandingkan harus menggugurkan janinnya, yakni, kepercayaannya terhadap Jovan yang menjanjikan akan bertanggung jawab dan memberikan cinta dan kasih kepada janin ini bersama-sama, hingga buah hati mereka lahir, besar, dan tak pernah mengenal duka.

Namun sayang, Janji hanyalah sebatas janji. Hanna sendiri, tertatih merasakan perihnya kehamilan pertama tanpa ada satupun yang menemani, mungkin hanya sahabat SMAnya yang sesekali mengunjungi Hanna di kontrakan kecil yang ia sewa, sahabat itu adalah Sarah. Uang? Orangtuanya sama sekali tak membekali, karena marah atas keputusan Hanna yang memilih mempertahankan janin tersebut. Hanna hanya mengandalkan sisa tabungannya saja untuk menyewa kontrakan, memeriksa kesehatan janin tersebut, dan membelikan beberapa peralatan bayi untuk janin tersebut apabila telah lahir.

“Bu, maaf, keadaan bayi ibu semakin tidak stabil, kalau tidak cepat ditindak, mungkin... tidak bisa diselamatkan.”

Saat itu juga Hanna tak punya pilihan lagi, selain memohon bantuan kepada orangtuanya untuk menyelamatkan bayinya. Walau dengan ragu yang sempat menahannya, akhirnya Hanna memberanikan diri untuk menelpon kedua orangtuanya. Mereka mengangkat panggilan tersebut dengan segera, dan tanpa basa-basi Hanna menyampaikan maksudnya, yaitu meminta bantuan kepada orangtuanya untuk menyelamatkan bayi yang baru saja ia lahirkan.

“Apapun itu, Pah, saya lakukan, tolong bantu Hanna kali ini aja. Hanna akan ganti uang Papah dan Mamah secepatnya.” Ucap Hanna penuh mohon saat itu.

“Okay, tapi Papah punya persyaratan yang harus kamu sepakati.” Jawab Papah Hanna, tak sedikitpun terdengar ada iba kepada anak semata wayangnya itu.

“Apapun itu, Pah...” Jawab Hanna walau terdengar ragu.

“Kembali ke rumah, selesaikan kuliah kamu untuk bisa meneruskan perusahaan kita,” Ada jeda yang Papahnya beri sebelum melanjutkan ucapannya, “Dan, sembunyikan anak kamu itu. Saya gak mau publik tau kalau kamu hamil diluar nikah. Anak itu hanya akan merusak citra perusahaan saya.”

“Pah...” Respon Hanna tak percaya.

“Itu penawaran dari saya, Hanna. Terserah mau kamu ambil atau tidak. Saya gak peduli bagaimanapun caranya, yang terpenting saya gak mau publik tau kamu punya anak, yang bahkan ayahnya saja sudah menghilang. Anak itu hanya akan menghancurkan perusahaan saya nantinya.”

Dengan berat hati, Hanna menyetujui itu. “Hanna setuju, pah, tapi, tolong biarkan anak ini hidup dengan sehat dan terjamin semuanya, Pah. Anak ini, anak yang Hanna lahirkan sendiri, gak boleh mengenal duka yang berlebih.”

“Saya gak peduli, Hanna, mau kamu apakan anak itu. Yang terpenting kehadiran dia sebagai cucu saya tidak pernah tercium publik.”

Flashback Off

Tak terasa air mata yang berusaha ia tahan sedaritadi tumpah ruah tak terbendungi, Dadanya terasa semakin sesak ketika ingatan pada masa lalu menariknya. Walau sudah tak kebingungan mencari dana untuk Haekal seperti saat dulu, namun tetap saja, Hanna takut, Ia takut terjadi sesuatu yang buruk kepada putra semata wayangnya.

“Haekal...” Lirihnya lagi dengan isakan yang terdengar. “Hari ini saya nunggu kamu lagi Haekal di depan ruang operasi, dan masih sama seperti dulu, saya masih sendiri menunggu kamu keluar dari ruangan menyebalkan itu...” Sambung Hanna berbicara sendiri, menatap pintu ruang operasi yang tak kunjung terbuka. “Kamu tau kan, Haekal? Saya selalu sendiri menanti kamu, dan... Saya mohon, jangan tinggalkan saya, ya? Saya gak punya siapa-siapa lagi kalau kamu gak ada... Mamah, gak ada siapa-siapa lagi, Nak...” Pandangan Hanna tertunduk lemas ketika menyelesaikan ucapannya barusan.

“Nak... Bertahan, ya?” Sambungnya lagi terdengar semakin memelan, dan yang terdengar lebih kencang hanyalah isakannya saja. Hanna sangat kalut dengan berbagai macam kemungkinan buruk yang menghantui pikirannya. Terlihat Hanna yang saat ini memukul-mukul lantai dingin tersebut tak karuan, dan dengan air mata yang tak henti-hentinya terjun bebas membasahi bajunya.

Tak begitu lama, terdengar kegaduhan ditelinga Hanna, ada suara langkah kaki yang terdengar amat tak tenang mendekatinya, dan beberapa teriakan berat dari petugas keamanan. Dengan sedikit gontai, Hanna berusaha bangkit agar tak ada yang mengatahui bahwa dirinya barusan terduduk lemas dilantai.

“Pak Jo! Saya bisa panggilkan pihak berwajib apabila bapak terus-terusan memaksa untuk masuk!” Terdengar suara Sarah yang meninggi, diiringi oleh sesosok yang berhasil menerobos masuk ke dalam ruang tunggu VVIP berhasil mengejutkan Hanna, sesosok itu adalah Jovan, yang berdiri terengah-engah menatap Hanna yang kebingungan dengan hadirnya Jovan di ruangan ini.

“Izinkan saya disini untuk menunggu Haekal, Hanna,” Ucap Jovan dengan segera ketika didapatinya Hanna yang berdiri dengan mata yang nampak sembab. Kedua lengan Jovan ditahan oleh petugas keamanan, namun, Jovan dengan kasar menepis petugas keamanan tersebut. “Saya mohon, Hanna...” Lanjutnya menatap Hanna, yang ditatap malah mengalihkan pandangannya kearah lain, seolah amat enggan bertemu dengan Jovan walau hanya dari tatapan mata saja.

“Pergi.” Jawab Hanna dingin, tak peduli dengan Jovan yang sudah memohon tadi. “Kamu gak ada urusan sama anak saya.” Lanjut Hanna memperjelas, dan masih enggan menatap manik pria yang sedang berdiri di depannya.

Baru saja Hanna hendak menjauh dan membiarkan petugas keamanan menarik Jovan, ada lengan yang menahan langkah Hanna. Sempat Hanna terdiam ketika merasakan hangat yang masih terasa sama dari genggaman tangan tersebut, sebelum pada akhirnya ia sadar dan segera menepis lengan tersebut secara kasar. Baru saja Hanna hendak menumpahkan kekesalannya terhadap Jovan yang sangat keras kepala, Jovan sudah terlebih dahulu berlutut dihadapan Hanna, dan menundukkan kepala serendah-rendahnya.

“Saya mohon, Hanna. Untuk kali ini tolong izinkan saya melihat keadaan Haekal. Berapapun itu akan saya bayar, apapun itu akan saya lakukan, asalkan saya bisa melihat keadaan Haekal. Saya mohon Hanna, maafkan saya, ampuni saya, tolong bantu saya untuk kali ini bisa menemani Haekal, saya enggak bisa kalau harus kehilangan Haekal lagi, Hanna...” Tanpa memedulikan lagi harga dirinya, Jovan memohon serendah-rendahnya kepada Hanna. Sarah dan petugas keamanan hanya terdiam dan terpaku menyaksikan itu, sedangkan Hanna hanya menatap kosong kedepannya.

“Untuk kali ini Hanna, saya mohon...” Masih Jovan memohon, seakan tak mengenal kata menyerah untuk Haekal. Hanna yang tadinya hampir termakan emosi, perlahan meluruh, yang terdengar hanya hembusan napas berat dari Hanna.

“Na...” Panggil Sarah pelan, seakan ingin mengetahui perintah Hanna selanjutnya. Hanna hanya balas menatap Sarah pasrah, dan memberi isyarat agar Sarah dan Petugas keamanan pergi meninggalkan ruang tunggu, dan membiarkan Jovan untuk menetap diruang tunggu.

Seakan tak percaya dengan keputusan Hanna barusan, Sarah kembali menatap Hanna untuk memastikan sekali lagi, Hanna hanya mengangguk untuk meyakinkan Sarah, setelahnya dengan ragu Sarah meninggalkan Hanna dan Jovan di ruang tunggu Operasi.

“Hanna, Makasih-” “Jangan mendekat, jangan bicara, apalagi melakukan yang lain. Saya muak dengan kehadiran kamu.” Hanna memotong ucapan Jovan dengan segera sebelum Jovan menyelesaikan ucapannya. Jovan hanya mengangguk dan tersenyum tipis setelahnya, sedangkan Hanna kembali duduk di kursi yang tersedia pada ruangan tersebut.

Sama sekali tak ada obrolan setelahnya, Jovan berdiri dan sesekali melirik penuh khawatir kearah pintu ruang operasi, dan Hanna yang hanya duduk, menunduk, memperhatikan tas sekolah Haekal yang diberikan oleh pihak polisi tadi. Jika saja tak ada Jovan, sudah dipastikan Hanna akan menangis sesegukan sembari memeluk tas sekolah anak semata wayangnya itu. Namun, Hanna harus terlihat kuat dan tangguh di depan lelaki yang meninggalkannya dulu, untuk membuktikan bahwa ia bukanlah wanita lemah setelah kepergian Jovan dari hidupnya.

“Jangan ditahan, Hanna,” Ucap Jovan pada akhirnya, terdengar sedikit ragu dan pelan. Hanna hanya menatap tak mengerti setelahnya, “Saya bisa lihat dari cara kamu mengepal tangan, Hanna.” Lanjutnya.

“Jangan berlagak paling tau segala hal.” Jawab Hanna sangat ketus sekali, sedangkan Jovan kembali tersenyum mendengar jawaban tersebut.

“Kalau mau menangis, silahkan aja, Hanna. Anggap saya gak ada disini. Saya cuma gak mau kamu terlalu menahan diri, yang timbul nantinya cuma sesak kalau kamu tahan terus.”

“Sesak? Hahaha saya gak merasa sesak sama sekali, yang ada cuma muak karena ada kamu.” Masih, jawaban tak bersahabat yang hanya keluar dari bibir Hanna. Jovan mengangguk mendengar itu, walau sebetulnya Jovan tahu bahwa Hanna saat ini hanya berpura-pura terlihat kuat dan berusaha menahan semuanya.

Tak lama setelah itu, terdengar bunyi dari sebuah pesan masuk dari Ponsel Hanna, dengan gerakan yang pelan, Hanna berusaha melihat pesan masuk tersebut, namun sayang, genggemananya terhadap Ponsel tersebut terlepas, ia merasakan tangannya seperti tak memiliki tenaga lagi barang sebentar untuk memegang ponselnya. “Ck!” Gerutu Hanna kesal.

Belum sempat Hanna mengambil ponselnya yang terjatuh, Jovan sudah terlebih dahulu meraih ponselnya, mengulurkan tangannya untuk memberikan ponsel tersebut kepada Hanna, dengan senyum hangat ciri khasnya. Hanna hanya memincingkan matanya dengan kesal, dan tak mau menerima ponsel tersebut. Jovan tertawa kecil melihat tingkah tersebut, dan akhirnya meletakkan ponsel Hanna tepat di bangku sebelah kanan Hanna yang kosong, karena ia paham, Hanna tak akan mau berurusan apapun lagi dengan Jovan, termasuk hanya untuk mengambil ponsel dari genggaman tangan Jovan.

“Saya izin duduk disini,” Ujar Jovan, dan langsung duduk di bangku sisi kiri Hanna.

“Jangan mendekat, atau saya-” “Kalau aja saya ada disana, mungkin Haekal gak akan ada diruang operasi sekarang. Saya gak masalah dihajar puluhan orang, bahkan untuk matipun saya gak masalah, Hanna. Dibanding harus lihat Haekal gak berdaya di dalam sana.” Tutur Jovan seolah melupakan janjinya untuk tidak mengeluarkan sepatah kata.

“Maksud kamu? Mau menyalahkan saya karena udah merekomendasikan untuk memecat kamu kepada yayasan?” Balas Hanna masih tak bersahaja, sedangkan Jovan terlihat tak mengerti dengan pertanyaan Hanna barusan. “Terlambat, Jo. Kamu itu udah terlambat untuk segala hal, jadi jangan berlagak seperti pahlawan kesiangan, saya makin muak dengar ucapan kamu jadinya.” Sambung Hanna lagi.

“Sedikitpun saya gak pernah kepikiran untuk salahkan kamu, Hanna. Dan benar, saya terlambat untuk Haekal,” Ada jeda yang Jovan beri, ia mengambil napasnya pelan sebelum melanjutkan perkatannya, “Dan, saya juga terlambat untuk kamu. Maksud saya, untuk kita.” Lanjutnya ragu.

“Kita? Masih bisa kamu anggap saya dan kamu itu 'kita' setelah apa yang udah kamu lakukan kepada saya?” Kali ini nada bicara Hanna meninggi, merasa sangat tak terima dengan ucapan Jovan barusan.

“Maaf, Hanna, ada banyak yang terjadi di masalalu yang membuat saya pergi tinggalkan kamu.”

“Apapun itu, kamu tetap brengsek, Jo. Kamu tinggalin saya sendiri setelah banyak janji yang udah kamu kasih. Mati-matian saya pertahankan Haekal, dan sekarang, kamu kembali. Seakan gak punya dosa, kamu berani menyebut 'Kita'. Kamu ini emang gak punya malu lagi, ya?” Emosi Hanna semakin menjadi, semua rasa takut, marah, kalutnya menjadi satu untuk diluapkan.

“17 Tahun lebih, Jo...” Sambung Hanna memelan, terdengar pelan isakan setelahnya. Hanna menangis, tak mampu lagi membendung air mata yang sedari tadi ia coba untuk tahan agar tidak tumpah.

“Maaf, Hanna...”

“BISA GAK MAAF KAMU BALIKIN DIRI SAYA YANG DULU LAGI? BISA GAK KATA MAAF KAMU SEMBUHIN LUKA HAEKAL YANG GAK PUNYA AYAH SEMENJAK LAHIR? BISA GAK MAAF YANG KAMU UCAPIN ITU BIKIN HAEKAL SADAR SAAT INI JUGA?! BISA GAK JOVAN?!” Hanna semakin meledak, seolah tak peduli lagi dengan sekitar yang bisa saja mendengar teriakannya, ia meluapkan semua emosinya kepada Jovan.

“Saya gak butuh maaf kamu! Maaf kamu gak akan bikin anak saya baik-baik aja. Kamu itu emang selalu terlambat dan gak bisa diharapkan, Jovan!”

“Kamu gak bisa balikin semuanya kayak awal lagi, kamu gak bisa bikin Haekal saya sadar saat ini, kamu gak bisa diandalkan, Jovan.” Tangis Hanna yang tumpah ruah membuat Jovan terdiam kaku, Jovan bisa rasakan betapa kacaunya Hanna saat ini. Sangat sulit pastinya bagi Hanna dihadapi oleh situasi sulit seperti saat ini, ketika melihat Haekal terbaring tak berdaya diruang operasi, ditambah lagi menunggu Haekal sadar bersama manusia yang paling ia benci selama ini sudah pasti membuat Hanna kacau dan tak terkendali.

“Haekal saya... Haekal saya gak akan sadar hanya dari kata maaf kamu itu... Haekal... anak saya, di dalam sana... Haekal kesakitan, kamu kemana? Haekal saya...” Hanna semakin tak karuan, tangisnya semakin pecah.

Dengan ragu, Jovan mendekatkan dirinya kepada Hanna. Tak ada kalimat yang bisa menenangkan Hanna, Jovan paham sekali dengan itu. Namun, tetap saja Jovan tak berani melakukan apapun. Hingga akhirnya, Jovan memberanikan diri membawa Hanna ke dalam dekapannya, dan menahan jemari Hanna yang nampak berusaha menyakiti dirinya dengan kuku jarinya yang panjang. Sama persis dengan Hanna yang ia temui menangis sesegukan 18 Tahun yang lalu ketika tertekan dengan kondisi keluarganya.

“Hanna, ada saya. Tenang, semuanya akan baik-baik aja, ada saya, Hanna.” Ucap Jovan membisikkan Hanna, tak peduli dengan penolakan Hanna. “Maaf, maaf saya lancang. Saya gak mau kamu terlalu kalut dan tanpa sadar menyakiti diri kamu sendiri. Maaf, Hanna...” Sambungnya, enggan melepaskan Hanna dari dekapannya.

“Brengsek! Jovan brengsek! lepasin! Kamu brengsek Jovan!” Hanna memukul-mukul semua bagian tubuh Jovan yang bisa ia jangkau saat berada dalam dekapan Jovan. Menumpahkan segala emosinya kepada Jovan.

“Iya, Hanna. Pukul saya sepuasanya, asalkan kamu gak sakitin diri kamu sendiri. Salahkan saya atas semuanya, lakukan apapun yang kamu mau lakukan kepada saya, saya terima.” Balas Jovan. Mendengar itu, Hanna semakin kesal, dan terus memukul Jovan tanpa henti. Tangis Hanna membasahi kemeja yang Jovan pakai, dan Jovan sangat tak masalah dengan itu. Yang ada dipikirannya saat ini hanyalah menenangkan Hanna yang terlalu kalut dengan keadaan.

“Hiks, brengsek, Jo!” “Tumpahkan Hanna, tumpahkan semuanya kepada saya.” Balas Jovan lagi.

“Haekal... Hiks... Haekal...” Isakan Hanna tak mereda, semakin menjadi ketika ia menyebut nama Haekal.

“Haekal akan baik-baik aja, Hanna. Haekal kuat, dia akan bangun, dan bisa lihat kamu lagi.” Ucap Jovan lembut, ia mengusap lembut punggung Hanna, berharap usapan tersebut masih terasa sama, masih bisa menenangkan Hanna seperti 18 Tahun yang lalu ketika mereka masih merajut kasih bersama.

“Saya gak mau Haekal pergi, saya gak ada siapa-siapa lagi. Hancur dunia saya nantinya.”

“Sstt sstt, bicara kemungkinan yang buruk hanya akan bikin kamu terpuruk, Hanna. Kita harus percaya sama Haekal, dia itu kuat.”

“Haekal...”

“Ada saya Hanna, kamu gak sendiri, ada saya yang akan terus temani kamu sampai Haekal sadar nanti. Ada saya... Saya disini, untuk kamu, untuk Haekal.” Jovan tak melepaskan pelukannya, Hanna juga sudah tidak memberontak lagi untuk dilepaskan. Hanna menumpuhkan tubuhnya kepada Jovan, dan masih menumpahkan tangisnya di bahu Jovan, seakan sedang melupa tentang apa yang terjadi diantara keduanya. Hanna hanya membutuhkan sandaran untuk saat ini, yang bisa menenangkannya dari rasa kalut yang acap kali menyerangnya.

Tangis Hanna perlahan memudar, isakannya yang tak beraturan perlahan ikut memelan. Jovan masih mengusap punggung Hanna, dan membisikkan kalimat-kalimat menenangkan di telinga Hanna. Keduanya seperti ditarik lagi pada masalalu, melupakan sejenak bagaimana rasa benci dan takut yang keduanya rasakan, untuk sejenak tenang, menunggu sang jagoan berjuang di ruangan sana.

“Maaf, permisi, Pak, Bu. Dengan wali pasien Haekal?” Sebuah suara menyadarkan keduanya, dan membuat keduanya bangkit untuk merespon suara tersebut.

“Iya saya Mamahnya.” “Saya Ayahnya.” Ucap keduanya bersamaan.

“Pak, Bu, Pasien kekurangan darah, dan kebetulan golongan darah pasien-”

“Saya, saya yang akan donorkan darah saya. O-, kan? Saya bisa, saya Ayahnya.” Dengan segera Jovan menghampiri suster tersebut untuk diarahkan ke ruangan transfusi darah, agar semakin cepat juga Haekal mendapatkan pertolongan.

“Baik, Pak, mohon ikut dengan saya.” Sebelum meninggalkan ruangan tersebut, Jovan kembali mengahampiri Hanna yang masih terdiam, dipegangnya kedua sisi bahu Hanna, ditatapnya lekat kedua netra Hanna yang sembab itu.

“Saya pergi dulu, ya? Saya mau bantu Haekal berjuang. Kamu disini dulu, kamu tenang, semua akan baik-baik saja. Percaya sama saya, ya?” Tutur Jovan lembut terdengar sangat meyakinkan, entah terhipnotis atau apa, Hanna mengangguk paham mendengar itu.

“Saya pastikan saya bisa menyelamatkan anak kita, Hanna. Doakan saja, saya pamit, saya janji secepatnya kembali. Doakan anak kita, Hanna.” Sambung Jovan lagi sebelum pergi meninggalkan Hanna sendiri.

Seperti 17 Tahun yang lalu, Hanna lagi dan lagi berhasil dibuat percaya dengan tutur lembut yang keluar dari bibir Jovan. Dahulu juga sama, Jovan menenangkannya dan berjanji akan kembali untuk membesarkan bayi mereka bersama-sama, namun ia tak menepati janjinya. Hanna harap, kali ini Jovan mampu menepati janjinya untuk berhasil menyelamatkan Haekal, yang bahkan tadi ia sebut dengan sebutan 'Anak Kita'.

“Jangan terlambat lagi untuk kali ini, Kak Jo...” Lirih Hanna pelan.

Jo

-Ara.

Tuan itu, berhasil meyakinkanku untuk melangkah maju, disaat diriku tak yakin dengan kemampuan sendiri, dia bilang, “Jangan ragu, kamu harus melangkah maju. Lebih baik mati dalam kegagalan daripada mati dalam keragu-raguan.”

Ah Tuan itu, tuturnya selalu saja bisa menghipnotisku. Saat itu aku seakan lebih percaya diri untuk melangkah maju, aku ingin berani, dan tak terjebak dikeragu-raguan yang tanpa sadar sudah ku bangun sendiri.

Mulai aku melangkah maju, dan Tuan itu dengan senyum manisnya berada disampingku. Menemani segala proses dalam tulisanku, “Mau gadang malam ini? Yaudah, ditemenin.” Ucapnya kala itu. Ah Tuan, terimakasih karena sudah bersedia menemaniku semalam suntuk.

Tuan, aku kira akan ditemani hingga tulisan ini berada di halaman terakhir. Aku pikir, kita akan tetap bersama hingga titik akhir diujung tulisanku ini. Ternyata, kau pergi dan menjauh, bahkan tulisanku belum sampai diakhir cerita.

Tepat dikata ke-24.000, Tuanku pergi, menghilang, dan menjadi asing. Sempat aku kehilangan arah, sempat aku ingin berhenti karena Tuan sudah tidak menemani, terasa sesak, terasa sakit setiap mengingatnya lagi.

Tapi lihatlah Tuan, aku berhasil menyelesaikan tulisanku tanpa kau temani. Walau harus merasa sakit berdarah-darah karena tak ada lagi hadirmu dikeseharianku, nyatanya, aku masih bisa melangkah maju, walau hanya seorang diri.

Si pod anggur yang sangat ku kagumi, terima kasih, terima kasih, terima kasih karena sudah membantuku untuk percaya diri, membantuku keluar dari keragu-raguan yang menjebak diriku sendiri, walau pada akhirnya kau pergi, dan kembali membuatku mempertanyakan, Tulisanku memang sudah layak, tapi apakah sang penulisnya layak untuk dicintai?

Jikalau kau membaca ini, Tuan, semoga bahagia selalu menyertai. Doaku disini, agar kau mendapatkan puan yang layak, dan mencintaimu sepenuh hati. Tidak perlu khawatir, patah hati sudah menjadi teman lamaku, aku hanya perlu beradaptasi lagi. Tuan, makan yang banyak, ya? Jangan terlalu dipaksakan, dan kurangi pod anggur dan rokokmu itu. Karena, saat ini, tak bisa lagi aku mengirim pesan untuk mengingatkan agar kau tak lupa makan, karena, kisah kita sudah berakhir dikata 'hampir'.

-Ara.

cie

Beberapa menit setelah membaca pesan masuk dari Haekal, Jovan segera keluar dan menanti kedatangan Haekal. Beberapa kali Jovan terlihat memaki Hujan yang turun, ia tak mau Haekal kebasahan dan sakit akibat hujan, namun apalah daya, dia bukanlah pemilik semesta yang dapat mengatur kapan turun dan berhentinya sebuah hujan.

Jovan yakin, keadaan Haekal sedang tidak baik-baik saja sampai ia harus berada diluar saat deras hujan terus-terusan mengguyur bumi dan sudah selarut ini. Entah apa yang terjadi, Jovan hanya khawatir dengan keadaan Haekal- anak kandungnya.

Beberapa saat, nampak cahaya dari sebuah motor menerobos pandangannya. Dan benar saja, itu adalah Haekal. Anak kandung Jovan yang dari tadi ia nanti-nanti kedatangannya.

Haekal berjalan menuju teras rumah setelah memberhentikan dan memarkirkan motornya di pekarangan rumah Jovan.

Hati Jovan terasa amat perih melihat Haekal yang sangat kuyup sekarang, dengan menggendong tas dipunggungnya dan helm yang ia bawa di tangan kanannya, matanya terlihat sangat sayu dan wajahnya nampak lemas, bibirnya bergetar karena kedinginan, dan beberapa luka belum kering di wajahnya, bekas ulah bejad Darto terlihat dengan jelas sekarang.

“Saya bingung harus kemana lagi.” Ucap Haekal pelan ketika langkah kakinya sudah berada tepat di depan Jovan.

Jovan menggeleng pelan, tak seharusnya Haekal berada diluar selarut ini, luka di wajahnya akan terasa nyeri jika terkena air hujan, bukankah itu sangat menyakitkan?

“Saya boleh menginap di Rumah bapak, hari ini? Besok saya mau coba jual motor itu, Pak. Saya mau cari Rumah sendiri, dan hidup sendiri.

“Tolong izinkan saya ya, Pak? Saya janji-”

Ucapan Haekal terhenti ketika mendadak Jovan memeluknya, tubuhnya terasa membeku merasakan pelukan tersebut. Sudah lama sekali tidak ada yang memeluk Haekal, entah kapan terakhir kali ia merasakan pelukan dari seseorang.

Walau terasa sedikit aneh karena Jovan tiba-tiba memeluknya, namun tak ada perlawanan dan penolakan dari Haekal. Ia merasakan kehangatan dari pelukan tersebut. Semua kalut yang ia rasakan seakan menghilang ketika mendapatkan pelukan hangat itu.

Cukup lama hingga akhirnya Jovan melepaskan pelukan itu. Dilihatnya dengan teliti bagian wajah Haekal yang terluka.

“Sakit ya, Nak? Luka kamu masih belum kering dan malah terkena hujan. Seandainya saya bisa hentikan hujan, akan saya hentikan langsung, Nak. Supaya air hujan enggak bikin luka kamu semakin terasa sakit.”

Haekal hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa.

“Yang mana lagi Nak yang kerasa sakit? Kasih tahu bapak, supaya bapak sembuhkan.” Jovan memegangi lengan Haekal, memeriksa apakah ada luka dibagian sana.

“Pak Jovan... Kenapa?” Tanya Haekal kebingungan.

Yang ditanya hanya menatap Haekal lagi, Haekal dapat merasakan kesedihan yang terdapat pada tatapan tersebut.

“Saya khawatir sama kamu, Haekal.” Jawab Jovan singkat, Haekal bisa lihat mata Jovan dipenuhi genangan air mata sekarang, walau berusaha ditahan untuk tidak terjatuh.

“Bapak enggak apa-apa?” Tanya Haekal lagi untuk memastikan.

Jovan menghembuskan napasnya perlahan, melihat anak kandungnya yang sedang berdiri depannya sekarang sungguh menyayat hatinya. Betapa kecewanya Jovan dengan dirinya sendiri, sebab dengan bodohnya ia tidak menyadari anak murid yang meminta bantuannya adalah anak kandungnya sendiri. Membayangkan betapa beratnya kehidupan yang anaknya jalani dengan sendiri, sampai-sampai ia mengaku sebagai tuna wisma tanpa rumah yang menghangati.

“Bapak kenapa menangis?” Jovan hanya menggeleng pelan dan tersenyum kepada Haekal, berusaha terlihat baik-baik saja di depan anaknya.

“Dingin ya diluar? Disini saja ya Haekal? Meskipun rumah saya ini kecil dan sederhana, tapi saya bisa janjikan kehangatan di dalamnya. Tidak perlu sungkan, ya?”

“Pak...” Panggil Haekal pelan.

“Ya, Haekal?”

“Kalau boleh... Tolong berikan saya pelukan lagi, Pak. Saya sedang kalut, dan enggak tau kenapa, rasanya tenang dan damai ketika Bapak peluk saya.”

“Eh, lupakan aja pak. Saya tadi ngaco, baju saya juga basah banget. Maaf permintaan saya aneh-”

Jovan kembali memeluk Haekal dan mengusap lembut punggung dan puncak kepala anak kandungnya itu.

“Maafkan saya, Haekal. Pasti berat dan sakit ya? Kamu sudah tumbuh besar dan menjadi anak yang sangat baik, saya bangga kepada kamu.” Ucap Jovan lembut untuk menenangkan Haekal.

Tanpa disadari butiran air jatuh dari sudut mata Haekal, rasanya sangat menenangkan saat ada seseorang yang memeluknya sekarang, rasanya sangat membahagiakan ketika mendengar kalimat 'Bangga' disaat ia sedang merasakan kehidupannya telah gagal dan tak ada yang bisa diharapkan.

“Hangat, Pak. Mungkin seperti ini rasanya berada dipelukan seorang Ayah.” Ucap Haekal, suaranya terdengar sangat parau.

'Saya Ayah kamu, Haekal. Saya rumah kamu.' Batin Jovan berteriak.

-Ara

seragam

Haekal melangkahkan kakinya dengan penuh semangat menuju Aula sekolah, walau terasa sedikit sakit akibat beberapa tendangan yang Pak Darto berikan kepadanya, namun sakit di kakinya terasa hilang karena tak sabar melihat sang Ibu yang datang untuk menemuinya.

Seragam sekolahnya sudah rapih dan bersih sekarang, tak lupa ia juga memakai parfume yang Jere beri kepadanya, Haekal nampak sangat rapih sekarang, walau beberapa luka terlihat jelas dari wajah dan bagian tubuh lainnya.

Haekal melihat mobil merah milik Ibunya terparkir di Area sekolah, ia berhenti untuk bercermin dikaca mobil itu, kembali ia merapihkan rambutnya agar tidak terlihat berantakan, membenarkan posisi dasi dan gespernya agar terlihat sempurna ketika bertemu sang Ibu.

“Rapih sekali, Mamah pasti senang lihat anaknya pakai seragam SMA yang rapih dan bersih” Gumam Haekal sembari tersenyum bahagia menatap dirinya sendiri dari kaca Mobil sang Ibu yang terparkir.

Baru saja Haekal melanjutkan langkah kakinya, terlihat sang Ibu sedang berjalan tergesa-gesa sembari menundukan pandangannya, bahkan Ibunya tak menyadari bahwa Haekal sekarang berada di depannya.

“Mah?” Haekal menahan lengan Ibunya ketika sang Ibu tetap berjalan tanpa menyadari Haekal yang berada didekatnya.

“Jangan pegang saya!” Bentak Hanna dan mendorong kasar agar Haekal menjauh. Hanna kaget ketika ada yang menahan tangannya, ia tak menyadari yang melakukan itu adalah Haekal, putranya sendiri.

“Mah? Ini Haekal...” Ucap Haekal bingung.

“Mamah kenapa? Kok menangis?” Haekal khawatir ketika menyadari mata Ibunya terlihat basah dan tangan Ibunya gemetar, seperti orang yang sedang ketakutan.

“Mah?” Haekal kembali mendekat, ia sangat khawatir dengan Ibunya sekarang.

“Jangan mendekat!” Bentak Hanna dengan suara yang sedikit bergetar. Haekal semakin bingung dengan apa yang terjadi sekarang, Ibunya terlihat sangat ketakutan sekarang, entah apa yang membuat Ibunya seperti ini.

“Ambil tas kamu, tunggu di depan. Nanti supir saya jemput kamu.”

“Haekal masih ada jam sekolah, Mah.”

“Pulang, sekarang! Kamu bisa dengar saya, kan?!” Mendengar itu Haekal hanya bisa mengangguk pelan mengiyakan, walau sebenarnya Haekal masih bingung dengan apa yang terjadi.

Hanna bergegas masuk ke dalam mobilnya dan meninggalkan Haekal sendirian.

“Hati-hati, Mah...” Gumam Haekal pelan dan langsung menuju kelasnya untuk mengambil tas dan pulang sesuai dengan perintah dari Ibunya barusan.

Kali ini usaha Haekal kembali gagal, jangankan mengajak sang Ibu untuk makan siang di kantin sekolah, seragam sekolah yang ia pinjam saja tak dilirik sedikitpun oleh sang Ibu. Sama seperti usaha-usaha sebelumnya, gagal dan tak terlihat dirinya bagi sang Ibu.

-Ara

tw// violence cw// harsh word. Mohon bijak dan tidak untuk ditiru🙏


Lonceng istirahat sudah berbunyi, para guru meninggalkan kelas diikuti riuh bunyi langkah kaki para siswa-siswi. Ada yang memutuskan untuk ke kantin, perpustakaan dan kamar mandi. Haekal dan teman-temannya memilih berkumpul di area Kantin, yang membuat sebagian siswi ragu untuk melangkahkan kaki mereka menuju kantin.

“Kemaren kelas 12 jadi nyerang sekolah tetangga.” Reno memulai topik pembicaraan pada siang itu.

“Lo gak ikut kan, No, Nu?” Jere langsung menatap Reno dan Janu dengan penuh kecurigaan.

“Kaga anjir, gue sama Reno main PS di rumah Cena kemaren.” Janu membela dirinya langsung.

“Untungnya enggak ikut, lo tau gak? Ada polisi, Anjir. Anak kelas 12 banyak yang ketangkap kemaren, belum dilepasin sampai sekarang.” Ucap Reno.

Haekal hanya tersenyum tipis mendengar itu, pandangan dan tangannya tetap fokus dengan buku yang sedang ia baca.

“Asem anjir mulut, Warung depan yuk.”

“Tahan, pulang sekolah aja. Jangan jadi brengsek untuk orangtua kamu hari ini, Reno.” Haekal akhirnya angkat bicara. Reno menghela napasnya kecewa mendengar jawaban tersebut.

“Itu si Darto jalan ke arah sini gak, sih?” Ucap Cena ketika melihat Darto sedang berjalan dengan langkah terburu-buru menuju mereka.

Haekal hanya melirik ke depan sekilas dan kembali membaca buku yang ia bawa, mencoba tak peduli dengan langkah kaki dari Darto yang semakin mendekat kepada mereka.

“Dih anjing, beneran kesini kayaknya. Ngapain lagi deh?” Reno menunjukan raut tak suka ketika melihat Darto yang berjalan semakin dekat.

“Mau kabur?” Tanya Janu kepada teman-temannya.

“Bodoh, memangnya kita salah apa sampai harus kabur?” Ucap Haekal masih tak peduli dengan kepanikan teman-temannya.

Tak lama kemudian, Darto menghentikan langkah kakinya tepat di depan Haekal dan teman-teman Haekal, dengan kedua tangan berkecak pinggang.

“Kalian ikut tawuran kan kemaren?!” Tanya Darto secara langsung, terdengar bukan seperti pertanyaan, namun seperti sebuah pernyataan.

“Enggak, Pak. Kelas sebelas gak ada yang ikutan.” Cena berusaha tenang menjawab pertanyaan sekaligus tatapan penuh intimidasi dari gurunya tersebut.

“Sumpah deh, Pak. Anak baik kita-kita tuh.” Jere menambahkan. Sedangkan Reno dan Janu sudah duduk di samping Haekal, mencoba tak peduli dengan kedatangan Darto. Haekal, Reno, Janu yang paling di kenal oleh Darto, karena dari kelima anggota geng tersebut, mereka lah yang paling sering membantah Pak Darto dengan sangat berani.

“Halah, sudah pasti kalian juga terlibat! Kalian kabur, kan? Maka nya enggak tertangkap.”

“Bapak jangan asal tuduh! Mau fitnah kita supaya kinerja bapak sebagai guru keliatan bagus?” Reno berdiri dan mulai terpancing dengan tuduhan tersebut. Jere langsung menarik Reno agar duduk kembali, khawatir Reno tak bisa menahan emosinya.

“Sopan santun kamu mana?!” Bentak Darto tak terima dengan jawaban Reno barusan.

Haekal tertawa kecil mendengar ucapan Darto barusan, namun ia masih memfokuskan pandangannya terhadap buku, tak mau mengalihkan perhatiannya kepada Darto sedikitpun.

“Kalian pasti terlibat, enggak mungkin hanya kelas 12 dan 10 saja. Oh, atau kalian yang merancang tawuran tersebut? Dan menyuruh siswa lain yang menyerang?”

“Hahaha, pendidikan karakter katanya.” Ucap Haekal pelan sembari menutup buku yang sedang ia baca.

“Apa kamu?! Ngomong apa barusan?!” Bentak Darto, hal itu jelas menimbulkan rasa penasaran para murid lain yang berada di sekitar mereka.

Haekal akhirnya beranjak dari duduknya dan berdiri menghadap Pak Darto yang sedang menatapnya penuh amarah.

“Katanya pendidikan karakter, kok malah memfitnah siswanya yang jelas tidak melakukan kesalahan?” Ucap Haekal santai.

“Udahlah cabut aja kita, gak jelas.” Janu bangkit, menarik Haekal dan Reno untuk pergi menjauh dari tempat itu.

“Mau kabur dari masalah? Seperti ibu kamu yang koruptor itu dan lari ke luar negri? Ujung-ujungnya apa? Ditangkap juga kan?”

Kalimat barusan berhasil menghentikan langkah Janu yang tadinya hendak meninggalkan tempat itu.

“Jaga ucapan Bapak!” Balas Janu tak terima.

“Pak, jangan bawa-bawa orangtua. Saya kan tadi udah bilang, anak kelas sebelas enggak ada yang terlibat sama sekali, buat apa coba kita bohong, Pak.” Jere kembali menjelaskan kepada Darto, ia sangat khawatir teman-temannya terpancing dan tak bisa mengendalikan diri mereka.

“Hahaha, kenapa? Marah Janu? Saya kan bicara fakta.” Darto malah menertawakan Janu yang sekarang menatapnya dengan tajam.

“Sehina itu perjuangan seorang Ibu bagi bapak? Sampai tega hati bapak menghina di depan anaknya? Sudah sesempurna apa kehidupan Bapak, sampai Bapak merasa layak menertawakan di depan anaknya, seolah-olah si anak juga pantas mendapatkan hinaan seperti ini?” Haekal tak terima dengan perkataan Darto barusan, untuk saat ini Haekal masih bisa menahan amarahnya, agar tak mendorong Darto seperti kemarin, ia berusaha agar emosinya tak meledak, tak mau merepotkan orang sekitar yang harus membantunya menyelesaikan permasalahan dengan Darto (lagi).

“Kamu kenapa belain anak Koruptor, Haekal? Karena Orangtua kamu juga gak benar?”

Darto sepertinya sedang membangunkan singa yang sedang tertidur, kali ini Haekal memajukan langkahnya dan menatap Darto dengan sangat tajam, tangannya sudah terkepal dengan sangat kuat.

“Kal... udah-udah, ayok pergi.” Cena berusaha menjauhkan Haekal dari Darto, namun dengan cepat Haekal menepis tangan Cena agar tak menariknya menjauh.

“Kenapa? Mau marah juga? Kenapa marah? Ibu kamu itu enggak pernah terlihat, kan? Yang datang kalau kamu bermasalah, si pengusaha besar itu, Ibu kamu simpanan pengusaha itu?”

“Anak Koruptor, anak Wanita simpanan sama-sama tidak punya-”

BRUKKK

Detik kemudian Darto terjatuh ke lantai. Butuh beberapa detik sampai Darto sadar bahwa siswa di depannya barusan mendorongnya hingga terjatuh.

“JAGA TUTUR KATA ANDA, DARTO! DIA IBU SAYA! DIA WANITA TERHORMAT! DIA TIDAK HINA SEPERTI ANDA, DARTO!” Teriak Haekal penuh amarah, matanya memerah, napasnya memburu, dadanya sesak mendengar ucapan Darto barusan.

“SEKALI LAGI SAYA TEMUI HINAAN TAK BERWAWASAN DARI MULUT ANDA, SAYA TIDAK AKAN MEMBIARKAN ANDA! YANG ANDA HINA ADALAH IBU SAYA! ANUGRAH TERINDAH YANG TUHAN BERI KEPADA SAYA, DAN DENGAN BERANINYA ANDA RENDAHKAN DIA?!”

“BERHENTILAH MENCACI ORANGTUA, DARTO! KAMU ITU ENGGAK LEBIH DARI SEBUAH TENGKORAK MINIM AKAL YANG TIDAK DIBERI HATI NURANI, DARTO!”

“DASAR GOBLOK!!!” teriak Darto tak terima dan bangkit untuk membalas perlakuan Haekal barusan.

Setelah itu, keduanya terlibat baku hantam, saling memukul, menendang satu sama lain, gerak Haekal tiba-tiba terbatas karena murid lain menahan lengannya untuk tidak memukul Darto, karena itu ia tak bisa membalas pukulan dari Darto. Namun sayang, tak seorangpun yang berani menahan Darto, sehingga ia dengan bebas memukul bagian tubuh Haekal tanpa henti walau sudah tak ada lagi perlawanan yang Haekal beri.


marah

-Ara

Setelah berjalan cukup jauh menerobos derasnya hujan, akhirnya Haekal dan Azalea sampai ditempat yang mereka tuju, Rumah Azalea. Rumah itu nampak sederhana, namun entah mengapa Haekal dapat merasakan kehangatan didalamnya.

“Rumah kamu?” Tanya Haekal ketika sampai didepan teras rumah tersebut. Azalea hanya mengangguk menjawab pertanyaan itu.

“Ya sudah, sana masuk.”

“Kamu?” Tanya Azalea sangat pelan bahkan nyaris tak terdengar dengan jelas.

Haekal tersenyum mendengar itu, itu adalah kata pertama yang keluar dari bibir Azalea semenjak daritadi menghabiskan waktu pulang sekolah bersama Haekal.

Tiga jam mereka habiskan waktu di bawah pohon besar yang terdapat di dekat sekolah, dengan hanya saling diam dan tak ada obrolan sedikitpun. Keduanya sudah terbiasa dengan diam, Azalea sangat berbeda ketika sedang bertemu langsung, tak banyak bicara dan tak banyak bertanya seperti di pesan. Di sekolah, Azalea tak mempunyai teman karena hal itu, anak kelas menganggapnya aneh karena tak pernah mau bicara, bahkan ketika presentasi, ia hanya menjadi notulen dan tak mau bersuara sedikitpun. Sebenarnya, Haekal ingin sekali bertanya apa penyebab Azalea tak mau berbicara dengan orang lain, hanya saja pertanyaan itu selalu tertahan, karena Haekal paham, setiap individu pasti punya trauma di masalalu yang tak mau diungkit dan dibagi kepada orang lain.

“Saya langsung pulang, sudah malam. Terimakasih Origaminya, nanti di rumah, saya akan baca isi pesan di dalamnya apa.”

Azalea punya caranya sendiri untuk menghibur Haekal, ia tidak akan membuka obrolan dan menanyakan apa yang terjadi kepada Haekal, ia hanya memberikan berbagai macam bentuk Origami yang terselip sebuah pesan didalamnya kepada Haekal, dan hari ini Haekal diberi tujuh buah Origami berbentuk hati oleh Azalea.

“Iya.” Jawab Azalea pelan.

“Kalau lagi seperti ini, terlihat saya yang bawel ya. Padahal kalau di pesan, kamu itu berisik sekali, hahaha. Ya sudah, sana masuk rumah.” Ucap Haekal dan tangannya memberi isyarat agar Azalea cepat masuk ke dalam rumah.

“Baru pulang?” Tiba-tiba seorang lelaki membuka pintu rumah tersebut. Terlihatlah Jovan yang berdiri di ambang pintu sembari membawa segelas kopi ditangannya.

“Saya kembalikan Azaleanya, pulang dengan selamat dan tidak kuyup, Pak.” Ujar Haekal kepada Jovan.

“Tapi kamu kuyup.”

“Kalau saya sudah biasa kuyup. Saya pamit, Pak.”

“Lea, ajak Haekal ke dalam, dan tolong pinjamkan dia baju Ayah.” Ucap Jovan dan duduk di kursi yang terdapat pada teras rumah tersebut.

“Tidak perlu, saya langsung pulang saja.” Haekal menolak tawaran tersebut.

“Lea, langsung saja suruh masuk. Takutnya anak ini malah sakit dan jadi alasan lagi untuk dia bolos sekolah.” Haekal sedikit terkekeh mendengar itu. Akhirnya ia pun masuk dan menunggu Azalea membawakan baju Jovan untuk ia pinjam.


“Saya kembalikan besok atau lusa bajunya.”

“Duduk dulu sini, hujannya juga masih deras. Kamu enggak bawa kendaraan, kan?”

“Saya naik bus kota.”

“Sudah, duduk saja dulu. Hujannya deras, nanti baju saya basah kena hujan.” Dengan sedikit terpaksa Haekal duduk di kursi kosong yang terdapat di teras tersebut, Jovan tersenyum kemudian. Sebenarnya bukan karena Jovan tak mau baju yang ia pinjamkan basah, namun ia khawatir dengan anak itu, walaupun memakai payung, hujan terlalu deras untuk ia lewati dengan berjalan kaki sampai halte yang letaknya cukup jauh.

“Saya pikir yang namanya Haekal, jagoan dikelas sebelas itu pakai motor gede kalau ke sekolah, ternyata masih naik bus kota. Kalah dengan anak kelas sepuluh yang sudah bawa mobil ke sekolah.”

“Saya belum bikin SIM.” Jawab Haekal singkat.

“Loh, saya perhatikan anak sekolah hampir semuanya belum punya SIM, dan mereka tetap saja mengendarai motor atau mobil ke sekolah.”

“Saya kan Haekal, buat apa kita berjabat tangan waktu pertama kali bertemu, kalau bapak masih anggap saya seperti anak yang lain. Saya Haekal, saya dengan cara saya sendiri sebagai Siswa sekolah.”

Jovan kembali tertawa mendengar jawaban yang Haekal lontarkan barusan, jawaban yang sangat mirip dengan ucapannya kemarin ketika Haekal membandingkannya dengan guru BK sebelumnya.

“Cerdas.” Puji Jovan kepada Haekal.

“Tingkat kecelakaan di negara kita ini tinggi, Pak. Ya bagaimana tidak tinggi, kalau orangtua melepaskan anaknya yang belum cukup umur berkendara dengan bebas. Belum lagi, tingkat kesadaran masyarakat di negara kita sangat rendah, bisa dilihat dengan banyaknya Calo untuk proses bikin SIM. Padahal berbagai tes sebelum mendapatkan SIM itu untuk membuktikan apakah orang tersebut sudah layak berkendara atau belum. Susah sih, kalau SIM hanya dipandang seonggok formalitas berbentuk kertas yang digunakan hanya ketika ditilang polisi.”

Jawaban panjang Haekal berhasil membuat Jovan terkagum. Sangat jarang menemui anak remaja yang mempunyai pola pikir seperti Haekal, remaja cendrung tak acuh dengan aturan dan selalu merasa hebat dijalanan.

“Tetap menjadi pribadi yang berprinsip, Haekal. Saya suka dengan prinsip yang kamu jalankan.” Haekal hanya menoleh sebentar ketika mendengar itu dan kembali mengalihkan pandangannya ke depan, menatap hujan yang tak kunjung berhenti. Walaupun sebenarnya ada perasaan senang pada dirinya ketika mendengar pujian tersebut.

“Kamu cinta sama Azalea?” Tanya jovan tiba-tiba. Haekal tidak menyangka bahwa ia akan mendapatkan pertanyaan seperti itu yang pasti membuatnya bingung untuk menjawab apa. Meskipun di sekolah Haekal dijuluki si jago debat melawan guru, kali ini Haekal dibuat bungkam dan tak mampu menjawab pertanyaan dari Jovan barusan.

Jovan terkekeh pelan. Jovan menyadari bahwa remaja berprinsip disampingnya ini terlalu kaku untuk ditanya mengenai isi hati.

“Kamu cinta sama Azalea, kan?” Tanya Jovan lagi.

“Saya tidak tau.” Jawab Haekal pada akhirnya.

“Kenapa tidak tau?”

“Kalau bapak tanya tentang Sosiologi, saya bisa jawab dengan berbagai teori. Kalau bapak tanya tentang Matematika, saya juga lihai menjawab dengan bermacam-macam rumus yang saya ketahui, tapi kalau bapak tanya masalah hati, saya tidak mengetahui apa itu isi hati, pertanyaan itu tidak bisa saya jabarkan secara essai Ataupun uraian singkat, saya tidak tau harus pakai teori mana, dan rumus apa untuk menjawab pertanyaan itu.”

Jovan terkekeh mendengar jawaban itu. Dan dengan tenang ia jelaskan kepada Haekal,

“Payung itu tau tentang isi hati kamu.”

“Payung? Bagaimana bisa payung tau?” Tanya Haekal penasaran ketika Jovan menunjuk payung yang tadi ia gunakan bersama Azalea.

“Kamu melindungi Azalea dari hujan menggunakan payung ini. Baju Azalea tak basah, berbeda dengan baju kamu yang sangat basah. Berarti kamu sudah merelakan sisi kamu terkena hujan, hanya untuk melindungi Azalea dari derasnya hujan, kan?” Ucap jovan kemudian menyesap secangkir kopi yang ia bawa tadi.

“Jadi cinta itu prihal melindungi, Pak?” Tanya Haekal masih penasaran dengan topik tentang hati, namun hanya dijawab Jovan dengan mengangkat bahunya pertanda tak tahu.

“Cari saja jawabannya sendiri.”

Setelah perbincangan itu, keduanya sunyi. Jovan sibuk dengan kegiatan meniup kopi dan menyesap kopinya hingga habis, sedangkan Haekal yang hanyut dalam lamunannya, masih memikirkan teka-teki hati yang barusan Jovan beri.

“Kamu tidak hubungi orang rumah karena terlambat pulang? Mungkin mereka sedang khawatir sekarang.” Haekal tertawa mendengar pertanyaan Jovan barusan. Kali ini Jovan tak mengerti reaksi yang Haekal beri, Jovan tak paham mengapa pertanyaan seriusnya dihadiahi tawa oleh Haekal, padahal itu bukan lelucon sama sekali.

Cukup lama Haekal tertawa, hingga akhirnya ia diam dan menunduk. Kali pertama Jovan melihat si pemberani ini menunduk.

“Rumah itu apasih, Pak?” Tanya Haekal pelan.

“Rumah itu tempat berlindung dari cuaca panas, dingin, badai, hujan, dan lainnya. Tempat kamu bisa beristirahat saat sedang lelah, dan menjadi tempat yang nyaman untuk berkeluh.”

“Kalau bagi saya sebagai orangtua, Rumah itu keluarga. Seandainya saya tidak punya rumah seperti sekarang, dan hanya tidur beralaskan tanah sekalipun, saya masih merasa memiliki rumah. Karena rumah bagi saya bukanlah terhitung dari suatu materi dan bangunan saja. Tapi bagi saya Rumah adalah keluarga yang disana terdapat kepuasan batin. Di rumah juga saya belajar bagaimana cara menjaga dan menenangkan anak serta keluarga saya. Tempat dimana saya berkeluh ketika suatu hal buruk sedang menimpa, Rumah saya hangat dengan saling menguatkan.” Jovan menjelaskan makna keluarga baginya kepada Haekal.

“Saya mau punya Rumah, Pak.” Ucap Haekal pelan usai diam beberapa saat setelah mendengar jawaban panjang dari Jovan barusan.

“Ada Haekal, keluargamu.”

Haekal kembali tertawa mendengar itu, namun kali ini Jovan menyadari ada luka dibalik tawa tersebut. Ada air mata yang ditahan oleh si pemberani itu.

“Saya merasa tidak punya keluarga, Pak.”

“Lantaran?”

“Saya adalah ada yang tidak ada, Pak. Saya tidak pernah dianggap keluarga. Bagaimana bisa yang disebut keluarga mengabaikan saya yang bahkan ada di depan mata? Saya seperti tidak kasat mata, Pak. Saya ingin dilihat, bukan dengan tatapan tak acuh dari Ibu saya. Saya ingin dilihat sebagai seorang anak yang berharga.”

“Saya ini tuna wisma, Pak. Saya tidak punya rumah seperti bapak, saya tidak punya tempat untuk mengeluh dan berbagi cerita, saya kedinginan pak, tidak ada rumah yang bisa menghangati saya. Mungkin hanya kepulangan abadi yang menjadi satu-satunya rumah bagi saya.”

“Saya tidak punya rumah...” Lanjut Haekal lagi, terdengar suaranya sedikit bergetar dan ia kembali menundukkan kepalanya dalam, malu kalau harus menangis di hadapan orang lain.

Untuk pertama kalinya Haekal menangis di hadapan orang lain, menceritakan bagaimana perasaannya kepada orang lain, dan terlihat sebagai sosok yang lemah sekaligus menyedihkan di hadapan orang lain.

“Ah, saya ngomongnya ngaco. Tolong diabaikan, Pak. Anggap saja angin lewat. Sudah reda hujannya, saya pamit.” Haekal berdiri dan bersiap untuk pergi setelah menyadari keanehan yang barusan ia lakukan. menangis dan mengeluh akan keadaan kepada orang lain, jelas bukan hal yang biasa bagi Haekal. Maka dari itu Haekal memutuskan untuk pergi, ia malu dengan Jovan yang melihat sisi lain dari dirinya barusan.

“Haekal.” Panggil Jovan menghentikan Haekal yang hendak pergi.

“Lupakan saja pak, saya barusan-”

“Kamu bisa anggap saya rumah. Pintu rumah saya selalu terbuka lebar untuk kamu, jangan segan untuk mengetuk.”

“Pak, Terimakasih sudah ramah.”


-Ara.