kejeffreyan


Haekal nampak kebingungan melirik sekitarnya yang dipenuhi banyak sekali toko-toko yang menjual berbagai macam jenis pakaian. Ia melihat notes di ponselnya, memastikan bahwa toko di depannya kini adalah toko langganan yang dimaksud oleh Neneknya.

Setelah memastikan nama toko tersebut sesuai, Haekal segera melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam toko tersebut, guna mencari baju Daster titipan Neneknya.

“Cari apa, Kak?” Sapa si penjaga toko dengan ramah kepada Haekal yang nampak celingukan memperhatikan banyak sekali model baju di sekitarnya.

“Daster, Mbak. Untuk Nenek saya.” Jawab Haekal agak kaku, terlebih ketika si penjaga toko itu tersenyum simpul mendengar ucapan Haekal barusan.

“Boleh, Kak, di lantai 2 kalau daster, ya, nanti naik tangga aja, bakalan ada temen saya yang bantuin Kakaknya pilih di sana.” Kata penjaga tersebut sembari menunjuk ke arah tangga menuju lantai dua.

Haekal hanya mengangguk sopan lalu berjalan ke arah tangga sembari mengusap tengkuknya canggung. Haekal pikir akan biasa saja datang ke toko baju perempuan sendirian, ternyata ia salah, terasa begitu canggung melakukan ini, tak segampang yang ia pikir, pantas saja teman-teman lelakinya menolak untuk ikut bersamanya.

“Coba aja ada Azalea…” gumam Haekal pelan sembari menaiki tangga tersebut. “Tapi, Lea lagi gak bagus moodnya.” Sambung Haekal lagi berlirih pelan, kembali teringat Azalea yang tadi tak begitu menanggapinya.

Kedua manik teduh milik Haekal berpencar memandangi sekitarnya yang agak sepi pengunjung dibandingkan dengan lantai bawah, ia juga melihat pakaian-pakaian yang dipajang, yang sepertinya lantai ini dikhususkan untuk pakaian sehari-hari khusus perempuan.

“Mbak,” panggil Haekal kepada pegawai toko yang sedang membelakanginya, nampak sedang merapihkan beberapa display baju yang sedikit berantakan.

“Boleh pilihkan Daster untuk—” kalimat Haekal terhenti saat sosok pegawai tersebut menghadap ke arahnya, secara otomatis juga, kedua bola matanya melebar menangkap sosok di depannya itu.

“Jingga?” bibir Haekal berucap tak percaya.

Tatapan Haekal tak lepas dari sosok Jingga yang berdiri di depannya, mengenakan seragam pegawai toko, pun juga dengan rambut yang diikat berantakan. Sangat berbeda sekali dengan tampilan Jingga yang selama ini Haekal lihat di kampusnya.

Namun, tak butuh waktu lama, Haekal segera menyadari ketakutan serta sinyal tak nyaman Jingga yang juga ikut terkejut bertemu dengannya sekarang, bahkan kini ia melihat jemari Jingga yang gemetar dan juga wajahnya mulai memucat.

“Boleh pilihkan baju Daster untuk Nenek saya? Ukuran L, dan dari bahan yang nggak panas.” lanjut Haekal berusaha tak memedulikan yang sedang terjadi, kini wajahnya juga kembali berubah, tak ada mimik terkejut seperti sebelumnya.

“Kenapa harus di sini?” bukannya merespon pesanan Haekal, Jingga malah balik bertanya.

“Maksudnya?”

“Dari banyak toko baju di Jakarta, kenapa harus di sini lo beli baju? Kenapa harus ketemu gue?” Tanya Jingga lagi memperjelas pertanyaannya barusan, kini wajahnya nampak memerah, geram dari tatapan matanya terdeteksi oleh Haekal. Untungnya lantai 2 begitu sepi, sehingga nada bicara Jingga yang meninggi tak menyita perhatian pengunjung lainnya.

Haekal tak menjawab, karena ia pun bingung harus menjawab apa, ia juga sama bingungnya, tak sengaja datang ke toko ini, tanpa sedikitpun menyangka akan bertemu Jingga yang tengah bekerja.

“Kenapa, Kal? Hampir 2 tahun gue kerja di sini, sama sekali nggak ada anak kampus yang bisa nemuin gue. Kenapa? Kenapa hari ini lo malah nemuin gue?” suara Jingga kini mulai bergetar, matanya juga nampak bergelinang, sampai-sampai Haekal semakin terdiam melihatnya, kebingungan dengan reaksi Jingga yang marah kepadanya.

“Hancur tau gak branding yang susah-susah gue bangun supaya bisa masuk ke dalam lingkup kalian.”

“Maaf,” bahkan kini tanpa sadar Haekal mengucapkan permintaan maafnya, kata tersebut keluar begitu saja saat melihat genangan air mata mulai jatuh membasahi pipi Jingga yang masih memerah.

Haekal mulai paham situasi saat ini, ia mengerti mengapa Jingga begitu meledak-ledak saat Haekal tak sengaja menemuinya di sini.

“Maaf? Bahkan gue ngelakuin semua ini bukan cuma buat bisa nyatu sama lingkungan kampus, Kal! Gue juga gak mau dikasihanin dan jadi terlihat menyedihkan. Ah, liat sekarang cara lo natap gue, gue gak suka! gue gak suka tatapan kasihan kayak gitu dikasih ke gue.” bentak Jingga tak tertahan.

Haekal sangat tak suka dibentak orang lain, namun, rasanya kini, Haekal tak sanggup untuk menginterupsi sedikitpun kalimat Jingga, ia hanya bisa diam, dan menetapkan dirinya di posisi bersalah.

Tarikan napas panjang Jingga terdengar setelahnya, ia memejamkan matanya sesaat, seperti sedang mencoba mengontrol dirinya, “Di sebelah kanan sana, ambil aja, Daster. Setelahnya lo boleh ke bawah buat bayar, dan pergi dari sini.” sambungnya lagi.

Haekal tak lagi berkata, ia hanya mengangguk, lalu mengambil baju di sebelah kanannya, ia bahkan mengambil asal beberapa baju tersebut, tak mau membuat Jingga merasa semakin tak nyaman dengan kehadirannya.

Melihat Jingga barusan, membuat Haekal teringat dengan dirinya yang dulu, berusaha terlihat kuat dan tangguh, tak mau dilihat lemah dan dikasihani, berusaha semaksimal mungkin diterima di lingkungan yang tak menginginkannya, dan Haekal paham sekali, betapa melelahkannya berpura-pura melakukan itu.

“Jingga...,” panggil Haekal menghentikan langkah kakinya yang hendak menuruni tangga, ia memutarkan badannya, melihat Jingga yang kini tertunduk lemas.

“Apa lagi?” tanya Jingga ketus.

“Tugas komunikasi bisnis, sudah saya selesaikan. Kamu baca-baca materinya aja, ya, supaya nggak bingung presentasi nanti.” ucap Haekal, kembali dengan nada bicaranya yang santai.

“Nggak usah kasihanin gue, kan gue udah bilang—”

“Saya nggak kasihanin kamu. Itu sebagai ganti karena saya udah ambil 50 ribu kamu, upah ppt saya di tugas sebelumnya.” jawab Haekal segera, Jingga saat itu juga terdiam tanpa menjawab apapun lagi.

“Bertahan, ya? Seberat apapun yang sedang kamu lalui, Tuhan sedang uji.” sambung Haekal lagi, lalu kembali melanjutkan langkah kakinya, meninggalkan Jingga yang terpaku menatap kepergian Haekal, dan kembali menitihkan air matanya setelah mendengar kalimat penguat yang tak pernah ia sangka akan diucapkan Haekal, sosok yang begitu dingin kepada sekitarnya.

[image


Jika ada nominasi jalan hidup ter-plot twist di dunia ini, Disa yakin sekali bahwa dirinya akan menjadi top-10 dari jajaran yang masuk di dalamnya. Hal tersebut diyakini Disa, karena banyak sekali kejadian-kejadian tak disangka terjadi, terhitung sejak ia lahir di dunia.

Contoh kecilnya dapat di lihat saat ini, siapa sangka lulusan terbaik pengadaan serta pendidikan dan pelatihan jaksa kini sedang duduk di kantor Firma hukum yang baru saja memperkerjakannya. Untuk menjadi Pengacara setelah mengikuti banyak sekali prosedur menjadi seorang jaksa? Tentu saja tidak, bagian ter-plot twistnya, ia malah menjadi paralegal di Firma hukum ini.

Paralegal tentunya sangat jauh sekali dari yang Disa cita-citakan. Jika dibandingkan dengan Jaksa, sudah pasti sangat jauh sekali tingkatannya. Ia hanya bisa membantu Pengacara, bahkan untuk beracara atau ikut praktik hukum saja ia tak bisa. Siapapun yang melihatnya sekarang sudah pasti ikut iba dengan pilihan yang mau tak mau harus ia terima.

“Ini meja Mbak Disa, berdekatan dengan ruangan Pak Jeffrey dan Pak Dimas. Ada satu lagi Mbak Nata, sama dengan Mbak Disa bekerja sebagai Paralegal juga, tapi lagi cuti melahirkan.” Ucap seorang Pria berumur setengah abad itu kepada Disa, beliau adalah Pak Wira, orang pertama yang ia kenal di kantor ini, bahkan Pak Wira lah yang dari awal ia temui saat melamar kerja di Firma Hukum ini.

“Makasih banyak, Pak.” Balas Disa dan dibalas anggukan serta senyuman oleh Pak Wira sebelum akhirnya ia ditinggal sendiri di mejanya.

Disa menghela napas panjangnya, sembari meletakkan kantong plastik berisikan beberapa bungkus kupat tahu yang ia beli tadi. Disa menatap kesal pada bungkusan tersebut, sembari mengusap kasar wajahnya, tanpa mempedulikan lagi make-up nya yang sudah terlanjur hilang akibat antrian lama untuk mendapatkan kupat tahu pesanan Bos-nya, Jeffrey, Kakak kelas yang dulu sangat ia benci akibat terus-terusan mengganggunya.

“Persetanan sama kupat tahu gajelas ini, kalo gak waras, mah, udah gue taro racun di dalemnya.” Gerutu Disa pelan sembari mengetikkan pesan pada ponselnya, memberitahu Bos barunya bahwa pesanannya sudah datang, lengkap dengan note yang tak masuk logika siapapun yang mendengarnya, bahkan penjualnya pun tak habis pikir ada pesanan serupa demikian.

“Kelar bayar UKT Nopal, detik itu juga gue bakal resign dari kantor gaje ini.” gumamnya kembali setelah mengirim pesan kepada bos-nya tersebut. Disa kemudian mengeluarkan bedaknya, berniat untuk memoles kembali wajahnya yang sudah terkena banyak sekali polusi beserta keringat saat mengantri pesanan, ia sempat melihat sekitar yang masih sepi juga, belum berdatangan pekerja lainnya.

Saat tengah memoleskan lipcream pada bibirnya, sudut matanya menangkap ada bayang yang berjalan mendekat, segera Disa menyudahi kegiatannya tersebut, dan langsung berdiri untuk menyapa yang akan datang. Sialnya, Disa baru tersadar bahwa kontak lensanya belum sempat ia pakai, pantas saja pandangannya sangat kabur sekali melihat dua sosok yang mendekat.

“Selamat pagi,” Sapa salah satunya dari beberapa langkah di depannya, “Pagi, Pak.” Balas Disa sembari menyipitkan kedua matanya, guna melihat secara jelas dua sosok yang akan menghampirinya.

“Lama nggak ketemu, ya? Gak nyangka bakal satu tempat kerja sama lo.” Ucap suara yang lainnya pada jarak yang lebih dekat lagi.

“Eh? Kak?” Respon Disa terkejut saat dua sosok tersebut berada tepat di depannya, sehingga Disa bisa melihat dengan jelas keduanya. “Kak Dimas?” Lanjut Disa seakan masih meragukan penglihatan dan ingatannya.

Sosok berkacamata itu pun tergelak ringan melihat ekspresi kaget Disa, “Hahaha, kirain udah lupa sama gue,” Jawabnya renyah, sosok laki-laki di sampingnya ikut tersenyum ramah kepada Disa. “Gue kerja di sini juga sama Jeffrey, Hahaha, random banget, ya, semesta?” Lanjutnya.

Disa tertawa canggung, sembari di dalam hati kembali mengutuki takdirnya yang penuh dengan kejutan, seakan tak cukup memberikan shock terapy berupa Bos yang dulunya adalah laki-laki yang ia tolak mentah-mentah, kini mantan pertamanya di masa SMA pun turut hadir kembali di kehidupannya.

“Ohiya, ini Mahesa, dia juga Lawyer di sini.” Ucap Dimas kembali, memperkenalkan laki-laki di sampingnya.

“Salam kenal, Pak-”

“Panggil Esa, aja, Mbak.” Potongnya sembari membalas jabatan tangan Disa segera. “Iya, panggil dia Esa aja, masih muda banget dia, jauh sama lo umurnya.” Ujar Dimas kembali menambahkan.

Canggung tergambar jelas dari wajah Disa, rasanya ingin sekali ia dengan cepat mengakhiri hari ini, melepaskan diri dari banyaknya kejutan lain yang sepertinya sedang menanti.

“Semoga betah, ya, kalo ada apa-apa, lo boleh tanya-tanya gue atau Mahesa, ruangan kita di sana.” Ucap Dimas sembari menunjuk ke arah ruangan yang ada di samping kanan meja kerja Disa. “Yaudah, kita berdua ke ruangan dulu, ya. Banyak berkas yang harus disiapin buat sidang hari ini.” Pamit Dimas seakan peka dengan apa yang Disa rasa.

“Makasih banyak, Kak- Eh Pak, maksudnya,”

“Santai, gausah kaku kalo ke gue, panggil kayak yang biasanya aja.” Balas Dimas lagi.

“Iya, Kak, makasih, ya,” Ucap Disa kemudian.

Setelah memastikan Dimas dan Mahesa sudah benar-benar masuk ke dalam ruangan mereka, Disa segera menjatuhkan pasrah dirinya ke kursinya, kakinya terasa semakin melemas, kalau saja bisa, mungkin ia sudah berteriak kencang saat ini juga, memaki apapun yang ada di sekitarnya untuk menumpahkan apa yang ia rasa.

“Mana sih ini tempat soflensnya?!” Entah sudah keberapa kalinya ia menggerutu kesal, jemarinya dengan tidak sabar mencari-cari di meja kantornya, “Bisa gak, lo gak usah ikut-ikutan nyebelin?!” Ucapnya sendiri terhadap tempat kontak lensa yang terselip di antara tas dan tumpukan kertas di mejanya. Dengan kesal pula ia kembali memakai kontak lensanya tersebut.

Seakan tak diberi jeda, dering dari telpon miliknya terdengar, pertanda adanya panggilan masuk yang ada, “Siapa lagi, sih, ini? ganggu- Eh, Bella,” Emosinya seketika memudar saat melihat nama dari si penelpon tersebut.

“Halo, Bel?” Dengan segera pula Disa mengangkat panggilan tersebut.

“Ca, tadi subuh lo nelpon, ya? Sorry gak keangkat, kenapa ca?”

“Iya, tadi gue nelpon lo, mau-”

“Wait, lo jadi kerja, kan? Jangan bilang lo beneran gak ambil kerjaannya.” Belum selesai Disa menjawab, Bella lebih dulu memotongnya, terdengar sangat khawatir bila Disa benar-benar memilih untuk tidak mengambil pekerjaannya.

“Jadi, jenong. Ini udah di kantor sambil nenteng-nenteng kresek isi kupat tahu, hadeuh.” Keluh Disa tak tertahan, bola matanya memutar kesal saat kembali melihat bungkusan kupat tahu di mejanya itu.

“Hah, kok bisa?”

“Panjang ceritanya, nanti pas pulang gue ceritain, banyak banget yang aneh-aneh di sini, demi tuhan, aneh semua.” Sedikit Disa mencoba menggambarkan apa yang ia alami beberapa jam saat bekerja di Firma Jeffrey, ia tak mungkin menceritakan semuanya saat ini juga, apalagi masih di lingkupan kantor dan masih jam kerja.

“Oke deh, terus nelpon subuh-subuh tadi kenapa?”

Disa tak langsung menjawab pertanyaan itu, ia masih ragu sebenarnya untuk memberitahu maksudnya menelpon Bella subuh tadi, lebih tepatnya, ia masih enggan untuk merepotkan kembali sahabatnya itu.

“Ca? kenapa gak?!” Bella kembali bertanya, terdengar sedikit mendesak agar Disa segara memberitahunya.

“Gak jadi deh, Bel, gue iseng aja, hehehe,”

“Alah, boong. Udah, jujur aja, kenapa?”

Bella sepertinya sudah mengerti tanpa harus Disa beritahu, Bella sangat peka sekali apabila Disa sedang membutuhkan bantuan, ditambah ia juga memahami kondisi Disa yang masih belum stabil perekonomiannya paska mengundurkan diri dari pekerjaan impiannya.

“Gak Enak, Bel, gue selalu-”

“Gak apa-apa, bilang ke gue sekarang.”

“Gue butuh 7 juta, Bel, buat bayar UKT Adek gue, tabungan gue gak cukup buat bayar full ternyata, gue juga belum ada penghasilan, jadi masih kurang sekitar 7 jutaan buat bayar UKT Naufal.” Ungkap Disa akhirnya, ia meruntuhkan ragunya, demi keperluan sang Adik yang sedang berkuliah.

“Gue ada, kok, tenang. Lu kayak sama siapa aja, sih, ragu gitu ngomongnya.” Jawab Bella tanpa ada jeda.

“Serius, Bel?”

“Serius, lo butuhnya kapan?”

“Lusa, sih...,”

“Gue usahain ada buat lusa. Gue sekarang langsung coba ajuin pinjam darurat ke kantor, okay?”

“Kan, nggak usah, deh, Bel, gue udah sering banget repotin lo pake cara itu. Gak jadi, deh, Bel, nanti gue cari pinjaman lain aja.” Tolak Disa tak enak karena sudah beberapa kali ia memakai pinjaman darurat di kantor Bella, walau selalu melunaskan itu, tetap saja Disa tak enak, khawatir berdampak kepada nama baik Bella di kantornya.

“Gapapa, Ca, gue soalnya belum gajian, jadi cuma cara itu paling yang bisa.”

“Nggak, Bella, gak apa-apa, gue coba cari cara lain dulu, gue takut lunasinnya agak jauh dari tanggal seharusnya, terus malah lo yang kena imbasnya. Ini juga baru hari pertama kerja gue, jadi gue belum bisa jamin bisa lunasin uang kantor lo tepat waktu.”

“Kan ada gue, nanti gue tutupin lah pake gaji gue, minggu depan gue udah gajian kok.”

Rasanya Disa ingin sekali menangis, Tuhan memang memberikan banyak sekali ujian kepadanya, namun, Tuhan juga memberikan orang-orang baik berada di kehidupannya. Salah satunya adalah Bella, sahabat yang ia punya sejak di SMA, yang sangat mengerti kondisi Disa, yang akan selalu ada saat Disa membutuhkan bantuan, menjadi telinga yang selalu siap mendengarkan segala bentuk keluh kesah dan cerita Disa.

“Bel..., maafin, ya, gue selalu repotin lo...,” Ujar Disa pelan.

“Apa, sih, Ca, Naufal juga, kan, Adek gue. Walau dia bilang gue bawel kayak ibu tiri, tetep aja gue sayang sama dia, kayak sayangnya lo ke dia.” Balas Bella kemudian.

“Gue bakal lunasin secepatnya, Bel, gue juga bakal cari part time lain deh yang bisa gue kerjain buat nambah-nambah pinjemannya.” Kata Disa sungguh-sungguh.

“Udah, tenang, Ca. Udah dulu atuh, ya? Gue mau absen, terus mau urusin ke bagian keuangan, biar cepet cairnya. Lo baik-baik di sana, jangan bikin masalah, apalagi sama Bos lo, Hahaha.”

“Yeh, ngeledek lo, mah! Yaudah, semangat buat kita, makasih ya Bel sekali lagi, Dadah. Mwahh.” Ujar Disa mengakhiri panggilan telpon tersebut. Kembali helaan napasnya terdenger, ia memejamkan matanya sembari mengusap pelan dahinya, dalam hatinya bertanya-tanya, kapan kiranya Tuhan memberikan kehidupan yang stabil untuk dirinya beserta keluarganya.

Tanpa Disa sadari, dari beberapa waktu lalu, ada sepasang telinga yang tanpa sengaja mendengar percakapannya via telpon, sosok itu berdiri diam di luar pintu masuk ruangan, langkahnya terhenti kala mendengar obrolan serius Disa barusan, niat hatinya tak ingin mendengarkan, namun dirasanya akan lebih canggung apabila ia menampakkan dirinya pada saat tadi.

“Selamat Pagi,” Sapaan tersebut menyadarkan Disa dari lamunan sesaatnya, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang berasal dari pintu masuk ruangan, kedua netranya terhenti seketika sata melihat paras sang pemilik suara, seakan terhipnotis, Disa terdiam dengan mata yang masih tertuju kepada sosok tersebut, bahkan tak berkedip sama sekali.

Disa jelas mengenali wajah itu, namun rasanya sangat berbeda dengan belasan tahun lalu saat terakhir ia melihat sosok tersebut di lapangan sekolah, sedang bermain bola di bawah teriknya matahari. Kini, sosok tersebut menjelma sebagai pria dewasa yang terlihat tampan dengan tampilan yang sangat rapih, bahkan wangi darinya sudah bisa tercium dari jarak yang masih beberapa langkah lagi.

“Selamat Pagi?” Sapanya kembali pada jarak yang lebih dekat, seakan sedang berusaha menyadari Disa yang tiba-tiba kaku tak bisa merespon sama sekali, “Adisa?” Panggilnya lagi, sedikit ragu, karena tak kunjung mendapatkan respon dari Disa sedari tadi.

“Pagi...,” Jawab Disa pelan, masih berusaha untuk menyadarkan dirinya agar kembali normal tak terlihat kikuk dan kaku seperti saat ini. “Pagi, Pak Jeffrey.” Ulangnya lagi, terdengar lebih jelas dan tenang dari sebelumnya.

Senyum tipis tergambar dari ranum bibir milik Jeffrey setelahnya, pembawaan Jeffrey yang tenang dan berwibawa membuat Disa sadar, bahwa sosok di depannya kini sangatlah berbeda dengan Jeffrey yang ia temui di masa SMA.

“Sudah dipesankan semuanya?” Hal tersebut yang pertama kali Jeffrey tanyakan, tak ada sambutan, atau ucapan selamat datang, malah pertanyaan tersebut yang keluar dari bibirnya.

“Sudah, Pak, untuk tiketnya sudah saya bookingkan online, dan untuk kupat tahunya, sudah sesuai dengan arahan yang Bapak berikan.” Jawab Disa berusaha tersenyum ramah kepada Bosnya, walau emosinya kembali membucah apabila teringat kembali perjuangannya mendapatkan kupat tahu sialan titipan bosnya.

“Good, nanti OB yang akan ambil makanannya, kamu langsung bekerja aja, sebagaimana yang Pak Wira arahkan.”

“Baik, Pak.” Jawab Disa masih dengan senyum lembutnya yang terlihat sedikit dipaksakan, tak ada sedikitpun ucapan terima kasih atau semacamnya yang seharusnya ia dengar setelah perjuangan berat dan konyolnya untuk mendapatkan pesanan aneh Jeffrey.

“Nomer rekening kamu langsung kirim ke saya via whatsapp, ya, biar semuanya saya ganti.” Memang Disa butuh segera diganti uangnya, namun, tetap saja ucapan terima kasih atau maaf sudah merepotkan belum juga terdengar di kupingnya, hal tersebut semakin membuat Disa merasa jengkel.

“Baik, Pak, Terima kasih banyak, ya, Pak.” Jawab Disa masih dengan senyumannya, suaranya sengaja ia lebih lembutkan, seakan-akan berusaha mengingatkan kepada Jeffrey bahwa kalimat tersebut seharusnya keluar dari mulut Jeffrey, bukan mulut Disa.

Jeffrey terkekeh kecil mendengar itu, “Sama-sama, Adisa.” Jawabnya seakan sedang memancing agar Disa menanggalkan topeng yang berbentuk senyuman tersebut.

Tak mau kalah, Disa pun ikut terkekeh setelah mendengar jawaban tersebut. Jika saja orang yang berdiri di depannya ini bukanlah Bosnya, sudah Disa pastikan ia akan mengeluarkan kalimat-kalimat pedas yang akan menampar lawan bicaranya tersebut.

“Saya ke ruangan, ya, masih banyak kerjaan yang lagi nungguin saya.” P[amit Jeffrey.

“Oh, iya, silahkan, Pak, Hehehe.” Balas Disa, masih dengan senyuman palsunya itu.

Saat Jeffrey melangkahkan kakinya, meninggalkan Disa, detik itu juga senyuman pada bibir Disa sirna seketika, matanya menatap tajam punggung yang menjauh tersebut, sembari di dalam hati memaki tanpa henti Bos-nya tersebut.

“Eh, iya, Disa,” Langkah tersebut berhenti, dan membalikkan badannya kepada Disa, secara otomatis pula senyuman palsu Disa kembali menghiasi wajahnya, “Besok pagi tolong tukar e-tiket nonton Persib saya, ya?”

“Maksudnya, Pak?”

“Iya, itu nanti tukarkan jadi gelang, di markas kodim yang ada di Jl. Bangka. Pagi-pagi sekali, ya, soalnya ngantrinya pasti banyak banget, kalo kesiangan, kamu nya malah telat kerja nantinya.” Dengan entengnya perintah tersebut keluar dari mulut Jeffrey, Disa masih melongo tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.

“Saya, Pak, yang harus tukarkan?”

“Loh, iya, masa saya?”

“Loh, lebih aneh lagi kalo saya, Pak.” Kali ini Disa tak mau kalah lagi, sudah cukup rasanya dari kemarin ia membiarkan Jeffrey mengerjainya.

“Loh, lebih aneh lagi kalo kamu suruh saya tukarkan sendiri.”

“Bukan nyuruh, Pak...,”

“Saya perintah kamu rasanya gak aneh, tapi kalo kamu tolak perintah saya bahkan sampai suruh saya kerjakan sendiri, itu bakal jadi aneh, Disa.” Balas Jeffrey, tak ingin sedikitpun memberi peluang untuk Disa menang dalam perdebatan ini.

“Wah kacau, sih...,” Timpal Disa tak tahan lagi. “Kacau, jadi ngaco gini jobdesk saya, Pak, merangkap jadi asisten Bapak, ya? Kalau gitu, harusnya kita ubah kontrak kerja, dong, Pak, gak sesuai-”

“Mau naik berapa persen? Silahkan aja, bilang ke Pak Wira, saya langsung acc-kan.”

“Bukan masalah itunya, Pak, tapi kan saya disini sebagai Paralegal, bukan Asisten pribadi Bapak.” Kukuh Disa melawan, bahkan kini senyum di bibirnya tak lagi tergambar, seperti menolak untuk memalsukan terus menerus apa yang ia rasa.

“Tunjukin aja barcode yang ada di e-tiketnya, nanti setelahnya dikasih gelang sebagai bentuk fisik tiketnya. Dari jam 7, supaya gak ngantri sama yang lain.” Ucap Jeffrey, tak mengindahkan protes yang barusan Disa suarakan. “Terima kasih sebelumnya.” Lanjutnya sebelum benar-benar pergi, dan masuk ke dalam ruangan kerjanya.

“Sinting.” Umpat Disa pelan.

Feelingnya benar, hari pertama akan sangat menyebalkan dan buruk. Disa mengerti, Jeffrey sengaja memerintahkan hal yang tak masuk akal untuk menguji dan membalaskan dendam masa lalunya kepada Disa. Untuk saat ini, yang bisa Disa lakukan adalah menahan dirinya untuk tetap bekerja sampai keperluan Naufal terpenuhi, sembari menyusun rencana untuk membalaskan perlakuan Jeffrey dengan caranya sendiri.

Disa tidak pernah mau kalah dalam hal apapun, termasuk dengan Jeffrey, ia tak akan takut, walau lawannya adalah Bosnya sendiri. Bagi Disa, dunianya berjalan layaknya Hukum Hamurabi, Hukum tulis tertua yang ada di bumi. Gigi dibalas gigi, mata dibalas mata.


-Ara.

Alana menghela napas beratnya tanpa henti, menyalurkan sesak di dada yang terasa sedari tadi. Matanya tak kunjung menitihkan bulir bening, membuat sesak yang ia rasa semakin menjadi. Tanpa sadar, tangannya meremas kuat kaus yang ia kenakan.

“Bodoh, Al, bego, goblok, emang lo, tuh, tolol. Gak pantes lo ngerasain bahagia, cinta tulus, kasih sayang, gak pantes.” Ucapnya seorang diri.

Hari ini, tepat di perayaan satu bulannya menjalin kisah kasih bersama Sakha, mata Alana dengan jelas melihat Sakha merangkul mesra mantan kekasihnya. Saat itu juga, tanpa berpikir panjang, Alana segera menghampiri keduanya yang nampak terkejut dengan kedatangan Alana.

Alana marah, namun, entah mengapa rasanya ia tak bisa meluapkan emosinya, sehingga yang ia lakukan hanyalah tersenyum tipis kepada keduanya, sembari mengatakan, “Seneng liat sampah diangkut sama truk sampah. So, ambil dia, gue udah buang dia.” Ucap Alana kepada perempuan berwajah lugu tersebut. “Sakha, mulai sekarang kita putus. Nikmatin pilihan lo, dan tunggu semesta yang bales jahatnya lo ke gue.” sambung Alana kemudian memilih pergi meninggalkan keduanya.

Bohong apabila Alana bilang kepada teman-temannya bahwa ia baik-baik saja. Sekuat apapun Alana menahan, tetap saja sakit di hatinya tak bisa disembunyikan oleh dirinya sendiri yang merasakan.

Temannya pikir Alana benar-benar kuat, sehingga tak terlalu khawatir karena Alana sama sekali tak menitihkan air matanya. Tanpa mereka sadari, bahwa sakit sesungguhnya berasal dari air mata yang tertahan dan menimbulkan sesak yang luar biasa di dada.

“Gak apa-apa, gue udah bisa, kok, sama pola kayak gini. Gue hanya cukup tidur, makan yang enak, dan lupain semuanya. Gampang, kok, Al, lo pasti bisa.” Kembali Alana berbincang dengan dirinya sendiri, walau tangannya masih saja mencengkram kuat kausnya. Ia berusaha tersenyum, bahkan tertawa seorang diri, berharap usahanya tersebut dapat meredakan nyeri di dadanya.

“Gak apa-apa…” kali ini suaranya terdengar lirih.

“Gak apa-apa, kok, Al…” semakin lirih dari sebelumnya.

Kepalanya lalu menunduk dalam, bahunya tak lagi tegap, ia duduk di lantai kosannya seorang diri, dengan lampu kamar yang sengaja ia matikan. “Gak apa-apa….” lanjutnya lagi.

“Emang lo gak ditakdirin bahagia, Al….”

Bahu Alana bergetar setelahnya, isak tangisnya mulai terdengar walau pelan. Namun, pelan tersebut ternyata tak berlangsung lama, karena beberapa detik berikutnya isak tersebut berubah menjadi kencang, tangan Alana yang tadinya mencengkram kausnya berubah menjadi gerakan memukul dadanya secara berulang, menumpahkan segala kecewa dan sedih yang ia rasa.

“Gagal… tuhan kasih gue gagal… mau sampe kapan… hiks… capek… capek….” Rintihnya seorang diri.

Entah untuk yang keberapa kalinya Alana disakiti, hubungan percintaannya selalu berakhir tragis. Entah itu perselingkuhan, tak direstui, dibohongi, rasanya semua bentuk kebrengsekan laki-laki sudah Alana lalui.

“Capek… gue capek gini terus….”

tw // mention of death


Satu jam sudah berlalu setelah isak tangis mewarnai ruang tunggu, Haekal, Hanna, Bi Nur saat ini sudah duduk di bangku yang telah tersedia, Jay masih dengan setia berdiri menanti pintu ICU terbuka, ditambah lagi saat ini sudah hadir keempat sahabat Haekal yang turut menunggu kabar baik dari ruangan tersebut.

Isak tangis mulai mereda, tak sekeras sebelumnya, walau masih saja helaan napas berat terdengar beberapa kali, cemas dan gelisah sama sekali tak bisa ditutupi oleh semua yang berada di ruang tunggu tersebut.

Tak terkecuali dari mereka yang menunggu cemas semuanya memakai baju yang rapih selayaknya menghadiri undangan acara. Tak disangka oleh mereka, baju rapih yang dikenakan untuk datang ke acara ulang tahun Haekal, berakhir di rumah sakit ini.

Tak ada acara tiup lilin dan memotong kue seperti yang direncanakan, tak ada pula hidangan mewah yang seharusnya mereka nikmati, tak ada letusan balon iseng yang mungkin saja akan dilakukan oleh keempat sahabat Haekal. Tak pernah terbayangkan oleh semuanya, pesta kejutan tersebut akan tergantikan oleh kecelakaan tragis yang berhasil membuat 18 tahun Haekal menjadi kelabu tak berbahagia.

“Jam berapa?” bisik Reno kepada Cena yang segera melihat kepada arloji yang ia pakai, Cena tak mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan tersebut, ia hanya memperlihatkan jamnya kepada Reno, “Satu setengah jam lagi ultahnya kelar,” bisik Reno lagi terdengar prihatin setelah melirik sesaat kepada Haekal yang menunduk di bangku tunggu.

“Gak kuat gue,” bisik Jere yang berada di samping kiri Reno, terlihat juga mata Jere yang mulai berkaca-kaca, menahan agar tak jatuh butiran bening tersebut. Reno merespon itu dengan menepuk pelan bahu Jere, berusaha saling menguatkan di saat kondisi seperti saat ini.

Bagi keempat teman Haekal, ini merupakan kali pertama mereka melihat Haekal menunduk pasrah seperti sekarang, Haekal yang mereka kenal, sama sekali tak pernah terlihat sepasrah sekarang, pandangannya yang berani tak sekalipun mereka pernah lihat menunduk lemah.

Mereka sangat paham, Haekal sangat benci dikasihani, namun, untuk saat ini, tak ada lagi selain tatapan iba yang mereka bisa layangkan kepada Haekal. Terlihat jelas oleh siapapun sisi rapuh yang selama ini Haekal sembunyikan, menyadarkan keempat temannya, betapa sulit dan beratnya kehidupan yang selama ini Haekal jalani, dan menjadi hal yang wajar apabila Haekal sering kali memarahi mereka yang kurang mensyukuri kehidupan dan keluarga yang mereka miliki.

Setelah lama menanti, pada akhirnya mereka melihat pintu tersebut terbuka, dan memperlihatkan seorang dokter berusia paruh baya berjalan untuk menghampiri mereka yang sedari tadi sedang menunggu cemas. Semua pandangan tertuju kepada Dokter tersebut, begitupun dengan Haekal dan Hanna yang segera berdiri dari duduknya.

“Saya boleh bicara dengan wali pasien Jovan?” kalimat tersebut yang pertama mereka dengar, nampak juga Dokter mencari sosok yang menjadi Wali Jovan.

“Saya anaknya,” Tanpa ragu, Haekal mengangkat tangannya, dan mendekatkan dirinya kepada Dokter tersebut, sedangkan Hanna segera diam tak mengikuti Haekal, ia sadar, ia bukan termasuk ke dalam wali dari Jovan. Namun, tak lama kemudian, ia merasakan tangannya digandeng oleh seseorang untuk mengikuti langkah Haekal, saat di dilihatnya, ternyata jemari Ibu Jovan yang mengajaknya untuk mendekat kepada Dokter tersebut.

Ketiganya berdiri tepat di depan Dokter tersebut, berusaha untuk menebak arti dari mimik wajah Dokter itu, yang sama sekali tak bisa mereka temui adanya senyum yang menandakan harapan.

“Ayah saya baik-baik aja 'kan, Dok?” tanya Haekal, Dokter tersebut menatap Haekal sendu, terlihat ada keraguan untuknya menjawab pertanyaam tersebut.

“Maaf,” sepatah kata tersebut yang malah terdengar, membuat genggaman tangan Ibu Jovan kepada Hanna semakin erat seakan menguatkan dirinya untuk mendengar lanjutan dari ucapan tersebut. Haekal menggeleng pelan, mencoba memperlihatkan, bahwa bukan kata maaflah yang ingin ia dengar.

“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pasien, namun, tepatnya tadi, setelah melakukan berbagai macam tes yang menunjukan tidak ada reflek otak dari tubuh Pasien, begitupun dengan tanda-tanda vital lainnya, Pasien juga sudah tidak mampu lagi bernapas sendiri.”

“Maksudnya, Dok?”

“Pasien dinyatakan mati otak.” Ucap Dokter tersebut dengan sangat berat hati.

Seperti petir yang menyambar, satu kalimat penjelas tersebut mampu membuat napas mereka tertahan seperkian detik, otak mereka terpaksa mencerna apa yang baru saja didengar, sampai-sampai detik berikutnya Ibu Jovan hampir terjatuh karena kakinya yang tak mampu lagi menopang tubuhnya, untungnya Hanna yang sedari tadi digenggam tangannya, berhasil menahan Ibu Jovan agar tak jatuh ke lantai.

“Kami mohon maaf harus memberitahu kabar ini, kami sudah semaksimal mungkin untuk menyelamatkan Pasien, namun, Tuhan berkata lain.” Kembali Dokter tersebut menjelaskan, Haekal yang sedari tadi mendengarkan, masih berdiri diam di depan Dokter tersebut, tak begitu terlihat ekspresi apa yang ada pada wajahnya saat ini.

“Jadi Ayah saya enggak ada harapan lagi, Dok?” tanya Haekal, suaranya terdengar pelan daripada sebelumnya, dengan berat hati, Dokter tersebut mengangguk merespon pertanyaan Haekal. Melihat itu, semakin menjadi pula isak tangis dari Ibu Jovan, Jay yang tadinya berdiri kaku, segera berjalan menuju Ibu Jovan, dan membantu Hanna untuk memegangi Ibu Jovan, kemudian ia membantu agar Ibu Jovan kembali duduk di bangku sebelumnya.

“Kal,” lirih Hanna pelan, selain rasa hancur yang teramat pedih Hanna rasakan, ia juga merasakan khawatir terhadap Haekal yang sampai saat ini belum sama sekali memperlihatkan emosinya dari raut wajahnya.

Mendengar panggilan pelan tersebut, Haekal menoleh kepada Hanna yang saat ini pipinya sudah dibasahi lagi oleh air mata, samar sekali terlihat ekspresi apa yang ada di wajah Haekal saat menatap Hanna, namun, Hanna dapat melihat manik kesedihan yang mendalam dari mata Haekal. Saat ini Haekal sedang berusaha menyembunyikan rasa hancurnya di depan Hanna.

“Mah, Ayah kesakitan kalau gini terus, ya?” tanya Haekal.

Hati Hanna terasa semakin pedih saat mendengar pertanyaan tersebut, linangan air mata semakin deras membasahi kedua pipinya, kemudian Hanna mengangguk menjawab pertanyaan tersebut.

“Kalau alat-alat medisnya dilepas, Ayah sudah pasti meninggal, ya?” kembali Haekal bertanya, namun, kali ini tak satupun yang mampu menjawab pertanyaan tersebut. Semua yang ada di sana hanya mampu menunduk saat mendengar pertanyaan yang sangat menyakitkan tersebut.

Semua harapan sudah pupus barusan, keajaiban yang sedaritadi mereka nanti bak fana belaka yang tak akan pernah terwujudkan. Semuanya telah sirna, seakan semesta benar-benar tak mendukung kebahagiaan yang Haekal dambakan bertahan dalam waktu yang lama, seolah semua skenario sudah diatur sedemikian rumitnya untuk menghancurkan perasaan Haekal entah untuk kesekian kalinya.

Terlampau hancurnya, sampai-sampai Haekal tak mampu lagi menangisi takdir hidupnya, semua tertahan kembali membuat dadanya terasa sakit bukan main, ditambah lagi melihat sekelilingnya yang menangis perih.

“Ayah pernah bilang, kalau terjadi sesuatu yang buruk, Ayah udah bikin pernyataan kalau Ayah bersedia mendonorkan organ tubuhnya. Berarti dalam kondisi ini, ya, Dok?”

“Kal ...,” lirih Hanna lagi saat mendengar perkataan Haekal barusan.

“Ayah bilang itu, Mah, bahkan Ayah berhenti merokok untuk mempersiapkan diri kalau memang hal buruk terjadi.” jawab Haekal, Jay kemudian mengangguk, membenarkan perkataan Haekal, walau sangat berat juga untuk Jay merelakan, namun, hal tersebutlah yang sudah Jovan persiapkan selama hidupnya.

“Benar, Pasien sudah mendaftarkan dirinya untuk menjadi pendonor apabila suatu saat dinyatakan mati otak. Namun, tetap saja, kami masih membutuhkan izin dari pihak keluarga terkait hal ini.” ujar Dokter menanggapi prihal pendonoran. Terlihat sangat berat sekali dari mata Hanna untuk menyetujui itu, namun, Hanna juga tersadarkan bahwa yang berhak menolak atau mengizinkan hanyalah Haekal dan Ibu Jovan, ia sama sekali tak mempunyai hak atas itu.

“Kami bisa beri waktu untuk pihak keluarga berdiskusi−”

“Saya setuju,” tanpa diduga, Ibu Jovan yang terduduk lemas di bangku tunggu, memotong perkataan Dokter, “Biarkan keinginan anak saya dilakukan, sakit sekali hati saya sebenarnya untuk merelakan, tapi ..., keinginan Jovan harus tetap dilakukan.” sambung Ibu Jovan.

Hanna yang mendengar itu, segera menatap Ibu Jovan, dari tatapannya, Hanna seperti berusaha untuk memberitahu Ibu Jovan agar memikirkan lagi terkait hal tersebut, namun, tatapan tersebut hanya dibalas dengan anggukan kecil oleh Ibu Jovan, “InsyaAllah, saya ikhlas kalau memang ini jalannya.” ucapnya lagi dilengkapi dengan rintihan rasa sakit untuk merelakan, Jay yang duduk di sampingnya dengan segera merangkul Ibu Jovan yang tangisnya semakin deras.

“Saya juga ikut setuju, Dok ...,” Haekal ikut menimpali, tatapannya kosong memandang ke arah pintu ruangan yang di dalamnya terdapat sang Ayah dengan berbagai macam alat medis yang menempel di badannya. “Tapi saya mohon, jangan sampai Ayah merasakan sakit yang teramat, ya, Dok? Sudah cukup selama ini Ayah menahan segala bentuk sakit. Tolong, perlakukan Ayah dengan sangat baik mungkin nanti ketika organ-organnya diambil ....” lanjut Haekal lagi, kali ini suaranya terdengar bergetar karena tangisnya yang berusaha ia tahan agar tak berjatuhan lagi.

Semua yang berada di lorong tersebut tak kuasa menahan tangis mereka, terlebih setelah mendengar ucapan Haekal barusan, bahkan keempat sahabat Haekal saat ini semuanya menunduk dengan tangan yang berusaha menutupi wajah mereka, bahu mereka pun ikut bergetar hebat karena tangisan.

“Kal ...,” masih Hanna mencoba menahan, setidaknya bukan saat ini untuk merelakan Jovan. Mendengar lirihan sang Mamah, Haekal menggerakkan beberapa langkah kakinya untuk mendekati sang Mamah, kemudian ia memeluk sang Mamah erat.

“Mau Haekal juga sama, Mah, mau lihat Ayah terus, tapi ..., pasti di dalam sana Ayah lagi ngerasain sakit yang bukan main dengan alat-alat medis yang ada di badannya. Dan, Ayah pasti bakalan bahagia banget karena keingannya untuk terus bermanfaat bagi yang lain terwujud. Mah, sulit sekali, berat juga, tapi ..., kita enggak bisa egois, kan?” bisik Haekal berusaha meyakinkan Mamahnya. Hanna tak menjawab, tangisnya pun semakin deras, dapat Haekal rasa dari bajunya yang basah karena tangis Hanna.

“Ya, Mah? kasihan Ayah kalau terlalu lama di dalam sana, Haekal enggak tega kalau sampai nanti Ayah ngerasain sakit yang gak ketahan lagi. Kalau memang masih ada harapan untuk Ayah, Haekal pasti akan tunggu sampai kapanpun itu, seberapapun itu akan Haekal usahakan. Tapi, Mah, sekarang kondisinya udah beda ....” kembali Haekal berusaha memberikan penjelasan kepada Hanna yang nampak masih berat untuk merelakan Jovan.

“Ya, Mah?” tanya Haekal sekali lagi, dan dirasanya sebuah anggukan dari Hanna yang terasa oleh bahu Haekal. Seulas senyum tipis terukir di bibir Haekal, sangat sakit di dalam hatinya, namun ia merasakan lega karena sudah berhasil membantu Ayahnya mewujudkan keinginan yang selama ini sudah dipersiapkan oleh Sang Ayah selama hidupnya.

Dengan sangat hati-hati, Haekal melepaskan pelukannya, dan menuntun sang Mamah untuk kembali duduk di bangku sebelumnya, bersampingan dengan Ibu Jovan.

“Sudah aman semuanya, Dok,” ujar Haekal kepada Dokter tersebut yang masih menunggu persetujuan dari semuanya.

“Baik, akan saya lakukan. Kita bisa melaksanakan operasinya sekarang juga. Saya segera memberitahukan beberapa rumah sakit yang akan menerima organ dari Pasien, dan memberikan kepada prioritas yang membutuhkan” Ucap Dokter tersebut, dan segera dibalas anggukan oleh Haekal.

“Saya pamit untuk mempersiapkan operasinya, nanti akan ada suster yang mengarahkan segala terkait persuratan dan yang lainnya, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” lanjutnya, tak lupa juga ia membungkuk untuk berterima kasih kepada semuanya yang sudah dengan lapang hati memberi izin untuk mendonorkan organ-organ yang masih layak untuk kehidupan orang lain yang membutuhkan.

Saat Dokter tersebut hendak melangkahkan kakinya untuk meninggalkan ruang tunggu, Hanna tiba-tiba berdiri dan menahan lengan dari Dokter tersebut, sontak langkah kaki dari Dokter tersebut terhenti.

“Dok, ini masih di hari ulang tahun anak saya,” ujar Hanna dengan suara pelannya yang semakin melemah, “Saya boleh minta tolong untuk tunda operasinya sebentar aja? Seenggaknya Jovan masih dinyatakan hidup di hari ini, Dok, kasian anak saya kalau tahun seterusnya nanti akan mengenang kematian Ayahnya tepat di hari ulang tahunnya ...,” pinta Hanna.

Dengan tatapan iba yang teramat, Dokter tersebut akhirnya mengangguk menyetujui permintaan Hanna barusan, “Baik, operasi dimulai satu jam lagi, bertepatan dengan pergantian hari. Sebagai bentuk terima kasih, saya memperbolehkan 1 orang saja untuk masuk ke dalam menemui pasien, tapi maaf, saya tidak bisa memberi waktu yang lama, karena kami harus segera mempersiapkan operasi pada pasien.”

“Terima kasih, Dok, terima kasih sekali ....”


Tepatnya di ruang yang dipenuhi berbagai macam alat-alat medis Haekal duduk di kursi yang disediakan, tepat di samping ranjang besar yang tengah ditiduri oleh Ayahnya. Yang hanya bisa Haekal dengar saat ini adalah bunyi dari beberapa alat medis yang membantu Ayahnya untuk bisa bernapas hingga saat ini.

Rasanya tak tega melihat bagaimana tubuh sang Ayah ditusuki oleh berbagai jarum yang tajam itu, belum lagi dengan banyaknya perban di tubuh sang Ayah, bahkan saat ini Haekal tak bisa melihat dengan jelas bagaimana paras tenang dari wajah sang Ayah karena tertutupi oleh perban, dan pula Cervical collar yang menopang lehernya.

Haekal hanya diberi waktu sepuluh menit untuk menemui sang Ayah di ruangan ini, rasanya sepuluh menit sangatlah sedikit baginya melihat sang Ayah untuk yang terakhir kalinya. Namun, seberapapun waktu yang diberikan, Haekal hanya bisa bersyukur dan menggunakan waktunya sebaik mungkin.

“Ayah ...,” panggil Haekal pelan, walau ia tahu sampai kapanpun Jovan tak akan pernah bisa menjawab panggilannya, namun, Haekal akan tetap memanggilnya, panggilan yang selama ini Haekal dambakan, yang ternyata hanya beberapa bulan saja bisa ia ucapkan.

“Waktu berlalu begitu cepat, ya, Yah? Entah terlalu cepat berlalu, entah memang kesempatan yang diberikan untuk kita begitu singkat ...,” lanjut Haekal kembali, matanya yang sudah merah akibat tangisnya yang sedari tadi tak berhenti, menatap dengan sendu ke arah sang Ayah yang tertidur kaku di depannya.

“Saking singkat dan cepatnya, saya masih bisa ingat dengan jelas detail-detail yang sudah kita lewati. Di awali dengan pertemuan karena Darto di ruang BK, sampai sekarang kembali kita dipertemukan di ruang ICU yang dipenuhi alat-alat menyeramkan ini. Tentu, saya enggak akan ngerokok seperti biasanya, Yah, haha ...,” tawa Haekal pelan, sudut matanya kembali berair, menandakan bulir bening akan kembali hadir membasahi wajahnya.

“Ayah sudah janji mau jemput saya ke rumah, saya tunggu Ayah, tapi ternyata, jadinya saya yang temuin Ayah. Kali pertama Ayah ingkar janji kepada saya,” lagi, Haekal tak berhenti untuk mengajak Jovan berbicara, seakan-akan yang ada di depannya saat ini adalah manusia sehat yang bisa diajak komunikasi dengan normal.

“Yang ada di otak saya saat siap-siap pakai baju di rumah tadi adalah kejutan terindah di ulang tahun saya. Ada berbagai skenario jelek dari sahabat-sahabat saya yang akan memancing emosi saya, kemudian ada kue ulang tahun yang tiba-tiba datang dan dibawa oleh Ayah Mamah, setelahnya saya akan berdoa di depan kue tersebut yang mana doa saya semuanya akan tertujukan untuk kebahagian Ayah dan Mamah, kemudian bersama-sama kita akan tiup lilin di kue tersebut. Ah, indah sekali, walau ternyata itu semua hanya berakhir sebagai imajinasi yang saya ciptakan.”

“Ah Ayah, segala yang indah di hidup saya memang sulit ternyata untuk diwujudkan. Mungkin memang seperti itu kali, ya, suratan takdir yang Tuhan beri untuk saya ...,” kalimat Haekal terhenti karena air matanya yang kembali berjatuhan, walau sudah ia coba tahan sekuat tenaga.

“Ah, maaf, Ayah, saya lagi-lagi jadi anak laki-laki yang cengeng di depan Ayah,” sambungnya, dengan jemarinya yang dingin, Haekal mengusap kasar wajahnya. “Susah, Yah, untuk ditahan. Sesak sekali rasanya, Yah, izinkan saya menangis, ya, Yah?”

Hampir satu menit berlalu dengan tangisan Haekal yang tak kunjung berhenti, ia juga beberapa kali memukul dadanya untuk menyalurkan rasa sakit yang ia rasa. Tak ada tangan hangat milik Jovan yang biasanya mengusap bahu Haekal untuk menguatkannya yang sedang merasa lemah.

“Ayah ...,”

“Ayah ...,”

“Ayah ..., bukannya terlalu cepat untuk Ayah pergi meninggalkan Haekal di sini?” rintih Haekal penuh sakit disetiap kata yang ia ucap.

“Masih banyak yang belum kita lalui bersama 'kan, Yah? Bikin SIM, cobain menu kopi baru di kedai Janu, diskusi ringan waktu hujan, cobain warung pecel lele lainnya sama Mamah, bikin nasi goreng bareng-bareng, nonton piala dunia yang beberapa bulan lagi bakalan mulai, ah, Ayah ..., masih terlalu banyak yang belum selesai kita lalui bersama.”

“Bahkan untuk sekedar tiup lilin bersama, Tuhan gak kasih kita kesempatan ....”

“Walau cuma berdua di ruangan ini, saya bolehkan, Yah, rayakan ulang tahun sama Ayah, untuk yang pertama, dan terakhir kalinya ...,” dengan teramat sesak, Haekal tetap melanjutkan bicaranya kepada Jovan, dengan napasnya yang berhembus berat, Haekal masih ingin berbicara dengan Ayahnya.

Detik berikutnya, Haekal mengusap pipinya sendiri, berusaha menghentikan air matanya agar tak jatuh lagi, “Tahan, Kal, sebentar, tahan ...,” ucap Haekal pada dirinya sendiri, mencoba untuk mengontrol dirinya. Hingga pada akhirnya, tetes air matanya berhenti jatuh seperti sebelumnya, walau isaknya sesekali masih terdengar karena tangisan hebat sebelumnya.

Happy birthday to me ...,” Haekal dengan suaranya yang pelan memulai nyanyian ulang tahun seorang diri di depan Jovan yang terbaring kaku.

Happy birthday, happy birthday, happy birthday, Haekal ....” sambung Haekal menyanyikan lagu tersebut dengan perasaan yang hancur. Ia benar-benar tak menyangka akan menyanyikan lagu ini seorang diri, di depan Ayahnya yang secara hukum sudah dinyatakan mati tak bernyawa lagi.

“Seharusnya tiup lilin, tapi di sini gak boleh, gak ada kue ulang tahun juga, Yah, jadi langsung doa aja, ya?” kata Haekal, kemudian ia segera menundukan kepalanya, khusu' dengan doa yang sedang ia panjatkan, sampai akhirnya, ia kembali mengangkat pandangannya, dan tersenyum kepada Jovan.

“Sudah, Yah, doanya sederhana, kok, Haekal minta ke Tuhan untuk nanti diberikan kesempatan lagi jadi anak Ayah, tanpa sedikitpun membawa celaka dan petaka seperti di kehidupan sekarang.” ucapnya masih dengan senyum yang tergambar.

“Waktunya sudah habis, Yah, Ayah harus siap-siap untuk mewujudkan keinginan terakhir Ayah, dan saya ..., harus mengikhlaskan Ayah mulai dari sekarang.”

Haekal berdiri dari duduknya, kemudian melangkah maju mendekati Jovan, dengan sangat hati-hati sekali, Haekal mengusap jemari Jovan yang masih nampak beberapa luka yang belum mengering di sana, kemudian ia mencium tangan Jovan untuk yang terakhir kalinya, segera ia jauhkan wajahnya saat dirasanya air mata kembali mendesak untuk berjatuhan lagi, khawatir air matanya yang jatuh terkena luka dari sang Ayah, dan membuat Ayahnya merasakan perih yang bertambah di sekujur tubuhnya.

“Terima kasih sudah ada di dunia ini, Ayah ..., Terima kasih selalu menjadi sosok baik bahkan sampai napas Ayah enggak berhembus lagi. Maaf ..., maafkan Haekal yang masih belum mampu membahagiakan Ayah, ampuni Haekal yang dulu sampat melukai hati Ayah. Ayah ..., sampai kapanpun, Haekal akan tetap bangga dengan Ayah, Ayah Jovan yang selamanya akan menjadi Ayah terhebat yang satu-satunya Haekal punya.”

“Ayah, maaf, ternyata Haekal memang benar definisi dari celaka yang sebenar-benarnya ada di dunia ini. Di kehidupan lainnya, Haekal janji, hanya bahagia yang akan Haekal beri untuk Ayah dan Mamah. Ayah ..., terima kasih, Haekal pamit pergi, ya?”

Dengan hati yang berat, Haekal berjalan pergi meninggalkan sang Ayah di ruangan itu, kakinya terasa berat sekali untuk melangkah pergi, pandangannya teramat kabur karena bulir bening yang membanjiri. Ingatannya hanya mampu berputar pada senyum hangat milik sang Ayah yang beberapa bulan ini menghiasi harinya, di dalam otaknya yang terputar hanyalah suara-suara menenangkan yang biasanya terucap dari bibir Ayahnya.

Sampai pada akhirnya, langkah kakinya berhasil kembali pada lorong tempat menunggu tadi, segera ia disambut oleh keempat sahabatnya yang langsung memeluk Haekal erat, menguatkan Haekal yang teramat rapuh saat ini. Tak ada lagi gengsi yang biasanya Haekal junjung tinggi, ia saat ini hanya mampu membalas pelukan sahabatnya sembari menangis terisak tanpa henti, menyalurkan segala pedihnya di depan keempat sahabatnya.

“Runtuh ..., dunia saya rasanya runtuh. Lagi lagi duka, hidup saya hanya dipenuhi duka ....” ucap Haekal di sela-sela tangisnya.

Memang benar, semua masalah yang ada di dunia ini akan terasa baik-baik saja, namun tidak apabila ditinggal mati oleh orang tua. Setiap anak akan merasa hancur tak karuan, perasaan sakit menusuk bak belati apabila membayangkan bagaimana hari esok tanpa orang tua di sampingnya. Seperti itulah yang Haekal rasa, seketika dunianya terasa runtuh berantakan setelah ditinggal mati oleh sang Ayah yang selama ini ia idam-idamkan kehadirannya.


“Operasi pengangkatan organ tubuh pasien Jovan sudah berhasil kami lakukan, tepat pada pukul 01.29, pasien dinyatakan meninggal dunia.”

IMG-20220406-WA0032

-Ara.

IMG-20220324-WA0055

Banyak sekali kejadian yang berlalu dengan sangat cepat di dunia ini, yang mampu membuat manusia merasakan kekosongan secara tiba-tiba. Entah itu kepergian, kehilangan, atau bahkan perpisahan untuk selamanya. Banyak yang percaya, bahwa hal tersebut berhubungan dengan takdir dari Sang Pencipta, yang secara paksa, mau atau tidak mau, siap atau tidak siap, harus diterima oleh manusia.

Karena paksaan untuk menerima, sering kali manusia merasa bahwa hidup berjalan dengan tak adil. Untuk mereka yang terus-terusan diterpa kehilangan, dan perpisahan, dipaksa tegar menghadapi takdir justru membuat mereka tersiksa, merasa dirundung dengan rasa bersalah karena beranggapan hal tersebut terjadi karena dirinya yang selalu menjadi sial bagi orang sekitarnya.

Sama persis dengan apa yang sedang Haekal rasakan saat ini, semua terasa tak nyata baginya, dan berlalu begitu cepat sehingga untuk percaya pun menjadi hal yang sangat sulit untuk diterimanya. Yang Haekal ingat, saat ia sedang menuruni anak tangga untuk menunggu kedatangan sang Ayah, tiba-tiba sebuah panggilan telpon masuk ke ponselnya, masih Haekal ingat dengan jelas bagaimana panik suara yang terdengar, memberitahu kepadanya bahwa telah terjadi kecelakaan yang menimpa sang Ayah.

Sempat Haekal enggan percaya, dirinya menganggap telpon tersebut hanyalah bagian dari kejutan ulang tahunnya. Bahkan, Haekal juga sempat tertawa, dan meminta agar tak perlu sebegitu totalitasnya dalam menyiapkan kejutan untuknya. Namun, tawanya sama sekali tak terbalas, yang ada hanya suara bergetar di sebrang telpon itu, memberitahu bagaimana parahnya kondisi Jovan saat ditemukan. Sampai akhirnya, sekarang, dengan napas yang teramat berat untuk dihembuskan, Haekal menunggu di depan pintu bertuliskan “ICU”.

Bukan ini yang Haekal harapkan, bukan kejutan luar biasa seperti sekarang yang Haekal butuhkan. Baru beberapa puluh menit ia mendengar doa penuh harap dari sang Ayah, lengkap dengan janjinya yang akan datang menjemput Haekal untuk merayakan ulang tahunnya. Namun, yang terjadi sangatlah berbeda dengan janji itu, Haekal lah yang datang menemui Jovan, tak ada pesta, tak ada kue ulang tahun yang diharapkan, yang ada hanyalah dinginnya ruang tunggu rumah sakit, dan keheningan yang melanda, pun ia hanya ditemani oleh sang Mamah yang juga ikut terdiam di sebelahnya.

Sudah lima belas menit menunggu, tak kunjung juga ada kabar dari ruangan tersebut. Pun Haekal masih berharap, barangkali akan muncul sang Ayah dari balik pintu tersebut, tersenyum ke arahnya sembari membawakan kue yang dilengkapi oleh lilin ber-angkakan 18 untuknya. Namun, harapan itu segera patah saat Haekal lihat lagi jaket coklat milik Ayahnya yang sedang dipegang oleh Mamahnya dipenuhi dengan merahnya darah.

“Ayah bakalan baik-baik aja 'kan, Mah?” setelah sama-sama diam, pada akhirnya Haekal memberanikan dirinya untuk bertanya kepada sang Mamah.

Tak segera pula Haekal diberi jawaban oleh Hanna, sempat beberapa detik Hanna masih diam, menatap kosong jaket yang sedang ia pegang, kemudian beralih untuk menatap Haekal dengan kedua matanya yang terlihat sangat sembab, kemudian satu senyuman Hanna berikan kepada Haekal, “Iya, Kal, Ayah kamu pasti bakalan baik-baik aja.” jawab Hanna dengan suaranya yang terdengar begitu lemah. Walau senyum tergambar di wajah Hanna, Haekal merasa senyum itu sangatlah berbeda, terkesan dipaksakan, dan terlihat sekali dengan senyuman itu Hanna mencoba menyembunyikan sedihnya di depan Haekal.

“Kalau aja Ayah gak jemput Haekal, ya, Mah, pasti−”

“Sssttt, kita tunggu aja, ya, pasti bentar lagi Ayah kamu sadar.” terlebih dahulu Hanna memotong ucapan Haekal, ia tak mau Haekal khawatir berlebih, dan pula Hanna tak mau mendengar kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Haekal memutuskan untuk diam dan berhenti bersuara, meminimalisir pikiran negatif yang ada dipikirannya. Tak ada lagi yang mampu Haekal lakukan selain berdoa di dalam hatinya penuh pinta kepada Tuhan, sembari menunduk lemah.

Ingin sekali Haekal menangis kencang, menyalurkan rasa perih yang hatinya rasa, namun, sebisa mungkin ia coba tahan, mengingat di sampingnya saat ini ada sang Mamah yang berusaha terlihat tegar, mana mungkin bagi Haekal menangis di saat seperti ini, ia harus menjadi sosok kuat untuk Mamahnya.

Haekal lalu menyalurkan rasa sesaknya melalui cengkraman keras terhadap ujung jaket yang ia kenakan, sekeras mungkin ia cengkram, sembari menahan agar tak ada satupun bening yang berhasil jatuh dari pelupuk matanya. Namun, yang terjadi berikutnya ialah, ia merasakan tubuhnya ditarik oleh Sang Mamah, sehingga saat ini ia sudah berada dalam dekapan Mamahnya. Saat itu juga Haekal rasakan punggung diusap oleh tangan lembut Hanna, begitupun dengan belakang kepalanya, membuat Haekal merasa tak sanggup lagi menahan semua yang ia rasa.

“Jangan ditahan, Kal, nanti malah sakit dan sesak. Nangis aja, ya, ada Mamah,” bisik sang Mamah di telinganya, seketika air mata yang tadinya mati-matian Haekal tahan, luruh tak tertahan. Ia terisak-isak dalam dekapan sang Mamah yang terasa semakin erat mengikuti derasnya air mata Haekal.

Beberapa kali Haekal menyalahkan dirinya sendiri dalam tangisnya, Haekal juga tak peduli lagi dengan tangisnya yang cukup kencang, ia mirip sekali seperti anak kecil yang baru saja kehilangan mainan berharga yang sangat ia sayang. Yang Hanna mampu lakukan hanyalah memberikan pelukan hangat beserta usapan lembut untuk menenangkan dan menyadarkan Haekal, bahwa masih ada bahu dan dekap yang ia punya ketika merasa hancur seperti sekarang. Walau ingin juga Hanna menangis sepereti Haekal, sekuat mungkin ia tahan, ia harus menjadi Ibu yang kuat dan tegar di samping anaknya yang teramat rapuh karena terus-terusan dipermainkan oleh takdir kehidupan.

“Saya ..., sial ya ..., hadir saya selalu membawa sial bagi yang lain, Mah ...,” suara bergetar Haekal yang menyalahkan dirinya sendiri tak henti-hentinya Hanna dengar, sengaja Hanna tak menjawab dan meluruskan perkataan tersebut, ia ingin membiarkan Haekal melepaskan segala yang ia tahan dan pendam sedari tadi, agar tak ada lagi sesak tertahan yang anaknya rasakan.

“Ayah ..., saya takut ..., Mah, Ayah pasti sehat lagi kan ...”

“Ayah belum antar saya bikin SIM, Ayah ..., jangan dulu ....”

“Ayah salah, saya ..., saya selalu jadi celaka dan petaka, Mah ....”

Begitu sakitnya hati Hanna mendengar rintihan itu, ia bahkan tak mampu menjawab, hanya untuk menenangkan Haekal. Dalam hati Hanna menjerit penuh sesak, menyalahkan jalan kehidupan mereka yang terasa sangat berat untuk dilewati, dan juga terlalu banyak duka menghampiri tanpa kenal lelah menguji dirinya dan Haekal.

Namun, begitu parah sesak yang ia derita, air mata Hanna enggan untuk meluruh, ia benar-benar dipaksa kuat saat ini, sehingga air matanya terasa kering, sama sekali tak bisa untuk ditumpahkan lagi saat ini. Bagi Hanna, tak ada yang lebih menyakitkan dibanding rasa sesak yang tak dapat terluapkan karena merasa tak punya kuasa hanya untuk menangis saja.

“Maafkan Mamah, ya, Kal ...,” pada akhirnya, hanya kalimat pelan itu yang terucap dari bibir Hanna, masih dengan posisi memeluk sang Putra yang belum selesai menangis sembari menyalahkan diri sendiri.

Butuh waktu beberapa menit untuk Haekal berhenti terisak, walau air mata masih saja berjatuhan dari kedua matanya. Hanna masih belum melepaskan pelukannya, ia menunggu Haekal benar-benar merasa tenang, masih juga ia dengan setia mengusap bahu sang Anak, berharap usapan itu bisa memudarkan sedih teramat yang sedang anaknya rasakan.

“Sudah tenang?” tanya Hanna pelan. Haekal tak menjawab dengan suara, namun Hanna dapat merasakan anggukan dari Haekal yang terasa pada bahunya. Dengan sangat hati-hati, Hanna melepaskan pelukannya. Terlihat jelas bagaimana mata sembab Haekal, detik berikutnya, jemari Hanna terangkat untuk mengapus bekas air mata yang membasahi pipi Haekal, senyum lemah tergambar sembari manatap kedua netra sang Anak, “Ayah kamu pasti bertahan, Kal. Dia itu manusia kuat, percaya dan berdoa, ya?” lembut tuturnya dibalas langsung dengan anggukan oleh Haekal. Walau dalam hati keduanya merasa ragu Tuhan akan berbaik kepada mereka, melancarkan semuanya, dan memberikan akhir yang indah bagi kehidupan mereka.


Kembali diam melanda keduanya, bedanya saat ini, dengan setianya jemari Hanna mengusap tangan sang Anak yang terasa sangat dingin, tak henti-hentinya ia berusaha menenangkan Haekal, dan menyadarkan Haekal bahwa saat ini ada Hanna yang akan selalu ada di sampingnya untuk menghadapi segala macam rencana semesta untuk mereka.

“Bu Hanna, Haekal,” terdengar suara panggilan dari lorong tunggu, diiringi dengan langkah kaki yang terkesan tergesa-gesa, baik Hanna maupun Haekal segera menoleh ke arah panggilan itu. Dilihat mereka, Theo, kuasa hukum Tama yang sedang berjalan cepat hendak menghampiri mereka, sembari menenteng sebuah flashdisk di tangan kanannya.

Saat sampai dan berdiri di hadapan Hanna dan Haekal, Theo terlebih dahulu mengantur napasnya agar jelas menyampaikan berita kepada mereka, “Ada apa, Pak Theo?” tanya Hanna penasaran, apalagi dengan flashdisk yang sedang Theo pegang saat ini. Walau tak ikut bersuara, Haekal terlihat tak kalah penasaran juga dengan apa yang akan Theo sampaikan, mengingat Theo lah yang segera memeriksa TKP untuk menemukan penyebab kecelakaan.

“Ini,” dengan serius Theo memulai laporannya, ia menunjukan flashdisk tersebut kepada Hanna dan Haekal, “Rudi yang rencanakan semuanya. Walau sedikit tidak jelas di rekaman CCTV, tapi saya bisa pastikan ini adalah Rudi, buronan yang selama ini kita cari. Dan dia dalang dari kecelakaan yang menimpa Pak Jovan.” sambung Theo menjelaskan.

“Rem dibuat tidak bisa berfungsi sama sekali, dan sama sekali tidak ada cara untuk menghentikan laju mobil. Begitupun dengan kecepatan mobil yang diatur terus melanju lebih kencang secara bertahap.” Lanjut Theo lagi berusaha menjelaskan sebaik mungkin dan setenang mungkin agar Hanna dan Haekal mampu memahami dengan baik.

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir keduanya, mereka menatap tak percaya ke arah Theo, membuat Theo kebingungan sendiri, khawatir terdapat kesalahan pada penjelasannya.

“Maaf, saya salah mungkin, ya, maaf−”

“Biadab,” desis Haekal diiringi dengan dirinya yang bangkit berdiri, seketika Theo menghentikan ucapannya dan memilih diam, “Saya harap dia mati dalam keadaan busuk, dan masuk ke dalam neraka yang paling hina di atas sana. Bangsat!” hardik Haekal tak tahan, tangannya sudah mengepal keras, begitupun dengan kedua alisnya yang bertaut menandakan amarah yang ia rasa sudah teramat memuncak.

Theo menunduk mendengar cacian Haekal yang termakan emosi, ia paham, siapapun yang ada di posisi Haekal saat ini, pasti sangat murka, terlebih lagi, si penjahat sudah memilih mati, sehingga untuk meluapkan emosi secara langsung sudah tak bisa lagi dilakukan.

Hanna hanya mampu memejamkan matanya, meringis tiap kali mendengar suara dari pukulan Haekal ke dinding rumah sakit yang entah sudah keberapa kalinya. Ia belum bisa menahan Haekal yang saat ini sedang meluapkan murkanya, ia hanya mampu menunggu Haekal perlahan tenang. Walau jauh di dasar hatinya, Hanna ikut menyumpahi Rudi dengan berbagai sumpah serapah terburuk yang Hanna yakini akan diamini oleh semesta, dan akan di balas nantinya di alam yang berbeda.

“Dia gak boleh mati dulu! Dia harus saya hajar, dia harus merasakan sakit secara perlahan sampai-sampai matilah yang jadi harapan satu-satunya yang dia punya. Ini enggak adil, dia harus mati!” murka Haekal tanpa henti.

“Bajingan!” teriak Haekal sedikit tertahan, detik berikutnya ia terduduk dengan kedua lutut yang bertumbuh, “Bajingan itu ...,” lanjutnya lagi dengan suara bergetar, dapat Hanna lihat kedua pundak Haekal yang bergetar, menandakan Haekal yang kembali menangis seperti sebelumnya.

Walau rasanya lemah sekali, dengan sekuat tenaga Hanna beranjak untuk menghampiri Haekal yang tertunduk, beberapa tetesan darah akibat luka di jemari Haekal terlihat berceceran di lantai. “Pak Theo, maaf, saya boleh minta tolong ambilkan obat luka, atau boleh juga perawatnya langsung dipanggil ke sini? Tangan Haekal banyak lukanya.” pinta Hanna dengan suara pelannya, segera Theo mengangguk dan meninggalkan ruangan tersebut untuk segera memenuhi permintaan Hanna barusan.

Dengan pelan Hanna mengambil tangan Haekal yang terdapat banyak sekali luka disekitar buku-buku jarinya, menatap jemari tersebut yang mulai dipenuhi kemerahan memar dan beberapa tetes darah. “Sakit, Kal, tahan, ya ...,” ujarnya.

Haekal lantas menggeleng, mata merahnya ikut menatap memar pada tangan kanannya, “Enggak seberapa sakitnya, Mah, dibanding harus melihat Ayah tersiksa di dalam sana akibat ulah manusia bajingan yang enggak tau malu yang hati nuraninya sudah mati.” jawab Haekal masih dengan amarahnya.

“Duduk lagi di bangku, ya, Kal, di sini dingin.” bujuk Hanna hendak membantu Haekal untuk bangkit, namun, tak ada respon sedikitpun dari Haekal, “Kal?” panggil Hanna, kemudian di respon Haekal dengan menggelengkan kepalanya. Hanna pun tak punya tenaga lagi untuk meminta lebih, sehingga yang bisa ia lakukan hanyalah menyamakan posisi duduknya seperti Haekal, di lantai dingin rumah sakit tanpa beralaskan apapun.

Haekal yang menyadari sang Mamah mengikutinya, segera menoleh khawatir, dan melihat bagaimana wajah lelah Hanna di sampingnya, “Mah ...,” lirih Haekal, amarahnya perlahan luruh ketika melihat wajah sang Mamah yang sudah lemah namun nampak mencoba tegar menemani Haekal, “Yuk duduk di bangku lagi, Mah, Haekal bantu, ya.” ucap Haekal, kemudian membantu Mamahnya untuk bangkit dari sana. Hanna tersenyum, dan kembali duduk di bangku tunggu, ditemani oleh Haekal yang berada di sampingnya.

“Maafin Haekal, Mah, harusnya Haekal bisa tahan emosi di depan Mamah. Maaf, Mah ...,” mendengar itu, Hanna menoleh kepada anaknya, ia mengusap kembali bahu Haekal seperti sebelumnya.

“Enggak apa-apa, Kal. Sekarang istirahat dulu, ya? Kamu, Mamah, kita semua sama-sama capek. Kita diam dulu sebentar, ya, Nak, sambil berdoa untuk keselamatan ayah kamu.” dengan pelan dan lembut, Hanna mencoba menenangkan Haekal.

“Iya, Mah ....” jawab Haekal kemudian kembali menatap pintu ICU dengan perasaan cemasnya, menanti kabar dari ruangan itu, dan berharap bisa bertemu Sang Ayah di hari ini, pada hari ulang tahunnya yang beberapa jam lagi akan usai.

“Seenggaknya bisa ada kabar sebelum hari ini berakhir kan, Mah?” tanya Haekal dengan tatapan kosongnya, Hanna tak menjawab, ia juga tak bisa menjanjikan sesuatu yang di luar kendalinya, ia tak mampu menjanjikan Haekal akan hal itu. “Terlalu susah, ya, Mah, permintaan saya?” tanya Haekal kembali, membuat Hanna semakin menunduk tak tahu harus menjawab apa.

“Hari ini akan berakhir indah kan, Mah?” lagi, Haekal bertanya kepada Hanna, lebih tepatnya berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa kabar baik akan datang sebelum hari ini berakhir, atau mungkin pertanyaan itu muncul sebagai tanda bahwa Haekal mulai ragu semesta akan berbaik kepadanya di hari ini.

Selanjutnya, Haekal kembali mengulang pertanyaannya, Hanna membiarkan Haekal bertanya terus menerus, walau tak ada jawaban yang mampu Hanna berikan. Ruangan tersebut terasa semakin dingin, ditambah lagi dengan hati mereka yang tak bisa merasakan tenang walau hanya sedetik saja, menanti keajaiban dari pintu sana.

“Na, Kal,” kembali terdengar suara yang memanggil mereka, kali ini suaranya berbeda, bukan seperti suara Theo sebelumnya.

“Jay?” panggil Hanna, “Gimana, Jay?”

Sebelum menjawab pertanyaan Hanna, Jay nampak melihat ke belakang terlebih dahulu, seperti sedang memastikan sesuatu, “Gue bawa Ibu Jovan, Na, beliau khawatir banget, enggak masalah kan kalau ikut masuk ke ruangan ini?” izin Jay, Hanna sedikit terkejut dengan itu, karena ini akan menjadi kali pertamanya bertemu Ibu Jovan, dan juga dalam kondisi seperti ini, Hanna membayangkan betapa bencinya Ibu Jovan kepadanya, karena terus-terusan menyebabkan petaka di keluarga mereka.

“Mah, maksudnya Om Jay, yang datang itu Nenek saya, ya?” Haekal bertanya, namun tak dijawab oleh Hanna yang masih tenggelam oleh pikirannya.

“Na? Lo gapapa?” Jay menyadarkan Hanna dari lamunan sesaatnya.

“Eh iya, Jay, emang seharusnya masuk ke sini, kan. Tapi ..., tapi gue malu karena terus-terusan bawa sial buat keluarga mereka, pasti Ibu Kak Jo bakal benci banget sama gue, ya?” ungkap Hanna.

“Tenang, Ibu Jovan gak kayak gitu. Yaudah, gue ajak masuk, ya, Na.” kembali Jay meminta izin, setelah beberapa kali menghela napasnya dan mempersiapkan dirinya, Hanna akhirnya mengangguk. Tak butuh waktu lama, Jay segera menjemput sosok yang sepertinya sudah menanti di luar ruangan sana.

“Mah, gapapa, ada Haekal,” ucap Haekal seolah paham dengan ketakutan sang Mamah yang nampak jelas dari gerak-geriknya. Hanna mengangguk, kemudian meraih jemari kiri Haekal, “Apapun itu, Mamah akan terima, Kal.” ucap Hanna siap dengan apapun yang akan terjadi setelahnya.

Walau sudah siap dengan segala macam kemungkinan yang terjadi saat Ibu Jovan bertemu dengannya, tetap saja Hanna merasa malu dan tak pantas bertemu dengan Ibu Jovan, sampai-sampai ia tak mampu menengadahkan pandangannya yang tertunduk, serta bahunya yang tak mampu tegap, berbeda sekali seperti biasanya.

Saat mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya, mata Hanna secara otomatis terpejam, bersedia mendengar caci maki yang akan ditujukan untuknya, tanpa ada sedikitpun niat untuk membantah atau membela dirinya, karena yang ada di pikiran Hanna saat ini hanyalah, ia memang pantas menerima itu semua atas segala yang sudah terjadi di keluarga Jovan sampai detik ini.

“Bi Nur?” alih-alih mendengar cacian, Hanna malah mendengar suara Haekal memanggil nama ART di rumahnya dulu. Sempat Hanna pikir ia salah dengar, namun, kembali ia dengar suara Haekal yang menyebut nama Bi Nur seperti sebelumnya, terdengar tak percaya dan bingung.

Yang tadinya menunduk, Hanna memberanikan dirinya untuk menoleh kepada sosok yang datang ke ruang tunggu ini, dan benar saja, yang Hanna lihat adalah sosok Bi Nur dengan matanya yang sudah berlinang air mata, dan ditemani oleh Jay di sisi kanannya.

“Bi?” panggil Hanna ragu, otaknya terlalu rumit untuk memikirkan apa yang sebenarnya terjadi saat ini, ia benar-benar bingung akan kehadiran Bi Nur saat ini.

“Na ...,” panggil Jay hendak menjelaskan, namun, detik itu juga Hanna mulai paham dengan apa yang terjadi, seketika kepalanya menggeleng tak percaya menatap Jay yang hendak memberitahunya.

“Enggak ..., bukan 'kan, Jay?” sangkal Hanna lebih dulu sebelum Jay menjelaskan keadaan, “Enggak ..., enggak mungkin, Bi Nur ..., bukan, enggak kan Jay?” kali ini perkataan Hanna mulai berantakan, Haekal yang tak kalah terkejut setelah memahami maksud dari pertanyaan Mamahnya, ikut menanti jawaban dari Jay dengan serius.

“Iya, Na, ini Ibu Jo, Ibu kandung Jovan.” ucap Jay menjawab dengan jelas pertanyaan yang Hanna layangkan barusan.

Baik Hanna maupun Haekal sama-sama merasakan napas mereka yang semakin tercekat, tak ada yang bersuara setelahnya, keduanya menatap ke arah Bi Nur dengan tatapan tak percaya. Otak mereka seakan kembali dipaksa untuk mencerna kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayang sebelumnya.

Sedangkan Bi Nur, tak mampu juga banyak bicara, ia menatap pintu ruang ICU dengan air mata yang terus-terusan bercucuran, merasakan hatinya terasa teramat hancur membayangkan betapa kesakitannya sang anak semata wayangnya di dalam sana.

“Mah ..., itu Nenek Haekal 'kan?” tanya Haekal pelan kepada Hanna, walau sempat diam sejenak, Hanna kemudian mengangguk pelan. “Saya boleh peluk Nenek, Mah? Sama mau minta maaf ke Nenek.” sambungnya lagi, namun, Hanna menahan sejenak Haekal agar tak bangkit lebih dulu.

Detik kemudian ia berdiri, dan berbisik lirih ke Haekal, “Mamah sambut Nenek kamu dulu, ya, Nak, kamu di sini dulu duduk.” tak perlu banyak waktu, Haekal mengiyakan perkataan Mamahnya barusan, dan menatap langkah sang Mamah yang mendekat ke arah Nenek yang baru saja Haekal ketahui.

“Bu ...,” panggil Hanna pelan sekali saat sudah berada di hadapan Bi Nur yang selama ini menjadi ART di rumahnya. Suara Hanna bergetar saat memanggil Bi Nur dengan panggilan 'Bu', walau terdengar asing di telinganya, namun tak mengurangi rasa berdosanya kepada wanita paruh baya yang berdiri di depannya.

Bi Nur tak menjawab dengan lisan panggilan tersebut, namun, ia mulai menatap Hanna yang kembali menunduk di depannya, tatapannya sangat sulit untuk di deskripsikan. Kemudian pandangannya beralih kepada Haekal yang duduk di bangku, senyum ia berikan kepada Haekal yang masih menatapnya bingung.

“Maaf, Bu ..., maafkan saya untuk semuanya.” ungkap Hanna lagi, pundaknya bergetar hebat, begitupun dengan suaranya, air mata yang ia tahan sedari tadi di samping Haekal, luruh juga. Rasa bersalah, berdosa, dan hina bercampur padu menjadi satu, membuat pertahanannya runtuh tak bisa dibendung lagi.

Bi Nur masih tak menjawab, pandangannya kali ini kembali beralih kepada Hanna, tak ada amarah dari tatapan tersebut, namun, diam dari Bi Nur semakin membuat Hanna merasa bersalah atas semuanya.

“Untuk semua ..., bahkan ..., saya selama ini memperkejakan Ibu ..., maaf Bu ..., saya ..., saya berdosa ..., maaf ...,” Hanna tak mampu melanjutkan perkataannya, isakannya semakin menjadi membuat perkataannya tak beraturan, dan tak akan terdengar jelas oleh siapapun yang mendengar.

Mendengar isak tangis yang semakin menjadi, membuat Bi Nur tak tega hati, sampai akhirnya tangannya terulur untuk mengusap pundak Hanna yang bergetar hebat karena tangisan. Namun yang terjadi selanjutnya adalah Hanna yang tiba-tiba menjatuhkan dirinya, bersimpuh terhadap kaki Bi Nur, dengan pandangannya yang hanya menunduk serendah-rendahnya, tak peduli akan harga dirinya.

Hal itu membuat Bi Nur terkejut, sekaligus tak enak, “Jangan seperti ini, Hanna,” ucap Bi Nur pada akhirnya, yang bisa Bi Nur lihat hanyalah kepala Hanna yang menggeleng, dan semakin merendahkan dirinya di hadapan Bi Nur, layaknya menyembah memohon ampun kepada Bi Nur.

“Ampuni segala dosa-dosa saya, Bu ..., atas semua yang terjadi, sampai sekarang Kak Jo ada di dalam, semua salah saya. Maafkan ketidaktahuan saya selama belasan tahun ini, sampai-sampai tega hati saya mempekerjakan Ibu di rumah, bukan maksud saya, bukan ingin saya, Bu ..., seandainya tau, saya enggak akan memberikan Ibu pekerjaan seperti itu. Ampuni saya, Bu.”

“Betapa bodoh dan berdosanya saya selama belasan tahun ini memperlakukan Ibu sebagai pembantu di rumah saya. Saya salah, Bu ..., saya pantas menerima apapun bentuk kebencian dari Ibu atas segala petaka yang terjadi di kehidupan Ibu, saya sangat pantas.” mohon Hanna dengan sungguh-sungguh kepada Bi Nur, sedikitpun Hanna enggan beranjak dari posisinya saat ini yang masih setia bersimpuh pada kaki Bi Nur.

Belum sempat Bi Nur menjawab permintaan maaf tersebut, tiba-tiba Haekal datang juga menghampirinya, dan melakukan hal yang sama seperti yang Hanna lakukan barusan, bersimpuh kepada kaki Bi Nur di samping Mamahnya, menundukkan kepalanya dalam-dalam, “Mas Ekal ...,” lirih Bi Nur saat melihat Haekal melakukan hal tersebut.

“Bi ..., maaf, Nek ..., Maafkan saya yang selama ini enggak tau kehadiran Nenek. Ekal sudah sangat berdosa selama ini memperlakukan Nenek enggak semestinya, maafkan Ekal, Nek ...,” ucap Haekal sungguh-sungguh.

“Tolong maafkan Mamah, Nek, ini semua terjadi karena saya. Kalau aja saya enggak ada di dunia, sudah dipastikan semuanya akan baik-baik aja. Jadi, tolong maki saya aja, Nek, jangan Mamah ..., saya yang membawa petaka atas semuanya.”

“Kal ...,” Hanna menoleh ke samping, menggelengkan kepalanya, memberi isyarat agar Haekal tak meneruskan ucapannya.

“Enggak Mah, ini salah saya. Semuanya terjadi karena hadirnya saya. Nek, tolong maafkan Mamah saya, ya?” kukuh Haekal menyalahkan dirinya atas segala yang terjadi selama ini.

Baik Hanna maupun Haekal sama-sama bertahan pada posisinya, Jay terpaku menyaksikan Hanna dan Haekal yang sebegitunya memohon ampun kepada Ibu Jovan. Sesekali Jay mengalihkan perhatiannya kepada Ibu Jovan, memastikan wanita paruh baya tersebut baik-baik saja, dan yang nampak oleh Jay adalah ekspresi sedih dari Ibu Jovan saat mendengar permohonan maaf Hanna dan Haekal, tak sedikitpun Jay lihat ada amarah di wajah Ibu Jovan.

“Hanna, Haekal ...,” ucap Bi Nur pelan, kemudian Bi Nur mendudukkan dirinya, tak lagi di posisi berdiri, sehingga saat ini ia hampir sejajar dengan Haekal dan Hanna. Kedua tangannya terulur, memegangi sebelah sisi pundak Hanna dan Haekal bersamaan, mengusap dengan lembut kedua pundak yang bergetar hebat akibat tangisan itu, setelahnya berbisik lembut kepada mereka, “Insha Allah saya sudah memaafkan kalian dari belasan tahun yang lalu, enggak ada dendam yang tersisa untuk kalian, yang ada malah kasih sayang yang saya tanamkan untuk kalian selama belasan tahun ini. Mengurus kalian di rumah, adalah bentuk rasa sayang saya.” dengan sangat lapang dan ikhlas, perkataan itu keluar dari bibir Bi Nur. Membuat Hanna dan Haekal tak percaya dengan apa yang barusan mereka dengar, pandangan mereka yang tadinya tertunduk, seketika menatap wajah damai milik Bi Nur dengan tak percaya.

Melihat kebingungan yang tercipta dari wajah Hanna dan Haekal, Bi Nur dengan sisa air matanya, memberikan senyum penuh keikhlasan untuk keduanya, jemarinya terangkat untuk mengusap pelan puncak kepala Haekal yang masih terpaku menatapnya, “Suatu kebahagian Nenek bisa lihat perkembangan Ekal dari kecil sampai sekarang, ikut berperan juga dalam tumbuh dewasanya Ekal, bisa berikan makanan yang Ekal suka, ajarkan Ekal banyak hal, dan semua yang kita lewati bersama selama belasan tahun kemaren. Nenek enggak butuh pengakuan, Kal, bisa dekat dengan kamu aja sudah lebih dari cukup.” ungkap Bi Nur, butiran bening yang tadinya sempat berhenti sesaat, kembali menetas saat berbicara dengan cucunya pada jarak sedekat itu, dan tanpa ada batasan status yang menghalangi mereka seperti sebelumnya.

Setelahnya, tatapan Bi Nur perlahan beralih kepada Hanna yang dengan segera kembali menunduk saat matanya bertemu dengan mata Bi Nur, “Jangan nunduk, Hanna Hanasta, jadilah seperti biasa. Tegapkan bahu kamu, selayaknya Hanna Hanasta yang semua orang kenal.” titah Bi Nur, alih-alih mencaci maki Hanna, bahkan sekarang kedua tangan Bi Nur memegangi pundak Hanna untuk mengarahkan Hanna agar kembali tegap saat berbicara dengannya.

“Maafkan saya, Bu ...,” saat memberanikan diri menatap kembali mata Bi Nur, ucapan itu kembali keluar dari bibir mungil Hanna yang bergetar, sangat jelas sekali ketakutan dan juga penyeselan mendalam dari manik matanya.

“Enggak mampu saya membenci kamu, anak saya yang sekarang sedang bertaruh nyawa di dalam ruangan itu, dan cucu satu-satunya saya yang sekarang ada di samping kamu, menjadikan kamu sebagai sumber bahagia mereka. Sekeji apapun perlakuan keluarga kamu, kalau sumber bahagia dari anak dan cucu saya adalah kamu, saya bisa apa?”

“Kak Jo sekarang seperti itu−”

“Iya, saya paham karena menyelamatkan kamu. Hanna, mau kayak apapun kondisinya, Jovan pasti selamatkan kamu dan Haekal. Bagi dia, nyawa sendiri enggak penting dibanding keselamatan kalian. Anak keras kepala itu dari dulu selalu memikirkan kalian, jadi, enggak perlu merasa bersalah, karena memang dari awal, jalan ini yang Jovan pilih. Capek rasanya kalau harus marah, lebih baik kita berdoa untuk Jovan, ya?”

“Memang itu jalan yang jovan inginkan dari awal, Hanna, dia pasti sekarang sedang bahagia di dalam sana karena bisa menyelamatkan kalian. Jadi, enggak perlu rasanya kita berdebat menyalahkan siapapun sekarang.” kembali Bi Nur memberi pemahaman kepada Hanna. Semua yang ada di ruang tunggu tersebut menitihkan air mata, tak terkecuali Jay yang menutup wajahnya karena tangisannya yang mulai tak tertahan.

Melihat Hanna dan Haekal yang isakannya semakin menjadi, dengan lembut Bi Nur memeluk keduanya. Membiarkan kedua orang itu menumpahkan air mata mereka di dalam dekapannya, menangis bersama sembari hati mereka meminta kepada Tuhan untuk segera memberikan pelangi setelah badai yang tak terduga di hari yang meraka kira akan dipenuhi haru bahagia.

Jay tak tahan melihat ketiga orang tersebut menangis bersama, ia kemudian melangkahkan kakinya berjalan mendekati pintu ICU, tangannya terkepal bersamaan dengan tetesan bening yang jatuh dari pelupuk matanya.

“Jo, tiga kebahagiaan lo udah kumpul, lo harus berjuang, ya, lo harus ngerasain bahagia dulu, Jo. Bertahan, Jo, bahagia yang lo impikan udah di depan mata. Gue mohon, Jo ....” rintih Jay memohon di depan pintu itu, berharap di dalam sana Jovan bisa mendengarnya, dan segera sadar untuk menjemput bahagia yang selama ini ia cita.

-Ara.

tw // accident


Jovan melambaikan tangan tepat di saat matanya melihat sosok wanita yang ia cintai berjalan ke arahnya, siapa lagi jika bukan Hanna Hanasta. Beberapa karyawan yang sedang berdiri menunggu jemputan, tampak langsung menyapa dan menunduk sopan ke arah Hanna, begitupun dengan satpam yang dengan sigap membukakan pintu Loby untuk Hanna.

Tak lupa Hanna juga balas melambaikan tangannya kepada Jovan, dengan senyum manis andalannya, dan juga langkah kaki yang yang ia cepatkan, seakan tak mau sedetikpun terlambat untuk menghampiri Jovan yang sudah menunggunya di depan mobil merah kepunyaannya.

“Hei, hati-hati, hahaha.” ucap Jovan mengingatkan, tak begitu lama, Hanna sudah berdiri di depannya, masih lengkap dengan senyuman manis yang tak pudar selama kakinya melangkah.

Hanna kemudian memberikan kode kepada Jovan melalui gerak jemarinya, untuk terlebih dahulu masuk ke dalam mobil, karena tak enak banyak sekali karyawan yang memperhatikan mereka dari kejauhan.

Jovan segera paham dengan kode tersebut, ia segera membukakan pintu mobil untuk Hanna, tak lupa juga tangan kanannya ia letakkan di atas kepala Hanna, agar kepala Hanna terlindung dan tak terbentur bagian mobil. “Thanks, Kak! ayo masuk, kita ngobrolnya di dalam aja.” bisik Hanna kepada Jovan yang hendak menutup kembali pintu mobil.

Tak butuh waktu lama, Jovan sudah berada di dalam mobil tersebut. “Kalau jalan, hati-hati, jangan terburu-buru, nanti kalau jatuh gimana?” tegur Jovan pada Hanna, walau itu sebuah teguran, namun tetap saja, terdengar lembut di telinga Hanna.

“Aku udah umur 36 tahun kalau Kak Jo lupa, bukan anak kecil yang gampang jatuh.” jawab Hanna.

“Iya, iya, bukan anak kecil lagi,” Jovan terkekeh, jemarinya terulur mengacak-acak rambut Hanna gemas, “Tapi jangan lupa, orang dewasa juga bisa jatuh kalau enggak hati-hati. Lagi juga saya enggak akan kemana-mana, kok, jadi kamu enggak perlu buru-buru kayak tadi, ya?” lanjut Jovan, kali ini terdengar lebih serius dari sebelumnya. Hanna mengangguk, seperti anak kecil yang sangat patuh sekali apabila sedang dinasihati.

Hanya Jovan yang punya kuasa tersebut, hanya Jovan juga yang selalu Hanna turuti, hanya Jovan pula yang mampu membuat Hanna luluh, dan melupakan sikap keras kepalanya. Hanya Jovan saja.

“Kamu selalu cantik, Na, tapi, hari ini cantiknya bertambah. Sengaja, ya?”

“Iya, hari ini kan kita mau rayakan ulang tahun Haekal yang ke-18, jadi harus lebih cantik dari biasanya. Ini juga kali pertama Haekal dirayakan ulang tahunnya, jadi harus spesial.” balas Hanna antusias sekali. “Oh iya, teman-temannya Haekal, aman 'kan, Kak?”

“Aman, mereka juga kompakan pura-pura lupa ulang tahun Haekal, hahaha.”

“Aku enggak tega lihat wajahnya Haekal tadi pagi, Kak. Dia udah penuh harap banget bakal ada yang spesial, bahkan sempet kode-kode lagi, nanyain ke aku, sekarang tanggal berapa.” ujar Hanna, kembali ia merasa kasian apabila mengingat ekspresi kekecewaan Haekal pagi tadi.

“Nanti sama-sama kita ucapin, ya? Kita peluk juga jagoan hebat kita.” balas Jovan dengan mengusap jemari Hanna lembut, “Oh iya, Na, nanti saya mau kenalkan kamu kepada Ibu saya, boleh?” tanya Jovan, Hanna tak segera menjawab, ia diam dulu sejenak saat ditanya pertanyaan barusan.

“Ibu?”

“Iya, Ibu saya. Mau?”

“Takut, Kak ...,” lirih Hanna terus terang.

“Takut kenapa, Na?” kali ini mimik muka Jovan berubah, terlihat kilas kekhawatiran yang tersorot dari mata Jovan, begitupun dengan jemarinya yang mengusap lembut helaian rambut Hanna. “Apa yang kamu khawatirkan?” tanyanya lagi.

“Setelah banyak banget kehancuran yang disebabkan keluarga aku, Kak..., rasanya enggak mungkin bisa diterima baik sama Ibu kamu ...,” ungkap Hanna mengakui yang sebenarnya ia takutkan.

“Na...,” panggil Jovan lembut sekali, diiringi dengan senyumannya, “Ibu pasti akan menerima kamu, tanpa sedikitpun dendam yang ada. Bahkan, Ibu selalu mendoakan kebaikan untuk kamu, Ibu juga sudah sangat mengenal kamu. Jadi, enggak perlu khawatir, ya?”

“Tapi−”

“Na, percaya Kakak, ya? Ibu sangat amat mengerti dengan semua yang kamu alami selama ini. Kamu enggak perlu khawatir, Ibu pasti akan terima kamu, dan sayang sama kamu sebagaimana rasa sayang Ibu terhadap saya, Na. Saya yang akan jamin itu. Percaya, ya? Kita coba sama-sama buat ketemu Ibu.” ucap Jovan meyakinkan, jemari Jovan yang sebelumnya mengusap lembut pipi kanan Hanna, sekarang sudah berpindah untuk menggenggam tangan Hanna, Jovan benar-benar berusaha meyakinkan Hanna untuk tidak khawatir dengan takut yang diciptakan pikirannya sendiri.

“Mau, ya?” tanya Jovan kembali memastikan.

“Mau, Kak ...” balas Hanna pelan, direspon segera oleh Jovan dengan senyuman, kemudian jemarinya kembali terangkat untuk mengusap-usap rambut Hanna lembut.

“Yuk? Haekal kayaknya udah bete di rumah, kita jemput sekarang, ya? Di lokasi juga barusan Reno lapor udah datang semuanya.” ajak Jovan, matanya melirik kepada jam tangan yang ia gunakan.

“Ayo, berangkat sekarang, takutnya nanti malah−” Belum selesai Hanna menjawab, bunyi dari dering ponselnya terdengar, saat Hanna hendak menolak panggilan itu, Jovan dengan sigap menahan, seraya menggelengkan kepalanya kepada Hanna, “Angkat dulu aja, Na, takutnya penting.” ucapnya.

“Ah enggak usah, ini telpon dari kantor.”

“Justru itu, angkat dulu, ya? selagi kita masih di sini, nanti tau-taunya itu penting banget, eh kitanya udah jauh.”

“Tapi aku udah pulang, Kak, enggak boleh ditelpon orang kantor. Aku udah bilang berkali-kali padahal sama mereka.” tolak Hanna kukuh tak ingin mengangkat telpon masuk tersebut.

“Mereka pasti paham, Na, mungkin ini terlalu urgent, makanya mereka telpon kamu, dan enggak menghiraukan aturan yang kamu buat.” dengan sangat sabar, Jovan mengarahkan Hanna untuk mengangkat telpon tersebut.

Entah Hanna yang tidak mampu menolak Jovan, atau Jovan yang terlampau handal mengendalikan Hanna, hingga pada akhirnya Hanna mengangkat telpon tersebut, walau dengan gurat malas dari wajahnya saat mengatakan 'Halo', hal tersebut berhasil membuat Jovan terkekeh pelan di sebelah Hanna.

“Kenapa tadi enggak sekalian? Kenapa bisa sampai lupa dan kelewatan?” jawab Hanna dengan rentetan pertanyaan yang terdengar tegas, Jovan yakin, siapapun yang mendengar suara Hanna dari telpon tersebut, sudah dipastikan akan gugup dan takut untuk menjawabnya.

“Iya, itu artinya kamu lalai. Waktu saya berharga, dan kamu malah mainkan seperti ini.”

“Maafkan kelalaian saya, Bu ...”

“Okay, kamu minta maaf, tapi maaf kamu bisa gantikan waktu saya yang akan terbuang sia-sia gak?”

Jovan yang mendengar nada sinis dari Hanna, mendekatkan dirinya kepada Hanna, ia kemudian mengusap-usap pundak kanan Hanna, berusaha menenangkan Hanna yang nampak termakan emosi akibat panggilan telpon tersebut, “Hey, it's okay, Na, enggak apa-apa, tenang, ya?” bisik Jovan pelan di telinga Hanna.

“Atur napas dulu, tarik... terus buang,” sambung Jovan masih berbisik, Hanna yang mendengar itu, langsung mengikuti arahan dari Jovan, walau terlihat jelas masih ada kekesalan pada wajahnya, apalagi saat Hanna menghembuskan napasnya. “Good, sekarang bicara pelan-pelan ke bawahan kamu, ya?”

“Ya sudah saya ke sana. Kamu tunggu di sana, dan siapkan semua berkasnya, supaya nanti saya enggak nunggu lama lagi.” tegas Hanna kepada lawan bicaranya di sebrang telpon.

“Bu terima kasih banyak, dan maaf−” tanpa ingin mendengar lebih lanjut, Hanna sudah lebih dulu memutuskan sambungan telpon itu.

“Ada yang harus aku tanda tangan, Kak, dan enggak bisa ditunda sampai besok. Ah keselll!” rajuk Hanna masih kesal, ia sangat tak suka apabila agenda yang sudah disusun menjadi berantakan.

“Enggak apa-apa, Na, kamu selesaikan aja dulu berkasnya, ya? Haekal saya yang jemput, nanti setelahnya, saya dan Haekal yang bakalan jemput kamu di sini, baru deh kita ke lokasi bareng-bareng. Gimana?” anjur Jovan, terlihat keraguan yang terdapat pada tatapan Hanna sekarang.

“Enggak apa-apa, 20 menit cukup kan? enggak akan ngerusak acara yang udah kita siapkan. Tenang, ya?” lanjut Jovan, menyadari ragu yang Hanna rasa.

Detik kemudian, terdengar hembusan napas berat dari Hanna, “Okay, aku naik ke ruangan aku, ya, Kak. Gak apa-apa jemput Haekal sendirian?” masih Hanna bertanya ragu.

“Enggak apa-apa, Hanna. Yaudah, kamu beresin dulu urusan kamu, atau mau saya antar ke atas?”

“No, jangan. Aku sendiri aja, Kakak langsung jemput Haekal aja, supaya lebih cepet juga.” tolak Hanna segera dan dibalas anggukan mengerti oleh Jovan, “Aku ke ruangan dulu ya, Kak?” pamit Hanna setelahnya, dan bersiap untuk membuka pintu mobil.

“Na...” panggil Jovan, menghentikan Hanna yang tadinya hendak membuka pintu mobil itu.

Hanna yang mendengar panggilan tersebut, dengan cepat menoleh kepada Jovan yang sedang tersenyum kepadanya penuh arti. “Iya, Kak?” jawab Hanna, entah mengapa, Hanna melihat ada yang beda dari tatapan Jovan kali ini, terkesan sendu dari pandangan matanya.

“Saya boleh peluk kamu?”

“Eh?” respon Hanna sedikit kaget dengan permintaan tiba-tiba yang Jovan beri.

“Enggak tau kenapa, dari pertama kamu masuk mobil, rasanya saya mau peluk kamu, Na. Mungkin karena hari ini kamu cantiknya bertambah kali, ya? Atau mungkin karena rasa saya semakin banyak buat kamu?” jawab Jovan berusaha menerka alasannya sendiri.

“Kak ...” rengek Hanna yang saat ini pipinya mulai memerah setelah mendengar jawaban Jovan tadi. Mungkin bagi Jovan jawaban jujur tersebut terlampau biasa, namun, bagi Hanna jawaban tersebut berhasil membuatnya salah tingkah seperti remaja yang sedang jatuh cinta.

“Hahaha, saya serius, Na, bukan modus semata.” balas Jovan berusaha meyakinkan Hanna, “Boleh, Na?” pintanya lagi.

Hanna tidak menjawab dengan kata, ia mengizinkan Jovan untuk memeluknya dengan cara memberi kode melalui kedua lengannya. Tanpa menyita banyak waktu, Jovan langsung membawa Hanna ke dalam dekapan hangatnya, ia memeluk erat Hanna, seakan melepaskan Hanna dari pelukannya merupakan satu hal yang tak akan mau dilakukannya.

“Kak? Semuanya baik-baik aja, kan?” tanya Hanna sedikit khawatir, karena Hanna merasa ada yang beda dari pelukan Jovan kali ini, terasa lebih erat, seperti enggan untuk melepas.

“Kak?” panggil Hanna lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari Jovan.

“Sebentar, ya, Na, satu menit lagi, boleh?” pinta Jovan pelan, Hanna menangguk, memberi izin untuk Jovan memeluknya lebih lama lagi, walau terdapat beberapa pertanyaan di kepala Hanna saat ini.

Sebenarnya bagi Hanna, satu menit, bahkan sepuluh menit bukanlah permasalahnnya, malah ia akan sangat senang selama apapun itu berada di dekapan Jovan. Namun, saat ini Hanna merasakan ada yang beda dari pelukan yang Jovan beri, walau hangatnya masih terasa sama seperti sebelumnya.

Setelah satu menit berlalu, dengan perlahan Jovan merenggangkan pelukannya, kemudian beralih untuk menatap manik kebingungan milik Hanna. “Sudah, Na, terima kasih, ya, sudah mengizinkan.” tuturnya masih setia dengan senyum damai andalannya.

“Kak, kenapa?”

“Enggak kenapa-kenapa, Na, memang mau peluk kamu aja.”

“Beda tapi, Kak, yang tadi itu lebih mirip pelukan perpisahan.” ucap Hanna jujur kepada Jovan.

“Hey, enggak, Na,” jawab Jovan, jemarinya mengusap lembut pipi Hanna, “Bukan pelukan perpisahan, Na, Hahaha.” sambungnya lagi sembari tertawa. Hanna diam, masih ia rasakan khawatir yang berasal dari firasat tak enaknya.

“Na, kalau tadi itu pelukan perpisahan, rasanya enggak cukup saya minta tambahan waktu satu menit. Bisa-bisa enggak akan saya lepas kamu dari pelukan saya kalau emang tadi itu untuk berpisah.” tutur Jovan mengerti kegelisahan sang pujaan hati.

“Saya jemput Haekal, terus jemput kamu, sekaligus peluk kamu lagi, supaya kamu percaya kalau tadi itu bukan pelukan perpisahan. Deal?” Jovan akhirnya menawarkan janji.

“Okay, kita ketemu 20 menit lagi, ya. Boleh telat, tapi 10 menit aja.”

“Iya, Cantik. Kamu boleh telat, tapi saya enggak akan telat. Mobil ini saya pinjam, ya, untuk jemput jagoan kita.”

“Iya, aku ke atas dulu, ya, Kak. Hati-hati di jalan, kabari aku kalo udah jemput Haekal.” pamit Hanna lagi, untuk yang kesekian kalinya, seakaan berpisah hanya untuk puluhan menit saja sangat sulit mereka lakukan.

“Na...” panggil Jovan, ketika Hanna sudah berada di luar mobil, Hanna segera menoleh kepada kaca mobil yang terbuka.

“Iya, Kak?”

“Tunggu saya, ya.”


Sudah hampir tiga jam Haekal habiskan waktunya hanya untuk menatap belasan origami di depannya. Setelah pulang sekolah tadi, Haekal sama sekali tidak melakukan hal lain selain menatap kosong ke arah origami tersebut.

Perasaan Haekal cukup campur aduk untuk hari ini, dari mulai ia membuka mata, hingga saat ini, sama sekali belum ia terima satupun ucapan selamat ulang tahun dari orang lain. Hanya origami yang Azalea titipkan kepada Ibu kantin yang Haekal terima, itupun hanya origami, bukan ucapan selamat ulang tahun secara langsung seperti yang Haekal harapkan.

Ditambah lagi Mamah dan Ayahnya yang sama sekali tak memberikan pelukan bahkan ucapan ulang tahun. Padahal dari hari-hari lalu, sudah besar sekali harapan Haekal untuk merayakan ulang tahun pertamanya bersama keluarga yang lengkap.

Bagi Haekal, hari ini terasa hambar dan menyebalkan lantaran semua orang masih saja melupakannya.

Tak lama kemudian, Haekal mendengar getar dari ponselnya yang sedaritadi ia letakkan diujung tempat tidur, dengan gerakan yang malas, Haekal mengambil ponselnya.

Ayah terhebat is calling

Walau diliputi rasa kesal, Haekal tetap dengan sigap mengangkat telpon tersebut, dan berusaha mengontrol suaranya agar terdengar sopan di telinga sang Ayah, “Halo, Yah?” sapa Haekal duluan.

“Nak, di mana?”

“Di rumah, Yah, sendirian, di kamar, enggak ada yang temenin. Ada apa?” jawab Haekal lengkap sekali, sembari memberi kode kepada sang Ayah yang mungkin saja akan ingat hari ini adalah hari ulang tahunnya dengan kode tersebut.

Haekal mendengar kekehan geli di sebrang telpon, membuat kedua alis Haekal bertaut, menandakan ia mulai kesal.

“Kenapa, deh, Yah?” kali ini nada bicara Haekal terdengar mulai malas.

“Hahaha, Ayah mau berangkat ke sana, ya, Kal.” mendengar perkataan tersebut, kedua bola mata Haekal seketika melebar, dan tanpa sadar, senyum mulai tergambar kembali di bibirnya.

“Mau ke sini, Yah? Sudah ingat, ya?” tanya Haekal terdengar antusias, yang tadinya ia duduk bersila di atas kasur, sekarang sudah bangkit dan berdiri, berniat menuju lemari pakaiannya.

“Iya, sudah ingat, untung enggak lupa,” ucap Jovan semakin membuat Haekal berbunga.

“Enggak apa-apa telat, asal ingat aja, sih, Yah.”

“Kalau telat bisa-bisa saya enggak bisa absen, Kal.” timpal Jovan, membuat Haekal seketika memberhentikankegiatan memilih bajunya.

“Maksudnya, Yah?”

“Iya, kartu identitas Ayah ketinggalan di sana, kayaknya pas kemaren anterin Mamah kamu pulang, Kal.” balas Jovan, senyum di bibir Haekal yang tadinya sudah merekah, segera menghilang. Haekal merasa dihempaskan oleh ekspektasinya sendiri 'lagi'.

“Oh itu...,” gumam Haekal merespon ucapan Jovan barusan, jemarinya menutup kembali lemari yang tadinya sudah ia buka, kakinya pun melangkah tak bersemangat menuju ke kasurnya seperti semula. “Ya sudah ambil aja, Yah. Ada Bibi di bawah, saya mau tidur, jadi nanti langsung pulang aja kalau sudah ambil kuncinya.” sambung Haekal, bersiap untuk segera memutuskan sambungan telponnya.

“Sudah 'kan, Yah? Kalau enggak ada yang mau dibicarain lagi, saya mau tutup telponnya.”

“Kenapa kok berubah nada bicaranya, Kal? Perasaan tadi semangat sekali. Serius gak mau ketemu Saya nanti?” goda Jovan, nampaknya Jovan belum menyadari saat ini mood Haekal sudah sangat hancur.

“Iya. Ayah, saya izin tutup telponnya,” walau rasa kesal sudah sangat menguap, namun tetap saja Haekal berusaha tenang dan sopan, agar perkataannya tak menyakiti hati sang Ayah.

Kal? Kenapa−”

“Saya mau tutup telponnya, boleh kan?” Haekal dengan cepat memotong ucapan Jovan dari balik telpon dengan intonasi suaranya yang meninggi dari sebelumnya, juga terdengar beberapa kali hembusan napas Haekal yang terkesan gusar di telinga Jovan. “Saya capek hari ini, Yah. Semua ekspektasi saya hancur di hari ini, jadi tolong... tolong izinkan saya tutup telpon ini, dan biarkan saya tidur untuk menghabiskan hari ini.” sambung Haekal mengungkapkan emosi dan kecewa yang sedaritadi ia coba tahan.

Sedangkan, Jovan segera mengurungkan niatnya untuk menjalankan mobil saat mendengar pengakuan kecewa Haekal dari sebrang telpon.

“Saya emang ditakdirin hidup kayak gini, selalu jadi yang terlupakan. Silahkan ambil yang tertinggal di rumah, Pak. Saya tutup−”

“Selamat ulang tahun, Nak,” belum sempat Haekal mengucap salam, Jovan dengan sudah lebih dulu memotong. “Selamat bertambah usia jagoan terhebat yang saya punya.” lanjut Jovan lagi, entah mengapa, seketika pertahanan diri Jovan runtuh saat mendengar ucapan penuh keputusasaan Haekal. Jovan seakan tak peduli lagi dengan rencana kejutan untuk Haekal, yang ada di pikiran Jovan saat ini hanyalah memberikan ucapan selamat dan doa, supaya tak lagi terpintas di pikiran Haekal bahwa dunia masih terus melupakannya seperti dulu.

“Ayah ingat?” jawab Haekal tak percaya.

“Mana mungkin Ayah bisa lupa, Kal? Kelahiran kamu adalah anugrah terindah yang Ayah syukuri sampai saat ini, dan selamanya. Seberharga itu kamu bagi saya, mana bisa saya lupa?”

“Tapi kenapa, Yah?” Haekal masih bingung dan tak paham dengan semuanya.

“Ya ..., ada sesuatu yang kami rencanakan, spesial untuk kamu,” jawab Jovan terdengar canggung dan juga ragu, karena secara otomatis dengan pengakuannya barusan, Jovan telah membocorkan kejutan ulang tahun yang sudah dirancang Hanna, dan teman-teman Haekal. “Ya..., pokoknya seperti itu. Kamu jangan merasa dilupakan, ya, Nak? Enggak ada yang melupakan kamu.” tegas Jovan lagi, agar Haekal tak dikuasai oleh rasa khawatir berlebihnya.

“Saya ..., enggak terlupakan lagi, kan, Yah?”

“Enggak akan pernah terlupakan, Nak.” jawab Jovan terdengar tegas. Emosi memuncak yang tadinya Haekal rasa, dengan teramat cepat segera meluruh, tergantikan langsung oleh haru. Ia sangat khawatir, sampai-sampai tak terpikir akan ada kejutan yang disiapkan oleh orang-orang yang menyayanginya.

“Ayah masih di jalan? sambil bawa mobil?”

“Masih di mobil, tapi belum jalan, Kal. Tadinya mau sambil jalan, cuma rasanya enggak fokus, apalagi dengar kamu yang putus asa kayak barusan.”

“Lanjut jalan aja, Yah, saya tunggu di rumah, ya!” kali ini suara Haekal terdengar kembali bersemangat seperti semula, membuat Jovan tersenyum dan bernapas lega saat mendengar suara sang anak. “Ditutup ya, Yah, telponnya, saya juga mau siap-siap pakai baju yang rapih.”

“Kal ...,” panggil Jovan tiba-tiba.

“Iya, Yah?”

“Mau dengar doa Ayah buat kamu?”

“Sekarang banget, Yah?” Haekal nampak bingung, tangannya memindahkan ponsel tersebut ke sebelah kanan telinganya, kemudian ia memilih duduk di sisi ranjangnya, “Kan bentar lagi ketemu.” ucap Haekal lagi masih bingung.

“Entah, rasanya Ayah mau cepat-cepat ucapin doa buat kamu, Kal. Mau?”

“Hmm, boleh, Yah. Ayah doa apa buat saya di 18 tahun ini?” tanya Haekal penasaran, sempat beberapa detik Jovan diam, dan tak kunjung menjawab pertanyaan Haekal.

“Nak ...,” panggil Jovan lembut sekali, walau hanya dari sambungan telpon, Haekal bisa membayangkan wajah tenang milik Ayahnya, lengkap dengan tatapan dan senyum sang Ayah yang mampu menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Haekal tak menjawab dengan kata, ia hanya berdeham saja, menanti kalimat berikutnya yang akan didengar olehnya dari sang Ayah.

“Ini kali pertama, ya? 17 tahun yang kamu lewati, sama sekali enggak ada hadirnya saya. Maafin Ayah, ya, Kal?” Haekal masih tak menjawab, ia seakan memberikan waktu untuk Jovan mengungkapkan semua doa yang tertuju kepadanya. “Harus menunggu 18 tahuh, ya, Nak, untuk kamu merasakan bahagia seperti sekarang. Ayah kagum sekali, Kal, karena kamu sudah sangat kuat dan tabah menjalani kehidupan hingga sampai di titik saat ini. Enggak salah kalau saya anggap kamu Jagoan paling hebat, Kal, karena memang pada kenyataannya seperti itu. Sama persis seperti arti dari nama kamu, Kal.”

Haekal kembali merasakan haru, senyumnya tak pudar sama sekali, namun, sorot matanya berubah menjadi sendu saat mendengar suara sang Ayah dari sambungan telpon.

“Klasik, sih, memang doa dari Ayah, Kal. Hampir sama dengan doa Ayah-ayah di luar sana untuk anaknya. Tapi, dengan sungguh-sungguh Ayah berdoa kepada Tuhan dan juga semesta, supaya selalu dilancarkan langkah anak terhebat Ayah, selalu diberikan kesehatan jagoan yang Ayah punya, selalu dikokohkan bahu yang selama ini sudah menopang banyak sekali permasalahan kehidupan, dan selalu bersih hatinya, menjadi Haekal yang selama ini Ayah kenal sebagai sosok pembeda dari yang lainnya, sosok berprinsip teguh seperti biasanya ..., dan selalu menjadi pelindung bagi Mamah yang Haekal sayang di setiap harinya.” ungkap Jovan. Disetiap kalimat yang Jovan ucap, Haekal meng-amini di dalam hati dengan tak kalah sungguh-sungguh pula.

“Setelah banyak sekali gelap di 17 tahun belakang, Ayah akan janjikan dan usahakan terang untuk Haekal di tahun-tahun selanjutnya. Kal, kamu tau gak, saat pertama kali Ayah tau Mamah kamu sedang Hamil, salah satu janji yang Ayah ucap adalah tentang kamu, Kal, Ayah janjikan bahagia untuk kamu tanpa sedikitpun duka. Dan ternyata janji itu belum berhasil Ayah tepati. Jadi, Ayah akan lakukan semuanya untuk bisa tepati janji tersebut dari sekarang. Terang dan bahagia, akan Ayah pastikan kamu rasa mulai dari sekarang, Nak.”

“Haekal sudah bahagia, Yah. Ayah enggak perlu usahakan itu lagi, cukup selalu ada di sisi Haekal, itu sudah bikin Haekal bahagia.” jawab Haekal pada akhirnya, suaranya terdengar sedikit bergetar, begitupun dengan matanya yang mulai terasa panas setelah mendengar kalimat panjang yang Ayahnya ucapkan.

“Ayah akan lakukan apapun untuk bisa bikin kamu dan juga Mamahmu bahagia selamanya, Kal.”

“Yah, bahagia saya dengan lihat Ayah dan Mamah ada di sisi saya terus. Jadi cukup janjikan akan selalu ada di sisi saya aja, ya, Yah? Enggak perlu sekeras itu berusaha, toh bahagia saya datang karena hadirnya Ayah dan juga Mamah di keseharian saya.”

“Ayah?” panggil Haekal, karena tak kunjung mendengar jawaban dari Jovan.

“Hmm, iya, Kal ...,” respon Jovan setelahnya, “Iya ..., Ayah akan terus ada di sisi kamu, Kal. Ayah akan terus bangga dan tersenyum di setiap langkah yang kamu pilih. Ayah janji, Kal.” lanjut Jovan lagi, Haekal tersenyum bahagia mendengar perkataan Jovan barusan, sangat sesuai dengan apa yang ia harapkan.

“Haekal sudah tambah dewasa, harus lebih melindungi Mamah, ya? Harus terus jaga Mamah, dan sayang sama Mamah. Kalau misalnya ada perbedaan pendapat, harus diselesaikan baik-baik ya, Kal, jangan kabur atau bahkan sampai bicara yang bisa menyakiti hati Mamah. Bisa, Nak?” pesan Jovan, memberikan sedikit nasihat kepada sang Anak, selayaknya yang dilakukan oleh Ayah-Ayah lain di luar sana.

“Bisa, Yah, kita jaga Mamah sama-sama, ya, Ayah?”

“Iya, Kal, kita jaga wanita hebat dan kuat itu bersama. Pun, kamu, saya akan jaga dan lindungi sampai akhir napas saya.” lagi, Jovan kembali berjanji, sangat sungguh-sungguh sekali terdengar di telinga Haekal. “Oh iya, saya juga punya hadiah untuk kamu, Kal. Hmm ..., mungkin gak terlalu mewah, tapi semoga kamu suka, ya?”

Mendengar itu, Haekal bertambah semangatnya, “Pasti suka! Makin gak sabar! Ayah ayo ke sini jemput saya. Saya tinggal ganti baju aja, nih.” respon Haekal terdengar riang sekali.

“Ya sudah, Ayah tutup dulu telponnya, ya, Nak? Kamu siap-siap dan tunggu Ayah di rumah.” ujar Jovan akan mengakhiri sambungan telponnya, agar cepat sampai ke sana untuk menjemput Haekal, kemudian dilanjut dengan menjemput Hanna.

“Siap, Yah! Hati-hati, ya, Yah!”

“Kal ...,” untungnya Haekal masih bisa mendengar panggilan Jovan sebelum meletakkan ponselnya kembali ke nakas kamarnya.

“Iya, Ayah?”

“Kamu bukan celaka, bukan juga petaka. Kamu adalah bahagia yang satu-satunya kami punya. Ayah dan Mamah, sayang sama kamu, Nak, selamanya.”

“Ayah ...”

“Ayah ke sana, ya. Tunggu Ayah di rumah.”

“Iya, Ayah. Haekal tunggu Ayah di sini.”


Seulas senyum terukir di bibir Jovan, tampak pula bekas basah di sudut matanya. Setelah mengucapkan selamat ulang tahun dan doa, lengkap pula dengan nasihat kepada Haekal melalui sambungan telpon, Jovan merasakan haru, sampai-sampai sulit baginya untuk menahan bulir-bulir bening dari matanya.

Sembari menyetir mobil milik Hanna untuk menjemput Haekal, tangan kanan Jovan memegang kotak berukuran sedang, yang berisikan sebuah jam tangan berwarna hitam yang ia beli khusus untuk sang putra.

“Haekal Hanasta, jagoan saya.” gumamnya sendiri kemudian tersenyum bahagia melihat kotak tersebut. Walau harganya tak terlalu mahal seperti jam mewah lainnya, namun Jovan sangat percaya diri Haekal akan sangat menyukai jam tangan pemberiannya.

Jovan merasakan lega setelah memberikan ucapan selamat ulang tahun untuk Haekal, entahlah ..., ia merasa sudah menyampaikan semua yang ada di pikirannya. Sebenarnya, Jovan tidak berniat mengungkapkan semuanya, yang ada di rencana awalnya hanyalah memberikan ucapan selamat saja, tapi, ia seperti dituntun oleh hatinya untuk mengungkapkan semua harapan dan pesan kepada Haekal melalui sambungan telpon, tanpa mampu menahan dan bersabar menyamapikan secara lamgsung kepada Haekal.

Setelah cukup puas memandangi kotak jam tersebut, akhirnya Jovan meletakkan kotak itu di bangku sampingnya, ia kembali fokus mengendarai mobil tersebut menuju rumah Hanna. Jovan masih dengan senyumnya yang tak kunjung memudar hingga sekarang, padahal sambungan telpon dengan Haekal sudah diakhiri beberapa menit yang lalu, namun tetap saja, rasa bahagia dan haru tak kunjung hilang Jovan rasakan.

Tak begitu lama, Jovan mendengar ponselnya berbunyi, sebuah pesan singkat masuk. Ia melirik sebentar ke ponselnya, dan melihat nama Hanna yang ada di notifikasinya.

Sebelah alis Jovan terangkat saat membaca pesan singkat tersebut, kemudian dengan hati-hati ia mencari earphone miliknya, dan mencoba menelpon Hanna. Tak butuh waktu lama, Hanna segera mengangkat panggilan telpon tersebut.

“Halo, Na?” sapa Jovan duluan.

“Halo, Kak udah sampai mana? Aku ke sana jalan aja, ya, deket banget juga, kok. Nanti kita ketemu di sana aja, ya?” segera Hanna menjelaskan kembali, sesuai dengan isi pesan yang barusan ia kirim kepada Jovan.

“Saya baru jalan beberapa menit lalu, sih, Na, tadi telponan sama Haekal dulu cukup lama.” jawab Jovan, mobil yang ia kendarai melaju pada kecepatan rata-rata, “Kamu enggak apa-apa jalan ke sana? Gak mau tunggu saya aja, Na?” tanya Jovan memastikan.

“Aku duluan aja, deket, kok, gak sampai 2 menit juga sampai dari gedung aku. Gak enak juga di sana udah pada datang kan ya.”

“Yaudah, kalau gitu, Hati-hati, ya, Na?” kali ini Jovan terdengar sedikit khawatir dari sebelumnya, walau jarak restoran sangat dekat sekali dari kantor Hanna, tetap saja Jovan was-was apabila Hanna berjalan seorang diri, “Kalau ada apa-apa langsung hubungi saya, ya?”

“Iya, Kak, Hahaha, tenang aja sih, kan cuma−”

“Ya tuhan!” Jovan tiba-tiba setengah berteriak, membuat Hanna berhenti bicara seketika.

“Kak? Kenapa? Ada apa?” tanya Hanna panik saat mendengar teriakan tersebut. “Kak? Halo? Kak Jovan?”

“Hampir aja, Na, tadi ada yang nyebrang gak lihat-lihat, aduh ..., ada-ada aja.” walau Jovan terkejut bukan main, ia berusaha tenang agar Hanna tak khawatir berlebih kepadanya.

“Aduh yaampun ..., kaget aku, Kak. Hati-hati, ah, Kak. Bawa mobilnya pelan-pelan aja.” ujar Hanna, lebih terdengar seperti omelan untuk Jovan, sehingga saat mendengar itu, Jovan terkekeh pelan. “Ih, malah ketawa! Pelan-pelan aja bawa mobilnya, Kak.” lanjut Hanna lagi.

“Iya iya, saya pelanin ya mobilnya, hahaha.” turut Jovan masih dengan kekehannya. Sesuai dengan perintah Hanna, kaki Jovan secara perlahan mengijak rem agar laju mobilnya memelan dari sebelumnya. Namun, beberapa detik setelahnya Jovan menyadari, laju mobilnya sama sekali tak memelan sesuai dengan injakan kakinya kepada rem.

“Kak?”

Jovan tak menjawab itu, ia melirik kebawah, memastikan bahwa ia sudah benar-benar menginjak pedal rem, dan benar, ia sudah menginjak pedal tersebut, bahkan sampai habis. Namun, kecepatan mobil sama sekali tak memelan, malah terasa melaju lebih kencang dari sebelumnya, meski Jovan tak menginjak gas sama sekali.

“Kak Jo?”

Jovan mulai panik, kakinya terus-terusan menginjak rem, namun hasilnya nihil. Napas Jovan mulai berderu, begitupun dengan detak jantungnya yang berdetak lebih kencang. Saat melihat jalan, Jovan menyadari, sebentar lagi ia akan melewati lampu merah. Hal itu membuatnya semakin panik karena rem yang diinjaknya sama sekali tak berfungsi seperti semestinya.

“Kak, Halo? Ada apa?” Hanna disebrang telpon terus-terusan memanggil Jovan yang tiba-tiba terdiam.

“Na, sebentar, ya?” jawab Jovan pada akhirnya, tak bisa Jovan sembunyikan kepanikannya dari Hanna, sehingga Hanna dengan cepat menyadari terjadi sesuatu pada mobil yang dikendarai oleh Jovan.

“Kak ada apa? Kakak di mana? Aku panggil orang kesana, ya?”

“Na, saya gak bisa ngerem, Na. Mobilnya semakin cepat juga, remnya sama sekali gak berfungsi. Tapi kamu gak perlu khawatir, bukan masalah besar−” kembali suara Jovan terputus, yang bisa Hanna dengar hanyalah beberapa suara klakson yang terdengar sangat jelas beserta decitan dari ban mobil dari sebrang telpon.

“Kak ...,” panggil Hanna dengan suara yang mulai bergetar.

“Aman, Na, tenang. Barusan saya trobos lampu merah, untungnya mobil lain bisa ngehindar,” sahut Jovan, masih berusaha menjawab panggilan dari Hanna, walau keadaan yang ia rasa semakin kacau.

Laju mobil semakin kencang tak terkendali, entah sudah berapa kali Jovan hampir menabrak kendaraan lain atau pembatas jalan, untungnya Jovan masih bisa berkali-kali membanting stirnya agar tidak menabrak yang lainnya.

“Na ...,” panggil Jovan pelan, ia terus-terusan mendengar isak tangis Hanna dari earphonenya, “Ditutup dulu ya telponnya?” pinta Jovan. Bukan karena isakan Hanna menganggu konsentrasinya, namun, Jovan takut apabila terjadi sesuatu yang buruk, Hanna mendengar itu dari sambungan telpon, Jovan tak mau hal tersebut membekas dan akan terus ada diingatan, lalu menjadi trauma di kemudian harinya.

“Enggak, Kak ..., g-gimana bisa aku tutup telponnya?!” isak tangis Hanna semakin terdengar lebih kencang dari sebelumnya, sempat beberapa kali juga Jovan dengar bagaimana Hanna memanggil orang-orang yang mungkin masih ada di kantor untuk membantunya, sangat panik sekali sampai-sampai beberapa kalimat yang Hanna ucapkan terdengar tak beraturan.

Entah sudah keberapa kalinya Jovan berusaha menginjak rem mobil tersebut, dan mencoba berbagai cara lainnya untuk menghentikan laju mobil, yang semua hasilnya hanyalah nihil saja. Hingga detik berikutnya, Jovan hanya mampu pasrah dengan apa yang terjadi, ia sempat beberapa kali memukul kesal stir mobil tersebut karena sudah sangat putus asa dengan berbagai usahanya.

Namun, di lain sisi, Jovan menyadari bahwa Hanna masih tersambung dengannya, dan akan terus mendengar apapun yang akan terjadi selanjutnya, mengingat Hanna enggan sekali menutup sambungan telponnya.

“Hanna, dengarkan saya, ya?” ujar Jovan setelah terdiam beberapa detik, ia juga akhirnya berhenti untuk mencoba menginjak rem mobil tersebut karena menyadari tidak akan ada hasilnya walau ia berusaha sekuat mungkin, “Saya enggak ada pilihan lain selain menabrakkan mobil ini, Na, kalau terus-terusan seperti ini, bisa-bisa saya membahayakan nyawa lainnya.” lanjut Jovan dengan suaranya yang terdengar tak terlalu stabil lagi karena napasnya yang tak karuan.

“Orang suruhan aku lagi jalan ke sana, please Kak Jo tahan sebisa mungkin, ya?”

Jovan tak langsung menjawab, yang bisa Hanna dengar hanyalah hembusan gusar napas Jovan saja.

“Na ...,” panggil Jovan pada akhirnya setelah diam beberapa saat, ia seperti berusaha terdengar tenang, walau sulit sekali baginya untuk tenang, “Mobilnya semakin kencang, Na ..., Saya takut membahayakan yang lain. Kamu boleh kirim bantuan, tapi saya gak bisa janji bisa pertahankan ini, Na ..., paham, ya?” jelas Jovan.

Tak sama sekali Jovan dengar jawaban dari Hanna atas permintaan tersebut, Jovan hanya mendengar isak tangis Hanna yang semakin menjadi, hal itu membuat Jovan semakin merasa tak karuan.

Saat melihat ke depan, tak seberapa jauh lagi mobil yang Jovan kendarai akan kembali melewati lampu merah. Dari jarak tersebut, Jovan lihat hanya ada satu kendaraan yang sedang menuju lampu hijau untuk kembali berjalan. Tapi hal tersebut tidak membuat Jovan lega, karena, saat ia kembali menerobos lampu merah itu, bisa saja ia bertabrakan dengan kendaraan yang melaju tak kalah kencang dari sisi lainnya.

“Hanna, kamu masih bisa dengar saya?”

“I-iya Kak ...”

“Enggak apa-apa, kamu tenang, ya? Bisa 'kan, Dek?” Jovan menekan earphone yang terpasang di telinganya, agar bisa mendengar dengan jelas suara Hanna, “Bisa tolong ikut arahan Kakak, Na?” tanya Jovan kembali saat dirasanya jarak menuju lampu merah sudah semakin dekat lagi.

“Gimana, Kak?” tanya Hanna, tak lagi terdengar isakan kencang seperti sebelumnya, namun, saat ini suara Hanna terdengar memelan, seperti takut sekali dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Dengarin baik-baik, ya, Na ...,” perintah Jovan, Hanna tak menyaut, namun ia dengan seksama mendengarkan Jovan dan menunggu Jovan melanjutkan perkataannya, “Entah apa yang akan terjadi, namun, apapun yang terjadi nanti, enggak ada sama sekali penyesalan bagi saya di hari ini, dan hari-hari sebelumnya, Na. Bertemu kamu, mencintai kamu, dan hadirnya Haekal merupakan kebahagiaan yang sangat saya syukuri sampai saat ini.” sambung Jovan. Hanna kembali menangis saat mendengar pesan tersebut yang lebih mirip seperti ucapan selamat tinggal untuk selamanya, rasanya tak sanggup lagi untuk Hanna mendengar lebih lanjut pesan Jovan berikutnya.

“Jangan menangis, Na ..., kalau memang ini kesempatan terakhir yang Tuhan beri kepada saya, tolong jangan menangis ..., saya mau dengar apapun yang terucap dari bibir kamu, asalkan jangan isak tangis.” pinta Jovan memohon sekali. Walau Jovan paham, di keadaan seperti ini, sangat sulit bagi Hanna untuk tidak menangis.

“Saya sayang sekali sama kamu, Na. Kamu cinta pertama dan terakhir bagi saya, satu-satunya di kehidupan saya. Terima kasih, ya, untuk semuanya? Maafkan juga karena sering kali saya menorehkan luka. Sekarang ..., berbahagialah, Na, bersama Jagoan kita ...,”

“Kak ..., Kak Jovan ....” lirih Hanna terisak-isak.

“Katakan, Na, saya mohon katakan kalimat itu,” mohon Jovan, ia seakan mendesak, karena beberapa detik lagi ia akan menerobos lampu merah tersebut, dan entah apa yang akan menghantamnya nanti.

“Aku cinta sama Kak Jo, dan masih ..., hiks ..., tolong kembali, ya?” tangis Hanna pecah sekali, Jovan yang mendengar kalimat tersebut seketika tersenyum, kalimat itu adalah kalimat yang ingin Jovan dengar setidaknya sebelum ia pergi.

“Terima kasih, Na. Kalimat itu sudah cukup untuk saya dengar di saat-saat seperti ini.” tanpa terasa, kedua sudut netra Jovan sudah basah oleh air matanya. “Na, selanjutnya ikutin arahan saya, ya?” tuntun Jovan selanjutnya.

Jovan kembali tak mendengar jawaban atas permintaannya, karena sudah tak ada waktu lagi, Jovan menganggap diam Hanna adalah 'Iya', sehingga Jovan segera melanjutkan perintahnya kepada Hanna.

“Na, saya sayang sama kamu, tolong, tolong ..., tolong jauhkan dulu handphone kamu, jangan ditempelkan di telinga. Saya mohon, Na. Sekarang, Na, sekarang juga jauhkan!”

Mobil tersebut melaju begitu kencang menerobos lampu merah, sesuai dengan perkiraan Jovan sebelumnya, Jovan pun berhasil menghindar agar tak menabrak mobil kuning yang sedang menunggu lampu merah. Namun, saat Jovan melihat ke samping, ada sorot terang dari lampu sebuah truk yang melaju kencang ke arahnya.

Tak ada yang bisa Jovan lakukan lagi selain memejamkan kedua matanya, pasrah dengan apapun yang akan terjadi di detik berikutnya, tangannya pun sudah ia lepaskan dari kemudi mobil.

Dengan semua rasa dan asa yang telah Jovan pasrahkan, ia hanya mampu mengingat bagaimana indahnya dua wajah yang akhir-akhir ini menemaninya. Jovan membayangkan senyum hangat milik Hanna dan Haekal yang akan mengatarkannya kepada keabadian, dan dengan sendirinya ranum damai terlukis dengan amat sempurna di bibir Jovan, sembari hatinya berbisik, “Syukurlah, saya mendapatkan akhir yang indah untuk meninggalkan dunia. Jaga mereka selalu, Tuhan.”

Detik berikutnya, yang hanya bisa Jovan dengar adalah bunyi benturan yang teramat kencang, ia merasa tubuhnya terombang-ambing tak karuan, lengkap dengan rasa sakit di segala bagian badannya yang membuat dirinya tak mampu bergerak barang sedikitpun, dengan pandangan yang sudah sangat kabur, Jovan hanya mampu melihat arloji hitam yang dibelikannya untuk Haekal terjatuh tepat di sampingnya, dengan kacanya yang sudah retak dan banyak darah di sisinya.

“Kak?!”

“Kak Jo, please jawab, Kak!”

“Tolong ... Tolong bantu saya ... Tolong ....”

“Kak Jovan!”

“Kak ...”

Suara Hanna yang masih bisa Jovan dengar perlahan semakin memelan, ingin sekali Jovan menjawabnya, namun, sedikitpun tubuhnya tak punya kuasa untuk bergerak dan juga bersuara. Hingga pada akhirnya, tak ada lagi suara yang mampu Jovan dengar dari telinganya, diikuti pula dengan penglihatannya yang perlahan menjadi putih dan hampa.


“Selamat, Istri Bapak baru saja melahirkan anak laki-laki.” ucap seorang suster sembari memperlihatkan bayi mungil, dengan kulit bayi tersebut yang terlihat masih merah kepada Jovan.

“Anak kita, Na,” lirih Jovan pelan, tangannya masih setia menggenggam jemari Hanna yang masih terbaring lemah pada Hospital bed, Hanna mengangguk lemah, namun senyum tak luput pudar dari bibirnya, begitu pun dengan matanya yang mulai berlinang bahagia, “Saya izin lepas, ya? Mau gendong jagoan kita.” Hanna kembali mengangguk merespon ucapan Jovan barusan. Dengan sangat perlahan dan hati-hati, seakan tak mau gerakannya dapat menyakiti Hanna, Jovan melepaskan genggaman tangannya, kemudian kembali mengecup puncak kepala Hanna sebelum menghampiri suster di sampingnya.

“Saya gendong, ya, Suster? Sudah boleh 'kan?” tanya Jovan, matanya tak henti-hentinya memandang bayi tersebut dengan tatapan kagum.

“Boleh sekali, Pak Jovan, silahkan ...” sahut sang suster, dengan sangat hati-hati Jovan menyambut bayi tersebut, hingga dengan sempurna bayi tersebut berada dalam dekapan hangat Jovan.

Bayi tersebut dengan matanya yang belum mampu terbuka, dengan bibir dan hidung yang sangat mirip sekali dengan milik Ibunya, berhasil membuat Jovan menitihkan air matanya bahagia. Sang buah hati yang selama ini mereka perjuangkan dan tunggu-tunggu hadirnya, sekarang sudah bisa ia timang dan dekap.

“Jagoan kita, Na, jagoan hebat kita,” tutur Jovan, masih dengan matanya yang basah karena air mata, “Terima kasih, ya, Na, terima kasih banyak ... Saya janji akan menyayangi kamu dan jagoan kita selamanya, saya janjikan bahagia untuk keluarga kita, Na, terima kasih, ya, Sayang ...”

“Anak Ayah, Jagoan Ayah, terima kasih ya sudah terlahir ke dunia. Kamu adalah anugrah terindah yang kami punya, Nak, Ayah akan berikan kamu bahagia, ya, Nak, tanpa boleh sedikitpun duka yang menimpa.”

Seisi ruangan dipenuhi haru mendengar ucapan tersebut, tentunya dengan Hanna yang kembali menangis bahagia, mengingat perjuangan yang telah mereka lalui sangatlah panjang dan juga berliku untuk mempertahankan janin mereka.

imagee

Mereka berhasil pada akhirnya, janin yang mereka perjuangkan sudah terlahir di dunia, dengan keadaan sehat dan diliputi bahagia yang tiada tara dari sang Ayah dan juga Ibunya.

“Jagoan kita, siapa namanya, Kak?” tanya Hanna kemudian.

Jovan tak langsung menjawab, ia kembali menatap bayinya dengan senyum hangat khas miliknya, lalu menatap Hanna dengan teduh dari matanya, “Haekal Adhitama,” jawab Jovan sangat yakin dan mantap.

“Haekal?” tanya Hanna penasaran dengan makna dari nama tersebut.

“Haekal berarti Akar yang besar dan subur, layaknya harapan kita, Na. Haekal akan tumbuh seperti akar yang kuat apabila diterpa apapun, bahkan badai sekalipun. Dan juga akan selalu bermanfaat bagi manusia lainnya. Adhitama, berasal dari nama belakang saya. Bagaimana, kamu suka?”

“Suka, Kak, nama yang indah untuk jagoan kita.” Balas Hanna tersenyum bahagia, dan juga terdengar tangisan dari Haekal kecil yang sedang Jovan timang.

Melihat senyum Hanna dan juga mendengar suara tangis anaknya, membuat Jovan merasa sangat bahagia tak karuan, ia seperti sedang menggenggam dunianya saat ini. Tak pernah ia rasakan bahagia yang teramat indah seperti hari ini selama hidupnya, sampai-sampai ia berpikir apabila dunia berakhir hari ini, tak akan ada penyesalan lagi dalam hidupnya.

“Anak kita, Na, lihat deh−” seketika Jovan terdiam saat melihat ke depan, tak ada Hanna di hadapannya, begitupun dengan beberapa suster yang tadinya ada di sekitar mereka. Jovan melihat ke sekelilingnya, semuanya hilang dan tak ada satupun yang tersisa.

“Haekal?!” Jovan semakin panik karena tak ada lagi bayi dalam dekapannya.

Jovan terduduk lemas, kakinya seperti kehilangan tenaga untuk berdiri. Masih ia memperhatikan sekitarnya yang hanya dipenuhi putih dan terasa sangat hampa.

Jovan yang sudah tertunduk, perlahan mulai menengadahkan kepalanya, melihat ada cahaya yang teramat terang di depannya, kemudian ia tersenyum menatap cahaya terang itu yang semakin mendekat ke arahnya, membuat pandangannya tak bisa melihat sekitar lagi karena terangnya cahaya tersebut.

“Ah ternyata halusinasi yang saya ciptakan ...” batin Jovan menyadari.

“Jika memang ini halusinasi, tak masalah …, setidaknya bisa melihat jagoan lahir, sebelum benar-benar pergi dari dunia, terima kasih, Tuhan, untuk akhir yang bahagia.”

imageee

-Ara.

Di dalam mobil yang terdapat Jovan, Jay, dan Hanna, terjadi ketegangan di antara mereka setelah mengetahui informasi bahwa Rudi berhasil melarikan diri, dan hingga sekarang belum dapat ditemukan. Walau berhasil menangkap Wisnu dengan waktu yang terhitung sangat cepat, berkat bantuan Theo Kuasa Hukum Tama, tetap saja mereka belum merasa tenang, selama Rudi belum ditemukan dan masih bisa berkeliaran.

Mobil yang mereka naiki, sudah hampir 10 menit terparkir di depan rumah yang nampak sangat sederhana, milik Jere− Teman Haekal dan Janu. Baik Jovan, Jay, maupun Hanna sama-sama tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing, sampai akhirnya terdengar suara pesan masuk dari ponsel Hanna beberapa kali, pesan tersebut berhasil membuat ketiga orang itu tersadar dari lamunan mereka.

“Dari Haekal,” pelan sekali suara Hanna terdengar, “Dari tadi chatnya belum dibalas, dari ketikan sih udah kelihatan banget khawatir sama kita.” lanjut Hanna lagi.

“Hanna, Jay, kita coba tenang dulu, deh, supaya nanti ketemu anak-anak, enggak bikin mereka khawatir. Haekal, Janu, pasti sekarang lagi bingung banget sama yang terjadi. Bisa, ya?” tutur Jovan berusaha tenang, ditatapnya secara bergantian Jay yang duduk di sampingnya, dan Hanna yang duduk di belakangnya. Jay saat itu juga segera mengangguk paham, namun Hanna, butuh beberapa detik untuknya menyetujui itu, karena perasaannya masih terasa berat sekali dengan fakta Rudi yang menghilang.

“Chat dari Haekal dibalas dulu, ya, Na? Jay juga, chat dari Janu lo bales.”

“Oke, ini gue bilang udah sampe depan rumah Jere, ye, Jo.” Jay segera mengikuti perintah Jovan barusan. Sedangkan Hanna, terlihat bingung menatap layar ponselnya, Jovan segera peka dengan itu, “Kenapa, Na?” tanya Jovan.

“Bingung harus balas gimana supaya keliatannya aku gak panik dan berusaha tenang.”

“Hmm, bilang aja kita semua enggak apa-apa, Haekal gak perlu khawatir, Mamah sama Ayah lagi mikirin mau makan malam apa hari ini sama Haekal, setelah itu bilang kita udah sampai di depan rumah Jere. Bisa, Dek?” lembut sekali tutur Jovan barusan, Jovan sadar, bukan hanya Haekal, Hanna pun saat ini harus ia tenangkan agar tak terlalu khawatir berlebihan. Semua yang terjadi di hari ini, pastinya sangat mengagetkan Hanna, ditambah lagi Rudi yang selalu ia percaya, ternyata selama ini mengkhianatinya, dan berusaha untuk menghancurkannya.

“Bisa, Na?” tanya Jovan sekali lagi, kemudian Hanna mengangguk pelan, dan jemarinya terlihat sedang mengetik pesan balasan untuk Haekal, dari kursi penumpang depan, Jovan mengulur tangannya untuk mengusap puncak kepala Hanna pelan, “Hebat Mamahnya Haekal hari ini.” ucapnya dengan senyum yang selalu memberikan efek menenangkan bagi siapapun yang melihat.

“Yuk, kalau sudah, kita turun dan bilang makasih ke orang tua Jere, habis itu langsung pulang, udah larut banget.” sambung Jovan memberitahu Hanna dan juga Jay.


Setelah berkenalan, sekaligus berpamitan dengan kedua orang tua Jere, mereka menuju mobil yang Jay pinjam dari temannya untuk menjemput Hanna ke Bandung. Saat mereka menemui orang tua Jere, nampak orang tua Jere sangat terkejut dengan kehadiran Hanna Hanasta di rumahnya, mereka tidak menyangka teman Jere adalah anak dari pengusaha yang sering kali muncul di layar kaca. Hanna, Jovan, dan Jay sangat berterima kasih kepada keluarga Jere, dan mengundang keluarga Jere untuk datang makan malam di rumah keluarga Hanasta di lain waktu nanti.

Jay dan Janu memutuskan untuk berpisah dari mobil tersebut, itu lantaran Janu yang membawa motornya saat ke rumah Jere, jadi Jay memutuskan pulang menggunakan motor tersebut bersama Janu. Yang tersisa saat ini di mobil hanyalah Jovan dan Hanna yang duduk di bagian depan, dan Haekal yang duduk di bangku belakang penumpang.

Sebenarnya saat pertama kali bertemu Hanna, Haekal langsung memeluk Hanna, selanjutnya memeluk Jovan, menandakan bahwa ia benar-benar khawatir dengan kedua orang tuanya yang tiba-tiba terlibat rencana besar dan juga membahayakan tanpa dirinya yang diikut sertakan. Jadi wajar saja apabila raut wajah Haekal masih terlihat tak tenang saat di dalam mobil, terlihat jelas oleh Jovan dari kaca spion tengah mobil.

“Makan apa ya, Na, kita?” tanya Jovan kemudian.

“Hah?” Hanna nampak tak paham, namun detik kemudian ia segera paham dengan maksud pertanyaan Jovan, “Hmm, makan apa, ya? Jam segini yang buka apa emangnya? Kayak Restoran gitu pasti udah tutup. Iya, gak, sih, Kal?” Hanna yang cepat membaca situasi, turut berusaha membuat suasana supaya tidak terasa tegang.

Haekal tidak menjawab dengan suara, ia hanya menaikkan kedua bahunya, menandakan tidak tahu.

“Hmm, ada, sih, yang masih buka. Tapi bukan Restoran, jauh juga dari kata mewah ...,” Jovan kembali menyauti.

“Apa, Kak?”

“Kayak makanan pinggiran, tapi enak banget, Na. Mau coba gak? Kalau mau−“

“Kalian− astaga, bisa-bisanya santai banget? Saya dari tadi khawatir di rumah Jere. Mamah enggak balas pesan, Ayah enggak angkat telpon. Dan sekarang, kita ketemu, yang dibahas malah mau makan apa.” protes Haekal tak tahan lagi, suaranya meninggi kali ini, terlihat sangat kesal, namun juga khawatir di waktu yang bersamaan.

Jovan dan Hanna saling memandang, hanya dari mata saja, mereka paham apa yang harus dilakukan untuk menenangkan Haekal.

“Aduh sampai lupa, Na, jagoan belum di ucapin hebat buat hari ini.” ujar Jovan, semakin membuat Haekal merasa kesal.

“Ih, aku udah kok tadi di chat. Udah ‘kan, Kal?”

“Loh kok saya belum? Kok kamu duluan, Na? Saya kan juga mau bilang Haekal hebat.” Timpal Jovan terdengar mirip seperti sebuah protes, Hanna balas dengan kekehannya, benar-benar menutupi segala kepanikannya hari ini, agar sang Anak juga ikut tenang.

“Hebat anak Ayah, selalu hebat jagoan Ayah dan Mamah.” Lanjut Jovan dan menatap dengan sempurna Haekal yang ada di kursi belakang penumpang, begitupun dengan Hanna yang turut menatap Haekal dengan bangga.

“Ayah, Mamah baik-baik aja berkat kamu, Kal. Jadi, enggak perlu khawatir dengan apapun lagi, ya?” Lagi Jovan berusaha menenangkan Haekal.

“Saya takut, Mah, Yah, saya khawatir rumah hangat yang baru saja saya temui kembali hilang. Enggak tau bakal gimana hidup Haekal kalau sesuatu yang buruk terjadi dan kembali mengambil rumah Haekal yang baru saja lengkap.” Tak bisa Haekal sembunyikan lagi kekhawatirannya, bahkan dari matanya saja saat ini sudah tergambar dengan sangat jelas ketakutan tersebut.

Tangan Hanna terulur, kemudian diusapnya dengan lembut jemari Haekal yang terasa dingin, disusul juga dengan Jovan yang melakukan hal sama, ikut mengusap jemari anaknya itu.

“Rumah hangat kamu itu kuat, Kal, sama halnya dengan kamu, jadi saya dan Ayah kamu enggak akan semudah itu untuk pergi tinggalin kamu. Buktinya sekarang, Mamah dan Ayah berhasil jemput kamu, jadi, enggak perlu terlalu khawatir lagi, ya? Baik Mamah, dan juga Ayah akan selalu kuat untuk terus ada sama kamu, Kal.” Tutur Hanna lembut, sangat menenangkan bagi siapapun yang mendengar kalimatnya. Jovan tersenyum sembari mengangguk menanggapi kalimat Hanna barusan.

Haekal terdiam, pandangannya jatuh kepada kedua tangan orangtuanya yang dengan setia mengusap jemari dinginnya, yang bahkan dengan ajaibnya berhasil membuat Haekal merasa hangat dan tenang. Perlahan, butiran bening terjatuh dari kedua netra Haekal, dan tepat mengenai kedua tangan orang tuanya itu. Bersamaan dengan tetesan bening itu, perlahan tergambar lengkungan senyum nan hangat di bibir milik Haekal. Sederhananya, senyuman haru terhias di wajahnya saat ini.


Setelah hampir setengah jam mereka mengelilingi sudut kota untuk mencari restoran yang masih buka di jam setengah satu pagi, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti di salah satu tenda sederhana bertuliskan “Pecel Lele dan Seafood”.

Sempat Hanna ragu untuk turun dari mobil, karena sama sekali ia belum pernah mencoba mencicipi makanan di pinggiran seperti yang ada di depannya saat ini.

“Belum pernah, ya?” tanya Jovan seakan langsung mengerti dengan arti dari tatapan mata Hanna yang nampak amat ragu. Haekal sudah turun duluan, dan segera duduk di salah satu bangku yang tersedia di sana, sedangkan Hanna masih di dalam mobil, sembari menunggu Jovan memarkirkan mobil dengan posisi yang mantap.

“Eh? Iya, belum pernah ...,” jawab Hanna terdengar canggung. Jovan terkekeh pelan mendengar jawaban itu, kemudian ia mencondongkan tubuhnya mendekati Hanna, tangannya terulur untuk membuka seatbelt Hanna dengan sangat hati-hati.

“Maaf, ya, Na, jam segini enggak ada restoran atau tempat makan mahal yang masih buka. Dan juga Haekal kayaknya udah lapar, jadi, kalau terus-terusan putarin kota, takutnya malah sakit lambungnya, dan kamu juga pasti udah lapar ‘kan?” tak lama setelah kalimat itu Jovan ucap, terdengar bunyi kroncongan dari perut Hanna yang sudah sangat lapar, seketika Jovan tertawa mendengar itu, begitupun dengan Hanna yang ikut tertawa sembari menunduk malu.

“Yuk.” Ajak Jovan, dan dibalas dengan anggukan oleh Hanna, baru saja Hanna hendak membuka pintu mobil, tangannya segera ditahan oleh Jovan.

“Tunggu, biar saya yang bukain pintunya,” tahan Jovan, selanjutnya turun dari mobil, dan berlari kecil untuk membukakan pintu mobil untuk Hanna.


Di depan mereka kini sudah terhidang berbagai menu dari warung pecel yang mereka pesan. Terdapat beberapa potong ayam goreng, bebek goreng, sampai dengan lele goreng yang tersaji hangat, tak lupa dengan es teh manis yang disuguhkan untuk mereka. Haekal nampak bersemangat sekali mengambil ayam goreng pesanannya, dari manik matanya nampak jelas bahwa Haekal tak sabar ingin segera menyantap pesanannya itu. Berbeda dengan Hanna yang terlihat bingung, kedua alisnya yang bertaut, masih tak yakin dengan hidangan yang ada di depannya.

“Kamu mau Ayam, Bebek, atau Lele, Na?” tanya Jovan hendak mengambil salah satu lauk untuk diletakkan di dekat nasi hangat milik Hanna. Namun sepertinya, Hanna masih sangat ragu untuk memilih salah satu dari itu, tak yakin ia akan menyukai santapan yang ada di hadapannya.

“Ayam aja, Yah, Mamah sukanya Ayam.” Jawaban tersebut malah dilontarkan oleh Haekal sembari menyantap lahap makanannya. Hanna hanya tersenyum malu, kemudian mengangguk ragu setelahnya, membenarkan jawaban Haekal barusan.

“Nanti kalau enggak enak, atau kamu gak bisa makannya, saya carikan makanan lain, ya?” respon Jovan, mengerti sekali dengan arti dari setiap tatapan Hanna.

“Enak, Mah, cobain dulu deh.” Kembali Haekal berusaha meyakinkan Hanna, karena tak enak, Hanna mencoba untuk meyakinkan dirinya, dan mengambil satu potongan ayam goreng yang ada di depannya.

Saat Hanna hendak mencicipi ayam goreng tersebut, secara dramatis pandangan Haekal dan Jovan tertuju kepada Hanna, mereka terlihat sangat penasaran dengan reaksi Hanna setelah mencicipi ayam goreng itu. Hanna dengan penuh ragu perlahan memakan ayam goreng itu, dan pelan-pelan menguyahnya.

“Enak ‘kan, Mah?” tanya Haekal penasaran, begitupun dengan Jovan yang ikut menanti jawaban dari Hanna. Namun, setelah mencicipi ayam goreng itu, Hanna seketika terdiam dan menatap bingung ke arah makanannya.

“Na?” panggil Jovan mulai panik, mengira bahwa Hanna benar-benar tidak bisa makan di pinggiran seperti ini. “Saya carikan makanan yang lain, ya?” lanjut Jovan, ia berdiri dari kursinya, bersiap untuk mencarikan Hanna makanan yang lain, walau entah akan kemana ia cari makanan lainnya di jam yang selarut ini.

“Kak ...,” tiba-tiba Hanna menahan lengan Jovan untuk tidak beranjak pergi, “Dua, Kak ....” lanjutnya ambigu.

“Iya, Na?” respon Jovan tak paham dengan maksud Hanna barusan.

“Tambah lagi ayamnya dua, boleh?” jelas Hanna nampak malu-malu, Jovan menatap tak percaya ke arah Hanna yang tersipu malu, begitupun dengan Haekal yang sempat menghentikan kegiatan makannya saat mendengar sang Mamah meminta tambahan ayam lagi.

“Gapapa, kan?” tanya Hanna ragu karena tak kunjung diberi respon oleh Jovan.

“Boleh banget, Na! sebentar, ya, saya pesankan dulu, kamu habiskan aja dulu yang sudah dipesan, tunggu sebentar ya!” jawab Jovan penuh semangat, dan dengan segera menghampiri bapak penjual untuk menyiapkan pesanan selanjutnya.

“Enak, kan, Mah, hahaha.” Terdengar tawa renyah Haekal, saat dilihatnya sang Mamah sangat menikmati ayam goreng yang sempat diragukan cita rasanya.

“Mamah gak nyangka makanan pinggiran gini ternyata enak, Kal.”

“Nanti Ekal sama Ayah ajak ke tempat lainnya yang gak kalah enak, ya, Mah!” seru Haekal sangat antusias, dan juga dibalas dengan anggukan penuh semangat oleh Hanna. Jovan yang melihat itu dari kejauhan seketika tersenyum penuh arti, hatinya terasa hangat melihat yang ada di depannya saat ini, dalam hati ia berprasangka, mungkin hidup mereka akan sangat indah apabila sudah bersama dari tujuh belas tahun silam.

“Ayah ayo makan!” panggil Haekal menyadarkan Jovan dari lamunan sesaatnya, Jovan pun mengangguk, dan melangkahkna kakinya kembali ke arah meja makan, dan mengambil posisi duduk di samping Haekal. Mereka persis seperti keluarga kcil yang sangat harmonis, dengan Haekal yang duduk di tengah Hanna dan Jovan, sesekali keduanya memperhatikan Haekal yang sedang lahap menyantap makanannya, dan kemudian saling curi-curi pandang dan tersenyum salah tingkah setelahnya.

“Ekhem,” deham Haekal menyadari kedua orangtuanya sedang curi-curi pandang, “Kalo kata Reno, iya deh iya dunia milik kalian berdua, yang lain cuma ngontrak.” Sontak ucapan tersebut berhasil membuat Jovan dan Hanna tertawa cukup lama.

Hingga pada akhirnya Jovan merangkul Haekal, kemudian berkata, “Salah, bukan dunia hanya milik berdua, tapi dunia milik kita bertiga. Saya, kamu, Hanna, itu satu kesatuan, jadi enggak boleh dipisah, dan salah satunya gak boleh ngontrak.” Tutur Jovan meluruskan, dan segera disetujui Hanna melalui sebuah anggukan.

“Makanya bersatu lagi dong, biar bener-bener jadi satu kesatuan.” Celetuk Haekal, Hanna sedikit terbatuk karena tersedak saat mendengar celetukan itu, dengan sigap Jovan mendekatkan gelas yang berisikan air hangat untuk Hanna minum.

“Lagi berusaha, Kal, doakan Ayah, ya?” bisik Jovan kepada Haekal, namun bisikan itu tak terlalu pelan, seakan sengaja agar Hanna juga dapat mendengar bisikan Jovan barusan. Senyum kecil tergambar di bibir Hanna saat mendengar itu, dalam hati ia ikut berdoa agar usaha Jovan direstui juga oleh semesta, karena sekuat apapun usaha mereka untuk kembali bersama, apabila semesta belum merestui juga, akan jadi hal yang sulit dan juga menyakitkan bagi mereka untuk kembali merajut cinta.

“Selalu, doa terbaik selalu Haekal panjatkan untuk dapat rumah yang selama ini Haekal impikan, Ayah.”

Malam itu Hanna belajar, bahwa kesederhanaan dapat memberikan rasa bahagia yang teramat dalam, terbukti dengan makanan di pinggir jalan yang berhasil membangkitkan nafsu makan Hanna yang biasanya tak pernah tergugah. Bahkan Hanna berhasil menghabiskan semua tambahan menu yang ia pesan. Ditambah lagi, makan malam kali ini ditemani oleh Jovan dan Haekal, dua orang lelaki yang yang menjadi definisi cinta dan kasih sayang dalam hidupnya. Kesederhanaan dari Jovan, berhasil membuat Hanna kembali merasakan bahagia sesungguhnya, yang selama belasan tahun ini sudah pudar dan samar ia rasakan.


“Mah, Haekal naik bis aja, ya, supaya Mamah gak telat kalau antar ke sekolah Haekal dulu.” Ujar Haekal hendak berpamitan setelah selesai mengenakan sepatu sekolahnya. Hanna yang sedang duduk sembari melihat-lihat dokumen melalui iPad miliknya, langsung memberi kode kepada Haekal melakui tangannya, untuk tidak melanjutkan langkah kakinya menuju pintu rumah, ”Sebentar, tunggu 1 menit lagi, kamu ke sekolahnya sama Mamah.” Titah Hanna, masih dengan pandangannya yang terfokus pada layar iPadnya.

“Kalau Mamah antar Haekal dulu, bisa-bisa Mamah kejebak macet parah di persimpangan deket sekolah, Mah, nanti takutnya Mamah malah telat datang meetingnya.”

“Kalaupun telat, emang kenapa? Enggak ada yang punya kuasa buat marahin Mamah juga, kan?” jawab Hanna, kemudian ia menutup layar iPadnya, dan beranjak dari duduknya untuk menghampiri Haekal.

Meeting sepenting apapun itu, enggak ada artinya, Kal, kan Mamah udah bilang, kamu akan selalu jadi prioritas utama Mamah.” Tambah Hanna lagi dengan mengusap lembut bahu anaknya. “Yuk, Mas Adi udah nunggu di depan.” Ajak Hanna merangkul anaknya. Haekal terenyum lebar, dan mengikuti langkah kaki Mamahnya.

“Makasih, ya, Mah.” Gumam Haekal pelan, Hanna yang mendengar itu lantas tersenyum tulus kepada Haekal. Namun siapa sangka, saat mereka membuka pintu rumah, sudah berdiri sesosok lelaki dewasa, mengenakan setelan yang rapih untuk mengajar, siapa lagi jika bukan Jovan.

“Kak?”

“Ayah?” respon Hanna dan Haekal hampir bersamaan. Jovan sama sekali tidak menghubungi mereka sebelumnya, bahkan saat malam tadi pun Jovan tidak memberitahu akan datang ke rumah di pagi hari.

“Hai?” sapa Jovan terdengar canggung, begitupun dengan bahasa tubuhnya yang sangat memperlihatkan kecanggungan dan keraguan, “Maaf enggak kasih tau dulu, rencananya mau sok-sokan surprise buat antar kalian, tapi waktu dijalan tadi saya sadar, kayaknya masih belum pantas ajak kalian naik mobil yang bahkan AC-nya aja enggak kerasa dingin.” Tutur Jovan, mendengar itu, pandangan Haekal dan Hanna segera tertuju kepada mobil sederhana bewarna silver milik Jovan yang terparkir tepat di samping mobil mewah milik Hanna.

“Lain waktu aja mungkin, ya? Tunggu saya mampu−“

“Yuk! Haekal duduk di belakang, ya!” belum sempat Jovan menyelesaikan ucapannya, Haekal sudah terlebih dahulu berjalan menuju mobil sederhana milik Jovan.

“Yuk, Kak?” ajak Hanna yang hanya dibalas dengan tatapan tak percaya oleh Jovan, “Keburu telat nih nanti, ayo?” lanjutnya lagi.

“Tapi, Na, mobilnya−“

“Lebay, deh. Ayo!” seru Hanna kemudian menarik tangan Jovan agar segera berjalan bersamanya menuju mobil tersebut. Rasa tak percaya diri Jovan perlahan menghilang, dengan penuh semangat ia membukakan pintu mobil untuk Hanna, kemudian menyalakan mesin mobil, siap untuk memulai perjalanan di pagi hari mereka.

“Ini mobil siapa, Yah?” tanya Haekal penasaran.

“Mobil Ayah, Kal ..., baru sanggup beli yang seperti ini, belum bisa beli yang baru untuk saat ini,” jawab Jovan menjelaskan.

“Wih keren. Keren banget, ya, Mah? Nanti besok-besok kita berangkat diantar Ayah aja.” balas Haekal antusias.

“Mau! Boleh gak, Kak?” tanya Hanna menatap penuh harap kepada Jovan.

“Ya boleh ..., tapi ..., apa gak apa-apa?”

“Ya enggak apa-apa, emang kenapa?”

“Mobilnya jelek, Na, AC juga gak kerasa, belum lagi kalau antar kamu ke kantor, apa enggak ditertawakan karyawan kamu kalau turun dari mobil seperti ini?” jawab Jovan penuh khawatir, Hanna menghela napasnya saat mendengar penjelasan tersebut, kemudian menoleh ke Haekal.

“Kal, kasih tau Ayahmu itu, siapa yang berani ketawain Mamah di kantor?”

“GAK ADA LAH!” respon Haekal dengan suara yang terdengar lebih kencang dari biasanya. Jovan terkekeh mendengar itu, begitupun dengan Hanna yang mengedipkan sebelah matanya kepada Jovan.

“Tapi AC-nya gak kerasa, gak apa-apa?”

“Gak apa-apa!!!” jawab Hanna dan Haekal bersamaan, sangat kompak sekali.

“Terima kasih, ya?” lirih Jovan, berusaha menahan harunya. Jovan bisa lihat dengan jelas bagaimana keringat mulai membasahi dahi Hanna. Begitupun dengan Haekal yang mulai membuka kancing atas bajunya, sangat jelas Jovan sadari mereka merasa panas berada di dalam mobil ini. Namun, tak sedikitpun mereka mengeluh akan hal itu, mereka tersenyum dan menunjukan bahwa benar-benar menikmati perjalanan menggunakan mobil sederhana milik Jovan. Hanna dan Haekal benar-benar menghargai usaha Jovan, tanpa sedikitpun berkomentar atas kekurangan Jovan.

“Nanti jemput, ya, ke kantor. Sekalian kalian pulang dari sekolah.”

“Loh, Mamah biasanya selesai kerja malem.” Haekal terlihat heran dengan Mamahnya.

“Iya, Na, biasanya kamu pulang malam. Saya sama Haekal pulang dari sekolah sore, loh, sekitar jam empat.”

“Mau pulang lebih awal, supaya bisa makan malam sama kalian lagi.” Jawab Hanna, “Opor ayam buatan Mamah, gimana, Kal?” tanya Hanna kepada Haekal.

“Deal!” jawab Haekal, “Ayah harus cobain opor ayam buatan Mamah, enak banget! Gak ada tandingannya!” Haekal dengan antusias memajukan badannya, agar semakin dekat dengan Jovan yang sedang mengemudikan mobil.

“Kal ...,” panggil Jovan pelan, “Sebelum kamu, saya udah duluan cobain opor ayam buatan Hanna ..., belasan tahun yang lalu ...” Haekal yang mendengar itu, seketika kembali menyandarkan punggungnya pada kursi mobil.

“Iya iya iya, lupa kalian dulu pernah pacaran.”

“Eh, kok pernah?” tanya Jovan seperti tak terima.

“Ya kan emang?” Jawab Haekal lagi.

“Bukan pernah, Haekal, tapi, masih, soalnya belum pernah putus. Iya, kan, Na?”

“Hah?” respon Hanna terkejut.

“Masih mau?” tanya Jovan lagi, sedangkan Haekal yang berada di belakang mereka, nampak penasaran dengan apa yang akan Hanna jawab.

“Mau apa? Pacaran?”

“Jadi istri saya, Na. Haekal marah kalau cuma jadi pacar aja.”

“Eh?”

“Mau, ya?”

pecel

-Ara.

image

Karena sudah terlampau panik, Haekal membanting pintu mobil milik Theo saat sampai di depan IGD Rumah Sakit,ia segera berlari menuju ruang IGD yang nampak di depannya, bahkan tanpa pamit sedikitpun kepada Theo.

Sebelumnya, Haekal ditahan oleh Theo saat hendak memberhentikan sebuah taksi untuk menuju Rumah sakit, Theo melarang Haekal dan menawarkan kepada Haekal untuk diantar olehnya menuju tempat tujuan, sempat Haekal menolak, namun Theo berhasil membujuk Haekal dengan berkata, “Semua berkas yang ada di tas kamu saat ini sudah pasti sangat berharga, sampai-sampai Pak Tama menyembunyikan di Brangkas, jadi, enggak kecil juga kemungkinan kamu dalam bahaya sekarang.” Dengan itu Haekal luluh, dan segera masuk ke dalam mobil Theo untuk menuju rumah sakit yang dituju.

Dari kejauhan Haekal dapat melihat Reno dengan seragam sekolahnya yang sudah berantakan, berdiri tepat di depan pintu masuk ruang IGD, tanpa ragu, Haekal mempercepat larinya untuk menghampiri Reno yang belum menyadari kedatangan Haekal karena sedang sibuk dengan ponselnya, seperti sedang menelpon seseorang.

“Di mana?” Tanpa sapa, Haekal yang masih dengan napas tersenggal bertanya kepada Reno yang nampak kaget dengan kehadiran Haekal.

“Cepet banget anjir lo naik apa sumpah?”

“Di mana, Anjing?!” bentak Haekal yang sudah gelap mata akibat paniknya, ia sama sekali tak membutuhkan pertanyaan basa-basi seperti barusan, ia hanya ingin Reno segera memberitahunya tentang keberadaan Jovan.

“Di dalem, Kal, ranjang ke tiga, tapi-” Belum sempat Reno menyelesaikan jawabannya, Haekal sudah terlebih dahulu pergi meninggalkan Reno, memasuki ruang IGD dengan tergesa-gesa. “Tapi santai aja padahal ...” sambung Reno pelan, dengan mimik wajah yang nampak kesal karena Haekal yang panik tak karuan, namun setelahnya Reno malah tersenyum jahil melihat Haekal dari kejauhan.


Saat memasuki ruangan IGD indra penciuman Haekal langsung di sapa dengan bau khas dari obat-obatan, dan juga indra pendengarnya yang mendengar berbagai macam bunyi dari alat medis.

Jemari Haekal meremas tirai yang menutupi sekat ruangan Jovan, ia tak siap membuka tirai itu, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Jovan yang berbaring tak berdaya, dengan banyak sekali luka, juga dibantu oleh beberapa alat medis yang bunyinya terdengar sangat menakutkan, seperti pasien di samping yang Haekal lihat sedang kesakitan dengan luka parah di kepalanya.

Haekal masih tak siap menyingkap tirai itu, ia benar-benar ragu dan takut untuk melihat kondisi Jovan, bahkan saat ini matanya hanya mampu terpejam di depan tirai tersebut.

“Harus di operasi pasien ini, segera!” Mata Haekal yang tadinya terpejam takut, seketika terbuka lebar saat mendengar suara yang berasal dari dalam tirai sekat tersebut, paniknya semakin menjadi saat mendengar perkataan yang ia duga dari seorang Dokter di dalam sana.

Dengan cepat Haekal menyingkap tirai tersebut, matanya langsung menangkap Jovan yang sedang duduk di sisi ranjang, sembari tertawa memegangi tangannya yang diperban, ditemani oleh Jay- Ayah Januar, yang juga duduk di samping Jovan.

“Kal?” Seketika tawa Jovan terhenti saat dilihatnya Haekal yang berdiri menatapnya tak percaya, begitupun Jay yang melongo tak percaya dengan kehadiran Haekal yang tak terduga.

“Bapak ...” ucap Haekal dengan suara yang pelan, masih tak percaya dengan apa yang ia lihat, karena keadaan Jovan saat ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang ia bayangkan, namun, tak bisa juga Haekal sembunyikan leganya saat melihat Jovan dalam kondisi yang baik-baik saja, dan hanya terlihat sedikit luka saja dibagian lengan kanannya.

“Aduh, gue ke luar dulu deh kalo gini ceritanya.” pamit Jay dengan gerakan yang hampir mirip mengendap, meninggalkan Haekal dan Jovan di ruangan kecil yang ditutupi tirai pada setiap sisinya itu.

Haekal masih saja menatap Jovan dengan tatapan yang sangat sulit untuk dideskripsikan, pada tatap mata itu terlihat sedih, khawatir, lega, dan juga bersalah, membuat Jovan balik menatap sendu kepada Haekal.

“Bapak ...” Lagi terdengar lirih Haekal memanggil, walau sudah sering sekali Jovan dipanggil 'Bapak' oleh Haekal, entah mengapa panggilan 'Bapak' kali ini terasa berbeda dari biasanya.

“Kal, kamu kenapa ada di sini? Saya hmm ... baik-baik aja, Kal, cuma luka sedikit.” tutur Jovan ragu, ia takut Haekal tak terlalu memedulikan keadaannya, sehingga perkataannya barusan hanya akan ditertawai atau malah membuat Haekal muak saja.

“Bapak ...” Haekal tak berhenti memanggil Jovan dengan lirih, kali ini suaranya terdengar berbeda, seperti hampir bergetar menahan tangis. Jovan yang sadar akan itu, mencoba bangkit dari duduknya untuk menghampiri Haekal.

“Bapak, maaf ...” Namun, baru saja Jovan berhasil berdiri, ia kembali dikagetkan dengan Haekal yang seketika berada pada posisi berlutut di depannya, menunduk sedalam-dalamnya dengan bahu yang bergetar hebat akibat tangisnya yang saat ini mulai terdengar.

“Ya Tuhan, jangan gini, Nak, berdiri, ayo berdiri, jangan seperti ini.” Jovan berusaha membantu Haekal untuk bangkit, namun Haekal enggan, dan masih bertahan dengan posisinya, bahkan saat ini ia berusaha untuk bersimpuh tepat di kaki Jovan.

“Saya salah ... Pak, saya salah ... Saya yang berdosa ... Maaf Pak, maafkan Haekal yang sudah kurang ajar ...” ungkap Haekal diiringi isakannya yang terdengar cukup kencang di banding sebelumnya, sampai-sampai pengucapan tiap katanya terdengar sedikit tak jelas karena isakan tersebut.

“Kal, berdiri ya, Nak, kamu enggak berdosa, wajar, Nak, sangat amat wajar, sudah, ya? Bapak sedih kalau lihat kamu seperti ini.” bujuk Jovan lembut, kembali ia membantu Haekal untuk bangkit dari posisi bersimpuhnya, walau agak sulit, Jovan berhasil membantu Haekal untuk berdiri kembali, namun masih dengan pandangan Haekal yang tertunduk ke bawah, seakan sangat takut dan malu, juga menyesali kesalahannya kepada Jovan.

Isak masih terdengar keluar dari bibir Haekal, walau tak kencang seperti sebelumnya, Haekal masih menitihkan air matanya, dan menyeka dengan kasar tiap tetes air bening yang jatuh dari matanya.

Jovan memilih kembali duduk di sisi ranjangnya seperti semula, memandang Haekal dengan penuh tanya, ia sama sekali tak menyangka kehadiran Haekal, begitu pula dengan permintaan maaf Haekal kepadanya yang terlihat sangat bersungguh-sungguh menyesal.

“Kal?” setelah beberapa saat hanya diam, Jovan kembali membuka obrolan dengan Haekal yang masih setia berdiri di depannya, Haekal tak menjawab panggilan itu, ia masih saja memilih diam dan menunduk dalam.

“Duduk, Kal, kemari, Nak.” pinta Jovan, namun Haekal masih enggan untuk bergerak dari posisi berdirinya.

“Saya kira akan kembali terpukul dan menyesal,” ucap Haekal kembali membuka suara, tak seperti biasanya dengan suara yang terdengar tenang, saat ini suara Haekal terdengar sangat pelan seperti ketakutan, “Saya kira enggak akan bisa lihat Bapak lagi selamanya, dan saya akan kembali menjadi manusia paling menyesal karena belum sempat meminta maaf kepada Bapak.” sambungnya.

“Loh, Kal? Saya yang mengira enggak akan bisa bicara sama kamu lagi karena kesalahan dan dosa besar saya. Saya kira kamu enggak akan mau datang lagi kepada saya, bahkan sempat terlintas di pikiran saya, kamu enggak akan sudi datang ke pemakaman saya jika nanti saya meninggal.” Mendengar itu, Haekal langsung menggelengkan kepalanya, menandakan ia benar-benar tak setuju dengan dugaan Jovan barusan.

“Saya sadar atas semua kesalahan saya dari awal, Kal, jadi ketika akhir-akhir ini kamu sangat membenci saya, sama sekali saya enggak punya pembelaan, karena memang semuanya salah Bapak, Kal, semua hal buruk yang menimpa kamu dan Hanna, itu berawal dari kesalahan Bapak.”

“Hadirnya saya merupakan kesalahan juga, ya, Pak?” perlahan Haekal memberanikan dirinya untuk menatap kedua manik mata milik Jovan.

“Bukan seperti itu maksud saya, Kal. Adanya kamu, hadirnya kamu di dunia bukanlah sebuah kesalahan bagi hidup saya maupun Hanna. Tapi kuasa, keadaan, serta kondisi saya yang menjadi sumber awal semua kesalahan. Kalau saja Bapak punya harta-”

“Kalau saja keluarga Hanasta enggak menilai orang dari harta dan kasta, Pak.” Haekal memotong perkataan Jovan, mengoreksi ucapan Jovan.

“Bukannya dulu Bapak yang bilang, enggak ada yang salah dalam hal mencinta walau berbeda kasta? Masih ingat 'kan, Pak?” seulas senyum tipis terukir kala Jovan mendengar pertanyaan Haekal barusan, setelahnya Jovan mengangguk menjawab pertanyaan barusan, “Para Badebah ya, Pak? Nuraninya hilang hanya karena harta, sampai-sampai tega hati merebut kebahagiaan Mamah.”

“Orangnya sudah enggak ada, Kal, cukup doakan saja.” balas Jovan masih dengan senyuman hangatnya, seakan sangat lapang hati menerima masa lalunya yang sudah dizolimi oleh keluarga Hanasta.

“Maafkan saya, Pak, atas semua tindakan buruk, dan juga tutur kata saya yang sudah keterlaluan. Jujur, saya kaget dengan semua yang terjadi secara tiba-tiba, saya enggak dikasih waktu oleh Tuhan untuk memproses satu per satu yang menimpa saya, semuanya seperti serentak menimpa saya. Di keadaan seperti itu, pikiran saya menjadi pendek, saya sibuk mencari sosok yang bisa saya salahkan dan bisa menjadi tempat pelampiasan menyalurkan Amarah. Saya sudah durhaka, Pak, saya yang seharusnya meminta ampun kepada Bapak.” ucap Haekal serius, matanya masih tak lepas menatap lekat Jovan yang duduk di depannya, berusaha menyampaikan semua yang ia sesalkan, dengan kedua netranya yang sudah mulai berkaca-kaca (lagi).

“Yang ada dipikiran saya saat Reno telpon, hanyalah kehilangan, kehampaan, dan penyesalan, Pak. Selama perjalanan menuju ke sini, saya hanya membayangkan bagaimana caranya agar mati saja dari pada hidup penuh penyesalan. Jujur, demi Tuhan, saya enggak mau semesta mengabulkan permintaan saya untuk menjadi seorang yatim, saya menyesal pernah bilang seperti itu, Pak, saya bodoh saat itu. Ampuni saya, Pak, ampuni saya yang sudah durhaka kepada Bapak. Tolong ... Ampuni saya.” Tak hanya Haekal, Jovan pun ikut menitihkan air matanya saat mendengar permintaan maaf dari sang Anak yang terasa sangat menyentuh lubuk hatinya.

“Kal, ke sini, Nak, dekat lagi sama Bapak.” pinta Jovan, Haekal dengan langkah yang pelan mulai maju untuk mendekat ke arah Jovan.

“Demi Tuhan, Kal, saya cuma mau peluk kamu, bukan dengar permintaan maaf seperti tadi. Boleh kalau saya peluk kamu?” Haekal diam, tak menjawab, Jovan seakan mengerti dengan diam Haekal.

“Tapi kalau belum boleh enggak apa-apa, sini, Nak, duduk di samping Bapak aja, kita ngobrol-” Ucapan Jovan terhenti saat Haekal tiba-tiba memeluknya, walau lengan kanannya terasa sedikit nyeri kala pelukan itu mengenai bagian yang terluka, Jovan tak terlalu peduli dan melupakan rasa sakitnya.

“Maafkan Bapak, ya, Nak, maaf atas semuanya. Izinkan Bapak memperbaiki semuanya, izinkan juga Bapak menebus kekosongan sosok Ayah yang selama ini membuat kamu merasa hampa, Bapak janji, setelah ini hanya akan memberikan kamu dan Hanna bahagia, sudah cukup luka dan dukanya, ya? Kalian harus bahagia mulai dari sekarang, Bapak janji.” bisik Jovan sembari mengusap punggung anak kandungnya itu.

“Pak ...”

“Iya, Kal?”

“Masih hangat pelukan Bapak, masih sama seperti dulu, bedanya, sekarang saya tau sebab terasa hangatnya pelukan Bapak, itu karena Bapak adalah Ayah kandung yang selama ini saya khayalkan wujudnya.”

“Bapak telat, ya, Kal, kasih kamu rumah yang sesungguhnya?” tanya Jovan, masih membiarkan Haekal memeluknya, walau sakit di lengan kanannya semakin terasa karena semakin terasa ditekan oleh Haekal.

“Telat, tapi bukan masalah lagi untuk sekarang. Yang penting Bapak masih ada di dunia dan bisa saya lihat, itu sudah cukup, Pak. Jangan pergi lagi, ya, Pak? Tolong beri saya rumah yang hangat seperti waktu itu Bapak tawarkan”

“Saya enggak akan pergi, Kal, akan selalu ada untuk kamu dan Hanna.” ucap Jovan berjanji, kemudian dengan perlahan juga Haekal melepaskan pelukannya, dan duduk di samping Jovan.

“Terima kasih, ya, masih sudi menerima Bapak yang banyak kurangnya ini, Kal.” Jovan tersenyum bangga menatap Haekal yang sudah tumbuh dewasa, seperti tak menyangka anak yang selama ini ia impikan hadirnya di dunia, ternyata bertahan dan tumbuh besar menjadi pribadi yang kuat dan juga bersahaja.

“Pak saya boleh tanya?”

“Boleh dong, Jagoan.”

“Bapak lebih suka di panggil apa? Ayah atau Bapak oleh saya?”

image

-Ara

Setelah menghubungi Theo, Kuasa Hukum yang dipercayai Tama terkait rencananya yang pagi ini hendak mengunjungi ruang kerja Tama, Haekal segera bersiap untuk pergi ke sana. Ia menggunakan baju seragamnya, dan ditutupi hoodie agar tak menampakkan kemeja sekolahnya, Haekal berniat datang sendiri ke sana, ia tak mau melibatkan Hanna atau yang lainnya, mengingat Tama hanya meminta Haekal saja yang membuka isi Brangkas tersebut.

“Haekal?” panggil Hanna saat melihat Haekal yang sudah rapih, dan hendak mengenakan sepatu sekolahnya, “Kamu mau masuk sekolah? Jangan dipaksa, ya? Luka di kening kamu juga belum kering.” kata Hanna penuh kekhawatiran.

“Enggak apa-apa, Mah, saya baik-baik aja, kok.” respon Haekal tenang, tak mau Hanna curiga dengan tujuannya.

“Kamu yakin?” nampak Hanna ragu mengizinkan Haekal bersekolah, Hanna mengerti bahawa bukan hanya fisik, namun mental Haekal juga ikut terguncang dengan semua yang terjadi beberapa hari lalu. Apalagi dengan Haekal yang beberapa hari ini enggan keluar kamar, bahkan untuk makan saja, harus diantar ke kamarnya.

“Yakin, Mah, saya pamit ya, Mah?” ucap Haekal bangkit dari duduknya setelah menyelesaikan kegiatan mengikat tali sepatunya, tangannya terulur untuk mencium tangan Hanna.

“Hati-hati, ya?” walau berat rasanya, Hanna akhirnya mengizinkan Haekal untuk pergi ke sekolah, saat Haekal selesai mencium punggung tangannya, Hanna tak lekas melepaskan tangan Haekal. ditatapnya lekat penuh kekhawatiran wajah Haekal, “Janji ya kalau ada apa-apa di sekolah langsung hubungi saya, tolong ya, Haekal?”

“Mah ...” dengan pelan sekali, Haekal mencoba melepaskan tangan Mamahnya, “Haekal cuma mau ke sekolah, bukan pergi perang.” sambungnya dengan kekehan kecil yang terdengar.

“Diantar Mas Adi ya?” anjur Hanna, dengan segera Haekal menggeleng merespon anjuran itu.

“Naik bis aja kayak biasanya, atau nanti Haekal pesan ojek online. Mas Adi masih di rumahnya juga 'kan?” tolak Haekal dengan senyum yang berusaha ia paksakan. “Haekal berangkat ya, Mah.” pamit Haekal diiringi dengan langkah kakinya menuju pintu rumah.

Rasanya masih berat untuk Haekal bersikap seperti biasa kepada Mamahnya, semenjak Ia mengetahui jika Hanna turut menyembunyikan fakta tentang Jovan, ada rasa kecewa yang Haekal pendam terhadap Mamahnya, belum lagi dengan meninggalnya Tama, seperti muncul kembali dinding penghalang antara Haekal dan Mamahnya.

Untungnya tak lama setelah itu, ada telpon masuk dari ponsel Hanna, sehingga fokus Hanna yang tadinya hendak mengantar Haekal sampai ke depan teras rumah buyar seketika. Haekal mengambil kesempatan itu, hingga langkah kakinya berhasil sampai ke teras rumah tanpa ada halangan dan kekhawatiran berlebih dari sang Mamah.

Namun, kedua bola mata Haekal membulat saat dilihatnya Jovan yang sudah berdiri di depan teras rumah, dengan baju dinas yang sering ia gunakan untuk mengajar di sekolah.

“Haekal,” panggil Jovan yang juga nampaknya ikut terkejut dengan hadirnya Haekal dari balik pintu besar itu.

Mood Haekal yang tadinya sudah tidak bagus, seketika semakin berantakan saat ditemuinya wajah Jovan yang muncul tepat di depan pintu rumahnya. Masih terlalu pagi untuk berdebat pikir Haekal, hingga akhirnya ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya, seakan hadirnya Jovan tak terlihat olehnya.

“Boleh saya antar kamu ke sekolah?” tanya Jovan ragu, Haekal tak peduli, masih saja melanjutkan langkahnya.

“Haekal, Bapak minta maaf,” Seakan tak kenal kata menyerah, Jovan mengikuti langkah kaki Haekal menuruni anak tangga yang terdapat pada teras rumah keluarga Hanasta.

“Basi, saya sibuk dan buru-buru.” timpal Haekal enggan memelankan langkahnya, apalagi untuk menatap Jovan yang sedang berbicara dengannya.

Di luar perkiraan Haekal, Jovan mempercepat langkahnya dengan susah payah, sampai-sampai saat ini Jovan berhasil berdiri tepat di depan Haekal, dan otomatis membuat langkah Haekal terhenti agar tak menabrak Jovan.

Haekal yang suasana hatinya sudah sangat memburuk, semakin dibuat kesal oleh tingkah Jovan yang menghalangi langkahnya, baru saja Haekal hendak menumpahkan kekesalannya, Jovan sudah terlebih dahulu duduk bersimpuh lutut di hadapan Haekal, membuat Haekal seketika terdiam kaku.

“Maafkan Bapak, Kal, Maafkan semua kesalahan dan dosa Bapak,” lirih Jovan terdengar sangat menyedihkan, masih dengan posisinya yang berlutut memohon ampun kepada Haekal, ia benar-benar merendahkan dirinya agar sang Anak mau memaafkannya.

“Berdiri, Pak,” ucap Haekal lebih terdengar seperti meminta.

“Maafkan semua dosa saya, Kal, maafkan semua kegagalan saya, maafkan semua duka yang kamu rasa, maafkan Bapak yang enggak punya kekuatan melawan semua, maafkan karena kamu punya sosok Bapak yang gagal seperti saya, ampuni saya, Kal ...”

“Berdiri, Pak, saya enggak nyaman lihat Bapak kayak gini.”

“Maafkan saya-” ucapan Jovan terhenti saat Haekal memegangi kedua sisi bahu Jovan, dan membantu Jovan untuk kembali berdiri, saat Jovan sudah benar-benar berdiri, Haekal segera melepaskan tangannya yang ada di bahu Jovan barusan.

“Enggak perlu menurunkan harga diri demi mengemis maaf dari saya, itu sama sekali enggak berpengaruh besar.” walau terdengar ketus, namun masih nampak perasaan tak enak hati dari sorot mata Haekal.

“Saya pamit.” lanjut Haekal lagi, dan meninggalkan Jovan yang masih berdiri, sembari menatap kepergian Haekal dengan perasaan sedih, karena pagi ini masih gagal usahanya mendapatkan maaf dari sang Anak yang selama ini ia cari.


Pikiran Haekal saat ini sangatlah bercabang, apalagi setelah melihat Jovan yang berlutut di hadapannya, ada rasa tak enak hati dan juga bersalah ketika mengingat bagaimana putus asanya Jovan pada saat meminta maaf kepadanya, namun, sebagaian lagi dari dirinya masih enggan memaafkan Jovan yang ia anggap sebagai sumber dari segala duka dalam hidupnya.

“Haekal? Kamu bisa dengar saya 'kan?”

“Eh iya, maaf gimana, Pak Theo?” respon Haekal terlihat kebingungan saat sadar dari lamunannya, Theo hanya terkekeh pelan melihat ekspresi itu.

“Barusan saya tanya, kamu udah yakin dengan kata sandinya?” dengan sangat sabar, Theo mengulang pertanyaannya, lift yang mereka naiki masih berada di lantai 3, yang berarti masih ada sekiranya belasan lantai lagi untuk sampai di ruang kerja milik Tama.

“Sudah, Tama yang kasih tau sendiri waktu detik-detik ... akhirnya,” jawab Haekal dengan ragu, masih terasa sesak bagi Haekal ketika membahas kejadian itu, bayangan Tama yang menghembuskan napas terakhir di depannya seketika berkelebat dan membuatnya kembali diselimuti rasa bersalah.

“Oh iya, saya boleh tanya sesuatu, Pak Theo? Terkait hukum, sih ...”

“Boleh, sebisa mungkin saya jawab dengan pengetahuan saya, Kal.” Theo menanggapi Haekal dengan sangat ramah.

“Konyol, sih, mungkin, tapi saya benar-benar penasaran, ada gak sih hukuman buat orang yang lebih mendahulukan mengejar pelaku kecelakaan dibanding menyelamatkan korban?”

Theo tak langsung menjawab pertanyaan itu, sesaat ia menatap Haekal yang terlihat ragu dengan pertanyaannya, kemudian Theo kembali tersenyum.

“Masih di tahap enggak bisa terima kepergian Pak Tama ya, Kal?” Theo malah bertanya balik kepada Haekal, Haekal tak menjawab, pandangannya hanya menatap ke bawah.

“Enggak ada, Kal. Lagi pula, dari pada fokus menyalahkan orang lain, kenapa gak lebih fokus dengan tersangka yang sebenarnya, Kal? Kita bisa mengusahakan agar tersangka yang mengendarai mobil itu dihukum sebarat-beratnya, jadi kenapa harus repot-repot menyalahkan yang lain?” Haekal semakin tertampar ketika mendengar jawaban barusan, sampai-sampai ia kehabisan kata-kata untuk merespon jawaban Theo.

“Hasil dari otopsi dan penyelidikan TKP, membuktikan bahwa emang gak ada harapan lagi untuk selamat bagi Pak Tama. Ditabrak dengan kecepatan sekencang itu, dan terpental lumayan jauh, sangat kecil kemungkinan bisa terselamatkan. Saya dan tim menganggap Tuhan memberikan keajaiban, sampai-sampai Pak Tama masih bisa berbicara beberapa kalimat dengan kamu sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Jadi, mau secepat apapun pertolongan menuju rumah sakit, kemungkinan terselamatkan hanya sedikit, Kal, bahkan enggak sampai 10%.” papar Theo menjelaskan.

“Ambil hikmahnya atas semua yang terjadi, beruntungnya kita segera menemukan pelaku. Saksi yang mengejar pelaku juga terluka loh, Kal, barang kali kamu enggak tau?”

“Terluka?”

“Iya, beliau menabrakan mobilnya ke mobil pick up yang dipakai pelaku untuk memberhentikan mobil tersebut. Kalau enggak salah di bagian dadanya ada memar, dan kakinya juga luka. Mau diobatkan, tapi beliau nolak, katanya harus segera memastikan kondisi anaknya.” ungkap Theo, Haekal benar-benar tertegun ketika mendengar fakta itu, seketika bayang Jovan yang tadi berlutut di hadapannya terlintas, pantas saja Jovan terlihat sangat susah payah menyusul langkah kaki Haekal, itu semua dikarenakan luka yang Theo maksud barusan.

“Kal?” Haekal tak menjawab, ia masih termenung memikirkan Jovan.

“Haekal? Kita udah sampai, ayo?” Theo menepuk pelan bahu Haekal, berusaha menyadarkan Haekal, karena tak ada respon sama sekali dari Haekal.

“Eh? maaf, iya, Pak Theo, ayo.”


Tama benar-benar apik menyembunyikan Brangkasnya, siapa sangka dibalik lukisan abstrak yang ukurannya tak terlalu besar itu, terdapat sebuah Brangkas yang disembunyikan oleh Tama. Sudah dipastikan lukisan berukuran sedang itu sama sekali tak memikat perhatian orang-orang, karena, terdapat lukisan besar yang lebih menarik rasa penasaran orang lain, yang ternyata di balik lukisan besar tersebut tak terdapat apa-apa.

“Sudah siap, Kal?” tanya Theo, Haekal mengangguk mantap, kemudian jemarinya terulur untuk mengetikkan beberapa angka dari tanggal ulang tahunnya.

“Wah ternyata satu minggu lagi saya ulang tahun, hahaha.” gumam Haekal saat jemarinya mengetikkan angka yang dimaksud.

Tak lama kemudian, Brangkas itu terbuka, Tama benar-benar menggunakan tanggal lahir Haekal sebagai kata sandinya, seketika Haekal merinding tak percaya.

“Syukurlah! Saya udah khawatir banget kalau Brangkas ini gak akan bisa terbuka, Kal.” ucap Theo dengan perasaan leganya. “Oke, ada beberapa kertas dan berkas sepertinya. Saya enggak mau mengganggu privasi kamu dan Pak Tama, jadi silahkan kamu lihat-lihat dulu dan ambil berkas itu, saya menunggu di luar sembari berjaga ya, Kal?” ujar Theo dan segera direspon dengan sebuah anggukan oleh Haekal. Kemudian, Theo beranjak pergi, meninggalkan Haekal sendirian di ruang kerja Tama, yang nampaknya sudah lama tak disentuh, terlihat sekali dengan banyaknya debu.

Sebelum melihat isi dari Brangkas itu, Haekal terlebih dahulu mempersiapkan dirinya, entah fakta apalagi yang akan terungkap setelahnya, yang pasti Haekal sudah bisa menebak, brangkas ini akan kembali mempermainkan jalan hidupnya.

Dengan sangat ragu, jemari Haekal akhirnya mengambil lembaran kertas yang terdapat pada tumpukan paling atas. Kedua alis Haekal bertaut saat melihat kertas yang sudah sangat lusuh itu, nampak sekali kertas tersebut sudah tersimpan lama, apalagi dengan warna kertas tersebut yang sudah menguning.

image

“Jo?” gumam Haekal seorang diri, “Nenek? Tanggung jawab? Kasta? Janin?” Haekal semakin bingung dengan maksud dari surat itu.

Merasa belum cukup dengan surat pertama yang ia baca, Haekal mengambil lima tumpuk kertas selanjutnya, berbeda dengan surat sebelumnya, lima kertas itu masih nampak bagus dibanding yang sebelumnya.

image1

image2

image3

image4

image5

Tanpa disadari saat ini Haekal sudah duduk terjatuh, kakinya tak sanggup lagi berdiri, sekujur tubuhnya terasa lemas tak karuan setelah membaca surat yang panjang itu. Tangannya melemas, sampai-sampai surat yang ia pegang, sudah berjatuhan ke lantai marmer ruang kerja Tama.

“Bercanda banget dunia ...”

Pikirannya benar-benar kusut saat ini, detak jantungnya pun ikut berdebar lebih kencang dari sebelumnya, napasnya juga terasa semakin berat. Ia hanya mampu menatap kosong ke depan, dan perlahan menjambak kesal rambutnya.

“Bercanda sumpah, LELUCON BANGSAT!” teriaknya frustasi, matanya sudah memerah, deru napasnya semakin terdengar, tangannya meninju kesal lantai marmer itu. “Keluarga Hanasta anjing, bangsat. Nenek, Kakek, Wisnu, penjahat gak punya hati.” desisinya penuh dendam.

“Argh!” Kembali ia meninju marmer itu, tak peduli dengan buku-buku jarinya yang saat ini sudah memerah akibat memar dari hantaman keras tangannya terhadap lantai.

“Bangsat, bajingan ... Hancur semuanya ... Keluarga Hanasta sampah.” Haekal kalut sendirian, ia sangat murka namun tak bisa tersalurkan, karena pelaku utama- Kakek dan Neneknya sudah tak ada di dunia.

Haekal sangat marah atas semua yang terjadi pada hidupnya, Hanna, Jovan dan juga Tama. Ternyata semua berawal dari keangkuhan keluarga besarnya, ternyata harta dan kasta berhasil membuat Nenek dan Kakeknya menjadi manusia yang tak kenal belas kasihan.

“Demi Tuhan, kalau bisa saya meminta, lebih baik saja enggak usah dilahirkan dari keluarga ini, keluarga badebah.” geram Haekal sendirian.

Saat hendak kembali meninju, suara panggilan masuk menghentikannya. Awalnya Haekal berniat untuk mendiamkan panggilan itu, namun, saat dilihatnya nama Reno yang nampak dari layar ponselnya, terpaksa Haekal mengangkat, dengan niatan ingin segera menanyakan keberadaan Jovan di sekolah.

“Halo Kal?” terdengar suara Reno yang tak seperti biasanya.

“Ya? ada apa?”

“Pak Jovan, Kal ...”

“Pak Jovan kenapa? Ada di sekolah 'kan? Saya mau ke sana, tolong bantu saya manjat tembok belakang, ya?”

“Pak Jovan Kal, astaga barusan dia ketimpa kayu gede yang tukang bangunan sekolah jatuhin.”

Haekal terdiam saat mendengar ucapan Reno barusan, yang terlintas dipikirannya saat ini hanyalah darah yang bercucuran seperti kemarin melihat Tama kesakitan.

“Kal?”

“Kal? Lo masih dengerin gue?”

“Haekal Hanasta!”

“Di mana, Reno? Ayah di mana sekarang?” sahut Haekal dengan suara yang terdengar bergetar.

“Rumah sakit deket sekolah, gue ada di depan pintu IGD-”

Haekal segera mematikan sambungan telpon, dengan panik ia memasukkan semua kertas dan berkas yang ada di Brangkas itu ke dalam tas gendong yang ia bawa.

Setelah memastikan tak ada yang tertinggal, ia segera berlari menuju pintu keluar, untuk segera pergi menuju rumah sakit yang Reno maksud barusan.

“Haekal? kenapa? sudah selesai-”

“Nanti saya kabari!” seru Haekal kepada Theo yang nampak kebingungan dengan Haekal yang berlari menuju lift gedung, meninggalkan Theo tanpa penjelasan sedikitpun.

Haekal dengan tak sabar menekan tombol lift, berkali-kali dengan panik, berharap dengan cara seperti itu bisa membantunya keluar dengan cepat dari gedung ini untuk menuju rumah sakit. Beberapa detik kemudian, pintu lift tertutup, hanya Haekal sendiri yang ada di lift.

Ia berkali-kali membenturkan kepalanya pada dinding lift dengan cukup keras, sembari mengutuk dirinya sendiri.

Air mata yang berusaha ia tahan, akhirnya tumpah juga, ia menjatuhkan tubuhnya di lantai lift saking kalutnya, tak peduli apabila ada orang lain yang masuk ke dalam lift nantinya.

“Ampuni Bapak, Kal ...” Kalimat tersebut berkali-kali terdengar di telinganya, membuatnya semakin ketakutan.

“Tolong, jangan lagi kasih kehilangan ... Tuhan, saya percaya Tuhan itu ada, jadi tolong, ya? Jangan ambil Ayah saya seperti kemarin kamu ambil Tama ... Saya enggak tau akan gimana nantinya, saya enggak sekuat itu untuk menghadapi perpisahan yang tiba-tiba. Tuhan ... Tolong, ya? Kasih saya kesempatan untuk minta maaf kepada Ayah ...” pinta Haekal.

-Ara.

Kalau gambar suratnya gak jelas, langsung cek link ini ya : https://twitter.com/kejeffreyan/status/1460289767036227586?s=21

tw // Accident tw // blood


Sidang pertama Yatno, yang agendanya adalah pembacaan surat dakwaan berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya. Hanna yang didampingi oleh kuasa hukum, dan juga Jovan yang menemaninya selama berjalannya persidangan pertama, sedikit merasa lega karena tak ada bantahan yang cukup kuat dari pihak lawan.

Yatno hanya mampu menunduk malu selama persidangan pertama, wajahnya juga terlihat pucat, dan badannya yang besar nampak menyusut tak segar seperti sebelumnya. Sempat juga diakhir persidangan, sebelum ditarik lagi menuju jeruji besi, Yatno menatap Hanna penuh mohon, seperti mengisyaratkan agar Hanna mau mengampuninya kali ini, namun, Hanna sama sekali tak merespon itu, dan malah memberikan senyum sinis penuh arti kepada Yatno.

“Darto belum ketemu juga, ya?” tanya Jovan, saat mereka berjalan keluar dari ruang sidang.

“Masih belum, pengecut itu lihai juga sembunyinya. Tapi aku yakin, sebentar lagi juga dia ditemukan.” Jovan yang mendengar jawaban itu, hanya tersenyum dan mengusap bahu Hanna pelan.

“Sabar, dan harus hati-hati juga, ya?” ucap Jovan pelan.

“Tipikal kayak dia tuh enggak tau diri, Kak, dikasih hati, eh malah minta jantung. Padahal aku udah berbaik hati banget kemaren kasih dia kesempatan, tapi, malah ngelunjak,” omel Hanna tak tertahan, Jovan terkekeh mendengar celotehan itu, membuat Hanna semakin merasa kesal. “Kok malah ketawa?” protes Hanna tak terima dengan respon Jovan barusan.

“Kamu lucu, Na, kalau lagi marah, enggak berkurang cantiknya.” tutur Jovan terus terang, membuat Hanna seketika salah tingkah dengan pengakuan tersebut.

“Apa sih, kayak anak muda aja suka gombal,” gumam Hanna pelan, pandangannya menunduk, tak mau Jovan melihat kedua pipinya yang mulai terasa panas.

“Jiwa muda saya masih terperangkap di kamu, Na, jadi wajarkan aja, ya? hahaha.” tawa Jovan sembari membawa jemari Hanna kepada genggamannya, lanjut berjalan menuju Area luar pengadilan dengan tangan yang sudah bertaut nyaman pada jemari Hanna.

“Saya lihat Tama tadi, Na, ada di bangku belakang yang menghadiri sidang,” ucap Jovan saat berjalan, Hanna langsung menoleh kepada Jovan, menatap Jovan bingung, dan memelankan langkah kakinya saat nama Tama disebut oleh Jovan.

“Ngapain dia hadir?”

Jovan mengangkat kedua bahunya, menandakan ia juga tak tahu, “Entah, Na, saya juga bingung kenapa dia hadir ke persidangan.” ucap Jovan balas menatap Hanna, berikutnya tiba-tiba Jovan menghentikan langkah kakinya, “Sebentar, Na.” Tangan Jovan yang tadinya sedang menggengam erat Hanna, dilepasnya pelan, kemudian tangannya terangkat untuk merapihkan beberapa helai anak rambut Hanna yang jatuh tak beraturan.

Hanna terdiam dengan kelakuan tiba-tiba Jovan yang berhasil membuatnya menahan napas untuk seperkian detiknya, kedua bola mata Hanna menatap lekat Jovan yang sedang fokus membenarkan anak rambutnya, dengan jarak yang mungkin hanya dua jengkal saja di antara mereka.

“Sudah rapih,” ucap Jovan kemudian mengusap-usap puncak kepala Hanna lembut, “Cuekin aja kali, ya, si Tama. Kalau dia macam-macam, nanti saya yang turun tangan langsung, kamu jangan khawatir, ya?” sambung Jovan balas menatap dalam kedua netra Hanna.

Hanna mengangguk, bak dihipnotis dengan perkataan Jovan barusan, seperti tak punya kuasa selain menuruti dan mempercayai Jovan.

“Yuk, ke mobil.” ajak Jovan kembali menggenggam Hanna, menuntun langkah kaki wanita yang ia cintai itu.

Bagi Hanna, Jovan tetap sama seperti belasan tahun lalu saat mereka bersama. Masih dengan tutur kata lembutnya kepada Hanna, dan dengan sikapnya yang sangat hati-hati dalam hal memperlakukan Hanna.

“Kak, udah jam 2 ya sekarang?”

“Iya, udah jam 2 lebih malah. Ada apa, Na?”

“Tadi Haekal bilang, pulang sekolah mau nyusul, kan dekat juga tuh dari sekolahnya ke sini, tapi enggak tau nih, Aku belum hubungi Haekal lagi, takutnya udah nunggu di luar.” kata Hanna dengan tangannya yang saat ini merogoh isi tasnya, mencari ponsel miliknya, berniat untuk langsung menghubungi Haekal.

“Iya coba dihubungi dulu, Na,” Jovan kembali mengulas senyumnya kepada Hanna, “Saya nanti pulangnya pisah mungkin, Na, khawatir Haekal enggak nyaman kalau ada saya di mobil.” lanjut Jovan lagi, jemari Hanna yang tadinya sibuk mengetikkan sebuah nama di layar ponsel, seketika berhenti kala mendengar ucapan Jovan barusan, dilihatnya Jovan masih dengan senyuman yang sama seperti sebelumnya, namun kini matanya tak bisa membohongi kesedihan yang sedang ia sembunyikan, membuat Hanna teramat merasa iba dengan Jovan.

“Nanti aku ngomong ke Haekal, pulang bareng kita aja pokoknya, ya, Kak.” ucap Hanna berusaha untuk menenangkan Jovan.

“Enggak perlu, buat saat ini, kenyamanan Haekal yang pertama, Na. Saya antar kamu sampai mobil, ya? Nanti diperjalanan pulang hati-hati, jangan ngebut, janji?”

“Kak ...”

“Enggak apa-apa, Na, masih belum bisa Haekal terima saya, jangan dipaksa.”


Jarak yang tak cukup jauh dari sekolah menuju pengadilan tempat di mana Yatno sidang, Haekal tempuh dengan berjalan kaki, walau Reno sempat menawari Haekal tumpangan menggunakan motor miliknya, Haekal menolak, dengan alasan tak mau dibonceng orang yang belum mempunyai SIM.

Tibalah Haekal di pekarangan luas yang terdapat di depan pengadilan, ia hanya berdiri seorang diri di sana, ingin masuk ke dalam, tapi ia ragu, apalagi dengan dirinya yang saat ini masih mengenakan seragam sekolah, khawatir malah diusir oleh satpam yang berjaga di pintu depan pengadilan.

Haekal lihat jam yang melingkar pas di tangan kanannya, sudah menunjukan pukul 14.00 lebih, kemungkinan persidangan yang dihadiri oleh Mamahnya sudah berakhir. Ketika Haekal hendak menelpon Sang Mamah, sebuah notifikasi pesan masuk dari nomer tak dikenal kembali mengancamnya, sama persis seperti hari kemarin yang Haekal kira hanya berasal dari orang jahil saja.

image

Kening Haekal mengkerut saat membaca pesan ancaman itu, berusaha untuk abai, namun tetap saja tak bisa. Kali ini Haekal mempunyai firasat sesuatu yang buruk akan terjadi, namun dilain sisi, ia juga tak mau membuat Sang Mamah khawatir, sehingga masih memilih untuk diam dan tidak melaporkan beberapa pesan yang menganggunya dari kemarin.

“Hei, aduh sakit-” Seseorang menepuk pundak Haekal yang sedang melamun kebingungan, dengan gerakan refleks Haekal menyingkirkan tangan tersebut dari bahunya dan mencoba mencengkram kencang tangan tersebut, sebagai bentuk perlindungan dirinya.

“Saya, Kal, ini saya, Tama.” ringis orang tersebut, dengan segera Haekal melepas cengkraman kencangnya itu saat mendengar ringisan kesakitan dari suara yang mulai ia ingat dan kenal.

“Astaga Tama, saya kira siapa.” ungkap Haekal diiringi napas leganya, sempat juga ia memeriksa detak jantungnya yang seketika berpacu cepat akibat kehadiran tiba-tiba Tama, yang ia kira orang jahat yang akan mencelakainya.

“Aduh My Son, saya ikut kaget jadinya, mana tangan saya sakit banget jadinya,” keluh Tama mengusap-usap tangannya menandakan bahwa rasa sakit akibat cengkraman Haekal benar-benar terasa.

Walau rasa bersalah sedikit menghampiri, namun Haekal tetaplah Haekal yang Tama kenal, tak kenal kata 'maaf' dan 'terima kasih' untuk ditujukan kepada Tama, “Saya kira kamu udah gak ada di dunia ini, Tama.” sindir Haekal.

“Maksudnya, saya udah di akhirat?”

“Soalnya kayak ditelan bumi, aneh, tiba-tiba hilang, bikin heboh media. Lagi cari perhatian, kah?” ucap Haekal masih ketus seperti biasanya, Tama terkikik mendengar ucapan sarkas itu, sedangkan Haekal masih menatap datar Tama yang tertawa tak sudah-sudah.

“Aduh, hahaha, udah lama banget enggak denger pedesnya mulut Haekal.”

“Dari mana aja, dan dosa kamu apa sampai-sampai kabur seperti ini, Tama?” pertanyaan itu berhasil membungkam Tama yang tadinya masih asik menertawakan perkataan pedas Haekal, saat itu juga ekspresi wajah Tama berubah.

“Kamu juga masih belum jawab pertanyaan saya, kamu ini baik atau jahat?” lanjut Haekal lagi menyerbu Tama dengan pertanyaan yang selama ini sangat mengganjal baginya.

Ada senyum tipis yang tergambar di wajah Tama saat mendengar pertanyaan tersebut, pandangannya manatap kosong jalanan aspal di depan, napasnya yang dihembuskan terdengar berat di telinga Haekal, “Abu-abu, Kal. Saya pendosa, tapi juga terpaksa melakukan dosa.” jawabnya ragu.

Haekal tak merespon Tama, ia masih menatap lekat Tama, berusaha melihat jawaban dari mimik wajah Tama, mencoba mencari apakah ada bohong yang Tama ucap saat ini, namun, yang Haekal temui hanyalah ekspresi penuh penyesalan saja di wajah Tama.

“Ikut saya sekarang bisa, Kal? Ada banyak yang mau saya jelaskan ke kamu.”

“Jelaskan apa?”

“Banyak, Kal, tentang Hanna, tentang Jovan, tentang-”

“Sebentar, Tama,” Haekal menghentikan Tama yang sedang berbicara, saat nada dering dari ponselnya berbunyi, dilihatnya layar tersebut menampilkan panggilan masuk dari Mamahnya, dan tanpa menunggu lama, Haekal segera mengangkat panggilan itu.

“Ya, Mah?” sahut Haekal langsung.

“Di mana, Kal? Jadi ke Pengadilan?” tanya Hanna dari sebrang telpon.

“Jadi, Mah, udah di depan, nih, sudah selesai sidangnya?”

“Loh di depan sebelah mana? Saya juga baru keluar pintu masuk nih, Kal.”

Mendengar itu, Haekal segera melirik ke depannya, terlihat sang Mamah yang baru saja keluar dari pintu masuk pengadilan, sedang berdiri di depan pilar Pengadilan dengan mata yang terlihat beredar ke segala arah, mencari sosok Haekal sepertinya.

“Lihat ke arah jam 12, Mah, ada Haekal lagi dadah-dadah.” seru Haekal sembari melambaikan tangannya, dengan senyum yang mengembang kala melihat sang Mamah keluar dari gedung pengadilan. Namun, senyum dari bibir Haekal tak bertahan lama, senyum itu meluntur saat dilihatnya Sang Mamah ditemani sesosok pria yang saat ini masih Haekal benci dan tak Haekal harapkan kehadirannya, Jovan.

“Oh iya saya lihat!”

“Haekal sama Ta-” saat Haekal menoleh ke sampingnya, Tama sudah menghilang dari sisinya, sempat Haekal celingukan mencari sosok Tama yang baru saja mengobrol dengannya.

“Kenapa, Kal?”

“Enggak, Mah...” jawab Haekal, walau matanya masih berusaha mencari sosok Tama yang tiba-tiba menghilang. “Haekal samperin ke sana, ya, biar tas Mamah, Haekal yang bawa.” ucap Haekal lagi.

“Eh enggak usah-”

“Gak apa-apa, bentar, Haekal jalan ke sana, telponnya dimatikan, jangan? Jangan deh, soalnya Haekal enggak percaya sama orang yang lagi berdiri di samping Mamah.” ujar Haekal menyindir kehadiran Jovan yang sangat tak ia harapkan.

Haekal mulai berjalan menuju Mamahnya, hendak menyebrangi jalanan aspal penghubung antara parkiran dan pintu masuk pengadilan, tangan sebelah kanannya masih memegangi ponsel untuk ditempeli ke telinganya, memastikan sambungan telpon Mamahnya tak dimatikan, walau jarak menuju sang Mamah sangatlah dekat, namun tetap saja Haekal tak mempercayai sosok yang ada di samping Mamahnya.

“Mah,” panggil Haekal masih melalui sambungan telpon. Hanna tak menjawab dengan suara, namun dari kejauhan beberapa meter, Haekal bisa lihat sang Mamah yang menaikkan kedua alisnya merespon panggilan itu, Haekal tersenyum saat melihat itu, dan semakin mempercepat langkah kakinya, “Hari ini ulangan Ekonomi saya dapat nilai 100, bener semua dan paling tinggi diantara yang lain.” lanjut Haekal bercerita.

“Hebat Haekal.”

“Mamah bangga 'kan? Saya-”

“HAEKAL AWAS!!!” Teriakan itu mengagetkan Haekal yang tadinya fokus bercerita, saat dilihatnya ke arah kanan, sebuah mobil sedang melaju kencang dan siap menghantam tubuhnya yang seketika terasa kaku tak karuan. Haekal hanya mampu menutup matanya, pasrah dengan apapun yang akan terjadi pada dirinya.

BRUK

Haekal merasa terdorong ke depan, dan kepalanya terbentur sesuatu yang keras.

Tak lama kemudian, yang bisa Haekal dengar adalah suara keras dari hantaman mobil itu yang entah mengenai siapa, dan berbagai macam teriakan histeris di sekitar, terutama yang paling terdengar adalah pekikan dari Sang Mamah yang sangat Haekal kenal.

“HAEKAL!”

“TOLONG!!!”

“TABRAK LARI!”

“ADA YANG DITABRAK!”

“AMBULANS! AMBULANS!”

“Saya yang kejar mobil itu, Hanna saya pinjam mobil kamu, ya!”

Kira-kira teriakan dan perbincangan seperti itulah yang mampu Haekal dengar, bau dari pekatnya darah mulai terasa oleh indra penciuman Haekal, darah yang mengalir melewati dahi dan hampir mengenai kelopak mata mulai dirasa oleh Haekal. Butuh beberapa detik untuk Haekal bisa sadar, bahwa dirinya sudah didorong oleh seseorang, sehingga terhindar dari mobil yang melaju kencang, dan butuh beberapa detik juga untuk Haekal mampu membuka matanya, dan berusaha melihat sekitar yan di belakangnya kini sudah berkerumun banyak sekali orang.

“Haekal, Haekal, kamu bisa dengar Mamah?!”

“Mah ... siapa itu, Mah ... yang dorong Haekal ...” walau kepalanya terasa sangat sakit sekali karena benturan yang cukup keras, Haekal berusaha bangkit untuk melihat sosok yang telah menyelamatkannya hingga mengorbankan dirinya sendiri untuk Haekal.

Walau sempat ditahan oleh Hanna untuk bangkit, Haekal kukuh beranjak untuk melihat sosok yang sudah dikerumuni oleh orang-orang, didampingi Hanna, Haekal berjalan tertatih-tatih menuju kerumunan itu.

“Tama ...” gumam Haekal tak percaya, saat dilihatnya sosok yang sedang dikerumuni itu adalah Tama, ia sudah terlentang dengan banyak sekali darah yang terus mengucur hingga memenuhi sekitar aspal.

“Tama? Tama!” tak memedulikan keruman itu, Haekal dengan sisa tenaganya segera menghampiri Tama yang dipenuhi dengan banyak darah, terutama dibagian kepalanya.

“Tama! Tama! Tama kamu masih bisa dengar saya?! Tama!” jerit Haekal sembari menggoyang-goyangkan bahu Tama, berusaha mengembalikan kesadaran Tama yang matanya sudah hampir tertutup oleh darah.

“Kal...” gumam Tama pelan sekali, terdengar sangat lemah.

“Ambulans! tolong panggil Ambulans secepatnya!” teriak Haekal kepada kerumunan orang-orang yang masih berdiri memperhatikan Tama dan juga dirinya. Hanna ikut duduk, dan mengusap pundak Haekal, “Sedang diperjalanan, Kal.” ucapnya menahan tangis agar tak tumpah.

“Tama! bertahan! Jangan tidur, Tama! cengkram tangan saya, mata kamu enggak boleh tertutup, ya? Jangan tidur, Ambulans sebentar lagi sampai.” seru Haekal mulai tak beraturan karena rasa paniknya.

“My Son ... uhuk ...” suara Tama tertahan oleh batuknya diiringi oleh darah yang keluar dari mulutnya, membuat Haekal dan Hanna yang melihat itu semakin khawatir dan tak tenang.

“Tama jangan banyak bicara, sebentar, sebentar Tama, tahan, tahan, ya?” Jemari Haekal terulur untuk memegangi pipi kanan Tama yang juga sudah dipenuhi banyak darah.

Hanna yang tak tahan melihat itu, segera bangkit dan meminta pertolongan dari orang-orang yang berkerumun, “Tolong pinjam mobil, udah enggak ada waktu lagi. Tolong, mobil saya dipakai untuk kejar pelaku tadi, tolong siapapun yang punya mobil di sini!” Hanna meminta bantuan kepada orang-orang sekitar.

“My Son ...” lagi terdengar suara kecil yang sudah sangat melemah itu dari bibir Tama yang sudah sangat pucat.

“Iya, Tama?” Haekal semakin mendekatkan dirinya, agar bisa dengan jelas mendengarkan suara lemah milik Tama.

“Maaf ...,” lirih Tama sembari kesakitan, Haekal menggeleng pelan ketika mendengar permintaan maaf itu.

“Jangan minta maaf! Cukup tetap sadar sampai Ambulans atau mobil bantuan datang, sebentar, tahan, ya, Tama.”

“My Son ... brangkas saya ... pakai kata sandi ... ulang tahun ... Haekal ...” ucap Tama susah payah, Haekal tak mengerti dengan ucapan Tama barusan.

“Kal ... maafkan saya ... saya banyak dosa ...”

“Tama jangan banyak bicara! Jangan minta maaf terus! Kamu akan bertahan, tahan dulu, Tama, tahan!” kali ini Haekal meminta sungguh-sungguh kepada Tama agar tetap bertahan hingga bantuan datang, air mata Haekal sudah tak tertahan lagi, perih di kepalanya seakan terlupa, berganti dengan rasa panik dan takut yang semakin menjadi.

“Kamu enggak boleh mati, Tama! Jangan minta maaf terus!” kali ini suara Haekal lebih mirip seperti anak kecil yang sedang merengek agar tak ditinggalkan.

“My Son ... akhh ... maaf ...”

“Enggak, Tama! Jangan kayak gini! Bertahan, saya mohon, Tama.”

“Senang bisa tebus dosa ... Saya tenang ... untuk pergi sekarang ...” Semakin deras air mata Haekal berlinang ketika mendengar perkataan Tama barusan, Haekal sudah tidak bisa berkata-kata lagi, ia hanya mampu memegangi pipi kanan Tama, dan menutup matanya ketika suara napas Tama semakin terdengar berat dan susah untuk ditarik dan juga dihembuskan.

“My Son ...”

“Om Tama, bertahan, ya?” bisik Haekal pelan, walau hampir dipenuhi oleh darah, Haekal masih bisa melihat senyum terukir di bibir Tama kala Haekal memanggilnya 'Om' untuk pertama kalinya.

Jemari Tama dengan susah payah mencoba mengusap wajah Haekal untuk yang terakhir kalinya, namun sayang, hanya beberapa detik saja ketika jemarinya berhasil meraih wajah Haekal, napas panjangnya terdengar dihembuskan, lalu detik kemudian mata Tama benar-benar tertutup, diiringi dengan jemarinya yang ikut terjatuh ke bawah.

“Tama?” panggil Haekal.

“Tama? Bangun Tama! Saya kan sudah minta supaya kamu enggak tidur. Bangun Tama!”

“TAMA! TAMA JANGAN PERGI!” teriak Haekal.

“Innalillahi ... Sudah enggak ada a' denyut nadinya.” tutur seorang pria yang mencoba memeriksa keadaan Tama yang baru saja menutup mata.

“Tama ... Bangun ... Maafkan saya, ya? Maafkan saya yang sering ketus ke kamu, saya janji, saya bakal ramah ke kamu kalau kamu bangun. Demi Tuhan, saya juga bakal panggil kamu, Om, atau apapun panggilan yang kamu mau, bangun, Tama! bangun!” Dengan sangat putus asa, Haekal menggoyang-goyangkan bahu Tama, namun, tak ada respon apapun dari Tama.

Sekencang apapun teriakan Haekal memanggil, Tama sudah tak bisa lagi membuka matanya. Sederas apapun air mata yang tumpah ruah di pipi Haekal, tetap saja tak mampu membuat Tama kembali sadar. Tama sudah pergi menuju kedamaian yang abadi, dengan perasaan lega atas dosa-dosanya selama ini yang sudah berhasil ia tebus di detik-detik akhir sisa hidupnya.

Selamat jalan, Tama Erlangga.

image

-Ara.