kejeffreyan

Hanya butuh waktu 5 menit untuk Haekal menempuh perjalanan menuju stasiun kereta, mengendarai motor matic milik Reno dengan kecepatan diatas rata-rata, hanya untuk bertemu dengan Azalea terakhir kalinya.

Haekal berlari, tak peduli dengan beberapa orang di stasiun yang menatapnya penuh kebingungan, bahkan tak jarang Haekal menabrak bahu dari para penumpang yang sedang menunggu kedatangan kereta, Haekal tak peduli, ia hanya ingin melihat Azalea saat ini.

Sampai akhirnya ia menemukan kereta yang masih berhenti, menunggu jadwal untuk berangkat pergi. Terlihat dari luar kaca jendela kereta, gerbong-gerbong itu sudah dipenuhi oleh para penumpang.

Haekal tak tahu ada di gerbong mana Azalea saat ini, Haekal hanya berjalan pelan, sembari melihat wajah-wajah yang tampak dari luar kaca jendela kereta, berharap ia menemui sosok Azalea, sebelum berjalannya kereta itu meninggalkan stasiun untuk menuju kota tujuan.

Tiga gerbong Haekal lewati, namun belum juga ia dapati sosok Azalea. Dilihatnya layar keberangkatan, hanya tersisa sepuluh menit saja untuk kereta itu pergi meninggalkan stasiun, Haekal sudah pasrah, jika memang ia ditakdirkan berpisah tanpa melihat wajah manis Azalea dan meminta maaf atas kemarahannya kemarin, sebisa mungkin Haekal akan berusaha lapang dada, walau penyesalan sudah dipastikan akan terus menghantuinya.

Sampai akhirnya, saat langkah Haekal sampai di luar gerbong ke lima, matanya menangkap sesosok gadis yang sedang duduk di bangku pinggir jendela, dengan topi yang ia gunakan dan kepala yang tertunduk sembari menumpuhkan dagunya menggunakan tangan kirinya. Walau hanya dari luar, Haekal sudah sangat mengenali postur gadis itu, itu adalah Azalea, gadis yang ia cari sedari tadi.

Haekal menghentikan langkahnya, memandang Azalea dari luar kereta, keberaniannya untuk mengetuk kaca jendela seketika menciut, ia benar-benar merasa bersalah, takut apabila harus menatap mata Azalea.

“Maaf,” gumam Haekal pelan, yang pasti suaranya tak akan bisa didenger oleh Azalea yang ada di dalam kereta. Rasa bersalah dan menyesal benar-benar menahan Haekal untuk mengetuk kaca jendela, ia hanya mampu memandang Azalea dari luar, dan membayangkan betapa beratnya kehidupan yang selama ini Azalea jalani.

“Saya enggak pantas dapat maaf dari malaikat sebaik kamu, Lea,” lirih Haekal lagi.

Waktu pemberangkatan semakin dekat, Haekal masih memilih diam dan berdiri kaku di pinggir peron kereta, ia memilih berpisah seperti ini saja, hanya melihat wajah Azalea dari jauh, berusaha mengingat setiap inci dari wajah manis itu, agar nanti apabila rindu datang menghampiri, ia masih bisa membayangkan dengan jelas bagaimana paras ayu nan lembut itu berhasil membuatnya jatuh cinta.

Semakin Haekal memperhatikan wajah itu dari kejauhan, semakin terasa juga sakit di dada Haekal karena perpisahan. Nantinya, sudah tak bisa lagi Haekal temui si pendiam yang duduk di barisan ketiga samping kanan bangku kelas, tak ada lagi gadis manis yang akan memberikannya rangkaian bentuk origami di akhir pertemuan, dan tak akan lagi Haekal dapati pesan yang berisikan kekhawatiran Azalea saat dirinya merokok di luar lingkungan sekolah.

Seandainya Haekal tahu, jika perpisahan akan datang secepat ini. Seandainya Haekal mengerti apa yang terjadi sebenarnya antara Azalea dan Pak Jovan, sudah pasti akan Haekal ukir kenangan indah di antara keduanya, menyambut perpisahan yang akan datang menghampiri. Setidaknya Haekal bisa memberi bahagia, walau hanya sesaat, untuk Azalea kenang. Tidak seperti sekarang, yang ada hanyalah kesalahpahaman, dan yang berbekas sebelum perpisahan hanyalah kemarahan Haekal saja.

Haekal memilih untuk beranjak pergi, merelakan perpisahan yang seperti ini adanya. Walau sesak benar-benar menyiksa, Haekal langkahkan kakinya untuk menjauh dari kereta.

“Haekal!” Suara panggilan dari belakang, berhasil menghentikan langkah kaki Haekal yang akan pergi. Suara kecil itu sangat Haekal kenali, sempat Haekal memukul pipinya sendiri, berusaha menyadarkan diri bahwa panggilan yang barusan ia dengar hanyalah halusinasi semata.

“Kal, kamu ke sini?” Lagi Haekal dengar suara itu, rasanya tak mampu Haekal membalikkan badannya untuk melihat sosok yang memanggilnya barusan. Suara itu sangat jelas sekali, dan ini bukanlah sekedar halusinasi Haekal saja, sosok itu benar-benar berdiri di belakang Haekal saat ini.

“Kal?” panggil Azalea lagi.

Haekal masih diam, menatap kosong ke lantai putih, sibuk mempertimbangkan apakah harus menoleh atau langsung pergi saja, agar lapang hatinya menerima perpisahan.

“Kamu ke sini buat aku 'kan, Kal?” tanya Azalea, tak menyerah untuk mengajak Haekal berkomunikasi dengan waktu yang hanya tersisa sedikit.

“Aku pergi ya, Kal? Kamu jaga diri baik-baik di sini, jangan terlalu banyak merokok, jangan-” Kalimat Azalea terhenti, saat Haekal tiba-tiba datang menghampirinya dan langsung memeluk Azalea erat, seakan menandakan bahwa Haekal tak mau berpisah.

“K-kal?” panggil Azalea ragu saat masih berada di dalam dekapan Haekal yang erat. Haekal tak menjawab, ia hanya berdeham dan semakin mengeratkan pelukannya, seperti menahan Azalea agar tak pergi kemana-mana.

Saat pengumuman pemberitahuan kereta yang Azalea naiki tadi akan segera berangkat, pelukan itu perlahan Haekal lepas, digantikan oleh tatapan sendu milik Haekal, “Harus pergi, ya?” tanya Haekal pelan. Azalea menunduk, kemudian mengangguk merespon pertanyaan tersebut, setelahnya yang terdengar hanya hela napas berat milik Haekal.

“Berapa lama?”

“Selamanya aku di sana, Kal ...”

“Kenapa?”

Azalea tak menjawab, ia pun bingung harus menjawab apa atas pertanyaan Haekal barusan.

“Kamu benci saya, Lea? Makanya memilih pergi dari kota ini, iya?”

“Kal, aku enggak pernah benci kamu. Mungkin ... kamu yang benci aku ...” jawab Azalea ragu.

“Kemarin, iya. Saya benci kamu dengan ketidaktahuan saya, dan saat ini saya sedang menyesal karena sempat benci kamu.” ucap Haekal serius, “Jangan pergi, bisa?” tanya Haekal lebih mirip seperti sedang meminta.

“Enggak bisa, Kal. Rumah itu seharusnya bukan untuk aku.”

“Saya belikan rumah yang baru.” ujar Haekal tanpa ragu, Azalea terkekeh kecil mendengar ucapan itu, terdengar seperti candaan, padahal sudah dipastikan tawaran itu serius Haekal ucap.

“Maaf, ya, Kal ... Maaf sudah rebut bahagia-nya kamu ...”

“Saya yang minta maaf karena sudah bentak kamu, Lea. Saya gegabah, sampai-samapai bikin kamu ketakutan, dan menangis. Maafkan saya, Lea, saya gagal jadi laki-laki yang bisa lindungi kamu. Nyatanya, yang paling jahat kepada kamu, adalah saya. Maafkan ...” sesal Haekal sungguh-sungguh.

“Enggak apa-apa, semua wajar, Kal. Kamu enggak salah kalau marah sama aku kemarin.” sangkal Azalea, “Kal, makasih ya udah mau jadi teman yang baik untuk aku selama ini. Makasih udah banyak bantu aku untuk sembuh dari trauma masa lalu yang sering mengahantui, makasih juga udah sayang sama aku sepenuh hati. Dan maaf ... maaf untuk semua hal buruk yang terjadi di kehidupan kamu ...”

“Kamu yakin mau pergi?” pertanyaan itu kembali terulang, Haekal seperti ingin memastikan kembali apakah masih ada harapan Azalea untuk tidak pergi. “Tatap mata saya, Lea, kamu yakin mau pergi?” tanya Haekal lagi.

Azalea memberanikan diri untuk menatap kedua netra sendu milik Haekal, “Iya, Kal, aku mau pergi.” jawab Azalea.

Haekal mengangguk paham, dan tersenyum kepada Azalea, “Silahkan pergi, Lea, kejar duniamu di sana, dan bahagia di sana.” ucap Haekal lembut sekali.

Air mata yang Azalea tahan sedari tadi di dalam kereta, tak tertahan lagi saat mendengar kalimat Haekal barusan. Satu per satu air bening itu berjatuhan membasahi kedua pipinya. Haekal yang melihat itu, segera menghapus air mata yang ada di pipi Azalea menggunakan jemarinya, mengusap lembut pipi itu, berusaha memberikan ketenangan agar sang empunya tak menangis lagi.

“Saya bikin kamu nangis lagi, ya?”

“Enggak, Kal,” jawab Azalea segera, walau sulit, Azalea berusaha membalas senyum hangat dari Haekal. “Kamu selalu bikin aku senyum, Kal.” lanjut Azalea lagi, dengan senyum, dan juga air mata yang menghiasi wajah manisnya.

“Manis, Lea. Selalu pertahankan senyum kamu, ya? Siapapun nanti yang berhasil memiliki senyum kamu selamanya, tolong sampaikan salam dari saya, dan juga pesan dari saya, pesannya singkat kok, hanya berpesan untuk selalu jaga senyum kamu, tanpa pernah tergantikan oleh tangisan. Jangan seperti saya yang gagal mempertahankan senyum kamu, dan malah menyebabkan luka yang mendalam seperti kemarin.”

“Kal ...”

“Silahkan pergi, Lea, kalau memang kita ditakdirkan bersama, semesta pasti akan mempertemukan kita lagi. Semoga nanti kita bertemu di situasi yang indah, ya? Dan semoga nanti kita enggak lagi terjebak di permainan semesta yang rumit seperti sekarang.”

“Kal ... Maaf, ya, aku harus pergi tinggalin kamu di kota ini.”

Senyum di bibir Haekal tak luntur sama sekali, ia mengangguk kemudian meraih jemari Azalea, “Enggak apa-apa, Tuhan pasti pertemukan kita lagi jika memang ditakdirkan”.

“Kereta kamu sebentar lagi berangkat, gih masuk, takutnya malah tertinggal. Saya mau peluk kamu lagi, Lea, tapi ... Lebih baik enggak, karena kalau saya peluk kamu lagi, rasa untuk menahan kamu supaya enggak pergi akan semakin besar.” ungkap Haekal dan perlahan melepaskan jemarinya dari tangan mungil Azalea.

Walau berat rasanya, Azalea perlahan melangkahkan kakinya untuk kembali masuk ke dalam kereta, namun, sebelum ia benar-benar masuk, ia berhenti sejenak di pintu kereta, menatap lagi Haekal yang sedang memperhatikannya.

“Haekal, aku sayang sama kamu!” seru Azalea dari kejauhan. Haekal hanya mengangguk, dan melambaikan tangannya kepada Azalea, kemudian berbalik dan berjalan pergi, diiringi dengan kereta yang Azalea tumpangi mulai berjalan meninggalkan stasiun itu.

image

“Saya lebih sayang sama kamu, Azalea. Sampai-sampai rasanya sesak lihat kamu pergi, sakit rasanya, Lea, sakit sekali.” batin Haekal berbicara.

“Bunga cantik yang sedehana, semoga bahagia selalu kamu rasakan di sana, maaf ... maafkan saya yang sempat menorehkan luka. Semoga kita dipertemukan lagi, dan saat itu terjadi, semoga rasa sayang kamu kepada saya enggak berkurang. Cinta pertama saya, Azalea, selamat tinggal, semoga berjumpa lagi untuk menjadi cinta terakhir yang akan abadi selamanya.”

image

-Ara.

Sudah teramat larut malam, Haekal sampaikan langkah kakinya ke depan gerbang besar rumah milik keluarga Hanasta, ia segera disambut oleh satpam penjaga yang nampak khawatir dengan keadaannya, namun ia hanya berlalu melewati satpam itu tanpa banyak bicara bahkan tanpa sapa.

Haekal berjalan dengan langkah setengah gontai menuju pintu rumahnya yang berjarak cukup jauh dari gerbang, dengan seragamnya yang sudah kotor dan juga kusut tak karuan, Haekal sebenarnya masih ragu untuk pulang. Kalau saja pesan penuh mohon dari Mamahnya tak Haekal baca, sudah dipastikan Haekal akan memilih untuk bermalam di luar, sembari mencerna tentang semua yang terjadi padanya di hari ini, yang hampir membuatnya gila.

Tibalah ia di depan pintu besar rumahnya, walau sempat terdiam sejenak, dan ragu untuk mendorong pintu itu, akhirnya Haekal memilih untuk membuka pintu besar itu, dan langsung disuguhi pemandangan Mamahnya yang duduk gelisah di sofa ruang tamu rumah mereka.

Hanna terlonjak kaget saat melihat Haekal yang muncul di balik pintu dengan penampilan yang sudah lusuh, ia segera menghampiri anaknya itu, memeriksa beberapa bagian dari badan anaknya, khawatir ada luka atau sesuatu yang buruk menimpa Haekal.

“Haekal enggak berantem, Haekal juga enggak luka, Haekal baik-baik aja, Mah.” ucap Haekal, berusaha menenangkan sang Mamah yang mengkhawatirkannya berlebih. Ia juga segera menjauhkan dirinya dari sang Mamah, membuat guratan kebingungan nampak dari wajah Hanna.

“Kamu marah sama saya, ya?”

“Enggak, saya bau rokok, Mah, takut Mamah gak nyaman kalau terlalu dekat.” jawab Haekal, masih berusaha menjaga jarak dari Hanna, sedangkan Hanna hanya menghela napasnya berat saat mendengar jawaban tersebut.

“Bukannya ada janji gak sentuh rokok, ya?” tanya Hanna lebih mirip seperti sindiran kepada Haekal, yang ditanya hanya tersenyum tipis, terlihat seperti mencibir pertanyaan Mamahnya barusan.

“Janji itu hanya itu mereka yang enggak brengsek, Mah, jadi, untuk apa saya tepati janji dengan dia?” tanya Haekal balik, dari jawaban tersebut Hanna sudah paham, seberapa tak sukanya Haekal saat membahas Jovan, bahkan barusan Haekal dengan santainya memakai kata 'Dia' yang ditujukan untuk Jovan, alih-alih menggunakan 'Beliau' seperti biasanya.

“Beliau, Kal, bukan Dia.” Hanna mengoreksi.

“Beliau itu hanya diperuntukan untuk orang yang pantas disegani dan dihormati, Mah, Dia enggak perlu disebut 'Beliau' lagi.” balas Haekal kukuh.

“Duduk dulu, ya? Kita bicara pelan-pelan.” pinta Hanna, meminta Haekal untuk turut duduk bersamanya di sofa ruang tamu. Namun, Haekal segera menggeleng merespon permintaan itu, menolak langsung ajakan sang Mamah untuk berbincang.

“Kalau untuk bahas Dia, maaf, Mah, saya enggak mau. Cukup benci saya ini hanya ditujukan kepada Dia, saya berusaha untuk enggak melibatkan Mamah dalam hal membenci, walau tetap saja ada rasa kesal yang saya rasakan tiap kali mengingat kenyataan bahwa Mamah juga ikut andil menyembunyikan fakta sebesar ini dari saya.” tegas Haekal, benar-benar tak mau membahas prihal Jovan lagi.

Haekal tak mau emosinya terpancing, Haekal juga tak mau membenci sang Mamah yang juga korban dari kebrengsekan Jovan, jadi untuk saat ini, Haekal memilih menutup telinga dan matanya dari semua penjelasan yang akan Mamahnya sampaikan.

“Jangan benci Ayah kamu terlalu lama, Kal.” Baru saja Haekal hendak melangkahkan kakinya meninggalkan Hanna, tiba-tiba langkahnya tertahan saat mendengar perkataan barusan.

“Mah,” panggil Haekal pelan, seolah meminta untuk Mamahnya mendengar dengan serius apa yang selanjutnya ingin ia ucapkan, “Jangan luluh, Mah. Jangan mudah luluh untuk Dia yang udah hancurkan kehidupan kita. Jangan pernah luluh untuk dia yang udah menjadi sumber luka dan duka kita, jangan pernah berpikir untuk luluh, Mah.” sambung Haekal dengan menatap dalam kepada dua netra Mamahnya.

“Kal ...”

“Enggak ada kesempatan kedua untuk dia yang udah pergi meninggalkan kita selama belasan tahun, Mah. Kalau aja dia ada dari dulu, mungkin hidup saya dan Mamah enggak akan seberat dan serumit ini. Saya enggak akan tumbuh diiringi rasa benci Mamah, dan Mamah enggak akan punya trauma yang mendalam tiap kali melihat saya. Semuanya berawal karena dia, Mah, jadi jangan pernah berharap saya akan memaafkan dia.” lanjut Haekal lagi, berhasil membungkam Hanna. Hanna seperti melihat dirinya ada pada Haekal saat ini, sangat keras kepala, dan enggan memberikan kesempatan untuk orang lain menjelaskan. Merasa hanya dirinya yang terluka, dan pihak lain hanyalah brengsek jahat yang tak perlu diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan bahkan berbicara walau hanya sepatah untuk menjelaskan.

“Saya ke kamar, sudah malam, saya enggak mau debat, Mah, saya takut lepas kendali dan malah menyakiti perasaan Mamah. Istirahat, Mah.” pamit Haekal undur diri, ia kembali melanjutkan langkahnya menuju tangga rumah, disertai dengan perasaan tak karuan yang semakin menyerangnya.

“Banyak yang kamu enggak tau, Kal.” ucap Hanna, masih bisa Haekal dengar dengan jelas walau berjarak tak cukup dekat.

“Prihal restu orang tua, prihal perbedaan kasta, prihal penghiantan Tama yang membuat kita bertiga terluka dengan cara masing-masing. Terlalu gegabah untuk kamu menyimpulkan sendiri.” lanjut Hanna, sedangkan Haekal hanya diam, tak menjawab, tak juga menoleh ke belakang kepada Hanna yang sedang berbicara kepadanya.

“Istirahat, Kal, besok kita bicara lagi. Semoga kamu mau turunkan ego untuk mendengar semuanya, dan lepas dari terkaan yang kamu buat sendiri.” ucap Hanna lagi, saat dilihatnya jarum jam sudah hampir menuju ke angka 12 malam. Hanna pikir, walau berbusa ia menjelaskan kepada Haekal saat ini, Haekal tetap tidak akan mengerti situasi yang sebenarnya, jadi Hanna memilih untuk menunda dulu penjelasan panjangnya, menunggu Haekal tenang dan bisa diajak berkomunikasi secara pelan.

“Saya lahir sebagai yatim, dan selamanya akan yatim. Selamat tidur, Mah.” jawab Haekal dingin, kemudian kembali melanjutkan langkah kakinya menuju kamar.

image

Hanna hanya mampu memejamkan matanya saat mendengar itu, berharap ucapan Haekal barusan tidak pernah didengar oleh Jovan nantinya, karena entah sehancur apa perasaan Jovan apabila mendengar anaknya lebih memilih menjadi yatim, tanpa mau mengakui hadirnya Jovan yang masih ada di dunia ini.

Di lain sisi, Hanna juga tak bisa memaksa Haekal untuk mau mendengarkannya, wajar apabila emosi Haekal sangat tinggi untuk saat ini, mengingat bagaimana sepinya hidup Haekal selama ini tanpa kasih yang cukup dari Hanna sebagai Ibunya, dan sekarang Haekal tau sebab dari tindakan Hanna yang dingin kepadanya, jadi, akan sangat sulit untuk Haekal memaafkan Jovan yang ia anggap sebagai asal dari semua hal buruk terjadi di hidupnya.


Haekal memilih duduk di warung Bude yang terletak di luar sekolah, walau bel masuk sudah berbunyi, Haekal tak acuh sama sekali, ia malah melanjutkan sesi menghisap batang nikotin di bibirnya.

Satu batang, dua batang, tiga batang, tanpa henti Haekal beri jeda, seperti sengaja menghabiskan satu bungkus itu untuk menyalurkan frustasi akan kejadian kemarin yang memusingkan kepalanya.

Bagi Haekal, hanya zat adiktif ini yang mampu menenangkannya. Tak ada lagi Azalea, tak ada lagi Pak Jovan yang bisa menghentikannya dan mencoba menenangkannya, mereka tak lebih dari sekedar sumber duka yang selama ini Haekal rasa.

“Enggak masuk sekolah, nak ganteng?” tanya Bude, pemilik warung itu. Haekal menoleh sembari tersenyum kecil kepada Bude, menggelengkan kepalanya pelan.

“Enggak, Bude. Sesi belajarnya pindah dulu ke sini, belajar liatin Bude bikin bakwan, hahaha.” jawab Haekal santai, berusaha tidak memperlihatkan kekacauannya yang menimpanya. Bude hanya terkekeh mendengar jawaban itu, dan kembali melanjutkan kegiatannya memasak berbagai macam gorengan.

Sengaja Haekal matikan ponselnya, karena sangat berisik sekali notifikasi dari teman-teman yang menanyakan keberadaannya. Untuk saat ini, Haekal hanya mau sendiri, tanpa diganggu oleh siapapun. Entah sampai kapan, namun biarkan Haekal menikmati komedi semesta saat ini seorang dari.

Tak begitu lama, nampak seseorang yang memarkirkan motornya di depan warung milik Bude, Haekal sudah hapal betul dengan motor dan helm itu, sehingga detik berikutnya Haekal bangkit dari duduknya, dan bersiap untuk pergi dari warung Bude, tak mau memberikan orang itu- Jovan, kesempatan untuk berbicara dengannya.

“Haekal, sebentar, 10 menit Bapak minta waktu kamu,” ujar Jovan setetah terburu-buru memarkirkan motornya asal. Haekal seperti berpura-pura tak mendengar, dan malah mengambil tasnya, bersiap untuk pergi dari warung Bude.

“10 menit untuk saya bicara tentang Azalea, bukan bicara tentang masa lalu saya dan Mamah kamu. Saya janji, enggak akan ada pembelaan untuk diri saya sendiri, Kal, hanya untuk bicara tentang Azalea, perempuan yang kamu cintai.” ujar Jovan lagi, berusaha menahan Haekal agar tak pergi.

“Ya, Kal? Bapak janji hanya bahas Azalea.” ucap Jovan sungguh-sungguh, Haekal hanya menatap datar kepada Jovan, setelah itu kembali duduk di bangku warung Bude, dan meletakkan kembali tas disamping kiri duduknya.

Jovan lega melihat itu, setidaknya Haekal mau mendengar penjelasannya terkait Azalea. Jovan ikut duduk, namun ia sadar diri, sehingga memilih duduk di sisi yang agak berjauhan, agar Haekal tak terlalu merasa risih dengan hadirnya.

“Sudah habis berapa batang-”

“Langsung aja bicara tentang Azalea.” Haekal memotong perkataan Jovan dengan nada yang terdengar ketus.

Jovan tersenyum kecil melihat bagaimana dinginnya Haekal kepadanya, seperti flashback melihat sikap dingin Haekal kepada Hanna saat di rumah sakit dulu, dan sekarang dingin Haekal ditujukan untuknya.

“Kemarin Azalea menangis, Kal, ketakutan sekali,” Jovan mulai mengawali ceritanya, Haekal tak bereaksi, ia hanya mengambil sebatang rokok, dan mematik api untuk kembali menghirup zat penuh candu itu.

“Bapak enggak tau apa yang terjadi setelah kamu keluar dari ruangan Bapak, karena Azalea juga enggak mau cerita kepada Bapak. Azalea hanya menangis sambil minta maaf ke Bapak, dan mersa sangat bersalah ke kamu.”

“Memang seharusnya seperti itu.” respon Haekal ketus.

“Kal, sadar gak kalau saat ini kamu sedang kecewa dengan keadaan yang kamu sangka menjadi penghalang besar untuk cinta kamu terhadap Azalea?” tanya Jovan, berusaha menjelaskan kepada Haekal selembut mungkin agar Haekal mudah memahami apa yang terjadi. Haekal tak menjawab, karena ia masih belum menangkap maksud dari pertanyaan Jovan barusan, ia memilih diam menunggu Jovan melanjutkan perkataannya.

“Kamu marah dengan apa yang sudah kamu simpulkan sendiri. Kamu menyimpulkan bahwa Azalea, anak saya, yang menyebabkan saya pergi meninggalkan kamu dan Hanna. Dan kamu juga marah, karena dengan fakta itu, artinya kamu enggak akan bisa bersatu dengan Azalea dalam ikatan cinta. Iya 'kan, Kal?” Haekal mengangguk membenarkan, setelah menghembuskan asap rokoknya.

“Saya yang akan jadi penentang pertama, Kal, kalau memang faktanya seperti itu. Saya yang akan cegah kamu untuk jatuh cinta kepada Azalea jika memang kalian satu Bapak. Tapi kamu lihat, apa pernah Bapak larang kalian bersama? Enggak, kal, malah Bapak mendukung hubungan kalian berdua.” terang Jovan menjelaskan inti dari pertanyaannya barusan. Haekal yang tadinya sibuk menghisap rokok, sekarang malah berhenti, dan mematikan putung rokok itu.

“Azalea bukan anak Bapak?” tanya Haekal ragu.

“Azalea anak angkat sementara saya, Kal, bukan anak kandung seperti yang kamu kira.” jawab Jovan berhasil membuat Haekal terdiam.

Jovan tak melanjutkan ceritanya, berusaha memberi waktu kepada Haekal yang saat ini terlihat tak tenang dengan mengacak-acak rambutnya kasar.

“Amarah selalu berhasil membuat kita melakukan tindakan gegabah, Kal, yang ujung-ujungnya akan menjadi sebuah penyesalan.” ucap Jovan lagi.

“Mau dengar cerita tentang bagaimana seorang gadis kecil yang diasingkan di kampungnya sendiri? Dianggap gila karena sering berteriak meminta tolong kepada para warga. Gadis kecil yang namanya Azalea, kal, yang kamu panggil dengan sebutan bunga cantik punyamu. Mau dengar, Kal?” tawar Jovan, Haekal tak menjawab, ia hanya diam menatap kosong segelas kopi pahit yang ia pesan.

Jovan menganggap diam itu adalah persetujuan dari Haekal untuknya bercerita tentang masa lalu Azalea, yang pastinya belum Haekal ketahui.

“Dulu, Saya mengikuti program mengajar di daerah terpencil, Kal, jauh sekali dari Jakarta. Itu juga yang menjadi awal pertemuan saya dan Azalea.” Mendengar itu, Haekal memberikan seluruh atensi pada cerita Jovan, tak seperti sebelumnya yang sangat tak acuh dengan hadirnya Jovan, dan sibuk menghisap batang rokoknya.

“Saat saya dan pengajar lainnya berkunjung ke rumah-rumah warga, saya menemui Azalea yang dikunci di dalam ruangan kecil dan pengap. Saya tanya kepada warga sekitar, hampir semua memberi keterangan Azalea itu gila sehingga harus diperlakukan seperti itu oleh pamannya.”

“Rasa iba dan penasaran saya, membawa saya memberanikan diri berkunjung ke ruangan itu, walau hanya bisa melihat dari jendela kecil yang khusus dibuat untuk memberikan Azalea makan. Tepat saat Azalea menyadari kehadiran saya, ia segera menangis kencang, memohon bantuan kepada saya untuk mengeluarkannya dari ruangan kecil yang remang itu. Jujur, awalnya saya kaget, namun, tangisan itu terasa begitu menyakitkan, Kal, seakan-akan dia sangat berharap dengan hadirnya saya untuk membantu dia keluar dari sana secepatnya.”

“Teriakan minta tolong itu dianggap oleh warga gejala depresi Azalea, ditambah lagi dusta yang pamannya sebarkan untuk mendapatkan harta peninggalan orang tua Azalea, dengan cara membeberkan kepada seluruh warga bahwa Azalea menjadi seperti orang gila setelah ditinggal mati kedua orang tuanya, semakin membuat Azalea terkurung lama di ruangan itu, Kal.”

“Hampir satu tahun Azalea terjebak di dalam sana, tanpa ada yang menolong dan mau mendengar teriakannya. Di usia terlalu muda, Azalea harus mendapati cobaan hidup sekejam itu, Kal. Setiap kali saya lewat rumah itu, hati saya rasanya enggak tenang kalau enggak bantu Azalea keluar dari sana. Sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk membantu Azalea, walau harus babak belur, dan mengorbankan banyak waktu dan tenaga, akhirnya saya berhasil menyelamatkan Azalea, dan Pamannya dipolisikan.”

“Sepupu Azalea yang lain sama saja jahatnya, hanya satu yang Azalea percaya, bibi dari almarhum Ibunya, tapi bibi itu masih terikat kontrak kerja di luar negri. Azalea takut dengan dunia luar, tapi ketika Bapak tawarkan untuk tinggal di rumah Bapak sambil menunggu Bibinya bisa pulang, Azalea mau, Kal. Jadi, seperti itu awal mula mengapa Azalea bisa menjadi anak angkat Bapak.” cerita Jovan panjang lebar, berusaha menceritakan semua tentang masa lalu Azalea, agar Haekal tak lagi salah paham.

“Enggak mudah untuk Azalea sambuh dari ketakutannya, kejadian di kampung halamannya benar-benar berbekas, Kal, sampai-sampai dia takut untuk berkomunikasi dengan dunia luar, bahkan kepada saya pun hanya sekedarnya aja mengeluarkan suara.”

“Itu alasan kenapa Azalea enggan kalau diajak bicara, memilih diam dan hanya berkomunikasi melalui pesan singkat, atau tulisan di kertas kecil. Banyak trauma di masa lalunya, Kal. Beberapa waktu ini, Azalea mulai berani berbicara, dia bilang, kamu alasannya. Saya senang karena kamu mampu menyembuhkan Azalea secara perlahan, Kal. Saya juga senang karena Azalea mampu mengajari kamu tentang rasa yang ada. Kalian saling melengkapi kekurangan masing-masing, saling menyembuhkan luka masing-masing, dan saling belajar tentang hal-hal yang kalian belum ketahui tentang dunia ini, itu yang membuat saya mendukung kedekatan di antara kalian berdua.” ungkap Jovan.

Sedari tadi Haekal benar-benar diam tak mengeluarkan suaranya, ingatan tentang hari kemarin saat ia membentak Azalea seketika menghantuinya. Bayang ketakutan Azalea yang menutup telinga dan memejamkan mata saat Haekal marah terlintas seketika, membuat Haekal menyesal karena sudah menyebabkan Azalea ketakutan dan memancing ingatan akan trauma masa lalu Azalea datang kembali.

“Azalea di mana? Ada di sekolah?” tanya Haekal, ia mengambil tasnya lagi, bersiap untuk menemui Azalea segera.

“Azalea ...” Jovan menggantung ucapannya, agak ragu untuk memberi jawaban, “Azalea ada di stasiun kereta, Kal.”

“Stasiun?” respon Haekal bingung dengan jawaban Jovan barusan, sebelah alisnya sudah naik sebelah, menandakan jawaban itu benar-benar tak ia sangka.

“Iya, kemarin Azalea mau pamit sama kamu, mungkin belum sempat pamit, ya? Bibi Azalea sudah pulang ke Indonesia, Kal, jadi Azalea memutuskan untuk pulang ke rumah Bibinya.”

“Tadi Azalea titipkan surat untuk kamu, Kal, katanya kamu enggak bisa dihubungi dari kemarin.” Jovan memberikan surat yang berasal dari saku jaketnya kepada Haekal, dengan ragu Haekal menerima surat itu.

Hati Haekal terasa nyeri saat melihat surat yang dikemas dengan rapih itu, tak pernah Haekal bayangkan perpisahan antara ia dan Azalea akan terjadi seperti ini. Kemarin, hari terakhir keduanya bertemu, sama sekali tak ada pamit, yang ada hanya emosi Haekal yang tak tertahan.

“Masih ada 20 menit sebelum keretanya berangkat, mau saya antar, Kal? Atau kamu bisa pakai motor saya-”

“Enggak perlu.” jawab Haekal segera, masih dengan nada bicaranya yang dingin sekali tak bersahabat. Haekal beranjak dari duduknya, dan mengambil bungkus rokoknya, bersiap untuk pergi meninggalkan Jovan.

“Cerita yang mengharukan, sama sekali enggak bikin saya tersentuh dan memaafkan Bapak. Bapak tetap aja seorang brengsek bajingan bagi saya, dan saya enggak akan pernah bisa anggap Bapak sebagai Ayah saya. Bapak sudah kehilangan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah bagi saya, dan, saya memang sudah yatim. Bapak sudah mati tepat disaat Bapak pergi meninggalkan saya dan Mamah.” tegas Haekal.

“Saya duluan, Pak.” pamit Haekal lalu pergi, meninggalkan Jovan yang kaku saat mendengar perkataan Haekal barusan, tangannya masih terulur untuk memberikan kunci motornya kepada Haekal.

Tak ada yang lebih menyakitkan selain dianggap sudah mati oleh anak sendiri. Dan tak ada yang lebih perih dibanding harus mendapatkan cap gagal sebagai seorang Ayah oleh anak yang selama ini ia cari.

“Tuhan, kalau memang jalan seperti ini yang harus saya tempuh untuk menebus kesalahan di masa lalu, saya rela dan ikhlas.” gumam Jovan pelan, ketika melihat punggung sang Anak semakin menjauh dari pandangannya.

“Lakukan, Nak, kalau memang memaki Bapak merupakan cara yang paling ampuh untuk kamu menyalurkan dendam ...” lirihnya lagi.

image

-Ara.

Haekal, Reno, Janu, Cena, dan Jere saat ini sedang bersantai, duduk di sofa yang terdapat pada ruangan BK sekolah mereka. Guru Ekonomi yang mengajar mereka tak masuk, menyebabkan kelas IPS 2 mengalami jam pelajaran kosong sedari tadi. Kelima remaja itu memutuskan untuk berkunjung ke ruang BK, menemui Pak Jovan, dengan alibi menanyakan sesuatu, padahal maksud sebenarnya dari kelima orang ini hanyalah untuk merasakan sejuknya AC ruangan BK, dan empuknya sofa di sana.

Jovan yang sudah terbiasa dengan kehadiran kelima remaja itu yang sering kali memenuhi ruangannya, hanya bisa terkekeh saat mendengar berbagai macam alibi dari mereka. Kebetulan hari ini Jovan sedang sibuk-sibuknya merapihkan berbagai macam berkas, jadi, ia bisa meminta bantuan dari kelima remaja itu, walau pada akhirnya yang bertahan membantunya hanyalah Haekal, sedangkan empat lainnya sudah menyerah, dan memilih bermain game online di handphone milik mereka.

“Ah, kalah!” gerutu Reno kesal sembari melempar asal ponselnya pada sofa. “Pada noob banget dah team gue.” Lanjut Reno masih tak terima dengan kekalahannya barusan.

“Pertanda harus bantu saya itu,” sindir Jovan dengan tawa renyahnya. Reno yang mendengar sindirian itu langsung mengeluarkan suara kecil mirip seperti rengekan yang menolak, dan malah menyandarkan kepalanya paad Sofa, berpura-pura sangat kelelahan.

“Dasar Hama.” cetus Haekal cuek masih dengan jemari yang sibuk merapihkan berkas-berkas yang ada, Reno membelalakan matanya, merasa tak terima dengan hinaan barusan, namun, kembali ia sandarkan lagi badannya, menyadari tak ada gunannya juga melawan Haekal saat berdebat, yang hasil akhirnya sudah pasti Reno akan kalah.

“Bapak gak ngerokok, ya?” tanya Reno tertuju kepada Jovan, baru saja Jovan ingin menjawab pertanyaan itu, namun terhenti saat mendengar teriakan panik dari Jere yang mengagetkannya. “Janu Janu Janu! Bantu gue diserang lawan! Woy naik naik naik!” teriak Jere, seperti tak sadar lagi saat ini ia sedang berada di ruang BK, Bersama gurunya.

“Berisik, Bodoh!” tegur Haekal, diiringi pulpen yang melayang dan meluncur dengan sangat sempurna mengenai dahi Jere.

“Sakit banget Anj-” ringisan Jere diiringi kata-kata kasarnya tertahan saat menyadari saat ini ia masih berada di ruang BK bersama guru yang ia segani. “Sakit, Kal, sumpah, lo ah elah.” lanjut Jere dengan sebelah tangannya yang mengusap kasar wajahnya, memperlihatkan seberapa kesalnya ia saat ini karena dilempar oleh Haekal.

“Lo bacot bego, gak usah norak kalo main game.” bisik Reno pelan di telinga Jere, agar Pak Jovan tak dapat mendengarnya.

“Tau nih, berisik banget bopung.” “Norak gitu tuh, malu-maluin.” timpal Janu dan Cena dengan pandangan yang masih fokus pada layar ponsel masing-masing.

Jovan hanya geleng-geleng kepala melihat bagaimana ricuhnya persahabatan para remaja itu. Setiap kali mereka kumpul bersama Jovan, pasti saja selalu ada cekcok di antara kelimanya, kemudian dalam hitungan menit, kembali tertawa bersama seakan-akan melupakan cekcok yang terjadi sebelumnya.

Reno memutuskan bangkit dari sofa, mendekati Jovan dan Haekal yang masih sibuk merapihkan kumpulan kertas-kertas itu, ia tak membantu, hanya berjongkok menemani Haekal dan Jovan saja.

“Kok bisa, sih, Pak, enggak ngerokok?” tanya Reno masih saja penasaran dengan pertanyaannya yang barusan belum terjawab.

“Dulu ngerokok, sama seperti kalian.” jawab Jovan, tanpa melihat Reno yang saat ini menatapnya penuh rasa penasaran. “Tapi akhirnya memilih berhenti.” sambung Jovan lagi.

“Kenapa?”

“Karena mau punya organ yang sehat.” jawaban tersebut bukan berasal dari Jovan, melainkan berasal dari bibir Haekal yang menjawab.

“Hah? Serius, Pak?” Reno tak langsung percaya dengan jawaban Haekal barusan. Jovan yang tadinya sibuk dengan ratusan kertas di hadapannya, kemudian memilih berhenti sejenak, memandang Reno dan Haekal secara bergantian, kemudian mengangguk pelan sembari tersenyum hangat penuh makna.

“Kita enggak akan pernah tau bagaimana akhir dari hidup kita 'kan? Saya memutuskan untuk mendaftarkan diri saya sebagai pendonor organ, apabila suatu saat hal buruk terjadi, dan saya dinyatakan mati otak secara medis. Walau enggak ada yang tau ke depannya bagaimana, tapi, lebih baik kita mempersiapkan kematian yang bisa bermanfaat bagi makhluk hidup lainnya, bukan?” tutur Jovan menjelaskan. Baik Reno maupun Haekal, sama-sama terdiam saat mendengar jawaban itu.

“Ya siapa tau kan, seenggaknya mati pun masih bisa bermanfaat untuk yang lain. Kalau pun saya mati bukan karena mati otak, ya mungkin belum jalannya juga, Hahaha.” lanjut Jovan dengan tenang, bahkan dengan tawa yang terdengar ringan, seperti tak takut sama sekali dengan kematian.

“Sehat-sehat, ya, Pak. Maaf, saya malah berharap Bapak sehat sampai tua, dan jangan sampai ada kejadian buruk yang membuat Bapak mati otak.” respon Haekal kemudian, entah, Haekal sendiri pun bingung dengan apa yang ia rasa saat mendengar jawaban Jovan barusan, hatinya terasa tak tenang dan khawatir berlebih yang ditujukan untuk Jovan setelah mendengar jawaban barusan.

“Iya betul kata si Haekal, Bapak sehat-sehat terus ya. Saya ngeri sendiri denger kata mati otak, Pak.” ucap Reno menyetujui apa yang Haekal katakan barusan, tak lupa juga ia perlihatkan bulu-bulu yang ada ditangannya yang berdiri kepada Jovan. “Merinding saya, Pak, asli deh.” sambungnya, dengan ekspresi yang saat ini mulai dilebih-lebihkan, membuat Jovan terkekeh meresponnya.

Mereka pun melanjutkan kembali kegiatan membereskan berkas-berkas di ruangan BK, Reno yang tadinya hanya melihat saja, sekarang sudah mulai tergerak jemarinya untuk membantu Jovan dan Haekal yang hampir selesai membereskan semua berkas-berkas berantakan itu.

“Azalea kalo di rumah emang pendiem kayak di sekolah, Pak?” Tanya Reno lagi iseng, karena bagi Reno apabila mengerjakan suatu kerjaan tanpa ada obrolan, sangatlah membosankan dan membuat ia mengantuk, jadi ia terus bertanya kepada Jovan agar tak merasa bosan.

“Jam berapa?!” Malah Haekal yang tiba-tiba berdiri, mengangetkan Reno dan Jovan yang menatapnya kebingungan.

“Jam 10, tuh liat,” Jawab Reno menunjukan jam dinding di ruangan BK. Haekal seperti teringat sesuatu, ia merogoh saku celana dan bajunya, mencari sesuatu yang tampaknya tak berhasil ia dapatkan dari sana.

“Lupa bawa HP, ketinggalan di kelas, pinjam HP kamu, No.” Pinta Haekal mengulurkan tangannya, seperti tak sabaran ingin segara menghubungi seseorang dari Ponsel Reno.

“HP gue mati, abis batrenya, makanya gabut bantuin Pak Jovan sama lo.” Jawab Reno masih dengan wajahnya yang terlihat bingung sekaligus curiga dengan Haekal yang tiba-tiba panik saat ini.

“Jere-”

“Diem, dikit lagi menang.”

“Janu-”

“Sstt jangan ganggu, bentar.”

“Cena-”

“Lagi push rank.”

Mendengar berbagai penolakan itu, Haekal hanya mampu menatap geram kepada teman-temannya . Jovan kembali dibuat terkekeh dengan kelakuan 5 anak remaja itu, yang satu panik tak karuan, yang satunya lagi bosan karena ponselnya mati, dan yang tiganya lagi sudah tak peduli dunia sekitar karena sedang bermain game online.

“Mau apa, Kal?” Akhirnya Jovan bertanya, walau pandangannya saat ini masih berfokus membaca sesuatu di kertas yang ada, meneliti isi dari berkas tersebut.

“Mau numpang telpon Azalea, Pak,” Jawab Haekal, Reno yang mendengar jawaban itu berpura-pura ingin muntah, karena muak dengan kelakuan temannya yang sudah berada di level parah menjadi seorang budak cinta.

“Apa?!” Tantang Haekal tak terima dengan reaksi Reno barusan.

“Kaga, orang gue lagi kambuh maagnya.” Alibi Reno segera.

“Pakai HP saya aja, Kal, ada di atas meja. Buka aja, saya masih sibuk baca berkas dari BK lama.” Ucap Jovan menawarkan bantuan, tanpa banyak bertanya lagi, Haekal segera mengambil Ponsel milik Jovan yang terdapat di meja kerjanya.

“Pak, saya izin buka, ya?” Izin Haekal sekali lagi, Jovan hanya berdeham mengizinkan, fokusnya saat ini masih tertuju pada tumpukan berkas lama milik ruang BK.

Haekal paham, bahwa ia saat ini diberi kepercayaan untuk membuka ponsel milik Pak Jovan, maka ia juga berusaha untuk menghargai privasi dari Pak Jovan, ia segera mencari nomer Azalea, kemudian menelpon Azalea yang mempunyai janji temu dengannya.

Tak butuh waktu lama untuk Azalea mengangkat telpon tersebut, “Halo, Yah?” Terdengar suara lembut nan kecil milik Azalea di sebrang sana.

“Lea?”

“Eh? Bukan Ayah?”

“Ini Haekal, saya lupa bawa HP, Lea, jadi pinjam HP Ayah kamu. Sudah jam 10, jadi ketemu 'kan?”

“Iya ...”

“Okay, di rooftop aja, ya? Nanti kita ketemuan di tangga dekat TU, ke rooftopnya bareng saya.”

“Iya, Kal.”

“Sampai bertemu di tangga, bunga cantik, Azalea!” ucap akhiran Haekal sebelum memutuskan sambungan telpon tersebut. Ada lengkung manis yang tergambar pada bibir Haekal saat kembali menjauhkan ponsel tersebut dari telinganya, sangat berbeda dengan Haekal beberapa saat barusan yang nampak datar karena Reno mengejeknya.

“Bucin, bucin, hadah, bucin depan calon mertua sendiri, gak ada takut-takutnya.” sindir Reno. Haekal yang sedang bahagia, tak terlalu menanggapi sindiran Reno kali ini, ia hanya menengok sekilas ke arah Reno, kemudian kembali tersenyum merapihkan kerah bajunya agar terlihat semakin rapih sebelum bertemu Azalea.

“Hp bapak saya letakkan di meja lagi, ya, Pak?” ucap Haekal saat akan meletakkan ponsel Jovan ke sisi semula, namun, matanya tak sengaja melihat ada pemberitahuan pesan yang masuk dari ponsel tersebut.

image

Haekal terdiam saat melihat pesan masuk itu, Haekal juga sangat yakin bahwa pesan itu berasal dari Hanna, Mamahnya, bukan Hanna yang lain. Namun, yang membuat Haekal curiga adalah isi pesan tersebut yang sangat tak biasa, melihat Mamahnya memanggil Jovan dengan sebutan “Kak Jo” membuat rasa penasaran Haekal semakin besar. Apalagi, kilas-kilas balik bagaimana perhatiannya Jovan terhadap Mamahnya, dan beberapa kejadian lain yang mencurigakan seketika berkelebat di kepala Haekal setelah tak sengaja membaca pesan masuk itu.

Haekal melihat ke depan, Jovan masih sibuk dengan berkas yang sedang ia baca dengan serius, begitupun dengan Reno yang merapihkan tumpukan berkas yang belum Haekal bereskan, karena terpotong oleh janjinya yang akan bertemu Azalea. Ketiga teman lainnya juga masih asik dengan game online, jadi, untuk saat ini, tak ada yang menyadari apabila Haekal mau memberanikan dirinya membuka isi pesan antara Mamahnya dan Jovan.

“Iya, ini memang ranah privasi Pak Jo, tapi, ini berhubungan dengan Mamah saya, jadi, Tuhan maafkan saya kali ini, ya ...” batin Haekal berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk membuka isi pesan itu, setelah beberapa detik menimang pilihan, akhirnya jemari Haekal mulai mendekat kembali ke layar ponsel Jovan, dan dengan hati-hati membuka isi pesan dari Mamahnya itu.

image

image

Semakin Haekal melihat pesan-pesan sebelumnya, semakin dibuat kaku juga tubuh Haekal rasanya. Terasa seperti mimpi saat melihat obrolan whatsapp Mamahnya dan Pak Jovan, yang mana pembahasan utama yang sering mereka bicarakan adalah Haekal, dirinya sendiri, yang mereka sebut anak kandung mereka.

Haekal tak sanggup lagi membaca pesan-pesan lainnya, napasnya terasa tercekat, tangannya gematar hebat setelah membaca pesan-pesan itu, tak lama kemudian, tanpa disengaja, tangannya menjatuhkan ponsel milik jovan ke lantai, dan menimbulkan bunyi yang cukup keras sehingga Reno dan Jovan, bahkan ketiga teman lainnya yang sedang bermain game, menyadari perubahan tiba-tiba dari Haekal yang saat ini wajahnya terlihat pucat.

“Et Hp Pak Jovan rusak dah itu gilak!” teriak Jere saat melihat ponsel tersebut terjatuh.

Jovan yang tadinya sedang membaca berkas-berkas dengan seksama, segera mengalihkan pandangannya ke arah Haekal yang sedang menatapnya dengan tatapan sangat sulit untuk Jovan deskripsikan. Jovan lihat jemari Haekal bergetar, dan mata Haekal mulai memerah, bahkan deru napas Haekal saat ini terdengar dengan jelas oleh Jovan.

“Kal?” tanya Jovan khawatir, ia bangkit dari duduknya, dan berjalan mendekati Haekal untuk memastikan keadaan Haekal, begitupun dengan Reno yang juga ikut bangkit mendekati Haekal.

“Kenapa, Kal? Ada yang-” Belum sempat Jovan memegangi sisi kanan bahu Haekal, tangannnya sudah lebih dahulu ditepis kasar oleh Haekal, yang masih menatap Jovan tak percaya.

“Kal anjir?” seru Reno yang kaget dengan perlakuan Haekal barusan.

Jere yang tadinya berniat melanjutkan kegiatan main gamenya, seketika menutup ponselnya, dan ikut mendekat kepada Haekal, diikuti juga oleh Janu dan Cena yang juga merasakan ada yang tak beres dengan Haekal.

“Ada apa, Kal?” tanya Jovan ragu, ia juga ikut kaget dengan respon kasar Haekal barusan. Haekal masih diam, tak menjawab pertanyaan Jovan barusan, namun tatapannya tajam sekali mengarah kepada Jovan, emosi bercampur dengan rasa tak percaya bercampur menjadi satu kala Haekal menatap wajah Jovan.

“Haekal, saya ada salah?”

“Bapak siapa?”

Deg

Satu pertanyaan itu berhasil membungkam Jovan sekaligus membuat jantung Jovan seakan berhenti sejenak. Dilihatnya ponselnya yang terjatuh di lantai, menampakkan isi room chatnya bersama Hanna, yang mungkin saja sudah Haekal baca keseluruhan isinya.

“Kal, lo kenapa anjir?” Janu berusaha menyadarkan Haekal, yang masih menatap Jovan tajam dan tak bersahabat.

“Bapak siapa?” tanya Haekal lagi, walau suaranya pelan, namun terasa menuntut sekali untuk mendengar sebuah jawaban. Jovan tak mampu menjawabnya, ia hanya bisa diam, dan balas menatap Haekal penuh penyesalan.

“Bapak siapa?!” kali ini suara Haekal lebih tinggi dari sebelumnya, matanya yang memerah perlahan mengeluarkan beberapa tetes air dari sana, wajah pucatnya saat ini berganti merah, menahan amarahnya agar tak meledak saat ini juga.

“Bukan ... Bukan 'kan? Bapak bukan Ayah saya ... Ayah saya sudah meninggal ... ini gak mungkin, ini pasti mimpi, dan saya hanya perlu bangun dari mimpi ini.” ucap Haekal masih tak percaya dengan fakta yang baru saja ia ketahui. Tak hanya Haekal, keempat temannya pun dibuat tercengang setelah mendengar ucapan Haekal barusan, mereka saling tatap tak percaya.

“Haekal ... Dengarin Bapak dulu, ya?” Jovan berusaha mendekat kepada Haekal, setidaknya untuk sejenak menenangkan anaknya itu, namun, Haekal malah mundur tiap kali Jovan mendekatkan langkahnya, seolah tak mau disentuh Jovan sedikitpun.

“Enggak mungkin, Bapak bukan Ayah saya, gak mungkin, Pak ... Enggak boleh.” sangkal Haekal tak henti, sembari masih memundurkan langkahnya agar semakin menjauh dengan Jovan.

“Maafkan saya, Kal, Maafkan Bapak, Nak, Maaf ...” pinta Jovan putus asa dengan respon Haekal yang selama ini ia takutkan, ternyata ketakutannya selama ini benar terjadi, Haekal tak menerimanya sebagai seorang Ayah yang selama ini masih hidup di dunia.

Haekal hanya menggeleng pelan saat mendengar itu, pandangannya berubah menjadi kosong saat menatap Jovan yang penuh penyesalan.

“Maafkan Bapak, Kal. Maaf ...” masih Jovan memohon ampun kepada Haekal.

“tujuh belas tahun, Bapak kemana? Saya sendiri, Mamah terpuruk sendiri, Bapak gak ada. Saya yatim, Mamah menjanda selama belasan tahun ini. Bapak telat, Bapak bukan Ayah saya. Bapak enggak pantas menjadi seorang Ayah.” ucap Haekal kemudian pergi meninggalkan ruang BK. Jovan merasakan sakit tak karuan di sekujur tubuhnya, terutama di dadanya saat mendengar ucapan Haekal barusan. Haekal benar-benar membencinya saat ini.

“Pak, saya susul ya Haekal-nya?” ucap Reno, namun Jovan menggeleng pelan merespon tawaran itu.

“Dia butuh waktu sendiri untuk mencerna apa yang terjadi, Reno.”


Haekal benar-benar kalut saat ini, ia berjalan dengan pikiran yang sangat kusut, untungnya koridor sekolah sangat sepi, karena siswa-siswi masih belajar di kelas masing-masing, sehingga ia tak perlu khawatir menabrak orang yang sedang berjalan karena langkah tak karuannya. Bayang wajah Pak Jovan terus-terusan terlintas di pikiran Haekal, membuatnya frustasi tak karuan apabila wajah dari sosok yang ia kagumi itu terlintas.

Haekal masih tak percaya, bagaimana bisa sosok yang ia kagumi, dan ia kira sebagai insan yang paling bisa memanusiakan manusia lainnya, ternyata adalah sosok yang selama ini meninggalkannya dan Mamahnya dalam keterpurukan dan kesakitan yang tiada tara.

Kecewa, tak percaya, marah, sedih, semuanya bersatu menjadi satu saat ini. Haekal hanya ingin ini adalah mimpi saja, Haekal ingin segera bangun dari mimpi aneh ini, Haekal ingin dunianya berjalan seperti biasanya.

“Kal?” panggilan pelan yang berasal dari belakangnya, berhasil menghentikan langkah Haekal. Tepat di depan tangga sepi dekat ruangan TU, Haekal mendengar suara pelan Azalea memanggilnya.

Haekal segera menoleh ke arah Azalea yang sedang berdiri menunggunya, ada senyum kecil yang tergambar di bibir mungil milik Azalea saat melihat sosok Haekal yang datang menghampirinya. Namun, sangat berbeda dengan Haekal yang sekarang menatap tajam ke arah Azalea.

Yang saat ini ada di pikiran Haekal hanyalah fakta bahwa Azalea juga anak dari Pak Jovan, yang berarti kemungkinan besar Pak Jovan meninggalkannya dan Mamahnya adalah karena sosok remaja putri di depannya ini.

Haekal benar-benar meringis saat fakta itu terpikirkan, ditambah lagi oleh fakta bahwa ia dan Azalea bisa saja sebapak.

“Kal kenapa?” tanya Azalea kebingungan saat menyadari Haekal yang tak seperti biasanya. Dilihat oleh Azalea bagaimana mata tajam itu menatapnya penuh kekesalan, ditambah lagi kepalan kuat dari tangan Haekal yang membuat Azalea kebingungan sekaligus takut dengan Haekal.

Haekal berjalan mendekat, menyisahkan hanya beberapa langkah saja. Azalea refleks mundur karena langkah mendekat itu, namun hanya beberapa langkah, punggungnya sudah menyentuh tembok sekolah, menyebabkan langkah kakinya terkunci dan tak bisa mundur lagi.

“Kal ...” lirih Azalea pelan, ia semakin takut saat ini, karena Haekal yang ada di depannya saat ini sangatlah terasa dingin dan membuatnya merasa tak nyaman, berbeda sekali dengan Haekal yang selama ini ia kenal.

“Kenapa kamu rebut Ayah saya?” tanya Haekal pelan, namun menekan disetiap katanya.

Azalea tak bisa menjawab, ia serasa tak bisa bernafas saat mendengar pertanyaan barusan, yang ia takutkan selama ini akhirnya terjadi juga, Haekal benar-benar akan membencinya karena menganggap Azalea sudah merebut sosok Ayah yang selalu Haekal idamkan.

“Kenapa, Azalea? Jawab saya!” bentak Haekal. Azalea ketakutan tak karuan karena teriakan itu, ia segera menutup telinga menggunakan kedua tangannya, matanya ikut terpejam. Beberapa kepingan masa lalu di kampung halamannya yang membuatnya trauma kembali menyerang ingatannya kala Haekal membentaknya.

Azalea benar-benar ketakutan saat ini, tangannya sudah berkeringat dingin, kakinya melemas membuatnya terduduk di lantai dengan tangan yang masih menutupi kedua telinganya.

“Kenapa kamu ambil, Lea?! Karena kamu semuanya, 'kan?! Kamu sudah tau, ya? Kenapa cuma diam? Sengaja menutupi semuanya?! Jawab saya, Lea!” Haekal yang sudah termakan emosi dan kalutnya tak mampu lagi menahan segala macam pertanyaan yang menghantui kepalanya selama berjalan tadi, Haekal merasa dunia benar-benar tak adil untuknya dan Mamah, bahkan orang-orang yang Haekal kira baik ternyata sumber dari lukanya selama ini.

“M-maaf ... hiks ...” isak Azalea sangat takut sekali. Haekal yang perlahan menyadari ketakutan berlebih dari Azalea, perlahan mundur, dan menjauh dari Azalea. Ia ingat, bahwa Azalea memiliki trauma di masa lalu, sehingga Haekal memilih untuk mundur terlebih dahulu.

“Kenapa dari jutaan perempuan di dunia ini harus kamu, Lea? Kenapa harus kamu yang buat saya jatuh hati, dan menjebak saya di situasi serumit ini.” ucap Haekal pelan, lalu meninggalkan Azalea seorang diri di korodor yang sepi itu, menangis teriasak-isak seorang diri di sana.


Haekal menghisap putung nikotin itu tanpa henti, ia melanggar janjinya, ia tak peduli lagi dengan janjinya, saat ini yang bisa menenangkannya hanyalah beberapa batang rokok saja. Harinya benar-benar kacau, semua terjadi begitu saja, membuat pandangannya kepada Pak Jovan dan Azalea seketika berubah.

Ia kecewa dengan fakta yang ada, kecewa dengan Jovan yang meninggalkannya selama ini, dan juga kecewa dengan takdirnya yang tak akan bisa melanjutkan hubungan dengan Azalea.

“Dunia bangsat! terus-terusan hidup saya dipermainkan, komedi brengsek!” umpatnya seorang diri.

image

-Ara.

Dengan sangat gusar Jovan melangkahkan kakinya memasuki Kafe milik Jay, motor yang digunakannnya terparkir tak rapih karena sang pemilik nampaknya sudah sangat tak sabar bertemu Pria yang selama ini ia cari-cari.

Tangan Jovan sudah mengepal keras, begitupun rahangnya yang nampak begitu tajam saat ini, kobaran amarah nampak sekali dari tatapan elangnya, mencari-cari sosok yang sedari dulu ingin ia temui.

Betul saja, sosok itu- Tama Erlangga, sedang duduk dengan pandangan tertunduk disalah satu kursi bersama dengan Jay, dan juga Hanna. Seolah sudah terlanjur emosi, Jovan tak menghiraukan kehadiran Hanna di Kafe ini, matanya hanya terfokus kepada Tama saja, dan langkah kakinya semakin cepat menghampiri Tama.

BUG

Satu pukulan dengan sempurna melayang mengenai sudut bibir Tama, tak lain dan tak bukan Jovanlah pelakunya. Pukulan itu berhasil membuat Tama terjatuh dari kursi yang ia duduki, ia meringis kesakitan akibat pukulan itu.

Jovan tak mau berhenti sampai disitu, ditariknya kerah baju Tama, ditatapnya tajam kedua mata Tama, “Kemana aja kamu, bangsat?!” Tanya Jovan penuh emosi. Jovan benar-benar sudah gelap dengan amarahnya, ia sampai-sampai tak menyadari ada Hanna yang saat ini sedang menutup matanya, tak mau melihat Jovan kembali memukuli Tama.

“Jo, saya jelasin, Jo,” jawab Tama terbata-bata, ia sangat takut melihat Jovan yang sudah lepas kendali, bahkan Tama sendiri sempat berpikir, mungkin inilah takdirnya, mati di tangan Jovan sebelum mengakui.

“Halah! Alasan sampah!” hardik Jovan, baru saja ia hendak memukuli Tama lagi, tangannya terhenti kala Jay menarik Jovan agar menjauh.

“Lepasin, Jay.” tolak Jovan tak terima saat Jay menahannya.

“Tahan emosi lo, Jo, ada Hanna. Buka mata lo, liat Hanna udah ketakutan gitu.” ucap Jay dengan berbisik, berusaha menyadarkan Jovan yang sudah kalap dengan emosi. Kepalan tangan yang mengeras itu, perlahan melemah, dilihat Jovan ke samping kanan, benar saja, ada Hanna yang sedang mengalihkan pandangannya, nampak tak nyaman dengan yang barusan terjadi.

Walau sebenarnya masih besar hasrat Jovan untuk kembali memukuli Tama, ia coba untuk menahan itu, dan perlahan memundurkan langkahnya, menduduki dirinya pada kursi yang terdapat di samping Hanna.

Jay sedikit lega melihat Jovan yang mulai tenang, setelahnya ia menghampiri Tama yang masih dalam keadaan terjatuh, dan meringis memegangi sudut bibirnya yang terkena pukulan Jovan. Jay segera membantu Tama untuk duduk kembali, kemudian ia pun duduk di kursi samping Tama, antispasi apabila Jovan kembali terpancing emosi. Sebenarnya bukan tak mau Jay ikut memukuli Tama, namun kehadiran Hanna yang menjadi pertimbangan Jay, khawatir Hanna tak nyaman dan malah pergi karena tak tahan.

keempat orang dewasa itu sudah duduk, dengan meja bundar di depan mereka. Kafe sengaja Jay tutup, agar pembahasan penting kali ini tak ada gangguan sedikitpun.

“Ini sebenarnya ada apa, sih?” Karena tak tahan, akhirnya Hanna yang angkat bicara. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, bahkan ia tak menyangka Tama turut mengundang Jovan. Ditambah lagi dengan Jovan yang langsung menghajar Tama, seperti sudah tak mampu menahan emosinya lagi.

Jovan memilih diam, karena tiap kali ia melihat wajah Tama, yang akan keluar hanyalah makian dari mulutnya saja.

“Gini, Na, Tama tiba-tiba dateng ke Kafe gue, terus minta ketemu sama kalian berdua. Selebihnya gue serahin ke Tama, deh, buat jelasin detailnya ke kalian berdua.” Jay berusaha menjadi penengah pada obrolan serius kali ini.

“Ada apa, Mas Tama?” tanya Hanna langsung, meminta Tama segera menjelaskan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi.

“Bicara, Tama.” geram Jovan, walau suaranya tak selantang tadi, tetap saja dari nada bicaranya ia berusaha menahan emosi.

“Maaf ...” tutur Tama pelan, pandangannya saat ini hanya bisa menunduk saja, tak mampu membalas tatapan Jovan yang tajam, dan juga Hanna yang menatapnya penuh kebingungan.

“Jelasin semuanya, Tama, saya bahkan enggak perlu dengar permintaan maaf kamu.” timpal Jovan tak tahan, kepalan tangannya di atas meja nampak kembali mengepal keras.

Namun sesaat Jovan merasa kaget, saat lembut jemari Hanna memegangi kepalan tangannya itu, walau hanya beberapa detik saja, itu mampu membuat Jovan tak berkutik lagi, “Tahan emosi, enggak akan selesai penjelasan Mas Tama kalau kamu emosi terus.” ucap Hanna pelan.

“Maaf untuk apa?” lanjut Hanna berusaha tenang, agar Tama tak ragu melanjutkan perkataannya yang menggantung barusan.

“Semua salah saya,” ucap Tama penuh sesal, yang tadinya tak berani menatap Jovan dan Hanna, kali ini pandangannya mulai naik untuk memperlihatkan betapa menyesalnya ia saat ini. “Trauma Hanna, Haekal yang tumbuh tanpa kenal rasa, kelamnya dunia Jovan ... semua salah saya.” lanjut Tama lagi, matanya mulai memerah, dahinya ikut berkerut, memperlihatkan penyesalan yang benar-benar mendalam.

“Maksud Mas Tama?”

“Saya enggak amanah, Na, saya enggak menyampaikan surat yang Jovan kasih untuk kamu.” lanjut Tama menjelaskan, Hanna semakin tak mengerti dengan apa yang terjadi setelah mendengar pengakuan itu.

“Mas Tama waktu itu kasih surat ke saya, kok, yang isinya si brengsek ini memilih pergi dan menyuruh saya melupakan semua yang pernah kami rencanakan.” sanggah Hanna, napas Jovan tercekat saat mendengar panggilan “Si Brengsek” ditujukan untuknya.

“Na, saya yang lebih pantas kamu panggil 'Si Brengsek', bukan Jovan.” Tama kembali menaggapi, “Si Brengsek ini, Na, yang bikin hubungan kalian hancur.”

“Surat yang saya kasih waktu itu, benar dari Jovan. Tapi itu hanyalah surat palsu yang enggak perlu disampaikan ke kamu. Jovan menuliskan dua surat, surat yang kamu terima itu, Jovan tulis di depan orang tua kamu dengan ancaman dari mereka. Dan satunya lagi Jovan tulis setelah menemui orang tua kamu. Kedua surat itu sangat berbeda isinya, Na-”

“Sebentar, maksud kamu, ada surat yang belum tersampaikan untuk saya?”

“Iya, surat kedua, masih belum saya sampaikan hingga sekarang.” Tama mengakui, Jay meringis saat mendengar kejujuran itu, wajar saja Hanna sangat membenci Jovan, karena isi surat yang Hanna terima hanyalah rangkaian kata sampah yang didikte oleh orang tua Hanna sendiri.

Hanna diam seribu bahasa, pandangannya saat ini menatap kosong ke arah Tama, otaknya masih mencoba memproses pengakuan yang barusan ia dengar.

“Cuma kamu yang bisa saya harapkan saat itu, Tama. Dengan bodohnya saya mempercayakan surat kedua itu kepada kamu, dengan harapan Hanna menerima, dan mau ikut dengan saya untuk mempertahankan janin kami hingga lahir,” Jovan kembali angkat suara, meluapkan kekecewaannya selama ini.

“Hanna, sore itu, saya tunggu kamu di warung kue balok langganan kita, saya bawa baju-baju saya, saya bawa uang hasil dari dijualnya motor Jay, untuk kita mempertahankan janin kita nantinya. Tapi kamu enggak pernah datang, Na.” Sambung Jovan, Hanna masih tak mampu berbicara, ia masih tak menyangka seperti itu kejadian sebenarnya.

“Saya kira kamu enggak mau diajak hidup sederhana, Na, sehingga kamu lebih memilih untuk enggak ikut dengan saya.” Hanna menggeleng saat mendengar itu.

“Kenapa ... Kenapa Mas? Kenapa Mas lakuin itu?” Pelan sekali Hanna bertanya, tetap dengan pandangannya yang masih terlihat kosong menatap ke depan.

“Maaf, Na ... Maaf ...”

“Kenapa?!” teriak Hanna kali ini, Tama hanya mampu memejamkan matanya saat mendengar teriakan itu, “Kenapa kamu enggak kasih suratnya? Seandainya saya terima surat itu, mungkin hidup saya dan Haekal enggak akan semenyakitkan sekarang, Mas Tama!”

“Na, saya enggak berani jadi orang baik setelah kejadian itu, lebih tepatnya saya enggak punya kuasa untuk menjadi orang baik bagi hubungan kalian. Hanna, orang tua kamu benar-benar tegas menolak Jovan, bahkan, saya juga ikut diancam. Sulit rasanya saat itu untuk berontak, kamu tau 'kan, Na, kalau perusahaan keluarga saya enggak akan bisa berdiri tanpa bantuan kedua orang tua kamu.”

“Saya mau bantu Jovan, tapi, kalau saya bantu Jovan, sudah dipastikan keluarga saya yang akan dibuat hancur oleh orang tua kamu. Sulit rasanya memilih untuk menjadi orang baik, atau malah menjadi orang jahat saat itu, Jo, Na. Sama seperti Jovan, saya juga enggak punya kuasa untuk melawan orang tua Hanna, saya hanya bisa mengikuti perintah dengan berbagai macam ancaman yang buruk jika saya menolak perintah tersebut.”

“Saya kira setelah orang tua Hanna meninggal, saya bisa kasih tau fakta ini, tapi sayang, sampai saat ini saya masih diawasi oleh Pak Wisnu, Om Hanna. Bukan hanya prihal surat, bahkan langkah dari perusahaan saya saja harus berdasarkan perintah Pak Wisnu. Sampai detik ini, saya masih belum punya kuasa, Na, Jo, namun hari ini saya memutuskan untuk mengakhiri kesalahan saya selama ini kepada kalian. Saya sudah sangat lelah dijadikan boneka oleh keluarga Hanasta, saya hidup, tapi enggak bebas melakukan segala hal yang saya inginkan.”

Hanna sungguh dibuat tak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar penjelasan panjang dari Tama, memang Hanna sudah mengetahui kedua orang tuanya itu sangat lah tegas dengan segala hal yang dapat mencoreng nama perusahaan, namun, Hanna tak pernah menyangka kedua orang tuanya sudah sangat kejam dan melewati batas hanya demi citra perusahaan saja, sampai-sampai mereka tega mengancam Jovan dan juga Tama saat itu.

“Apa kamu pernah pikirkan nasib saya, Hanna, dan Haekal, Tam? Hidup kamu penuh dengan harta 'kan setelah memilih menjadi orang jahat? Pernah gak sekali saja terbesit rasa penyesalan sampai untuk bernapas aja rasanya sulit.” tanya Jovan menanggapi, “Karena ... selama tujuh belas tahun ini, saya sering sekali merasa dunia gak adil, sekaligus merasa bersalah karena telah gagal bertanggung jawab, sampai rasanya napas saya tercekat setiap kali ingatan tentang Hanna datang menghampiri.” sambung Jovan, sangat emosional sekali, bahkan genangan air mata mulai nampak di pelupuk matanya saat ini.

“Jo ... Hidup saya enggak seindah yang kamu bayangkan. Setiap kali lihat Hanna, dan lihat Haekal, saya merasa menjadi manusia paling berdosa karena sudah ikut berkontribusi membuat kehidupan mereka menjadi sekusut ini.” jawab Tama yang sudah terlebih dahulu menitihkan air mata nya selama penjelasan panjang tadi.

Tangan Tama merogoh isi tas yang ia bawa, ia mengeluarkan kotak kecil berisikan obat-obatan, memperlihatkan kapsul-kapsul obat itu kepada Hanna, Jovan dan Jay.

“Semenjak kejadian itu, saya enggak bisa tidur, Jo, Na, rasa bersalah selalu menghantui saya. Sampai-sampai saya harus meminum obat ini agar bisa tidur walau hanya sebentar.”

“Demi Tuhan, sikap baik saya selama ini kepada Haekal, bukan karena ingin mendekati Hanna, dan mencoba mengambil hati Hanna. Semua ini saya lakukan, karena rasa bersalah saya kepada Haekal. Saya yang menyebabkan Haekal tumbuh tanpa kasih sayang seorang Ayah, jadi, sebisa mungkin saya memberikan yang terbaik untuk Haekal untuk menebus kesalahan saya.”

“Tiap hari rasanya disiksa oleh rasa bersalah saya, Jo, Na, hidup saya enggak tenang. Haekal semakin besar, ulah saya di masa lalu semakin berdampak juga untuk pertumbuhan dia. Tiap kali saya melihat Haekal yang enggak kenal rasa, saya selalu menyalahkan diri sendiri. Saya selalu berusaha mengajarkan Haekal banyak hal, namun enggak pernah berhasil, karena sampai kapanpun saya enggak akan bisa menggantikan posisi Jovan yang kosong selama ini untuk mendidik Haekal.”

“Diam, Tama.” ucap Hanna pelan, kali pertama baginya memanggil Tama tanpa embel-embel 'Mas' seperti biasanya. Hanna saat ini hanya menatap datar kepada Tama, “Saya semakin benci tiap kali bibir kamu mengucapkan penyesala, yang bahkan enggak bisa membalikkan keadaan saya dan Haekal.” lanjut Hanna, walau sangat tenang sekali dari nada bicaranya, namun kalimat barusan berhasil menusuk hati Tama.

“Selamat, kamu berhasil ikut berkontribusi menghancurkan kehidupan saya dan Haekal. Saya harap kita enggak akan pernah bertemu lagi. Tolong singkirkan wajah kamu itu tiap kali melihat saya.” ucap Hanna lagi, setelahnya ia bersiap untuk beranjak pergi dari tempat itu.

“Na, tolong bantu saya ...” pinta Tama menahan Hanna yang hendak pergi, “Saya diancam mati, Na, bantu saya lepas dari Pak Wisnu, Na.” Lanjut Tama lagi.

“Kamu yang masuk perangkap lingkaran setan orang tua saya dan Om Wisnu 'kan? Jadi, silahkan tanggung resikonya sendiri. Saya enggak akan mau membantu kamu, bahkan sedikitpun.” jawab Hanna tegas.

“Bukan hanya saya, Na, bahkan kamu juga ingin dibuat mati oleh Pak Wisnu, jadi tolong-”

BUG

Satu pukulan kembali mendarat mengenai wajah Tama saat belum sempat menyelesaikan ucapannya. Jovan kembali terpancing emosinya saat mendengar potongan kalimat Tama barusan yang terkesan menakut-nakuti Hanna.

“Jo ... Tolong ...”

BUG

Tanpa mau mendengar ucapan Tama lagi, Jovan kembali memukuli Tama. Selanjutnya ia tarik kerah baju Tama, agar bisa bangkit untuk kembali dipukuli lagi.

“Kamu, Wisnu, semua yang ada di lingkaran setan itu yang akan saya buat mati. Jangan pernah berani menyentuh Hanna dan Haekal lagi, karena kali ini saya enggak akan tinggal diam, bangsat!” bentak Jovan kepada Tama yang sudah terkulai lemas akibat terus-terusan dipukuli.

“Jo, udah.” Seru Jay berusaha melerai, namun Jovan menepis tangan Jay segera, menolak untuk berhenti memukuli Tama.

“Bahkan puluhan pukulan belum sebanding dengan hancurnya hidup saya, Hanna dan Haekal.” tutur Jovan, kemudian kakinya menendang kesal Tama yang sudah terjatuh lemas di lantai Kafe milik Jay.

“Jo ...” Panggil Hanna, berusaha menghentikan Jovan yang masih saja menghajar Tama, walau Hanna juga membenci Tama, namun Hanna tak mampu melihat Tama dipukuli habis-habisan oleh Jovan yang termakan emosi.

Jovan tak mendengar panggilan Hanna barusan, ia masih saja berusaha untuk kembali menghajar Tama, meluapkan emosinya selama bertahun-tahun ini.

“Kak Jo!” teriak Hanna tak tahan lagi, teriakan itu berhasil menghentikan Jovan yang berniat akan memukuli wajah Tama yang entah untuk keberapa kalinya lagi.

Hanna berjalan ragu, menghampiri Jovan yang masih memegangi kerah baju Tama, perlahan Hanna mengusap bahu Jovan, “Sudah, ya?” tuturnya pelan, hanya dari mata sendu dan tutur lembut itu, amarah Jovan perlahan meluruh. Tangannya perlahan terlepas dari kera baju Tama yang sudah tak karuan itu, mata tajam penuh dendamnya perlahan hilang digantikan tatapan lembut penuh penyesalan kepada Hanna.

“Maaf, Na ...” sesal Jovan pada akhirnya. Tanpa diduga, Hanna kembali memegangi lengan Jovan, seolah menarik agar Jovan mengikuti langkahnya pergi meninggalkan Kafe ini, Jovan yang terkejut dengan itu, hanya bisa mengikuti langkah kaki Hanna yang membawanya pergi.

“Mukulin dia sampai mati pun enggak bisa merubah apa yang udah terjadi,” ucap Hanna saat membuka pintu Kafe itu, Jovan hanya diam, tak menjawab sedikitpun, masih mengikuti langkah kaki Hanna menuju mobilnya yang terparkir.

Saat sudah sampai tepat di samping mobil putih milik Hanna, dengan segera Hanna melepaskan tangan Jovan, dan memberikan kunci mobilnya kepada Jovan.

“Maksudnya, Na?” tanya Jovan kebingungan, namun jemarinya ikut terulur menerima kunci mobil itu.

“Tanggung jawab,” jawab Hanna singkat, Jovan masih tak mengerti dengan maksud jawaban Hanna barusan. “Kamu sudah hajar orang berkali-kali di depan saya hari ini, bikin saya lemas, dan gak sanggup nyetir sendiri. Tanggung jawab.” lanjut Hanna, menjelaskan maksud dari perkatannya barusan.

Jovan hanya menatap lekat kedua manik indah milik Hanna, dan seulas senyum tipis tersungging dari bibir Jovan saat mendengar ucapan barusan, “Kamu khawatir dia mati di tangan saya, ya?”

“Enggak, saya enggak peduli sama kalian berdua.”

“Pasti karena kamu tau kalau saya masih ada di dalam Kafe itu, maka bisa aja saya hajar si brengsek itu sampai gak bernyawa. Makanya kamu tarik saya, dan minta saya antarin kamu pulang, iya 'kan?” Hanna tak menjawab, ia hanya berlalu dan memasuki mobilnya, duduk di kursi depan penumpang.

Jovan tersenyum kecil melihat tingkah itu, walau hasratnya untuk menghajar Tama masih tinggi, namun Hanna berhasil membuat emosinya meluruh untuk saat ini. Segera Jovan masuk ke dalam mobil, untuk menyetir mobil tersebut, sesuai dengan perintah dari Hanna kepadanya.


Tak begitu lama perjalanan pulang menuju rumah Hanna, hanya sekitar 15 menit saja, mobil putih milik Hanna sudah berhenti tepat di depan rumah besar milik keluarga Hanasta. Mobil sudah berhenti, namun kedua orang yang berada di dalamnya masih saling diam, tak ada obrolan dan tak ada pamit yang seharusnya diucapkan apabila sudah sampai ke tempat tujuan.

Seakan masing-masing dari keduanya masih berusaha mencerna apa yang barusan mereka lewati, fakta besar yang selama ini disembunyikan dengan apik oleh Tama, yang menjadi awal mula kedua mantan sejoli ini menyimpan kecewa mendalam terhadap satu sama lain. Prihal Hanna yang belasan tahun hidup dengan trauma dan kecewa akibat ditinggal sang kasih, dan prihal Jovan yang belasan tahun menyesali status sosial keluarganya yang membuat Hanna enggan hidup bersamanya.

“Apa isinya?” tanya Hanna, memecahkan kesunyian di antara keduanya.

Jovan berdeham, dan menoleh ke arah Hanna, meminta Hanna mengulangi pertanyaannya yang masih belum Jovan mengerti.

“Isi dari surat yang enggak Tama sampaikan.”

Tak segera menjawab, Jovan hanya menyenderkan kepalanya di kursi mobil itu, mencoba menghela napasnya yang terasa berat untuk saat ini.

“Ajakan hidup bersama, Na.” jawab Jovan singkat, Hanna nampak tak puas dengan jawaban singkat itu, membuatnya dengan terpaksa balik menatap Jovan yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

“di surat itu, saya meminta kamu memilih, Na. Memilih datang ke warung kue balok langganan kita apabila mau pergi bersama saya untuk melawan restu dari orang tuamu demi menyelamatkan janin kita. Atau enggak datang, dan mengikuti kemauan orang tuamu yang enggak mau janin itu tetap hidup dan dilahirkan.”

“Sengaja, Na, saya tulis dengan berbeda surat pertama yang disuruh orang tuamu itu, dengan harapan kamu menyadari ada yang berbeda dari surat saya yang sebelumnya. Sengaja saya enggak kasih tanggal di atas surat itu, sengaja juga enggak saya kasih salam hangat yang biasa saya tulis di awal kalimat surat untuk kamu, dan dengan sengaja juga saya tulisakan nama Jovan di surat itu, yang padahal biasanya saya selalu menuliskan Jo di akhir surat untuk kamu. Saya kira kamu bisa membedakan itu, Na, apabila sesuatu yang buruk terjadi dengan surat kedua yang ada di tangan Tama, tapi ternyata enggak.” ujar Jovan menjelaskan kepada Hanna.

“Esok harinya setelah kamu temui saya di kantin fakultas, saya langsung menemui orang tua kamu. Kamu enggak ada di rumah saat itu, sedang ke klinik kandungan saat itu Ibu kamu kasih tau.” Jovan kembali melanjutkan ceritanya, kali pertama Hanna memberikan Jovan kesempatan untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Pertanyaan pertama yang dilontarkan Ibu dan Ayah kamu adalah, berapa banyak perusahaan yang keluarga saya miliki. Saat itu juga saya kaku, Na, jangankan perusahaan, mobil saja kami enggak punya. Saya hanyalah anak pensiunan pegawai negri, bukan dari golongan atas seperti kamu yang punya banyak sekali saham dan perusahaan.”

“Saat itu juga saya ditertawakan oleh orang tua kamu, namun, saya enggak peduli, saya masih kukuh untuk meminta izin menikahi kamu, dan bertanggung jawab penuh nantinya terhadap kamu. Tapi, tawa meremehkan dari kedua orang tua kamu seketika berubah menjadi caci maki, sumpah serapah yang sangat menyakitkan hati. Kata mereka, orang miskin seperti saya tidak pantas menjadi suami dari keturunan Hanasta. Kata mereka, saya hanya akan menjadi sampah nantinya, yang akan merusak citra harum milik keluarga Hanasta ...” Jovan kemudian berhenti, karena sakit yang ia rasa ketika dihina habis-habisan saat itu masih terasa hingga saat ini.

Hanna menunduk dalam-dalam, benar-benar malu dengan tindakan keji kedua orang tuanya dulu.

“Ancaman juga enggak lupa meraka ucapkan, mengancam keluarga saya mati, hidup saya hancur selamanya, wah ... Saya bahkan enggak sanggup untuk mengingat ancaman lainnya. Sampai akhirnya saya dipaksa untuk membuat surat yang berisikan pesan tak bertanggung jawab, yang saat itu kamu terima. Hancur, Na, hati saya saat menulis surat itu.”

“Tapi, Na, saya masih belum menyerah saat itu. Dengan nekatnya saya memilih untuk membawa kamu pergi dari rumah itu, hidup berdua sementara sampai anak kita lahir, prihal restu, mungkin saja bisa menyusul. Saya berikan surat itu kepada Tama, dan ternyata ... sampai saat ini surat itu enggak sampai kepada kamu. Yang kamu terima hanyalah surat yang di dikte orang tua kamu, sehingga kamu sangat membenci saya yang dibuat sangat pengecut di surat itu.”

“Gagal semuanya, hancur semuanya. Cinta saya, hidup saya, semuanya hancur enggak berbentuk lagi. Dan juga kamu, kamu dengan trauma yang membuat diri kamu berubah menjadi sosok yang dingin, bahkan kepada anak kita, Haekal.” ucap Jovan mengakhiri ceritanya. Hawa dingin di dalam mobil semakin terasa kala pembahasan serius itu mereka bicarakan. Luka-luka lama yang keduanya simpan selama ini, kembali terasa saat fakta yang sebenarnya mulai terungkap.

“Sudah terjadi ...” gumam Hanna pelan, bahkan sangat pelan sekali, “Enggak akan pernah bisa diulang lagi ... semuanya udah terlanjur hancur 'kan? Kamu, saya, Haekal, kita sama-sama hancur, enggak bisa diputar lagi waktunya.”

“Izinkan saya perbaiki yang sudah hancur, Na. Memang betul, enggak akan bisa untuk kita mengulang waktu, tapi, bukan kah kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki dan menyembuhkan satu sama lain?” pinta Jovan.

Hanna hanya menggeleng pelan, ia masih belum bisa untuk menerima Jovan lagi. Lukanya sudah terlalu dalam, kecewanya pun sudah sangat membekas, sehingga tiap kali melihat Jovan, hanyalah sakit yang hatinya rasa.

“Na ... Please ...” mohon Jovan tak berhenti, Hanna masih saja menggeleng, tak bisa mengikuti permohonan tersebut.

“Sudah larut, saya mau masuk ke rumah. Tolong kasihkan kunci mobil ini ke Mas Adi yang ada di pos security.” Hanna malah pamit, seperti tak mau mendengar lagi permohonan Jovan untuk mengajaknya kembali bersama.

“Sudah pergi semuanya, Na ...” ucapan itu menghentikan Hanna yang baru saja hendak membuka pintu mobilnya. “Kakak dipecat tanpa sebab dari salah satu anak perusahaan milik keluarga kamu. Setelah itu, Kakak saya ditolak semua perusahaan yang ada, sampai-sampai keluarga kami kehilangan satu-satunya tulang punggung yang ada. Ayah saya yang harus rutin menjalani pengobatan, terpaksa berhenti karena enggak ada biaya, sampai akhirnya Ayah meninggal, Na.”

“Tentu saya sangat terpukul saat itu. Tapi ternyata masih belum selesai, Na, Kakak cerai dengan suaminya saat sedang hamil, semuanya hancur, ekonomi kami semakin turun, Kakak masih aja ditolak tanpa sebab dari semua perusahaan yang ada. Sampai akhirnya, Kakak menyerah, Na. Tepat 6 bulan kehamilan Kakak saya, dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Hancur, Na, hancur sekali rasanya. Berawal dari cinta saya yang enggak mempertimbangkan kasta, berujung se-tragis itu terhadap kehidupan saya.”

“Masih belum juga selesai, Na, walau hasrat ingin menyusul Ayah dan Kakak kerap kali menghampiri saya, namun saya coba tahan. Dua alasan saya untuk tetap hidup, Na, pertama, Ibu saya yang tinggal sendiri, dan anak yang sedang kamu kandung. Tapi sayang, Na, beberapa tahun kemudian, kamu muncul ke permukaan, memberi pengkuan bahwa kamu hidup sebatang kara setelah meninggalnya orang tua kamu. Persis seperti petir yang menyambar, Na, saya benar-benar terpukul saat mengetahui itu. Itu awal dari penyesalan terbesar saya, saya merasa bersalah karena enggak mampu menyelamatkan bayi kita, Na.”

“Ayah, Kakak, Keponakan yang bahkan belum lahir, ditambah lagi kesimpulan yang saya ambil ketika kamu mengaku lajang dan hidup sendiri, tanpa ada anak yang menemani. Rasanya saat itu juga saya mau mati, Na. Tapi Tuhan berikan Azalea untuk saya, setidaknya sebagai perantara untuk saya tetap hidup dan menebus dosa kepada anak yang selama ini saya kira sudah mati.”

“Sudah banyak kehilangan yang saya lewati, Na. Dan saat ini, satu per satu kebenaran terungkap, jadi, tolong, Na, tolong ... Bantu saya untuk sekali saja merasa memiliki buah hati, dan cinta kasih selayaknya orang-orang di luar sana. Saya lelah, Na, lelah sekali apabila harus dihadapi oleh kehilangan lagi.”

Malam itu, Jovan berhasil menumpahkan semuanya kepada Hanna, rasa sedih, kehilangan, bahkan kecewanya. Berharap Hanna mau mengerti dengan posisi Jovan yang selama ini tak kalah berat dari Hanna. Untuk pertama kalinya Hanna membiarkan Jovan berbicara tanpa sedikitpun interupsi, mendengarkan segala macam pengakuan yang Jovan ucap, tanpa ada perdebatan dan celetukan sinis seperti sebelumnya.

Mereka semua terluka dengan cara masing-masing, si Puan yang merasa dikhianati oleh sang Tuan. Dan si Tuan merasa telah salah mencintai sang Puan yang berasal dari kasta atas nan terhormat.

“Setelah semua yang terjadi, seharusnya kamu sangat membenci saya 'kan, Jo?” Setelah diam beberapa saat, Hanna akhirnya kembali membuka mulutnya untuk berbicara.

“Rasa saya masih sama, Na, sama seperti delapan belas tahun lalu di bulan desember, saat saya lihat kamu duduk di taman kampus mengenakan baju cantik berwarna biru.” jawab Jovan tanpa ragu, tak ada sedikitpun kebohongan dan keragu-raguan dari netranya, yang ada hanyalah kesungguhan yang terpancar jelas.

“Kalau rasa kamu, Na?” tanya Jovan balik.

“Entah, rasanya hati saya sudah mati setelah kamu pergi. Tak ada lagi debaran kencang yang terasa selama belasan tahun ini, tak ada lagi kupu-kupu yang rasanya berkumpul di perut saya saat ditatap laki-laki lain. Mungkin sudah benar-benar mati.”

“Izinkan saya hidupkan lagi hati kamu yang terasa sudah mati, ya, Na?” pinta Jovan sangat lembut sekali.

“Jangan dimatikan lagi untuk yang kedua kali, Kak, karena saya benar-benar trauma dengan semua yang terjadi di masa lalu.” jawab Hanna terdengar ragu sekali.

“Enggak akan ada kali kedua yang bisa menghancurkan kita, Na, saya janji. Tolong percaya Kakak lagi, ya? Akan Kakak wujudkan janji-janji di masa lalu, tentang kamu dan anak kita yang Kakak janjikan akan selalu bahagia tanpa mengenal duka. Mau, ya?”

“Buktikan, Kak, hidupkan lagi, sembuhkan lagi, dan ini akan jadi kali terakhir saya kasih kesempatan untuk kamu memperbaiki semuanya. Tolong jangan dipatahkan lagi, saya sudah sakit sekali selama ini, tolong, ya?”

Jovan mengangguk, kemudian mendekatkan dirinya, membawa Hanna ke dalam dekapannya. Keduanya sama-sama menangis, menumpahkan segala rasa, cinta, rindu, yang selama ini tertahan karena keadaan yang rumit. Sama-sama melapangkan hati untuk bisa berdamai dengan masa lalu yang sangat kelam untuk diingat kembali, berharap semesta kali ini benar-benar merestui mereka untuk kembali menjadi sejoli yang saling mencintai satu sama lain sampai akhir hayat nanti.

“Hanna Hanasta, Terima kasih, saya akan mencintai kamu dan Haekal sepenuh hati.” bisik Jovan disela-sela pelukan hangat mereka.

“Kak Jo, tolong buat saya jatuh cinta lagi.”

Image

-Ara.

tw // Sexual harassement tw // violence cw // harsh word


“Pokoknya saya gak mau tau, Pak Jovan harus ganti rugi ke saya, muka saya lebam banyak karena dia, atau saya akan perkarain ke polisi!” Teriak Darto menggebu-gebu, diiringi oleh jemarinya yang memegangi beberapa titik dari wajahnya yang memar akibat pukulan dari Jovan.

“Oh iya, sama Haekal juga harus ganti rugi karena mencemari nama baik saya di depan para siswa! Kalau enggak, saya mau dia dikeluarin dari sekolah ini!” Seolah tak mau berhenti menuntut, Darto melanjutkan ancamannya, padahal sudut kanan bibirnya sudah lebam, tapi masih saja bibirnya lincah mengambil kesempatan mendapatkan cuan dari kejadian barusan.

“Coba kamu ngomong sekali lagi,” Tantang Jovan mendekati Darto yang duduk di sofa ruangan kepala sekolah, refleks Darto menghindar hanya kerena melihat langkah Jovan mendekat, “Ngomong sekali lagi, Darto! Supaya saya bisa pukul wajah kamu lagi, sampai gigi kamu rontok dan hanya tersisa lima.” Sentak Jovan dengan intonasi suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Saya ikut, Pak, saya juga mau pukuli si Darto ini sampai tulang hidungnya patah terbagi dua.” Tak mau kalah, Haekal ikut menggertak Darto, walau harus berjalan pincang mendekati Darto.

Darto ketakutan dengan gertakan Jovan dan Haekal, detik berikutnya, Ia segera meringkuk, dan menutupi wajah menggunakan kedua tangannya. Bukan tak mungkin Jovan dan Haekal memukuli Darto di ruangan ini, mengingat tadi, ketika Jovan menghampiri Darto yang sedang menghardik Haekal, ia segera dihantam oleh berkali-kali tinjuan Jovan.

“Pak Jovan! Haekal! Bisa tenang tidak?!” Bentak Yatno, yang sedang duduk di kursi kerja kepala sekolah.

“Kalo saya bilang enggak bisa, Bapak mau apa?” Jawab Haekal dengan tengilnya, senyum sinis tersungging di bibir Jovan kala mendengar jawaban dari Haekal barusan.

“D.O aja murid kayak gini, gak ada sopan-” Ucapan Darto terhenti seketika, tepat pada saat Jovan meremas bahunya kanannya dengan kencang.

“Jangan banyak omong, Darto, sudut kanan bibir kamu itu sedang memar. Atau mau saya tambahkan sisi kirinya juga ikut memar?” Bisik Jovan tepat di telinga Darto, membuat Darto bergidik ngeri dengan ancaman barusan.

“Duduk di sana, Pak Jovan dan Haekal! Jangan ada yang main fisik lagi di ruangan saya!” Perintah Yatno, menunjuk ke arah sofa lain di sebrang sofa yang sedang diduduki Darto sendirian. Dengan langkah malas, Jovan dan Haekal berjalan ke arah sofa itu. Mereka duduk berdua, menatap tajam ke Darto yang duduk di sebrang mereka. Bapak dan Anak itu mempunyai tatapan tajam yang sangat mirip sekali dengan tatapan lemur, berhasil membuat Darto tak mampu membalas tatapan tajam itu.

“Jangan memalukan, lah, sudah enggak jaman pakai fisik sekarang. Di tambah lagi Pak Jovan kan guru, seharusnya mencontohkan yang baik kepada siswa-”

“Pak Yatno yang terhormat, Darto, alias adik kandung Pak Yatno yang duluan main fisik ke saya. Ajari dulu adik Bapak itu, baru pantas bicara seperti itu kepada Pak Jovan.” Bantah Haekal segera, bahkan disaat Pak Yatno belum selesai menyelesaikan kelimatnya.

“Kamu tuh, ya! Enggak sopan sekali sama kepala sekolah-”

“Apa, Darto? Masih berani kamu bicara?” Jovan memotong perkataan Darto. Darto segera diam, tak mau Jovan nekad memukulnya.

“Urusan saya sama Pak Darto bisa dibahas nanti, sekarang, alangkah baiknya Bapak bahas permasalahan Darto dengan Haekal. Pak, Haekal ini baru satu hari masuk sekolah, Bapak tahu sendiri 'kan, bagaimana kelalaian pihak sekolah sampai-sampai Haekal diserang sendirian oleh sekolah lain. Eh ini kok malah dihadiahi lagi sama kekerasan Fisik oleh gurunya.” Protes Jovan tak terima, kali ini Jovan tak akan mau diam melihat anak kandungnya mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum yang bahkan tak pantas disebut seorang Guru.

“Pasti ada alasan Pak Daro melakukan hal sedemikian, Pak Jovan. Enggak mungkin tiba-tiba Pak Darto menendang kaki Haekal, kalau Haekal tidak melakukan kesalahan.” Respon Yatno, nampak sekali berusaha membela Adiknya.

Tawa Haekal lepas ketika didengarnya respon itu, “Sudah besar, kok, masih aja dilindungi Kakaknya.” Cibir Haekal menanggapi ucapan Yatno barusan, bukan hal yang baru bagi Haekal dihadapi oleh Kakak-Adik yang saling melindungi untuk menutupi kesalahan masing-masing, bahkan sampai-sampai Haekal hapal dengan pola yang akan terjadi, sudah pasti kesimpulannya jadi Haekal yang salah, dan Darto yang akan mendapatkan keuntungan.

“Enggak berhak, Pak, seorang guru main fisik kepada muridnya. Murid-murid kita disayangi oleh orang tuanya di rumah, bahkan untuk mencubit sedikitpun enggak tega rasanya. Bisa-bisanya Darto menendang murid yang dijaga dengan sangat baik oleh orang tuanya, dan ini bukan sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali.” Sanggah Jovan tak terima, ia sangat berapi-api pada perdebatan kali ini, ia tak mau melepaskan Darto kali ini, kalau bisa sampai jalur hukum pun akan Jovan ladeni.

Meski sedikit takut, Darto masih ingin membela dirinya, dengan mata yang tak berani menatap Jovan yang ada disebrangnya, ia berucap, “Saya difitnah yang enggak-enggak sama Haekal, di depan murid yang lain, wajar dong saya marah. Harga diri saya dia injak-injak di depan murid lain.”

“Enggak perlu saya injak, harga diri dia 'kan memang sudah hilang, Pak.” Balas Haekal semakin mencemoohkan Darto yang kini menahan emosi, “Saya dan Azalea lihat kok tangan dia gerayangan waktu ajari salah satu siswi bermain Volly.” Sambung Haekal lagi.

Rahang Jovan semakin mengeras ketika mendengar fakta yang Haekal beberkan barusan, rasanya ingin sekali Jovan menghajar habis-habisan Darto yang sudah kelewatan kepada siswa-siswi, “Kamu harusnya malu dapat gelar seorang guru dengan tindakan enggak bermoral seperti itu, Darto.” Ucap Jovan dengan tatapan menusuknya.

“Apa benar yang diucap Haekal barusan, Pak Darto?”

“Tidak, tanya saja sama muridnya. Ada di luar ruangan kok, tadi.”

Tak lama setelah dipanggil, siswi tersebut berdiri untuk dimintai kesaksian. Jovan melihat ada yang aneh dari tingkah siswi itu, gerak-geriknya sangat mencurigakan, terlihat sangat gugup sekali memberi sebuah kesaksian.

“Kata Haekal, dia lihat kamu dipegang-pegang sama Pak Darto, apakah benar?” Tanya Yatno, siswi itu tak langsung menjawab, ia malah menunduk ketika ditanyai oleh Yatno. Jovan sangat yakin, ada yang tidak beres saat ini, entah usaha licik apalagi yang telah Darto lakukan.

“Jawab aja sejujurnya, kamu merasa saya pegang-pegang gak tadi?” Darto kali ini menambahi.

Dengan sangat ragu, siswi itu menjawab, “Enggak, saya enggak merasa di pegang-pegang ... Mungkin Haekal salah lihat ...” Jawabnya pelan, masih dengan pandangannya yang menunduk dalam. Darto tersenyum penuh kemenangan mendengar itu.

Haekal langsung berdiri dari duduknya, tak percaya dengan pengakuan teman sekelasnya itu, jelas-jelas Darto pegang-pegang tubuhnya, bisa-bisanya ia memberi keterangan bahwa Haekal hanya salah lihat. “Jangan seperti itu! Kamu harus jujur, supaya enggak ada korban lagi ke depannya.” Ucap Haekal kepada temannya, namun tak dijawab, siswi itu masih saja menunduk enggan melihat ke sekitar.

Jovan mengusap kasar wajahnya frustasi, benar saja, Darto pasti sudah terlebih dahulu mengancam siswi itu sehingga enggan memberi keterangan yang sesungguhnya terjadi.

“Dengan 'kan? Saya korban di sini, difitnah Haekal, dipukuli Pak Jovan. Saya mau ganti rugi!” Seperti sebuah kebangkitan baginya, Darto kembali menggebu-gebu karena merasa sudah menang telak kali ini.

“Kamu pasti diancam Pak Darto, iya 'kan? Enggak perlu takut, ya? Saya yang jamin ancaman dia enggak akan terjadi. Sekarang, tolong jelaskan yang sebenarnya terjadi.” Tak mau menyerah begitu saja, Jovan ikut berdiri, dan berucap lembut agar siswi itu mau mempercayainya.

“Haekal cuma salah lihat aja, Pak ...” Jawabnya masih enggan untuk jujur.

“Sudah-sudah! Sudah jelas 'kan jawaban dari korban. Ini hanya salah paham saja, Pak Darto tidak salah.” Tegas Yatno, dengan telunjuknya menunjuk ke arah sofa, agar Jovan dan Haekal duduk kembali.

“Pak Jovan ini kekeuh banget saya yang salah, sama kayak pengusaha yang selalu jadi wali Haekal, ya?” Tanya Darto penasaran.

“Maksud kamu?” Jovan tak paham dengan pertanyaan itu, Jovan tak menyadari saat ini Haekal sudah mengepal keras tangannya, Haekal sudah mengetahui maksud dari pertanyaan Darto barusan, pasti Darto akan menuduh bahwa Mamahnya merupakan wanita simpanan.

Jovan mengurungkan niatnya untuk kembali duduk, memilih mendekat kepada Daro untuk mendengar dengan jelas maksud dari pertanyaan Darto barusan.

“Ya sama kayak Pengusaha itu, mungkin sudah digoda sama Ibunya Haekal sampai-sampai mau belain yang salah. Ibunya Haekal kan dicurigai wanita enggak benar yang-”

BUG.

Sebuah tinjuan berhasil mendarat dengan mulus mengenai sisi kiri bibir Darto, Haekal yang baru saja ingin menghampiri untuk menghajar Darto terkejut, karena Jovan sudah terlebih dahulu melakukan itu.

“Sekali lagi mulut kotormu lancang ngomong yang seperti tadi, saya enggak akan ragu buat bikin kamu gak bisa bicara selamanya, Darto.” Ancam Jovan sangat serius, tangannya dengan kencang menarik kerah baju Darto, sampai-sampai Darto sangat susah untuk bernapas.

Jovan tak memedulikan teriakan dari Pak Yatno yang memintanya untuk melepaskan kerah baju Darto, emosinya sudah sangat meluap saat ini, rasanya ia ingin menghabisi Darto saat ini juga, supaya tak ada lagi manusia minim moral yang menganggu kehidupan anak dan wanita yang sangat ia cintai.

“Pak, sudah ...” Akhirnya Haekal yang turun tangan untuk mencegah Jovan mengikuti emosi, walau sebenarnya Haekal juga ingin sekali menghabisi Darto sampai tak berdaya, namun ia sadar, jika terjadi apa-apa, Jovan akan terlibat masalah besar nantinya.

“Sudah, Pak, sudah.” Kali ini Haekal mengusap pundak Jovan, menyadarkan Jovan agar tak kalah oleh emosi. Perlahan Jovan melepaskan cengkramannya yang kuat, namun tetap saja matanya menatap tajam ke arah Darto yang sedang terbatuk-batuk akibat kesulitan bernapas selama beberapa detik barusan.

“Bapak bisa dituntut melakukan kekerasan terhadap Adik saya, di sini ada CCTV, mudah sekali untuk perkarain kejadian barusan!” Bentak Yatno.

“Silahkan, saya enggak takut sedikitpun. Lebih baik masuk penjara, daripada harus diam mendengarkan mulut sampah itu berbicara.” Desis Jovan.

“Saya tuntut kamu!”

Baru saja Jovan hendak melawan, pintu ruangan itu tiba-tiba terbuka, muncul Sarah dari pintu itu, terlihat bingung dengan keadaan di ruangan itu. Apalagi ketika dilihatnya Darto yang sudah babak belur, dan juga kemeja Jovan yang sudah tak rapih lagi.

“Ada apa Bu Sarah?” Tanya Yatno kepada Sarah.

“Ibu Haekal sedang menunggu di luar ruangan, Pak. Saya boleh minta izin supaya Ibu Haekal masuk ke ruangan Bapak?” Kata Sarah meminta izin terlebih dahulu, Haekal dan Jovan secara bersamaan menoleh ke arah Sarah, seakan tak percaya dengan perkataan Sarah barusan. Sarah hanya memberi kode dengan menganggukan kepalanya, menandakan bahwa yang ia ucap barusan adalah benar.

Berbeda dengan Haekal dan Jovan yang nampak tak percaya, Darto yang tadinya kesakitan akibat ditinju oleh Jovan, melirik Kakaknya-Yatno dengan penuh arti. Memberi kode dengan mengangkat alisnya sebelah, memberitahu Kakaknya ini akan menjadi peluang bagi mereka mengumpulkan pundi-pundi rupiah dari wali murid yang akan dimintai pertanggung jawaban.

“Boleh, Pak?” Tanya Sarah sekali lagi karena tak kunjung mendapat jawaban.

Belum sempat Yatno memberi izin, terlihat seorang wanita dengan postur tubuh yang tinggi, lengkap dengan setelan rapih dan sangat terkesan mewah, berjalan dengan angkuh sembari menenteng tas bermerek yang jika ditaksir harganya mampu untuk membeli satu unit rumah.

Semua yang ada di ruangan itu seketika terdiam, memproses apa yang sedang mereka lihat saat ini. Haekal dan Jovan yang tak menyangka Hanna akan datang, Yatno dan Darto kebingungan dengan kehadiran tiba-tiba pemilik yayasan sekolah ini, yang bahkan untuk hadir rapat bersama para komite, selalu diwakili oleh staffnya.

“Enggak usah izin, ini sekolah punya saya.” Cakap Hanna datar. Matanya segera tertuju kepada Haekal yang masih kebingungan dengan kehadiran Hanna. Hanna melihat dengan seksama dari atas sampai kaki Haekal, memastikan tak ada luka berat di tubuh anaknya yang terlihat.

Setelah itu, matanya tertuju pada Jovan yang kini berdiri terpaku menatapnya, dengan kemeja yang sudah sangat berantakan, dan rambut yang tak beraturan. Hanya dari sekilas saja, Hanna sudah paham bahwa Jovan terlibat perkelahian.

“Bu Hanna?” Yatno segera tersadar, dan berdiri dari kursi kerjanya, hendak menyambut Hanna dengan penuh hormat. Namun belum sempat mendekat, Hanna sudah terlebih dahulu mengangkat tangannya, memberi tanda agar Yatno menghentikan langkah untuk mendekatinya.

Ketika melihat ke sebelah kiri, nampak seorang yang berbadan besar, dengan beberapa luka lebam di wajah, sedang menatap Hanna tak percaya. Senyum sinis terlukis di bibir Hanna kala melihat wajah penuh lebam itu.

“Yang ini, Sarah? Ini yang suka pukulin anak gue, Haekal Hanasta, pewaris tunggal keluarga Hanasta?” Tanya Hanna dengan suara yang sengaja ia kencangkan, sengaja agar seisi ruangan mendengarnya.

Betapa terkejutnya Yatno dan Darto saat mendengar itu. Keduanya serasa disambar petir di siang hari. Langsung berkelebat di kepala mereka bagaimana selama ini memperlakukan Haekal, terkhusus Darto yang sering kali terlibat perkelahian fisik dengan Haekal- yang ternyata merupakan anak dari pemilik yayasan tempat mereka bekerja, sekaligus pebisnis terkenal se-Asia.

“Mah?” Gumam Haekal tak percaya dengan pernyataan Hanna yang baru saja mengakuinya di depan orang lain, Haekal pun sangat paham, itu akan sangat berdampak untuk bisnis Mamahnya yang dikenal dunia masih lanjang dan belum mempunyai Anak.

“Pak, tolong berdiri,” Perintah Hanna kepada Darto, tanpa banyak berpikir, Darto segera berdiri dan menunduk di depan Hanna, “Kali ini anak saya kamu apakan?” Sambung Hanna bertanya. Darto tak bisa menjawab, ia tak berani mengatakan Haekal sudah ia tendang hari ini.

“Bu Hanna, maafkan guru kami, mungkin hanya kesalahpahaman saja.” Bukannya Darto, yang menjawab malah Yatno, panik sekali dari tutur katanya.

“Jadi gini Bu Hanna,” Ucap Jovan, jemarinya berusaha untuk merapihkan kancing kemeja atasnya yang terlepas, dan berusaha merapihkan sisi lain bajunya, walau percuma saja, ia tetap terlihat berantakan akibat perkelahian dengan Darto barusan. “Haekal lihat temannya ini dipegang sama Pak Darto, jadi, Haekal datang menghampiri buat menegur Pak Darto. Ternyata, Pak Darto tidak terima dengan teguran itu, dia tendang lah kaki Haekal sampai jatuh. Enggak sekali, tapi berkali-kali, bahkan saat saya sampai di lapangan, Pak Darto masih saja mau menendang kaki Haekal lagi.” Lanjut Jovan menjelaskan.

“Bukan seperti itu, Bu, Pak Jovan ini apa-apaan ikut campur sok tau masalah?!” Sanggah Darto tak terima.

“Saya guru BK kalau Bapak lupa, jadi saya berhak bicara kali ini, dari perpektif murid saya.” Jawab Jovan mematahkan pembelaan Darto barusan yang enggan untuk dipojokkan.

“Gini, Bu Hanna, Haekal salah lihat. Saya maafkan, saya enggak akan perbesar masalah ini lagi, wajar mungkin anak remaja terlalu menggebu-gebu kalau melihat sesuatu yang enggak sepantasnya. Saya sudah maafkan Haekal.” Ucap Darto yang entah mengapa tiba-tiba memaafkan Haekal.

“Konyol, Hahaha!” Timpal Haekal dengan tawa sarkatiknya. Jovan kembali geram dengan perkataan Darto barusan, namun ia coba tahan agar tak meledak di depan Hanna.

“Iya, Bu Hanna, kita selesaikan aja masalahnya. Yang bersangkutan juga sudah memaafkan Haekal.” Yatno berucap, menyimpulkan lagi perkataan Darto barusan. “Enggak apa-apa, namanya juga murid, lagi proses pembelajaran, iya 'kan Haekal?” Sambungnya sok akrab.

“Dimaafkan anak saya ya, Pak?” Respon Hanna dengan senyumnya, segera dibalas dengan anggukan oleh Darto, yang merasa sedikit lega dengan respon itu. Jovan menautkan alisnya, heran dengan respon Hanna barusan, seperti menyetujui dalih tipuan dari Darto barusan.

“Tapi saya enggak maafkan kelakuan bejat Bapak yang sudah berkali-kali melakukan kekerasan fisik kepada anak saya.” Lanjut Hanna tak terduga. “Saya yang mendirikan yayasan ini. Bukan sedikit dana yang saya kasih untuk sekolah ini disetiap tahunnya. Tapi malah kalian siksa anak saya. Berkali-kali saya lihat wajah dan badan anak saya luka karena ulah kalian. Jangan harap saya mau maafkan dan kasih ampun kalian.” Cecar Hanna panjang lebar.

“Kamu, dilecehkan sama dia?” Kali ini Hanna bertanya kepada seorang siswi yang berdiri menunduk di sampingnya, siswi itu tak menjawab, dia semakin takut untuk mengeluarkan suara.

“Barusan dia bilang enggak dilecehkan, dan menganggap Haekal hanya salah lihat. Padahal yang lihat bukan hanya Haekal saja, tetapi anak-anak yang lain juga, termasuk Azalea yang dengan jelas memberikan kesaksian dengan saya melalui pesan singkat.” Jawab Jovan menjelaskan, ia menunjukan ponselnya yang berisikan pesan dari Azalea.

Hanna jadi semakin paham dengan apa yang terjadi, ia langkahkan kakinya untuk mendekati siswi tersebut.

“Kamu diancam untuk tutup mulut sama dia?” Tanya Hanna, Darto dan Yatno melirik tak percaya saat Hanna menanyakan hal itu kepada sang siswi. “Diancam apa? dikeluarkan dari sekolah? Enggak perlu khawatir, sekolah ini punya saya. Ngapain kamu takut sama dia.” Sambung Hanna lagi. Wajah Darto memerah, ia benar-benar mati kutu apabila siswi itu berani mengungkap fakta sebenarnya.

“Jawab jujur,” Desak Hanna lagi, “Saya yang biayai sekolah kamu sampai lulus nanti, bahkan sampai kuliah kalau kamu berani jujur sekarang.”

“Hanna!” Panggil Jovan mengingatkan, Jovan tak suka apabila Hanna memakai uangnya untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, terkesan menjadikan siswi tersebut sebagai mainan.

“Kalau enggak mau, ya enggak apa-apa, sekalian aja kita perkarain, ya? Gampang bagi saya buat cari barang bukti, tanpa kesaksian kamu. Ya sudah Bu Sarah, tolong hubungi-”

“Iya, Pak Darto pegang-pegang saya waktu pelajaran Olahraga.” Jawab siswi itu akhirnya, “Saya diancam barusan, kata Pak Darto, kalau bilang yang sebenarnya, saya enggak akan bisa lulus di sekolah ini, dan enggak akan ada sekolah lain yang terima saya nantinya.” Siswi tersebut mengakui apa yang sebenarnya terjadi kepada Hanna.

Seulas senyum penuh kemenangan terukir di bibir tipis milik Hanna, begitupun dengan Haekal yang ikut senang karena fakta sebenarnya terungkap. Namun berbeda dengan Jovan yang nampak tak puas dengan cara yang dilakukan Hanna barusan.

“Ya sudah, kamu boleh keluar. Nanti Sarah yang akan kasih arahan kamu untuk mendapatkan apa yang saya janjikan barusan.” Ujar Hanna, siswi itu mengangguk paham dan segera keluar dari ruangan yang penuh dengan ketegangan yang ada.

“Kekerasan fisik, pelecehan, kira-kira berapa tahun ya hukuman penjara?” Sindir Hanna dengan bertanya sendiri, dengan santai ia berjalan, melihat-lihat vas bunga yang ada di ruangan itu.

Wajah Darto benar-benar pucat pasi saat ini, baru kali ini ia merasa kalah di lingkungan sekolah yang baginya adalah wilayah kekuasaan absolut miliknya. Ia benar-benar tak menyangka bahwa orang tua Haekal adalah HannaHanasta, pengusaha mempunyai power yang dapat menghancurkan hidupnya sekaligus kakaknya hanya dalam hitungan jam saja.

“Satu tahun yang lalu, ditampar karena telat 3 menit. Pernah juga, ditendang di depan murid lagi saat upacara, karena dituduh memain-mainkan Pancasila, padahal yang melakukan itu murid kelas 12. Beberapa bulan yang lalu, dipukuli karena membela orang tua temannya yang dihina, dan belum begitu lama, dihajar habis-habisan karena kembali membela orang tua temannya, dan juga membela Ibunya yang difitnah simpanan pengusaha, Tama Erlangga.” Hanna mulai membeberkan semua laporan dari Sarah selama ini, belum lagi hal-hal kecil yang Darto lakukan kepada Haekal.

Hanna kembali berjalan mendekati Darto setelah puas melihat-lihat isi dari vas bunga yang ada, “Ah iya, dan barusan, kaki anak saya yang baru aja pulang dari rumah sakit ditendang, dan jangan kira ucapan-ucapan kamu barusan enggak saya dengar. Kamu bilang apa? Pak Jovan saya goda? Saya wanita enggak benar? iya?” Bertubi-tubi Hanna menyerang Darto tanpa ada hentinya, bukan hanya pucat, bahkan saat ini kaki Darto gemetar hebat serasa tak mampu lagi berdiri di hadapan Hanna.

“Haekal,” Panggil Hanna, “Kamu mau dia saya apakan? Kalau lihat dia di hadapan meja hijau, menarik, gak?” Tawar Hanna kepada Haekal dengan senyumnya, Haekal ikut tersenyum mendengar tawaran itu, berbeda dengan Yatno dan Darto yang sudah mati ketakutan mendengar tawaran itu.

“Bu Hanna, maafkan saya, saya yang salah. Maafkan saya, Bu, saya punya istri dan Anak di rumah, tolong belas kasihannya.” Tanpa terduga, dengan terseok-seok, Darto berlutut di kaki Hanna, memohon maaf serendah-rendahnya kepada Hanna.

“Pak Darto ... Jangan seperti itu.” Entah tak tahan, atau merasa risih, Jovan kembali membuka suara, ia sungguh tak bisa melihat itu, karena kembali mengingatkannya dengan masa lalu, saat memohon kepada orang tua Hanna untuk bisa hidup bersama, namun, dengan angkuhnya ia dicampakkan karena kasta sosial yang ada.

“Bukan kepada saya kamu harus meminta maaf, saya juga enggak butuh permintaan maaf.” Jawab Hanna yang juga nampak risih dengan posisi Darto yang saat ini masih berlutut di kakinya.

Tanpa pikir panjang, Darto segera bangkit untuk berlutut kepada Haekal, namun dengan segera, Haekal menghindar agar hal tersebut tak terjadi, “Saya juga enggak butuh permohonan maaf sampai berlutut seperti barusan.” Ucap Haekal tegas. Jovan sedikit bernapas lega, karena Haekal tak membiarkan Darto berlutut di hadapannya.

“Prilaku enggak bermoral yang selama ini sudah menjadi kebiasaan, enggak akan hilang dan termaafkan hanya karena berlutut di depan saya dan Mamah saya.”

“Haekal mau Pak Darto bagaimana?” Yatno mencoba berunding kembali, kali ini suaranya pelan, berlagak lembut, sangat berbeda seperti sebelum kedatangan Hanna.

“Saya mau dia mengaku salah, meminta maaf kepada korban, dan berjanji enggak akan mengulangi prilaku bejatnya, termasuk memfitnah saya dan teman-teman saya.” Hanna tak puas mendengar permintaan tersebut, ia berencana akan membawa Darto ke meja hijau tanpa ada belas kasihan, namun ternyata Haekal masih cukup baik untuk memberikan kesempatan.

“Darto!” Panggil Yatno keras, agar Darto segera berjanji melakukan semua yang diminta oleh Haekal.

“I-iya, saya bisa melakukan itu semua.” Jawab Darto terbata-bata, Hanna hanya memincingkan matanya kesal mendengar janji yang sangat ia yakini akan berakhir menjadi sebuah dusta.

“Ultimatum terakhir dari saya, kalau kejadian serupa terjadi lagi, saya enggak segan-segan membalikkan dunia kalian berdua. Se-inci saja kulit anak saya kalian sentuh, saya enggak akan tinggal diam.” Ancam Hanna, mungkin kali ini mereka berdua lolos dari kemarahan Hanna, namun, ke depannya, Hanna menjamin kehidupan mereka akan berakhir berantakan apabila menyakiti Haekal, putra semata wayangnya.

Image

“Makasih banyak Bu Hanna, saya janji-”

“Sudah, cukup. Enggak perlu bicara lagi.” Hanna menukas dengan cepat ucapan Darto, yang terdengar sangat menyebalkan oleh telinganya. “Haekal, masuk ke mobil, kita ke rumah sakit buat cek kaki kamu sekarang juga.” Perintah Hanna selanjutnya, Haekal tadinya ingin menolak itu, karena ia merasa kakinya tak perlu pengobatan yang serius, namun melihat Jovan yang mengangguk ke arahnya, memberi isyarat untuk mengikuti perintah sang Mamah, segera Haekal berjalan menuju pintu keluar ruangan, dan di sambut oleh Mas Adi untuk membantu Haekal berjalan.

“Bu Hanna, sekali lagi saya mohon maaf sedalam-dalamnya, terima kasih juga untuk kebijaksanaan Ibu mengambil langkah.” Yatno menunduk dengan sopan, diikuti oleh Darto yang juga ikut menunduk kepada Hanna. Hanna tak menjawab itu, segera melangkahkan kakinya keluar ruangan tanpa sedikitpun merespon Yatno dan Darto, seolah-oleh ucapan mereka berdua hanyalah angin yang tak perlu dihiraukan.

Jovan menuturi langkah kaki Hanna yang terkesan tergesa-gesa meninggalkan sekolah, “Hanna, boleh bicara sebentar?” Panggil Jovan yang berjalan di belakang Hanna. Jangankan menjawab, menghentikan langkah kakipun Hanna enggan.

“Na, kita perlu bicara sebentar terkait yang tadi.”

“Saya sibuk, lain waktu aja, toh sudah terlihat kok kamu gagal melindungi Haekal lagi.” Balas Hanna masih dengan langkah kakinya yang terus berjalan.

Namun, langkahnya terpaksa berhenti akibat tangannya yang ditahan oleh Jovan, dengan sangat terpaksa akhirnya Hanna mau membalikkan badannya untuk berhadapan dengan Jovan di koridor sekolah yang sangat sepi karena sedang jam pembelajaran.

“Saya mau bicara sama kamu, 5 menit, di ruangan saya.” Ucap Jovan tegas, seperti sedang menahan amarah.

“Bisa?” Tanyanya lagi, mau tak mau, dengan terpaksa Hanna menyetujui permintaan Jovan, dan mengikuti langkah kaki Jovan menuju ruangannya. Walau bingung masih melanda Hanna saat melihat tatapan tajam Jovan barusan, pikir Hanna, bukannya dia yang seharusnya marah kepada Jovan saat ini karena sudah lalai menjaga Haekal?


“Saya enggak punya waktu buat lama-lama di sini, Jovan.” Setelah bermenit-menit hanya diam, menunggu Jovan memulai obrolan, Hanna akhirnya tak tahan dan membuka obrolan.

“Sudah makan?” Hanna berdecih saat mendengar pertanyaan itu yang keluar. Ia kemudian memijat keningnya, benar-benar merasa pusing dengan segala yang terjadi di hari ini, termasuk dengan pertanyaan tak penting dari Jovan barusan.

Hanna sangat lelah untuk berdebat, jadi ia putuskan untuk bangkit dari duduknya, bersiap meninggalkan ruangan Jovan.

“Saya enggak suka cara kamu yang seperti tadi, Na.” Ungkap Jovan saat Hanna hendak meninggalkan ruangan, “Enggak semua bisa kamu rendahkan dengan uang yang kamu punya.” Sambungnya lagi.

“Maksud kamu?”

“Kamu enggak perlu pakai power kamu yang punya banyak uang untuk minta siswi tadi bicara kebenaran. Masih banyak cara lain, Na, selain itu.” Jovan berusaha tenang memberi penjelasan kepada Hanna, nampaknya Hanna tak terima dengan ucapan Jovan barusan, terlihat jelas dari raut wajah tak bersahabatnya saat ini.

“Pakai cara apa kalau bukan kayak tadi?”

“Saya yang akan cari cara, Na. Tadi ada Haekal, saya khawatir Haekal akan ikut menggunakan uang sebagai jalan keluar dari setiap permasalahan. Saya enggak mau Haekal tumbuh dengan kebiasaan itu.” Masih saja Jovan berusaha menjelaskan kepada Hanna bahwa tindakan yang Hanna lakukan tadi adalah salah, dan akan menjadi contoh buruk bagi Haekal.

“Enggak semua bisa kamu rendahkan dengan uang, enggak semua bisa kamu perjuangkan dengan uang-”

“Itu yang bikin kamu seperti pengecut, Jovan!” Sentak Hanna memotong perkataan Jovan, ia sangat tak terima dengan pandangan Jovan barusan.

“Yang bikin saya terlihat seperti pengecut itu uang, Na. Sama halnya dengan kedua orang tua kamu yang merendahkan saya dengan uang. Saya enggak mau Haekal tumbuh dengan pribadi seperti itu.” Balas Jovan tak mau kalah, tak seperti biasanya yang akan mengalah agar tak berdebat dengan Hanna, Jovan benar-benar menganggap permasalahan kali ini sangat serius apabila ia harus mengalah.

Seulas senyum sinis terlihat dari bibir Hanna saat mendengar jawaban itu, “Karena kamu miskin?” Tanya Hanna tanpa ragu, Jovan tak menjawab pertanyaan itu, karena bagi Jovan memang seperti itulah kenyataannya.

“Sama seperti kamu yang enggak mau Haekal tumbuh dengan uang yang akan membantunnya menyelesaikan masalah, saya juga enggak mau Haekal tumbuh sebagai pribadi pengecut seperti Ayahnya yang enggak mampu melawan kekuatan uang.” Ucap Hanna tajam kepada Jovan.

“Ohiya, satu lagi, bukan miskin yang bikin kamu enggak bisa bertanggung jawab kepada saya dan Haekal, tapi sikap kamu yang pengecut, mudah menyerah yang membuat keadaan seburuk sekarang. Enggak perlu berlindung dibalik 'kemiskinan', Jovan. Kamu hanya pengecut yang enggak mau berusaha.”

“Jangan terlalu sering menyalahkan keadaan, Jovan. Haekal akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan bertanggung jawab, jadi enggak usah khawatir. Sudah, ya? Saya sibuk.” Ujar Hanna terakhir kalinya, sebelum meninggalkan Jovan yang berdiri kaku di ruangannya.

Kalimat-kalimat yang Hanna lontarkan tadi sangatlah tajam menusuk hingga ke relung hati Jovan, rasanya ingin sekali Jovan beberkan fakta yang terjadi dulu, namun, Hanna tak akan mempercayainya apabila tak memiliki bukti yang nyata.

Di lain sisi Jovan juga mempertanyakan, apakah benar ini semua salah dirinya yang masih belum maksimal melawan kasta, sehingga pantas sekali Hanna menyebutnya sebagai si pengecut yang berlindung dibalik kata 'kemiskinan' yang menimpa.


Dengan langkah gusar Hanna berjalan menuju mobilnya, kepalanya terasa ingin pecah dengan semua yang terjadi di hari ini. Dari mulai murkanya terhadap guru dan kepala sekolah Haekal, sampai dengan rasa kesalnya terhadap Jovan yang menyudutkannya karena menggunakan uang untuk menyelesaikan masalah yang ada.

“Bu Hanna tunggu,” Satu panggilan kembali menganggunya yang ingin segera masuk ke dalam mobil.

Itu bukanlah suara Jovan, batin Hanna berbicara. Dengan sangat malas, Hanna kembali menghentikan langkah kakinya yang padahal tinggal sedikit lagi sampai ke mobil miliknya. Yatno, lagi dan lagi wajah itu datang menghampiri Hanna. Padahal sudah sangat muak sekali Hanna melihat wajah itu.

“Hehehe, hati-hati ya, Bu Hanna.” Kata Yatno dengan senyum yang menyimpan makna.

“Ya.” Jawab Hanna singkat.

Tadinya Hanna hendak melanjutkan langkahnya lagi, namun tiba-tiba langkah kakinya terhenti kala Yatno berucap, “Kalau media tau Bu Hanna punya anak, kira-kira bakal gimana ya, Bu?”

Hanna berdecih pelan mendengar pertanyaan itu, ia sudah menebak, otak licik Yatno ataupun Darto pasti akan berusaha kembali bangkit dan mengancam membeberkan status Haekal kepada media.

“Saya bisa jamin, sih, Bu, supaya media enggak tau. Ya tapi, saling menguntungkan aja. Ibu pebisnis, pasti tau maksud saya Hehehe.” Ucap Yatno lagi, dilengkapi dengan kekehannya yang bagi Hanna terdengar sangat menjijikan.

“Saya cuma minta posisi saya saat ini enggak digeser seterusnya, dan dana untuk sekolah ini dilebihkan lagi pada tahun depan, simple 'kan?” Lanjutnya lagi, sangat bersemangat sekali mengejar pundi-pundi keuntungan yang akan ia terima.

Dengan senyum yang nampak meremehkan, Hanna meminta agar Yatno semakin mendekat ke arahnya. “Sedikit mendekat lagi, Pak, untuk dengar jawaban saya.” Panggil Hanna, dan dengan tak tahu malunya, Yatno semakin mendekat mengikuti arahan Hanna.

Kemudian Hanna berbisik pelan di telinga Yatno, “Beberkan saja kepada Dunia, saya enggak peduli. Bagi orang seperti saya, sangat mudah membalikkan kembali simpatik dari masyarakat. Kalau Bapak belum tau, di dunia bisnis, saya dikenal dengan julukan Pebisnis yang handal membuat alur cerita menjadi mengharukan.” Bisik Hanna dengan senyum sarkasnya.

“Oh iya, Pak, bagi saya, memasukkan Bapak ke jeruji besi dengan dakwaan Korupsi dana yayasan selama menjabat itu sangatlah mudah, seperti menjentikkan kedua jari saya. Ditambah lagi mempermalukan Bapak dengan fakta mencengangkan seorang kepala sekolah mempunyai banyak selingkuhan, sangatlah mudah bagi saya.” Lanjut Hanna masih berbisik pelan, namun ucapannya mampu membuat si lawan bergetar hebat ketakutan.

“Saya dengan mudah membalikkan alur cerita kehidupan saya menjadi mengharukan dan mengundang simpati banyak orang. Pun, saya bisa dengan mudah mengubah jalan cerita damai kehidupan Bapak, menjadi drama penuh kebencian yang dapat menyebabkan Bapak dicaci seluruh umat manusia.”

Merasa cukup dengan pointnya, Hanna segera menjauhkan diri dari Yatno yang panik tak karuan. Yatno tak menyangka bahwa Hanna juga memegang kartu AS yang dapat menghancurkan kehidupannya.

“Lain kali, lihat dulu lawan Bapak siapa, ya?” Cakap terakhiran Hanna, dengan mengedipkan sebelah matanya kepada Yatno yang sudah berdiri pucat di hadapannya. Dengan angkuh Hanna melangkah menuju mobilnya, meninggalkan Yatno sendirian dengan wajah pucat pasinya.

Image

-Ara.

“Saya ada di sini, loh, Lea. Di samping kamu persis, jarak kita bahkan enggak sampai satu meter.” Keluh Haekal, sepertinya kesabaran Haekal berkomunikasi melalui pesan singkat dengan Azalea semakin menipis.

Mereka sudah satu jam lebih berada di taman yang dipenuhi berbagai macam bunga itu, duduk di bawah pohon besar yang nampak sudah berusia tua. Cemilan yang dibeli juga sudah hampir habis semua, dimakan oleh Haekal yang merasa bosan karena tak ada obrolan yang tercipta.

Azalea hanya menatap Haekal dengan wajah memelasnya, kemudian mengambil ponselnya untuk kembali menjawab pertanyaan Haekal barusan melalui pesan singkat. Haekal yang melihat itu, segera mengambil ponsel milik Azalea, kemudia ia sembunyikan di belakangnya. Azalea kaget dengan tingkah Haekal, ia hendak mengambil kembali ponsel miliknya, namun, Haekal dengan cekatan menghalang pergerakan Azalea.

“Gini, saya rindu, Lea. Jadi, tolong bekerja sama, ya? Saya mau ngobrol langsung sama kamu.” Ucap Haekal serius, matanya menatap lekat ke arah Azalea yang sedang kebingungan, tangannya masih menggenggam dengan erat ponsel milik Azalea.

“Mau, ya?” Sambung Haekal lagi, kali ini nada bicaranya terdengar memohon.

Azalea masih tak bersuara, ia malah mengambil tas yang ia bawa, dan merogoh isinya, mencari sesuatu di dalam sana. Haekal menggeserkan duduknya agar lebih dekat lagi, ikut penasaran dengan apa yang sedang Azalea cari.

“Cari apa, Lea?” Tanyanya penasaran.

Cola?” Kata Haekal heran saat dilihatnya Azalea mengeluarkan botol Cola berukuran sedang. Azalea mengangguk, dan memberikan sebotol Cola itu kepada Haekal.

“Buat saya?” Tanya Haekal kembali memastikan, lagi dan lagi Azalea hanya menjawab melalui anggukan kepalanya saja.

“Diminum sekarang?” Tanpa henti Haekal bertanya, berusaha memancing agar Azalea mau mengeluarkan suara, namun nihil, Azalea masih memberikan jawaban melalui anggukan saja.

“Gimana, sih, cara minumnya?” Alibi Haekal memancing Azalea, karena tidak mungkin pertanyaan barusan bisa Azalea jawab hanya melalui anggukan saja. Senyum usil samar terlihat dari bibir Haekal, sedangkan Azalea yang sadar akan modus Haekal barusan hanya bisa menghela napasnya kesal, sembari memutar bola matanya malas.

“Sini.” Jawab Azalea singkat. Satu kata pertama yang keluar dari mungil milik Azalea, selama bersama Haekal hari ini.

“Apa?” Seolah belum puas dengan jawaban barusan, Haekal malah berpura-pura tak mendengar Azalea. “Enggak kedengaran, Lea, kamu ngomong apa barusan. Coba ulangi, dong.” Lanjutnya lagi.

Azalea tak terjebak oleh aksi iseng Haekal, ia memilih mengambil kembali botol Cola itu, dan membukakan tutup botolnya. “Yah enggak asik, Azalea.” Protes Haekal, karena Azalea tak menanggapinya.

Setelah berhasil membuka tutup botol tersebut, Azalea serahkan lagi botol itu kepada Haekal agar diminum. Haekal menerima botol itu dengan raut tak bersemangat karena Azalea masih saja enggan mengeluarkan suaranya.

“Minum sekarang? Kamu enggak?” Walau sedikit kecewa dengan usahanya yang tak berbuahkan hasil, Haekal masih bertanya kepada Azalea, padahal ia sudah tahu, Azalea hanya akan menggeleng atau mengangguk untuk menanggapi pertanyaannya.

“Ya sudah, saya minum kalau gitu.” Ucap Haekal lagi.

Haekal mulai meneguk minuman bersoda itu yang mana dinginnya sudah mulai menghilang karena diletakkan dio dalam tas Azalea.

“Stop.” Perintah Azalea tiba-tiba, Haekal dengan segera menghentikan kegiatan minumnya. Hampir saja ia tersedak dengan perintah tiba-tiba itu.

“Kenapa? Kamu mau?” Tanya Haekal mencoba menebak, namun tebakannya salah, karena detik berikutnya, Azalea menggelengkan kepalanya, menandakan ia tak minat dengan minuman itu.

“Terus kenapa?” Tanya Haekal, telunjuk Azalea mengarah ke arah botol itu, dan dengan segera pandangan Haekal tertuju pada botol Cola yang baru sedikit isinya yang ia teguk.

“Haekal”

Terlihat sebuah tulisan tangan menggunakan spidol hitam di botol Cola tersebut, yang mana tulisan itu hanya bisa terlihat apabila air Cola yang bewarna gelap menutupi tulisan yang ada di botol itu perlahan diteguk.

“Eh?” Kali ini mimik muka Haekal terlihat bingung setelah membaca namanya yang tertulis di botol itu.

“Lagi, Kal, masih ada.” Azalea meminta Haekal melanjutkan meneguk Cola itu, suara Azalea pelan sekali, ia seperti yang ragu untuk bersuara.

Tak banyak tanya lagi, ditambah dengan rasa penasaran Haekal akan kelanjutan dari tulisan yang ada di botol tersebut, segera Haekal kembali meneguk minuman bersoda itu.

“Stop.” Ujar Azalea lagi, segera Haekal menghentikan minumnya. Kemudian dengan tak sabar, Haekal melihat bagian kosong dari botol minum itu.

“Jangan kelahi lagi yaaaa”

Terlihat tulisan itu di bawah nama Haekal barusan. Senyum mulai mengembang di bibir Haekal saat membaca itu.

“Saya lanjut lagi minumnya, ya? Masih ada lanjutan tulisannya kan?” Azalea kembali mengangguk merespon itu. Kembali Haekal melanjutkan sesi menghabiskan Cola itu agar warna gelap dari airnya menyusut, dan Haekal bisa melihat kelanjutan dari tulisan yang ada di botol tersebut.

“Stop.” Perintah Azalea lagi. Yang tersisa hanyalah sedikit dari botol itu. Haekal kembali membaca tulisan baru yang muncul di botol tersebut, senyumnya yang sudah mengembang, bertambah lebar saat melihat tulisan terakhir pada botol Cola itu.

“Soalnya Azalea gak sukaaa.

Azalea menunduk malu setelahnya, karena tiga baris tulisannya di botol itu sudah Haekal lihat semua.

Haekal

Jangan kelahi lagi yaaaa

Azalea gak sukaaa

Tiga baris itu mampu membuat Haekal tak berhenti tersenyum lebar, ia seperti merasakan puluhan kupu-kupu berkerumun di perutnya, membuat hatinya merasakan perasaan yang sangat sulit untuk dideskripsikan. Sama halnya dengan Azalea yang saat ini masih saja menunduk malu, berusaha menyembunyikan pipinya yang sudah bersemu akibat melihat senyum manis dari bibir Haekal yang sangat jarang sekali dilihat, bahkan sepertinya tidak pernah.

Bagi Haekal, Azalea itu unik diantara yang lainnya. Azalea selalu berusaha menyampaikan apa yang ia rasa melalui tulisan, baik itu melalui pesan singkat, kertas origami yang ia bentuk sedemikian rupa, bahkan seperti saat ini melalui botol minuman soda.

“Jadi, Azalea tuh enggak suka kalau saya kelahi, Hm?” Tanya Haekal lembut sekali, tangannya terangkat untuk mengacak-acak rambut Azalea gemas.

“Iya...” Jawab Azalea pelan, masih menyembunyikan pipinya yang terasa semakin panas akibat perlakuan Haekal barusan. Karena bagi Azalea, ketika tangan Haekal terangkat untuk mengacak-acak rambutnya, bukan hanya helaiannya saja yang berdampak, namun juga berdampak pada hatinya, sampai-sampai jantungnya saat ini berdetak lebih kencang dari biasanya.

“Ya sudah, nanti enggak kelahi lagi deh supaya Azalea suka.” Lanjut Haekal lagi. Haekal sepertinya tak sadar, setiap kalimat yang ia ucapkan itu benar-benar membuat Azalea salah tingkah. Bukan hanya ucapan, tapi juga ketikan Haekal yang sering kali menjadi alasan utama mengapa kamar Azalea sangat bising sekali dengan suara kaki yang dihentak-hentakan.

“Makasih, ya? Makasih karena sudah mengkhawatirkan saya.” Ujar Haekal, namun tak direspon oleh Azalea.

Dengan sangat hati-hati Haekal memegangi dagu Azalea agar tak menunduk lagi pandangannya.

Dan terlihatlah pipi Azalea yang sudah sangat memerah itu, hal tersebut memancing gelak tawa bagi Haekal, kemudian jemari Haekal berpindah dari dagu menuju pipi Azalea, ia usap dengan lembut kedua pipi itu yang nampak pas sekali ditangkup oleh kedua tangannya.

“Makasih, ya, bunga cantiknya saya.”


Haekal melihat dengan seksama bagaimana jemari Azalea yang sangat terampil membentuk kertas origami. Katanya, kertas-kertas itu ia buat khusus untuk Haekal, supaya bisa ditempel di kamar Haekal. Haekal dengan senang hati mau menerima itu, dan sabar menunggu Azalea membentuk origami itu dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Padahal, di kamar Haekal sudah banyak sekali kumpulan origami dari Azalea yang selalu ia kumpulkan. Haekal tak keberatan apabila kertas-kertas itu terus bertambah, ia akan terus mengoleksi origami buatan Azalea selamanya.

Mata Haekal sekarang tertuju kepada wajah Azalea yang nampak sedang fokus sekali dengan origaminya. Dalam hati Haekal bertanya, sebesar apa luka yang Azalea derita sampai-sampai ia enggan untuk mengeluarkan suara. Bahkan kepada Haekal yang notabennya sudah kenal dekat dengannya, Azalea masih malu-malu apabila dipancing untuk berbicara.

“Lea?” Panggil Haekal, Azalea hanya menoleh sebentar, dan kembali fokus dengan origaminya.

“Kamu punya trauma apa?” Tanya Haekal memberanikan dirinya. Jemari Azalea yang tadinya lincah sekali membentuk Origami berukuran sedang, seketika berhenti saat mendengar pertanyaan itu.

“Lea tuh kenapa sampai-sampai enggak mau ngomong walau sedikit? Ada yang bikin Lea takut?” Sambung Haekal bertanya. Azalea tak menjawab, ia hanya menggeleng pelan, dan kembali dengan kegiatan membentuk origaminya.

“Ya sudah kalau kamu enggak mau cerita, enggak apa-apa, saya gak akan maksa, kok. Tapi, Lea, kalau nanti kamu mau cerita, saya siap dengarkan kamu.” Ucap Haekal berusaha mengerti Azalea. Haekal memutuskan membaca buku yang sengaja ia bawa, sembari menunggu Azalea menyelesaikan origaminya. Berusaha mengalihkan pikirannya agar tak terus-terusan penasaran dengan masa lalu Azalea, yang sepertinya sangat tak nyaman untuk Azalea bahas.

“Kal...” Tiba-tiba Azalea bersuara tanpa diminta, buku yang tadinya sedang Haekal baca lembaran awalnya, segera ia tutup kembali agar bisa fokus dengan Azalea.

“Iya? Kenapa, Lea?”

“Aku takut bicara...” Ungkap Azalea.

“Karena?”

“Dulu aku paling suka banget bicara, bahkan dipanggil si bawel sama orang-orang...” Azalea memulai ceritanya, walau ragu sekali rasanya untuk menceritakan yang ia alami kepada Haekal.

“Tapi itu semua berubah, Kal. Waktu usia 12 tahun, enggak ada yang mau bicara sama aku, enggak ada yang mau percaya sama aku, enggak ada yang mau denger tiap kali aku minta pertolongan. Dunia bener-bener anggap aku kayak orang gila yang gak penting buat didenger, Kal...” Lanjut Azalea. Ini kali pertama Haekal mendengar kalimat panjang keluar dari bibir mungil itu.

“Mau sekuat apapun teriakan aku, enggak ada yang dateng buat tolongin. Aku butuh pertolongan buat keluar dari tempat yang bener-bener menakutkan itu, tapi mereka enggak mau tolongin aku, Kal...”

“Enggak ada yang percaya, enggak ada yang denger, habis suara aku waktu itu. Jadi, sekarang aku jadi takut buat bicara, takut banget enggak ada yang mau dengerin dan percaya sama aku.”

“Aku takut dianggap kayak orang gila, Kal. Aku takut banget kejadian kayak dulu keulang. Jadi aku memutuskan buat diem aja.”

Haekal mengangguk paham, walau Azalea tak menjelaskan secara detail kejadian yang menimpanya di masa lalu, setidaknya Haekal sudah mengerti garis besar ketakutan terbesar Azalea.

“Kamu boleh bicara sepuasnya, Lea.” Setelah beberapa detik terdiam, Haekal mulai menanggapi cerita Azalea. “Untuk sekarang, kamu boleh bercerita semuanya. Kalau dulu enggak ada yang mau dengar dan percaya sama kamu, sekarang sudah berubah, Lea. Ada saya yang dengan setia mau dengarkan dan percaya sama kamu.” Lanjutnya lagi.

“Orang-orang jahat itu masih ada di dekat kamu?”

“Enggak...”

Haekal tersenyum kepada Azalea, setelah itu, perlahan ia genggam jemari lentik Azalea, dan dengan lembut juga ia usap tangan mungil milik Azalea, mencoba memberikan ketenangan untuk Azalea.

“Enggak perlu takut lagi kalau gitu. Saya, Pak Jovan, bahkan saya jamin teman-teman kelas kita, dengan senang hati dengerin Azalea. Azalea cantik, pintar, baik hati, mana mungkin dicap kayak orang gila.”

“Tapi enggak apa-apa kalau belum bisa ngobrol banyak sama dunia. Ngobrolnya sama saya dulu aja, ya? Nanti gantian, Lea, saya yang akan ajarkan kamu untuk membuka diri agar kembali dikenal dunia.”

“Mau, Lea? Saya yakin kok, pasti kamu juga kangen, kan, sama diri kamu yang lama? yang dicap si bawel sama orang-orang.” Walau ragu, Azalea pada akhirnya mengangguk juga.

“Pelan-pelan aja kita coba. Sama saya, jadi, jangan takut lagi, ya?”

“Iya Haekal, makasih, ya...”

Sore itu, Haekal berhasil mengambil kunci yang selama ini Azalea sembunyikan untuk mengurung dirinya yang dulu dipenuhi ceria. Walau Haekal belum bisa membuka itu, setidaknya Haekal sudah mendapatkan izin untuk perlahan membukanya. Perlahan, Haekal yakin, Azalea akan kembali mendapatkan dunianya.

“Sudah, yuk, pulang. Nanti keburu malam, saya enggak enak sama Ayah kamu. Bisa jalan, kan?”

“Hah?”

“Kalo enggak bisa, saya gendong.”

“KAL AH!!!!!” Rengek Azalea mencubit perut Haekal. Sedangkan Haekal meringis dibuat-buat yang membuat Azalea semakin gemas dan mencubit sisi sisi lain dari perut Haekal.

“Gombal mulu!!! Gombal terus!!! Sebel!!!” Azalea masih tak henti mencubit Haekal, ia sudah menahan sedari tadi agar tak mencubit Haekal yang terus-terusan menggoda dan menjahilinya dengan kalimat-kalimat yang membuat dirinya pusing tak karuan.

“Lea, udah, udah, udah ampun.”

“Enggak mau, kamu jail banget soalnya!!!”

“Kalau cubit lagi, saya balas, ya?” Ancam Haekal.

“Enggak takut, wleee.” Tantang Azalea, sebenarnya Azalea tahu, kalau Haekal tidak akan bisa membalasnya. Mana mungkin Haekal mau main fisik kepada perempuan, dia kan terkenal sekali sering melindungi siswi-siswi dari mata jelalatan Pak Darto, pikir Azalea.

“Aduh, yakin gak takut? Aduh sakit, Lea, sumpah, geli juga.” Ringis Haekal tak karuan karena merasa sedikit nyeri dan geli bersatu menjadi satu.

“Yakin lah, kamu mana bisa balas cubit aku.” Jawab Azalea percaya diri.

“Saya balas yang lain, bukan balas cubit.”

“Apa? Mau bales apa? emang berani? kamu kan-”

Cup

Sebuah kecupan mendarat mulus di pipi sebelah kanan Azalea. Sangat singkat, namun berhasil membuat Azalea kaku seketika, begitupun dengan Haekal yang nampak tak sadar dengan apa yang ia lakukan barusan. Dengan serempak keduanya membalikkan badan, Azalea berusaha menyembunyikan pipinya yang kembali merona, dan Haekal berusaha menyembunyikan detak jantungnya yang berdetak tak karuan.

Keduanya sama-sama salah tingkah, yang satu memegangi pipinya tak percaya dengan yang terjadi barusan, yang satu lagi memegangi jantungnya untuk mengontrol agar degup kencangnya tak terdengar oleh gadis yang berada di belakangnya.

“Ayo pulang... Takut kemalaman...”

“Iya, ayo pulang, Kal...”

Keduanya berjalan sejajar namun dengan jarak yang berjauhan, Azalea hanya menunduk, tak berani menatap Haekal, sedangkan Haekal berusaha terlihat cool, walau jantungnya masih berdetak kencang tak normal seperti biasanya. Mereka berjalan menuju halte terdekat dengan saling diam, tak berani memulai obrolan untuk mengikis canggung yang tercipta akibat satu kecupan.

Haekal melihat langit sore yang nampak indah dan menenangkan, mencoba mengalihkan perhatian agar tak mati semdirian karena jantungnya terus-terusan berdegup dengan kencang.

“Langitnya bagus, ya?” Ucap Haekal berusaha menyudahi canggung dan sepi selama perjalanan.

“Eh... Iya... Lumayan, eh bagus maksudnya.” Jawab Azalea masih salah tingkah.

“Kamu suka?”

“Langitnya?” Tanya Azalea memastikan konteks dari pertanyaan Haekal barusan, Haekal berdeham mengiyakan pertanyaan itu. “Suka, Kal...”

“Suka saya?”

“Suka. Eh? Gimana, Kal?”

“Saya juga suka kamu.” Ungkap Haekal mantap, langkah kakinya berhenti, diikuti oleh langkah kaki Azalea yang juga berhenti karena kebingungan.

“Kalau jadi pacar saya, mau gak, Lea?”

“Eh?”

“Jawabnya nanti aja kalau udah siap. Izin juga sama Ayah, ya?” Tutur Haekal lagi, Azalea tak mampu menjawab, lidahnya terasa kelu tak bisa lagi berkata-kata, bukan karena ia takut seperti biasanya, melainkan karena bingung dengan ajakan Haekal yang tiba-tiba. Namun, tak bisa juga Azalea pungkiri, jika saat ini ia merasa senang bukan main karena Haekal juga merasakan hal yang sama dengannya.

“Bisnya udah mau datang, ayo, Lea lanjut jalan lagi.”

“Iya.. Ayo...”

Seperti itulah berlalunya sore bersama kedua orang remaja yang sama-sama sedang dimabuk asmara. Keduanya baru mengenal cinta, mungkin ini akan menjadi awal bagi keduanya menikmati cinta di bangku SMA yang seringkali orang bilang sangatlah indah. Jiwa yang muda, semoga direstui oleh semesta.

Image

-Ara.

Dengan sembarang Jovan memarkirkan Motornya di depan gedung perusahaan Hanna. Keadaan sekitar sangat ramai, terdapat banyak sekali reporter yang sedang memberitakan kebakaran yang terjadi di gedung milik Hanna, pemadam kebakaran juga nampak masih berusaha menenangkan si jago merah agar tak menyebar ke sisi lain gedung tinggi perusahaan Hanna.

Jovan bergegas cepat memasuki gedung tersebut, sempat ia dihadang oleh petugas keamanan, namun, karena panik dan khawatir terjadi sesuatu kepada Hanna, dengan kasar Jovan mendorong petugas keamanan itu hingga terjatuh, dan ia pun berhasil menerobos masuk ke dalam.

Tak begitu lama waktu yang dibutuhkan Jovan untuk menemukan Hanna, ketika ia berhasil masuk ke dalam, langsung ia lihat Hanna yang sedang duduk sendirian sembari menggigit kuku ibu jarinya, terlihat sangat gelisah. Mirip sekali dengan Hanna yang menemuinya belasan tahun yang lalu di kantin fakultas, memberitahu bahwa dirinya sedang mengandung anak Jovan.

Sekitar sangat sepi sekali, karena yang lain sudah keluar gedung untuk menyelamatkan diri. Hanna tak bisa ikut keluar, Jovan paham, jika Hanna keluar, ia akan dikelilingi oleh para wartawan yang ada, sedangkan saat ini Hanna sangat panik dan ketakutan. Syukurlah Hanna tak ikut siapapun yang ada di perusahaan ini, karena, bisa saja Hanna dicelakai oleh niat jahat orang yang membenci Hanna.

“Hanna?” Panggil Jovan lembut sekali, ia berusaha tenang dikondisi ini, tak mau Hanna semakin panik nantinya.

Hanna langsung menoleh ke arah suara, menatap Jovan yang menghampirinya. Hanna tak bisa menyembunyikan rasa takutnya saat ini.

“Ada yang terluka?” Tanya Jovan dan duduk di samping Hanna. Hanna menggeleng, dan kembali menggigit kuku ibu jarinya.

“Minum dulu, Hanna. Supaya tenang.” Ucap jovan sembari memberikan sebotol air meneral kepada Hanna, Hanna tak menyambut botol tersebut, ia masih saja sibuk menggigit kuku ibu jarinya.

“Hanna, sudah, ya? Nanti sakit jarinya. Minum dulu, kamu harus tenang.” Walau ragu, perlahan Jovan mencoba memegangi tangan Hanna agar berhenti dengan kegiatan menggigit kuku jarinya.

“Ada saya, Na, ada saya. Tenang, ya?”

“Saya hampir mati…” Ucap Hanna pada akhirnya, tatapannya yang kosong tertuju ke depan, jemarinya bergetar hebat, napasnya pun terdengar memburu tak beraturan. Hanna benar-benar ketakutan dengan apa yang menimpanya barusan.

“Mati terbakar di sana kalau Saya enggak turun ke bawah…”

“Saya hampir mati…”

“Mati di kantor sendiri…”

“Haekal… Haekal hampir saja jadi piatu… Saya hampir mati, Jovan…” Ucap Hanna tak karuan, seperti racauan ketakutan. Tangannya masih bergetar hebat, air mata mulai membasahi wajahnya yang nampak pucat.

“Sssttt, enggak, kamu enggak akan mati. Lihat? Kamu selamat, kan?” Tutur Jovan mencoba menenangkan Hanna.

“Hampir mati sendirian di dalam sana…” Hanna masih saja ketakutan, semakin tak bisa mengontrol dirinya.

“Sedikit lagi saya mati…”

Detik kemudian, Jovan langsung membawa Hanna ke dalam pelukannya, mendekap erat Hanna tanpa ragu sedikitpun. Hanya ini cara yang dapat Jovan lakukan, persis seperti caranya menenangkan Hanna kala Haekal sedang berjuang di ruang Operasi kemarin. Berbeda dari sebelumnya, Hanna sama sekali tak memberontak ketika Jovan peluk dirinya. Hanna benar-benar menumpuhkan tubuhnya ke dalam dekapan Jovan tanpa ragu, jaket hitam yang Jovan kenakan sudah mulai basah karena tangis Hanna yang semakin menjadi kala Jovan memeluknya.

“Takut… Saya takut…” Kalimat itu yang tanpa henti Hanna ucapkan saat berada dalam dekapan Jovan.

“Jangan takut, kan sudah ada saya sekarang. Coba Hanna buka mata, lihat deh, Hanna selamat. Tuhan masih lindungi Hanna.” Lembut sekali suara Jovan terdengar oleh Hanna, rasa takut dan panik luar biasa yang menyerangnya, perlahan menghilang. Walau isakan masih terdengar dari bibir tipisnya.

“Ada saya, ada Haekal, dan Tuhan yang selalu lindungi Hanna. Tenang, ya?” Ucap Jovan lagi sembari mengusap pelan punggung Hanna.

“Takut… Kak… Takut…”

“Engga perlu takut lagi, ada Kakak sekarang. Kakak yang akan terus lindungi Hanna, dan menjamin Hanna selalu aman. Belum lagi Haekal yang akan bantu Kak Jo buat lindungi Hanna. Engga perlu takut lagi, ya?”

Perlahan isak tangis mulai mereda terdengar oleh telinga Jovan, dirasanya juga Hanna yang saat ini berada dalam dekapannya saat mulai tenang dari sebelumnya. Tak ada lagi racauan ketakutan dari bibir Hanna. Jovan merasa lega saat itu juga.

Hanna itu rapuh, Hanna itu tak begitu tangguh untuk menghadapi bahaya yang mengancamnya. Mungkin Hanna akan berusaha terlihat kuat di depan orang banyak, memperlihatkan bahwa ia bisa menghadapi semuanya seorang diri. Maka dari itu, orang lain jarang sekali menyadari sisi rapuh Hanna seperti saat ini. Hanya Jovan yang mengerti, dan hanya Jovan juga yang tahu cara menenangkannya apabila takut mulai menyerang Hanna.

“Sudah?” Tanya Jovan pelan, tak dijawab oleh Hanna, ia masih berdiam diri dalam pelukan Jovan. “Sudah tenang, Na?” Tanya Jovan lagi. Walau tak ada suara, Jovan dapat merasakan anggukan dari kepala Hanna. Maka, setelahnya, perlahan Jovan melepaskan pelukan itu.

“Minum dulu,” Baru saja tangan Hanna hendak menerima botol itu, Jovan kembali menarik botol tersebut menjauh dari Hanna, “Sebentar, saya buka dulu tutup botolnya.” Tangan Jovan dengan cekatan membuka botol minum itu, dan langsung memberikan kepada Hanna.

“Minum yang banyak, sampai kamu merasa tenang.”

Hanna menghabiskan setengah dari botol minum itu, kemudian ia memberikan lagi botol minum itu kepada Jovan.

“Buat kamu habiskan, Hanna.” Tolak Jovan.

“Kamu butuh minum juga.” Walau matanya enggan menatap Jovan langsung, Hanna menunjuk ke arah dahi Jovan yang berkeringat, akibat berlari terburu-buru menjemput Hanna.

Senyum tergambar jelas dari bibir Jovan ketika melihat itu, Hanna masih memperhatikannya di kondisi seperti ini. Sesuai perintah Hanna, Jovan juga ikut meneguk air mineral itu, menyisakan sedikit lagi air di botol itu.

“Sudah tenang?” Jovan kembali memastikan, Hanna hanya mengangguk merespon itu. “Saya antar pulang, ya?” Hanna tak menjawab pertanyaan itu, tak juga menolak. Jovan menyimpulkan, bahwa itu persetujuan dari Hanna, mungkin, ia masih malu untuk mengangguk atau menjawab ‘Iya’ kepada Jovan.

“Pakai motor, gak apa-apa, Na? Untuk pakai mobil susah sekali aksesnya, di luar banyak sekali wartawan dan polisi, belum lagi masyarakat yang menyaksikan.”

“Tapi, kalau kamu enggak bisa naik motor, saya usahakan—“

“Naik motor aja.” Ucap Hanna singkat, memotong kalimat Jovan barusan. Walau sedikit terkejut dengan ucapan Hanna barusan, Jovan segera membuka jaket hitam yang ia kenakan, dan memberikan itu kepada Hanna.

“Untuk apa?”

“Untuk tutupi kamu. Pasti wartawan di luar sana langsung kejar kamu kalau lihat wajah kamu. Kamu masih belum tenang dan aman untuk beri penjelasan kepada media.”


Di penghujung sore menuju malam, kedua insan ini menembus jalanan kota Jakarta. Jovan berhasil membawa Hanna keluar dari gedung itu tanpa dilihat awak media yang ada. Walau sedikit mengundang kecurigaan, Jovan dengan cepat membawa Hanna pergi menggunakan motor tua miliknya.

Jaket Jovan yang Hanna pakai untuk menutupi dirinya, sekarang terbalut di tubuh kecilnya. Jovan yang memintanya mengenakan jaket tersebut agar Hanna tak kedinginan.

Hanna merasakan lemas yang tak tertahan, matanya perih karena tangisnya barusan, itu membuat matanya susah untuk terus terbuka melihat jalan.

“Kamu boleh tidur, Na. Masih agak jauh untuk sampai ke rumah.” Suara Jovan terdengar sedikit lebih kencang, agar Hanna dapat mendengar dengan jelas perkataannya. Hanna tak menjawab itu, sebenarnya ia tak mau seperti ini, namun, kepalanya benar-benar terasa berat, sampai-sampai detik berikutnya, kepalanya dengan sempura bertumpuh di punggung Jovan.

Masa bodo dengan gengsi, Hanna benar-benar tak memedulikan itu saat ini. Tubuhnya benar-benar lelah tak bertenaga saat ini.

“Na?” Panggil Jovan masih setengah berteriak agar suaranya tak kalah oleh suara angin yang lumayan kencang. Hanna masih mendengar panggilan itu, tapi rasanya enggan sekali merespon panggilan itu.

“Hanna Hanasta?” Tak menyerah, Jovan kembali memanggilnya.

“Hm?”

“Saya akan jamin keselamatan kamu dan jagoan kita. Enggak peduli siapapun atau apapun itu, saya akan hadapi. Bahkan nyawa juga rela saya beri untuk keselamatan kalian. Saya janji, Na.”


Image

-Ara

Sudah larut sekali saat Hanna sampai ke rumahnya, sempat ia disambut oleh Bi Nur, namun segera ia pinta agar Bi Nur Kembali tidur, melihat jarum jam sudah menunjukan pukul 2 pagi. Setelah menyelesaikan pekerjaannya di luar kota, dan terjebak macet yang Panjang akibat kejadian kecelakaan yang terjadi di Tol Cikampek, akhirnya Hanna sampai juga di rumahnya yang besar dan terasa sepi ini.

Ketika akan melangkahkan kakinya menuju kamar, perhatian Hanna teralihkan saat melihat secangkir teh yang nampak sudah tak hangat lagi karena sudah terlalu lama menunggu untuk diminum. Di samping cangkir itu terdapat kertas kecil berisikan pesan, tanpa mempertimbangkan banyak hal, Hanna segera melihat isi pesan tersebut yang ternyata ditulis oleh Haekal untuk Bi Nur. Senyum terukir di bibir Hanna kala membaca isi pesan pada kertas itu, detik berikutnya ia langsung menyesap teh yang sudah dingin itu, tanpa tersisa sedikitpun.

Bi, Haekal ngantuk, kalau tehnya udah enggak panas sewaktu Mamah pulang nanti, tolong bikinkan yang baru, ya.

Mood Hanna yang tadinya tak bagus karena terjebak macet yang Panjang, seketika naik drastis hanya karena kertas kecil dan secangkir teh ya dingin dari Haekal, wajahnya yang sedari tadi hanya ditekuk kesal, saat ini sumringah tak karuan seperti baru saja memenangkan kuis berhadiahkan milyaran rupiah.

Setelah menghabiskan teh itu tanpa tersisa sedikitpun, Hanna menaiki anak tangga rumahnya untuk menuju kamar, tetapi sebelum itu, langkahnya terhenti kala melewati pintu kamar Haekal yang sudah tertutup rapat.

Dengan Gerakan yang terlihat ragu, perlahan Hanna mencoba memutar knop pintu kamar tersebut, dengan sangat berhati-hati, khawatir suara yang bising dapat membangunkan Haekal yang Hanna yakini sudah tertidur pulas. Benar saja, saat Hanna berhasil membuka dengan sempurna pintu tersebut, terlihat Haekal yang sudah terbaring pulas di ranjangnya, Kembali senyum terulas di bibir tipis milik Hanna, selanjutnya dengan langkah yang sangat berhati-hati, ia berjalan mendekati ranjang Haekal.

Hanna hanya berdiri, memandangi wajah tenang Haekal saat sedang tertidur pulas, sesekali melihat sekitar kamar Haekal yang sangat rapih, lengkap dengan beberapa mainan robot yang saat dulu pernah ia belikan untuk Haekal, Hanna terenyuh karena Haekal sangat apik sekali dengan mainan yang dulu ia belikan. Di kamar yang luas ini juga nampak buku-buku tebal berjejeran rapih, tak heran apabila Sarah mengatakan bahwa Haekal itu murid yang sangat cerdas jika dibandingkan murid-murid lainnya.

Ada juga sedih yang Hanna rasa, karena hampir belasan tahun ia tak pernah masuk ke dalam kamar anaknya ini. Selama ini, ia hanya pulang ke rumah, dan segera masuk ke dalam kemarnya, atau ruang kerjanya saja. Ia sangat menyesal karena sudah melewatkan banyak sekali momen indah pertumbuhan Haekal. Di lain sisi, Ia juga merasa sangat bersyukur karena Haekal tumbuh menjadi anak yang baik, dan juga cerdas, padahal sangat minim sekali kasih sayang dan pembelajaran yang ia beri kepada Haekal.

“Maafkan Mamah,” Ucap Hanna sangat pelan, tangannya terulur untuk mengusap lembut rambut Haekal.

Saat itu juga Hanna menyadari Haekal yang sedang ia usap lembut ini sudah tumbuh dewasa, bukan lagi Haekal kecil yang sering menangis karena Hanna yang tak memedulikannya. Hanna amat sadar, sudah sangat terlambat untuk memperbaiki semuanya, namun, terlambat bukan berarti tidak ada harapan untuk menyembuhkan, bukan?

Karena tak mau mengganggu tidur Haekal yang nampak sangat pulas, Hanna segera melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar itu, namun, belum sampai ia di awang pintu, langkahnya terhenti, tampak seperti tertinggal sesuatu. Dengan Langkah yang hampir mirip seperti mengendap, Hanna kembali mendekat ke arah Haekal, dan kemudian ia mencium kening Haekal, sembari membisikkan, “Terima kasih teh manisnya, ya, jagoan Mamah.”


Sinar Mentari nampak bersemangat sekali menunjukkan cahayanya di pagi ini, sampai-sampai tidur Hanna yang baru saja lelap beberapa jam diganggu oleh sinar yang menembus jendela besar kamarnya. Matanya menyipit untuk melihat ke arah jam yang merekat kokoh di dinding, Pukul 8 pagi dilihatnya.

Ia sedikit meringis kesal karena ingat hari ini harus menghadiri rapat pimpinan pada jam 10 pagi, itu berarti, tidurnya yang tak seberapa terpaksa untuk tidak dilanjut barang sejenak saja, mengingat Jakarta sangatlah padat di pagi hari.

Setelah sedikit merenggangkan badannya yang terasa sangat pegal, dengan Langkah malas, Hanna menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar besarnya itu untuk membersihkan badannya, dan bersiap untuk kembali berpusing ria dengan perusahaan miliknya.

Hampir 1 jam waktu yang Hanna habiskan hingga selesai mengenakan setelan yang akan ia pakai untuk menghadiri rapat pimpinan.

“Bi Nur, Mas Adi sudah siap?” Panggil Hanna membuka pintu kamarnya, saat dirasanya tatanan rambut dan riasannya nya sudah rapi. Ia begitu sibuk membenarkan sepatu hak tinggi yang dirasanya belum terlalu nyaman digunakan. Setelah dirasanya cukup nyaman, ia kembali menegakkan badannya, Betapa terkejutnya Hanna dengan kehadiran tiba-tiba Haekal yang kini sedang berdiri lengkap dengan senyum lebarnya, dan tak lupa masih dengan tangan yang dibalut perban.

“Haekal… Astaga, bikin kaget saya aja.” Hanna mengeluh sembari tangannya berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang karena terkejut dengan hadirnya Haekal.

“Mas Adi masih ngopi di bawah, Mah. Bi Nur lagi bersihkan dapur, kalo Haekal sedang tunggu Mamah.” Jawab Haekal dengan semangat, senyum manis di bibirnya masih merekah menatap Hanna. Sebetulnya Hanna masih merasa canggung dengan keadaan ini, ia belum terbiasa, namun, melihat senyum tulus dari Haekal berhasil meyakini Hanna untuk berani merespon Haekal sebagaimana mestinya.

“Kenapa kok tunggu saya, hm?”

“Mau bawakan tas Mamah, tadinya, sih, mau bantu pakaikan sepatu Mamah.” Jawabnya jujur, Hanna sedikit menaikkan sebelah alisnya mendengar jawaban itu.

“Memangnya saya anak kecil yang dipakaikan sepatu?” Tanya Hanna, tak dengan nada ketus sebagaimana biasanya yang ia lakukan, kali ini ia seperti merespon Haekal dengan sedikit candaan dari pertanyaannya. Haekal tak segera menjawab, ia dengan lembut meminta agar Hanna memberikan tas yang Hanna pegang, agar Haekal saja yang membawakan. “Sesekali kan mau bantu lindungi surganya Haekal.” Celetuknya pelan.

“Tangan kamu kan masih sakit, jangan, ya?” Ucap Hanna setengah menolak uluran tangan Haekal yang akan membantunya membawa tas.

“Kan sebelahnya lagi enggak terlalu sakit. Sini mah, tasnya Haekal aja yang bawakan, supaya Mamah enggak capek.” Kukuh Haekal, Tas tersebut pada akhirnya dibawa juga oleh Haekal, Hanna hanya bisa menuruti saja permintaan Haekal.

Langkah kaki Hanna segera mengarah untuk menuruni anak tangga, seakan sudah menjadi kebiasaan Hanna yang mempunyai langkah kaki cepat, dan mendahului Haekal. Sampai pada akhirnya Hanna sadar, harus perlahan menghilangkan kebiasaan ini, ditambah lagi saat ini Haekal masih belum pulih, sehingga untuk menuruni tangga, Haekal tak bisa terburu-buru mengikuti Langkah kaki Hanna.

“Masih sakit?” Tanya Hanna, kakinya sudah berhenti, menunggu Haekal yang berada di belakangnya, terlihat kesulitan menuruni anak tangga, ditambah lagi sebelah tangannya yang sedang sibuk memegangi tas hitam milik Hanna, “Saya ‘kan sudah bilang, tasnya saya aja yang bawa. Kamu juga di kamar aja, supaya cepat membaiknya, jangan naik-turun tangga dulu.” Sambung Hanna, omelan tersebut malah menghasilkan sebuah senyum lebih merekah lagi dari bibir Haekal, membuat Hanna bingung dengan tingkah anaknya.

“Saya suka diomel Mamah,” Ungkap Haekal mengakui, Langkah kakinya yang pelan saat ini sudah mencapai anak tangga yang sama dengan Hanna, segera Hanna membantu dengan memegangi lengan kiri Haekal untuk lanjut menuruni anak tangga.

“Diomelin kok malah suka.” Cibir Hanna pelan, tangannya telaten sekali mengikuti tiap Langkah Haekal, takut sekali anaknya itu terjatuh.

“Omelan itu artinya Mamah sayang dan peduli sama Haekal, nanti omel Haekal lagi ya, Mah?” Hanna tak menjawab, ia pun bingung harus menjawab apa, namun tanpa ia sadari, senyum mulai terlihat dari bibirnya, walau masih tipis, namun senyum itu bisa Haekal lihat dengan jelas.

“Pelan-pelan jalannya, awas jatuh.” Bukan main senangnya Haekal saat ini, mendegar perintah Mamahnya yang terdengar khawatir dengan keadaannya, ditambah lagi dengan tangan sang Mamah yang memegang erat Haekal agar tak jatuh membuat Haekal merasakan perasaan Bahagia yang selama ini ia dambakan.

Bagi Haekal, ini merupan pagi yang paling indah selama belasan tahun ia hidup di dunia, bahkan, apabila ini merupakan hari terakhir Haekal hidup di dunia, ia tak masalah, karena sudah merasakan perhatian dari Mamah yang membuatnya Bahagia luar biasa.

“Mas Adi, mobil sudah siap?” Setelah menuruni beberapa anak tangga, langsung Hanna memanggil supir pribadinya itu, ia tak mau terlambat pada rapat penting di pagi ini, dan memilih untuk melewati sarapannya.

“Sudah, Nyonya.” Saut Mas Adi berlari terburu-buru untuk menuju ke mobil yang telah disediakan, terpaksa meninggalkan agenda minum kopinya di pagi hari yang belum terselesaikan.

“Saya ke tempat kerja dulu, ya?” Pamit Hanna hendak mengambil tasnya yang berada dalam pegangan erat Haekal, akan tetapi Haekal seperti yang enggan memberikan tas tersebut.

“Mah...” Panggil Haekal, pelan, penuh ragu, namun terdengar sangat meminta. “Kalau sarapan dulu, boleh?” Tanya Haekal, dari pancaran matanya nampak sekali ia sangat berharap Hanna mau menuruti permintaannya. Bukannya tak mau, hanya saja Hanna tak mau terjebak macet, sehingga rapat pimpinan ditunda, karena agenda yang akan dirapatkan hari ini sangatlah penting. Namun, hatinya sungguh tak tega apabila menolak permintaan Haekal barusan.

“Haekal, sebenarnya saya harus-”

“Haekal tadi pagi-pagi sekali bikinkan Mamah sarapan, dibantu Bi Nur. Tapi kalau Mamah enggak bisa, gak apa-apa, mungkin di pagi yang lain Mamah bisa coba sarapan yang Haekal bikin spesial untuk Mamah.” Hanna seakan Dejavu dengan jawaban barusan, ia kembali mengingat, sewaktu dulu ketika Haekal membuatkan sarapan untuknya, ia malah berpura-pura harus segera ke kantor, karena tak mau berhadapan dengan Haekal yang semakin hari semakin mempunyai kemiripan dengan Jovan, dan hal itu berhasil menarik Hanna pada rasa sakit masa lalu yang sangat sulit ia lupakan.

Akan tetapi, kejadian itu juga yang membuatnya menyesal karena sudah memperlakukan Haekal sedemikian buruknya, sampai-sampai ia tak fokus bekerja, dan pada akhirnya meminta Bi Nur untuk membawakan nasi goreng yang telah Haekal buat untuknya.

“Ini tas Mamah,” Haekal perlahan menyerahkan tas tersebut kepada Hanna, dengan ragu Hanna menerima tas itu, pikirannya masih saja berdebat untuk memilih telat menghadiri rapat pimpinan, atau kembali menolak sarapan dari Haekal. Ia lihat Haekal tersenyum padanya, walau senyum itu tak semanis dan sehangat seperti sebelumnya saat ia menyambut Hanna keluar dari pintu kamar. Memang tak terlihat jelas perubahan senyum itu, namun Hanna dapat melihat sedikit kecewa dari kedua netra anaknya itu.

“Hati-hati ya Mah,”

“Saya lapar.” Ujar Hanna singkat. Ucapan Hanna barusan berhasil melebarkan bola mata Haekal yang tadinya sudah sayu karena penolakan, senyum yang amat lebar tergambar jelas di wajah Haekal saat ini, yang tadinya tak bersemangat, seketika menjadi penuh energi hanya karena satu kalimat singkat dari Hanna.

“Ayo, Mah, kita ke meja makan!” Seru Haekal yang sangat bersemangat sekali menuju meja makan yang terletak tak begitu jauh dari tempat mereka berdiri, ia seperti lupa kalau kakinya masih tak bisa diajak berjalan cepat.

“Pelan-pelang jalannya, Haekal.” Tegur Hanna mengingatkan Haekal agar lebih berhati-hati.

“Sini, Mah, duduk,” Bahkan saat ini Haekal mempersiapkan kursi untuk Hanna duduki, dan mempersilahkannya. Hanna sangat tersentuh sekali, Haekal benar-benar memperlakukannya dengan sangat baik dan hati-hati.

“Bi, tolong dibawakan yang tadi Haekal siapkan, ya?” Panggil Haekal kepada Bi Nur yang masih membersihkan noda-noda kotor di dapur, mendengar perintah itu, segera Bi Nur membawakan dua piring berisikan nasi goreng ke meja makan.

“Sini Ekal bantu, Bi,” Haekal menyambut piring tersebut, dan dengan sangat berhati-hati ia meletakkan salah satu dari piring itu di depan Hanna. Haekal belum menyadari bahwa saat ini Hanna menatap nasi goreng itu dengan tatapan kosongnya. “Maaf ya, Mah, belum bisa masak yang lain, masih sama kayak waktu itu. Nanti kalau Haekal sudah belajar masakan yang lain, Haekal ganti menunya. Gapapa 'kan, Mah?”

Hanna tak terlalu mendengarkan ucapan Haekal barusan, pikirannya seketika melayang saat melihat nasi goreng yang sudah tertata indah lengkap dengan beberapa topping diatasnya. Sulit rasanya menyantap itu, karena ia sudah mengetahui fakta, bahwa Haekal mempelajari resep nasi goreng itu langsung dari Jovan yang telah menghancurkan hidupnya. Hanna sadar, satu kali suapan yang Hanna rasakan, baginya seperti mengantarkannya kembali kepada memori kelam di masa lalu yang kerap kali menyiksanya.

“Mah?” Panggilan itu menyadarkan Hanna dari lamunan sesaatnya, dari raut wajah Hanna nampak sekali bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Mungkin memang sekedar nasi goreng saja, namun bagi Hanna, itu bukanlah sekedar yang bisa dengan mudah dirinya lawan. “Mamah kenapa?” Tanya Haekal khawatir karena perubahan drastis dari Sang Mamah.

Hanna tak segera menjawab, ia mencoba menenangkan dirinya terlebih dahulu, agar tak ada kecurigaan dari Haekal. Bagi Hanna sebesar apapun dukanya di masa lalu, cukuplah ia yang tahu dan rasakan, tidak untuk Haekal ketahui.

“Enggak apa-apa,” Jawab Hanna pada akhirnya, Haekal tak begitu saja percaya dengan jawaban itu, menyadari hal itu, Hanna mencoba mengalihkan fokus Haekal agar tak terlalu khawatir dengan ketakutannya. “Nasi goreng, ya?” Tanya Hanna mengalihkan.

“Iya, Mah, Maaf ya belum bisa masak yang lain.” Hanna tersenyum kecil menanggapi itu, ia berusaha untuk mengesampingkan lukanya saat ini, walau sangat sulit sekali rasanya, “Enggak pakai bawang merah, Hehehe. Mamah enggak suka bawang merah, 'kan?” Hanna mengangguk, senyum masih menghiasi wajahnya, namun matanya sudah mulai perih saat ini, dikarenakan semua rasa bercampur seketika, ketakutan di masa lalu, bahagia karena Haekal hafal detail dirinya, membuatnya tak mampu menahan air mata.

“Saya makan... ya, kal?” Ucap Hanna pelan, sangat pelan, ia segera menunduk, tak mau Haekal sadar jika Hanna sedang menitihkan air matanya saat ini.

Ragu sekali Hanna menyuap satu sendok itu, ia takut cita rasa itu membuat sesak kembali terasa pada dadanya. Namun, demi Haekal, Hanna mencoba melawan takutnya itu, sampai akhirnya sesuap sendok itu berhasil ia makan secara perlahan.

“Enak, Mah?” Tanya Haekal penasaran, Hanna masih menunduk, matanya terasa semakin panas. Benar saja, rasa dari nasi goreng buatan Haekal sangat mirip dengan nasi goreng yang sering Jovan buatkan belasan tahun yang lalu apabila Hanna melewati sarapannya. “Mah, enggak enak, ya?”

“Enak, Kal... Enak sekali... nasi gorengnya...” Suara Hanna bergetar, lengkap dengan isak pelannya, Ia sudah tak kuat lagi menahan tangisnya agar tak terlihat Haekal.

“Eh, Mah? Saya salah ya, Mah? Haekal minta maaf, Mah. Enggak enak ya nasi gorengnya?” Haekal panik melihat Mamahnya sudah berlinangan air mata, namun masih mencoba melahap suapan berikutnya. Hanna menggeleng, dan kembali memakan nasi goreng tersebut, walau isakan masih jelas terdengar akibat tangisnya.

“Enak... Saya suka... Makasih...”

“Mamah kenapa kok nangis? ada yang sakit, Mah?”

“Karena enak... saya... iya, terharu lihat kamu bisa masak... dan enak...” Ada sedikit lega yang Haekal rasa setelah mendengar itu, ia mengambil kesimpulan bahwa Hanna mungkin menangis terharu karena nasi goreng buatannya.

“Enak... nasi gorengnya...” Masih Hanna tak kuasa menahan air mata agar berhenti keluar, ia mencoba semaksimal mungkin untuk menghabiskan nasi goreng ini dengan cepat, supaya kenangan lama tak membuatnya sesak tak karuan. Setidaknya hari ini, ia harus melawan takutnya, demi menghargai usaha sang Anak yang sudah lama menanti momen sarapan bersama.

“Habiskan Hanna, lo pasti bisa habiskan nasi goreng ini. Dia itu Haekal, dia Haekal anak lo, bukan Jovan.” “Lo pasti bisa, Na, ini nasi goreng bikinan Haekal, bukan Jovan. Lo harus sadar.”

Setelah beberapa suapan berhasil Hanna makan, nasi goreng yang Haekal buatkan untuknya akhirnya habis juga, hanya menyisakan sedikit dari Topping yang ada. Tangis Hanna perlahan mulai terhenti, tak lagi seperti tadi yang terus berjatuhan. Sesak masih terasa di dadanya, namun, lega juga ia rasa setelah berhasil melawan ego dan rasa takutnya.

“Minum, Mah,” Haekal mendekatkan gelas berisikan air putih ke dekat Hanna, Hanna segera menyambut itu, dan meminum air putihnya agar ia merasa lebih tenang dari sebelumnya.

“Mamah enggak apa-apa?”

“Enggak apa-apa.” Jawab Hanna segera. “Makasih ya, Kal, sarapannya. Saya harus segera ke kantor, ini juga sudah agak terlambat untuk mulai rapat kayaknya.” Detik kemudian Hanna bangkit dari kursinya, dan kembali mengambil tasnya. Haekal juga ikut berdiri, berniat mengantar Sang Mamah sampai pintu rumah, namun, hal itu segera dicegah oleh Hanna.

“Langsung istirahat di kamar, ya? Jangan banyak gerak dulu. Kaki kamu masih sakit.” Tanpa protes, Haekal mengangguk mengerti. “Saya berangkat, ya? Hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa hubungi saya.” Pamit Hanna dan melangkahkan kakinya pergi.

“Mah,” Panggil Haekal, mendengar panggilan itu, langkah kaki Hanna berhenti, ia membalikkan badannya untuk melihat Haekal yang barusan memanggilnya, “Saya boleh salim? Cium tangan Mamah...” Pinta Haekal ragu.

“Boleh, sini, salim dulu sama Mamah.” Mendengar jawaban itu, Haekal dengan semangat berjalan mendekati Hanna, segera ia mencium punggung tangan Mamahnya itu. Agak lama, seakan tak mau melewati kesempatan ini berlalu dengan cepat, mengingat sudah ribuan pagi yang ia nanti agar bisa mencium tangan Sang Mamah.

“Anak baik,” Hanna balas mengusap-usap rambut Haekal lembut.

“Mamah terhebat.” Balas Haekal tak mau kalah. Keduanya tersenyum mendengar pujian dari masing-masing mereka.

“Terima kasih ya, Mah, untuk pagi ini,” Ungkap Haekal menatap sang Mamah tulus, Hanna mengangguk, tangannya terulur untuk membenarkan bagian lengan dari Hoodie Haekal yang nampak terlipat.

“Saya pergi, ya?” Pamit Hanna lagi untuk yang kesekian kalinya, dan kembali melanjutkan langkah kakinya menuju pintu keluar rumah.

“Iya, Mah. Hati-hati, ya, Mamah terbaik yang paling lembut hatinya.” Teriak Haekal dari belakang.

Deg

Haekal kembali berhasil membuat jantung Hanna terasa berhenti untuk seperkian detiknya, lagi dan lagi langkah kaki Hanna terhenti ketika mendengar kalimat barusan. Entah mengapa segala bentuk tindakan dan ucapan Haekal sangat menyerupai Jovan, Ayahnya.

“Haekal...” Panggil Hanna, namun kali ini ia tak membalikkan badannya agar dapat dilihat Haekal.

“Ya, Mah, kenapa?”

“Kamu mirip sekali dengan Ayahmu.”


IMG-20211013-WA0060

IMG-20211013-WA0061

-Ara

Di Kafe milik Jay, seorang Anak dan Ibu itu bertemu. Ditemani dengan dua cangkir berisikam minuman hangat di depan mereka, yang satu memilih kopi, yang satu lagi memilih teh manis. Untunglah saat ini keadaan Kafe milik Jay sedang sepi, sehingga Anak dan Ibu itu dapat leluasa membahas permasalahan yang ada tanpa harus khawatir ada orang lain yang akan penasaran mendengar perbincangan mereka.

Baik Jovan maupun Ibunya masih memilih diam, keduanya terlihat bingung dan ragu untuk memulai perbincangan, bahkan minuman yang mereka pesan sudah tak terlihat lagi uap panasnya, seakan lelah menunggu kedua insan ini berbicara. Sedari tadi yang terdengar hanyalah helaan napas berat Jovan saja, serta bunyi klakson mobil dan motor di luar sana.

Sang Ibu sangat mengerti, saat ini Jovan sedang menahan emosi yang ada, baik itu rasa marah, ataupun kecewanya kepada Ibunya.

“Jo…” Pada akhirnya Sang Ibu-lah yang mencoba memulai obrolan, dengan memanggil Jovan dengan suara yang terdengar amat ragu. Jovan yang daritadi tak mampu menatap manik mata dari Ibunya, perlahan menaikkan pandangannya, berusaha tersenyum kepada sang Ibu, meski amat berbeda dengan senyum Jovan sebelum-sebelumnya, kali ini terlihat sedikit dipaksa, dan juga terbesit kecewa dari tatapan matanya yang tak mampu untuk disembunyikan.

“Ibu pulang, yuk? Ibu ‘kan sudah lama banget enggak pulang. Azalea kangen sama Ibu, selalu tanya kapan Ibu pulang.” Pinta Jovan kepada Ibunya.

“Nak, Ibu minta maaf, ya?”

“Pulang, ya, Bu? Mau, ya? Jovan yang kerja, Ibu sudah tua, sudah waktunya istirahat.” Lagi, Jovan malah meminta Ibunya untuk berhenti bekerja, tanpa menyinggung permasalahan yang mereka bicarakan sebelumnya via pesan.

“Maafkan Ibu, Jo… Ibu jahat sekali ya, Nak? Belasan tahun menutupi fakta sebesar ini, maafkan Ibu, Jo,” Ucap Ibunya, tak memedulikan permintaan Jovan barusan yang terkesan berusaha mengalihkan pembicaraan, mencari aman agar emosinya tak tumpah yang dapat menyakiti hati Ibunya.

“Bukan mau Ibu buat tutupi ini semua, keadaan yang memaksa Ibu melakukan dan menyembunyikan ini dari kamu.” Sambung sang Ibu terdengar berat, menandakan bahwa ini semua ia lakukan karena keadaan yang memaksa, bukan atas kehendaknya sendiri.

Jovan diam, tak merespon apapun, pandangannya kembali tertunduk, sudah tak ada lagi senyum yang terukir dari bibirnya itu, jemarinya kini sibuk memainkan sendok untuk mengaduk kopinya yang sudah tak panas itu.

Setelah beberapa menit hanya hening, akhirnya Jovan kembali menatap sang Ibu, pandangannya lekat tertuju ke arah dua bola mata sang Ibu, seperti ingin memastikan bahwa tak ada lagi kebohongan yang Ibunya sembunyikan.

“Tapi kenapa, Bu?” Tanya Jovan pada akhirnya. Satu kalimat yang merupakan inti dari semua pertanyaan Jovan selama ini. “Ibu tau gimana rasa bersalah Jovan kepada Janin itu, ‘kan? Belasan tahun hidup Jovan gak tenang, Bu, bahkan untuk tidur aja rasanya gak nyaman karena rasa bersalah setelah Jovan tau kalau Hanna hidup sendiri, tanpa ada anak yang dia kandung.” Lanjutnya bertanya. Kekecewaan jelas terlihat saat ini, rasa kesal, dan juga sedih bercampur menjadi satu. Tapi untungnya, Jovan diberkati Tuhan dengan sifat tenang yang sungguh luar biasa. Walau merasa sangat kecewa, Jovan masih memberi ruang dan waktu untuk Ibunya menjelaskan semua, tanpa sedikitpun memaki atau berucap kasar kepada Sang Ibu.

“Keadaan yang memaksa Ibu? Keadaan yang seperti apa, Bu? Separah apa keadaan yang membuat Ibu tega menyembunyikan fakta anak Jovan, dan membuat Ibu merelakan diri menjadi pembantu di rumah yang paling membahayakan kita itu, Bu?” Tumpah semuanya, akhirnya berhasil ia sampaikan semua tanda tanya yang meresahkan dirinya.

“Jo, kepergian Bapak sama Kakak kamu sangat membekas bagi Ibu, begitupun pastinya untuk kamu. Berawal dari Kakakmu yang dipecat dari perusahaan itu, padahal saat itu, Kakak kamu yang bisa kita harapkan untuk bantu pengobatan Bapak. Tapi, tiba-tiba Kakakmu dipecat, dan kita baru tau, kalau perusahaan itu masih milik keluarga Hanasta. Sampai akhirnya Bapak enggak bisa bertahan lagi, Jo, Bapak meninggal. Enggak sampai situ, Kakakmu cerai sama suaminya, saat itu Kakakmu lagi hamil, ditambah lagi kondisi ekonomi keluarga kita semakin anjlok. Sampai akhirnya Kakak kamu…” Ucapan Ibu Jovan terhenti, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, terlalu perih untuk mengungkit lagi bagaimana masa lalu yang membuat anak sulungnya itu menyerah akan kehidupan bersama dengan sang cucu pertama yang saat itu masih menjadi janin berusia 5 bulan.

Derai air mata sudah berjatuhan dari pelupuk mata sang Ibu, beberapa titihannya nampak jatuh mengenai sisi meja bulat itu. Keadaan sekitar terasa dingin dan menusuk setelah sang Ibu mengungkit kejadian masa lalu yang selalu mereka berdua hindari untuk dibahas lagi. Tak hanya Sang Ibu, Jovan pun mulai merasakan panas di matanya, dan tangannya mulai mengepal keras kala ingatan masa lalu itu kembali ia dengar yang terasa sangat tak adil bagi keluarganya.

“Dendam yang membawa Ibu ke rumah itu, Jo,” Sang Ibu pada akhirnya mengaku, Jovan menatap tak percaya kepada sang Ibu.

“Bu?” Respon Jovan tak percaya, seperti memastikan kembali bahwa barusan ia sedang tidak salah dengar.

“Seketika hidup keluarga kita hancur, Nak, bohong kalau Ibu enggak menyimpan dendam kepada keluarga Hanasta. Memangnya kita salah apa? Memangnya enggak cukup memisahkan kamu dan Hanna, sampai tega hati mereka hancurkan keluarga kita.”

“Ibu berusaha masuk ke rumah itu, tapi susah. Tapi sesusah apapun itu, Ibu tetap berusaha, Jo. Bahkan kalau nyawa Ibu taruhannya, Ibu rela. Supaya mereka gak bisa ganggu kamu lagi nantinya.”

“Sampai akhirnya, ada berita pesawat yang ditumpangi orangtua Hanna jatuh, dan keduanya dinyatakan meninggal. Ibu masih punya keinginan untuk masuk ke dalam rumah itu, Jo. Mungkin petunjuk dari Tuhan juga, enggak lama dari itu, ada kabar kalau Hanna membutuhkan darah O-, ibu enggak pikir panjang, langsung menggunakan kesempatan itu untuk bisa masuk ke dalam rumah itu, karena Ibu tau, golongan darah itu sangat sulit ditemukan. Mungkin Jo ingat, dulu Ibu pernah mendadak meminta Jovan donorkan darah, masih ingat?” Tanya Ibunya, Jovan mengangguk, menandakan bahwa ia ingat kala itu.

“Mungkin karena Ibu terlalu fokus dengan dendam Ibu, sampai-sampai Ibu enggak kepikiran, Jo, siapa si penerima darah itu, Ibu enggak terpikir kenapa bisa Hanna mencari golongan darah yang sama dengan kamu. Yang ada di pikiran Ibu hanyalah bagaimana cara bisa masuk ke dalam rumah itu, dan bekerja di sana, untuk membalaskan dendam yang Ibu pendam sendirian.”

“Darah itu untuk Haekal?” Tanya Jovan, ia segera menangkap maksud dari Ibunya. Segera Sang Ibu mengangguk, mengiyakan pertanyaan Jovan barusan menjadi sebuah pernyataan fakta.

“Ibu membuat kesepakatan bersama Hanna, Ibu memberikan donor darah, dan Hanna mengizinkan Ibu bekerja di sana, barulah Ibu bisa melihat si penerima darah kamu, Jo. Ibu kaget sekali melihat anak kecil itu terbaring di rumah sakit, dan yang lebih mengagetkan Ibu, anak itu mirip sekali dengan kamu semasa kecil. Haekal kecil, Jo, cucu Ibu, anak kamu…” Ungkap sang Ibu membeberkan yang sebenarnya terjadi saat itu. Untunglah saat itu Jovan bersedia mendonorkan darahnya walau tak diberi tahu oleh sang Ibu kepada siapa diperuntukkannya darah itu, setidaknya kala itu Jovan mampu menyelamatkan Haekal kecil walau ia tak menyadari.

“Ibu diminta tanda tangan perjanjian yang melarang Ibu memberitahu publik bahwa Hanna sebenarnya punya anak. Jo… Campur aduk perasaan Ibu saat itu, mau menangis juga enggak bisa, takut Hanna curiga sama Ibu. Saat itu juga, dendam yang Ibu rencanakan runtuh seketika, yang ada di pikiran Ibu hanyalah Haekal, Jo, Ibu mau turut serta membesarkan Haekal, dan memberikan Haekal kasih sayang seorang Nenek, walau harus berperan sebagai pembantunya.” Ujar sang Ibu, mengakhiri penjelasannya. Sakit seakan menyerang hati Jovan, bagaimana tidak, cinta pertamanya di dunia ini sekaligus wanita yang paling ia hormati harus dianggap pembantu oleh Cucunya sendiri.

“Ibu bisa kasih tau Jovan saat itu juga, enggak perlu Ibu merelakan tenaga dan harga diri Ibu untuk kerja di sana, Jovan bisa cari jalan lain untuk kebahagiaan Haekal.” Tutur Jovan masih menyayangkan pilihan Sang Ibu di masa dulu.

“Jo, berbahaya sekali. Baik untuk kamu, maupun untuk Haekal. Meninggalnya kedua orang tua Hanna, bukan berarti pertanda kamu dan Haekal akan aman. Kamu adalah ancaman bagi keluarga besar Hanasta, adik dari Ayahnya Hanna masih ikut serta mempengaruhi Hanna, dan memantau perusahaan Hanna. Mereka itu jahat, Jo, semua yang mereka anggap sebagai ancaman, dengan sangat mudah akan mereka singkirkan. Ibu gak mau itu terjadi.” Jawab Ibunya, Jovan tampak masih tak setuju dengan jawaban itu, terlihat dari cara ia yang saat ini memijit dahinya sembari memejamkan paksa matanya berkali-kali.

“Bu,” Ditatap lagi oleh Jovan Ibunya, “Ibu kan tau, nyawa-pun rela Jo beri, Bu, demi jagoan yang selama ini Jovan harapkan. Hanya sekedar Om-nya Hanna, Jovan enggak takut, Bu.” Kali ini nada bicara Jovan sedikit lebih tinggi dari sebelumnya, walau masih terkontrol dengan apik emosinya di hadapan sang Ibu.

“Iya, Ibu tau, Jo. Begitupun dengan Ibu yang rela mati demi Haekal. Tapi, kalau kamu dan Ibu enggak ada nanti, siapa yang bisa menjamin Haekal? Kita ada aja Haekal banyak merasakan derita, apalagi kalau enggak ada, Jo. Pernah kamu berpikir sampai ke sana?” Timpal sang Ibu berhasil membungkam Jovan seketika, kalimat barusan menyadarkan Jovan akan kemungkinan dari keadaan Haekal nantinya.

“Kamu enggak bisa jamin itu, ‘kan? Sama halnya dengan Ibu, kalau Ibu kasih tau kamu, dan kamu berusaha untuk ketemu Haekal, setelah itu tercium oleh Hanna, dan identitas asli Ibu diketahui mereka, kita bisa hancur, Jo. Mereka benar-benar anggap kita ini ancaman untuk citra perusahaan mereka. Kita hanya akan mati konyol, tanpa bisa melihat Haekal, dan menjaga Haekal dari lingkaran setan keluarga Hanasta.”

“Memang Hanna itu anak yang baik, Jo, Ibu percaya itu. Tapi, orang-orang di sekitar dia itu kejam. Maaf untuk bilang ini, tapi, Hanna persis seperti Boneka selama ini. Baru akhir-akhir ini Hanna berani melawan Om dan keluarga lainnya, kalau dulu di awal kematian orang tuanya, Hanna enggak lebih seperti Boneka yang digerakkan langkah dan tingkahnya.”

Setelah itu, kembali hening menghampiri mereka, obrolan seketika terhenti, Jovan hanya memandang kosong ke arah kaca yang memperlihatkan jalanan yang mulai diguyur hujan, pikirannya bercabang, sebagian memikirkan betapa bercandanya dunia ini mempermainkan kehidupannya dan sang Ibu, sebagian lagi memikirkan masa lalu yang menimpa Haekal dan Hanna, sampai-sampai Ibunya mengatakan bahwa Hanna mirip sekali Boneka yang dimainkan. Kepalanya terasa pening sekali memikirkan itu semua, Jovan benar-benar frustasi dengan semua yang menimpanya, candaan semesta kepadanya sungguh tidak main-main.

Dirasa oleh Jovan tangannya diusap oleh sang Ibu, pandangan Jovan yang tadinya fokus memperhatikan jalanan perlahan menunduk, melihat bagaimana tangan dengan kulit yang sudah mulai mengeriput itu mengusapnya.

“Maafkan Ibu, Jo. Kamu enggak salah kalau anggap Ibu kejam, kamu juga berhak marah kepada Ibu. Maafkan Ibu, ya? Hanya ini yang bisa Ibu lakukan untuk kamu dan Haekal.” Sangat lembut sekali suara Sang Ibu meminta maaf kepada Jovan.

“Belasan tahun ini Ibu jarang pulang, Ibu menghabiskan waktu di rumah itu bersama cucu Ibu. Sebisa mungkin Ibu mendidik Haekal agar menjadi pribadi yang baik seperti kamu, Jo. Kasian Haekal, kehilangan kasih sayang dari Ibunya karena keadaan, bergaul juga terbatas, Jo, karena dia sadar, kalau hadirnya dia mengancam citra dari Ibunya.”

“Ibu yang ajarkan Haekal bertutur kata, Ibu juga yang ajarkan Haekal bagaimana cara menyayangi Mamahnya seperti cara kamu menyayangi Ibu. Walau terbatas karena peran Ibu yang hanya sebatas pembantu, setidaknya Ibu bisa mengajarkan Haekal beberapa hal dalam kehidupan, Jo, Haekal juga tumbuh jadi pribadi yang baik, walau mungkin sikap dia dingin, karena memang kasih sayang sangat minim dari keluarganya.”

“Memang berat rasanya, Jo, kadang kala Ibu mau peluk Haekal, tapi Ibu gak bisa, Ibu terbatas dengan status pembantu yang melekat. Tapi, kalau enggak seperti itu, bagaimana lagi cara Ibu membantu kamu untuk bisa mendidik Haekal? Maafkan Ibu ya, Nak? Semoga Jovan bisa mengerti maksud dari tindakan Ibu selama ini.” Kali ini sang Ibu mengakhiri kalimat panjangnya, jemarinya masih mengusap lembut tangan Jovan yang terasa dingin. Detik berikutnya, ada tetes air mata yang jatuh mengenai jemarinya, ternyata tetesan itu berasal dari kedua netra Jovan yang mulai menitihkan air mata.

“Jovan…”

“Kalau Jovan tau diri dari awal, Kalau Jovan enggak bikin kesalahan bersama Hanna, mungkin kehidupan Ibu enggak akan seberat ini, ya? Ibu akan menikmati masa tua bersama Bapak, Kakak juga hidup bahagia dengan pekerjaan tetapnya, dan juga Anak pertamanya. Kalau aja Jovan enggak gegabah dalam mencinta, Ibu enggak akan semenderita ini, ‘kan? Ibu enggak akan jadi pembantu di rumah itu, Ibu enggak akan dianggap rendah oleh Hanna yang menganggap Ibu hanyalah pekerja rumah, dan Ibu enggak perlu merasakan sakitnya dianggap sebatas pembantu oleh Cucu sendiri-“

“Jovan, enggak seperti itu, jangan bicara kayak gitu, ya? Ibu enggak suka kalau Jovan mulai menyalahkan diri sendiri. Ibu bahagia kok saat ini, Ibu bisa dekat sama Cucu Ibu, Ibu bisa lihat perkembangan Haekal, Ibu juga bisa bikinkan Haekal sarapan. Sebatas itu aja udah bikin Ibu senang bukan main, Jo. Seandainya Tuhan cabut nyawa Ibu nanti, Ibu sudah enggak mempunyai penyesalan karena Ibu sudah menghabiskan banyak waktu bersama Cucu Ibu sendiri.” Jovan menggeleng mendengar kalimat penenang itu, Jovan amat paham bagaimana rasanya tidak dianggap. Jovan yang dianggap sebatas guru saja sudah sakit bukan kepalang, apalagi sang Ibu yang dianggap pembantu, pasti rasa sakit yang dirasa semakin bertambah.

“Sudah ya, Bu?” Pinta Jovan, Ibunya menatap Jovan tak paham, “Sudah cukup berpura-pura. Ibu udah semakin berusia, udah waktunya Ibu istirahat. Ibu juga udah besarkan Haekal dengan sangat baik, kok, selanjutnya biar jadi tugas Jovan, ya?” Lanjut Jovan menjelaskan. Sebuah gelengan kepala yang malah Jovan terima dari sang Ibu, nampak tak bisa menyetujui permintaan itu.

“Ibu enggak bisa ketemu Haekal lagi nantinya, Ibu belum siap, Jo.”

“Jovan janji, Bu, cepat atau lambat, Ibu bisa ketemu Haekal tanpa harus jadi pekerja di rumah itu. Jovan janji, jadi, Ibu berhenti, ya? Jovan gak tega lihat Ibu seperti ini.” Tak ada respon lagi dari Ibunya, nampak tak yakin Jovan mampu melakukan itu, mengingat Hanna yang pastinya tak akan dengan mudah memberi izin Haekal berdekatan dengan Jovan dan keluarganya.

“Percaya sama Jovan, Bu, cepat atau lambat semuanya akan sembuh. Hanna, Jovan, Haekal, dan Ibu, kita semua akan berdamai dengan masa lalu. Ibu akan dianggap Nenek sebagaimana mestinya, dan Jovan akan dianggap sebagai Ayah oleh Haekal. Percaya sama Jo, ya, Bu?” Ucap Jovan berusaha meyakini sang Ibu agar tak ragu. Perlahan Ibunya mengangguk, menandakan ia mempercayai janji Jovan barusan.

“Ibu percaya sama Jovan, tapi, izinkan Ibu di sana sampai Haekal sembuh total, ya?” Pinta sang Ibu mencoba bernegosiasi, walau berat, pada akhirnya Jovan mengangguk menyetujui itu.

“Setelah itu Ibu istirahat, ya? Biar Jovan yang berusaha nantinya.” Pada akhirnya, senyum kembali hadir pada bibir mereka berdua, jemari Jovan terangkat untuk menghapus jejak air mata yang membasahi pipi Ibunya, tangan yang satunya masih dengan setia menggenggam erat jemari Ibunya yang terasa hangat itu. Lagi dan lagi, ia tatap lekat wajah Ibunya yang sudah menua, dilihatnya sang Ibu dengan penuh kasih sayang, dan diciumnya punggung tangan Sang Ibu berkali-kali menyalurkan rasa sayangnya. Setelah itu perlahan ia berbisik kepada sang Ibu, yang membuat Ibunya kembali menangis menitihkan air mata.

“Terima kasih, Nenek. Terima kasih sudah menyayangi dan membesarkan Haekalnya Jovan. Jovan janji, Ibu akan dipanggil ‘Nenek’ nantinya, bukan lagi dipanggil ‘Bibi’ oleh Haekal.”

IMG-20211006-WA0060

IMG-20211006-WA0061

-Ara.

“Bu Sarah, saya bisa sendiri, kok.” Merupakan kalimat pertama yang Haekal ucapkan ketika dilihatnya Ibu wali kelas, sekaligus sahabat dari Mamahnya datang untuk menemani Haekal yang sedang terbaring sendiri.

Sarah tak terlalu meladeni perkataan Haekal barusan, ia memilih untuk membetulkan posisi selimut Haekal yang sedikit tertarik ke bawah, dan melihat infus yang menancap di tangan Haekal untuk memastikan dalam kondisi aman. “Mau makan lagi, Kal? Atau ada sesuatu yang kamu mau makan, nanti Ibu cari.” Tawar Sarah dan hanya dibalas Haekal dengan menggelengkan kepalanya pelan, kemudian menatap kosong ke arah jendela.

“Kenapa, Bu?” Setelah berlama dengan saling diam, Haekal memberanikan diri untuk bertanya, Sarah yang tadinya sedang fokus dengan buku yang ia bawa, segera mengalihkan pandangannya, dan memberikan perhatiannya kepada Haekal.

“Kenapa apa, Haekal?” Tanya Sarah balik, karena tak terlalu paham maksud dari pertanyaan Haekal barusan. Sejenak Haekal diam, dan kembali mentap kosong jendela kamar inapnya, seperti memikirkan kembali, apakah ia harus menjelaskan maksud dari pertanyaannya kepada Sarah atau tidak.

“Kenapa saya dilahirkan?” Setelah diam sejenaknya, Haekal melanjutkan pertanyaannya, sontak kedua bola mata Sarah membuka lebar mendengar pertanyaan itu, “Pertanyaan itu masih belum bisa saya temukan jawabannya.” Ucap Haekal lagi.

“Haekal,” Dengan lembut Sarah memanggil Haekal, agar remaja itu tidak terus-terusan menatap kosong ke arah Jendela, “Kenapa kok sampe timbul pertanyaan kayak gitu?” Tak menjawab, Sarah malah bertanya alasan Haekal menanyakan itu, setelahnya yang terdengar hanya tawa kecil dari bibir Haekal.

“Entah, setiap hari, setiap saat, setiap melihat Mamah, yang ada dipikiran saya hanya pertanyaan itu.” Jawab Haekal dengan bibir yang tersungging tipis, seolah sedang menertawakan kehidupannya sendiri.

“Kamu dilahirkan dari rasa sayang Mamah kamu, Haekal. Jadi, pertanyaan seperti itu seharusnya gak perlu kamu pikirin lagi.”

“Bohong,” Dengan segera Haekal membantah jawaban tersebut, “Bohong apabila jawabannya karena Mamah sayang saya. Di dunia ini enggak ada yang sayang saya, Bu. Mamah, Kakek, Nenek, bahkan saudara jauh lainnya gak pernah anggap saya ada, saya cukup besar untuk mengerti bahwa kehadiran saya tidak diharapkan oleh keluarga besar Hanasta, malah terasa seperti saya ini aib yang harus ditutupi dari dunia luar.” Sarah hanya diam, ia seakan kehabisan kata untuk menjawab Haekal, ia juga tak menyangka Haekal akan membicarakan hal yang seserius ini, karena biasanya Haekal hanya diam tak banyak bicara apabila bersama Sarah.

“Bu Sarah satu-satunya teman Mamah, Bu Sarah juga orang kepercayaan Mamah, bahkan segala hal terkait pendidikan saya, Ibu yang mengurusi dengan apik, sehingga jati diri saya yang sebenarnya enggak tercium publik.” Seakan tak mau berhenti, Haekal kembali melanjutkan perbincangan tersebut, seolah pertanyaan ini sudah tak tertahan lagi oleh dirinya, “Dengan fakta itu, sudah bisa dipastikan kalau Bu Sarah setidaknya tau, alasan mengapa Mamah pertahankan saya untuk lahir dan tetap hidup di dunia yang enggak adil ini.”

“Bu, tolong jawab saya...” Pinta Haekal, terdengar seperti sangat memohon agar Sarah mau menjawab pertanyaan besar dalam hidupnya, sedangkan Sarah, masih tetap hening, dan menatap Haekal iba.

“Saya enggak butuh tatapan kasihan seperti itu, Bu... Yang saya mau hanyalah jawaban dari pertanyaan barusan.” Singgung Haekal ketika menyadari ada belas kasihan yang Sarah perlihatkan untuknya, “Setidaknya jawaban itu bisa mengembalikan semangat hidup saya yang saat ini sepertinya sudah hilang entah kemana... Yang ada dipikiran saya saat ini hanyalah mati, Bu, saya lelah, sungguh lelah...” Hati Sarah seperti teriris mendengar ucap penuh keputus-asaan itu, Haekal yang saat ini sedang berbicara di depannya, sangat berbeda dengan Haekal sebelumnya yang selalu terlihat sebagai sosok yang kuat. Haekal yang ada di hadapannya kini terlihat sangat rapuh, dan putus asa, membuat siapapun yang melihatnya akan merasakan duka yang selama ini menimpanya.

“Haekal Hanasta...” Sarah mencoba bersuara, terdengar suaranya yang sedikit bergetar, karena dipelupuk matanya terdapaat bendungan bening dari air mata yang meminta untuk ditumpahkan. “Maafin Ibu, ya? Maaf karena tanpa sadar, Ibu juga sudah ikut berkontribusi membuat kehidupan kamu terasa semenyakitkan ini dengan menyembunyikan identitas kamu...” Tak terbendung lagi, ucapan itu Sarah katakan dengan tetesan air mata yang berjatuhan membanjiri pipinya, Haekal yang mendengar itu hanya mampu terpejam, manahan sakit yang lubuk hatinya rasakan.

“Ibu enggak bisa jawab banyak, Haekal... Maafkan Ibu, tapi satu yang Haekal harus tau, Hanna pertahankan kamu dengan segenap tenaga dan keberaniannya, mati-matian dia pertahankan kamu untuk tetap hidup.” Lanjut Sarah, mencoba berhati-hati menjawab pertanyaan yang Haekal ajukan, perlahan Haekal kembali membuka matanya, memandang Sarah, dan mencari kejujuran dari netra Sarah.

“Tapi kenapa, Bu? Kenapa Mamah perlakukan saya sebegitu dinginnya? Seakan-akan saya enggak pernah diharapkan lahir?” Tanya Haekal lagi, belum puas dengan jawaban Sarah barusan.

“Keadaan yang memaksa, Haekal.” Jawab Sarah segera, Haekal menatap Sarah semakin lekat, meminta penjelasan lebih lanjut dari ucapannya. Sejenak Sarah menutup matanya sebelum melanjutkan jawabannya, terlihat sangat berat bahkan dari napas yang ia hembuskan.

“Mamah kamu diusir ketika hamil, diminta menjauh agar dunia gak tau kalau dia sedang hamil. Sendirian, Haekal, Hanna sendirian mempertahankan kamu. Saya saat itu masih tidak berkecukupan, sehingga untuk membantu Hanna juga gak mampu, hanya bisa membantu sebatas memastikan beras ada di kontrakan kecil yang dia sewa.” Sarah mulai bercerita, Haekal menegakkan duduknya, menatap tak percaya ke arah Sarah, karena cerita seperti ini baru kali ini dia dengar.

“Sedikitpun Kakek dan Nenek kamu enggak kasih Hanna uang. Mereka cuma mau menerima Hanna kembali, apabila Hanna mau gugurkan kamu. Maaf, maaf harus ceritakan ini, tapi Ibu percaya, kalau Haekal sudah cukup dewasa untuk tau perjuangan Mamah kamu. Tapi, sekiranya cerita dari Ibu menyakiti hati Haekal, Ibu enggak akan lanjut bercerita.”

“Bu, lanjutkan. Saya mau dengar semuanya.” Tanpa berpikir panjang, Haekal segera menjawab itu.

“Ibu gak bisa kasih tau semuanya, Kal, bukan ranah Ibu untuk kasih tau kamu. Tapi, untuk kali ini, Ibu akan kasih tau bagaimana besarnya rasa sayang Hanna untuk kamu.” Ucap Sarah menjelaskan terlebih dahulu, khawatir Haekal kecewa apabila ceritanya tak begitu lengkap dan mendetail. Dengan berat Haekal mengangguk, menyetujui itu, setidaknya ada setitik cahaya masa lalu yang Haekal ketahui hari ini.

“Untuk beli vitamin, check up masa kehamilan, Hanna harus bekerja, Kal... Menjahit, jual kue, bahkan sempat berjualan pernak-pernik yang dia buat sendiri di pasar. Saat itu Ibu kagum, Hanna yang sudah terbiasa dengan hidup penuh kemewahan, berhasil bertahan dengan kehidupan yang mendadak serba kekurangan. Semua itu dia lakukan untuk mempertahankan kamu supaya tetap lahir dalam keadaan sehat, Kal.” Tak hentinya bulir bening mengalir membasahi kedua pipi Sarah selama ia bercerita.

“Haekal... Patah hati terbesar yang Hanna rasakan saat itu adalah ketika menjadi bahan perbincangan orang-orang ketika dia datang seorang diri ke dokter kandungan, ditambah lagi dengan usianya yang semuda itu. Selalu saja Hanna menjadi bahan gosip Ibu hamil lainnya yang mengecap bahwa Hanna bukanlah wanita baik-baik.”

“Tiap kali pulang dari check up, Hanna datang ke rumah saya, dia menangis terisak-isak, Kal. Dipandang sebelah mata oleh pasien lainnya, dilihat dengan tatapan jijik oleh pasien lainnya, bahkan, perawat dengan sengaja bertanya mana Ayah dan keluarga yang menemani dengan suara yang keras, agar pasien lainnya bisa dengar. Sebegitu patahnya hati Mamah kamu dulu, Kal...” Mendengar itu, tanpa sadar Haekal mengepal kedua tangannya keras, walau hanya dari cerita, Haekal seakan merasakan betapa beratnya masa lalu yang Mamahnya lewati untuk mempetahankan Haekal.

“Ayah sudah meninggal saat itu, Bu?” Sarah menunduk ketika pertanyaan itu diajukan oleh Haekal, dan dengan berat hati ia menjawab, “Ayah kamu sudah enggak ada saat itu, Kal.” Jawabnya ambigu, tidak mengiyakan, dan hanya mengatakan “tidak ada” yang artinya bisa sangat luas bagi Haekal.

“Tapi saya masih belum paham, kenapa Mamah sedingin ini dengan saya, Bu.”

“Haekal, kamu tau gak, saat lahir kamu mempunyai kelainan pada bagian jantung, yang mengharuskan kamu dioperasi untuk tetap selamat.” Haekal menggeleng, menandakan bahwa ia tak tahu prihal itu, karena tak ada satupun yang menceritakan itu kepadanya.

“Hanna kacau saat itu, Kal. Minta bantuan kepada Ibu juga gak bisa, Ibu saat itu gak punya uang buat bantu Hanna. Pihak rumah sakit mendesak Hanna untuk segera menyetujui operasi tersebut, karena melihat kondisi kamu yang semakin memburuk, sedangkan uang belum terkumpul sedikitpun,” Cukup berat rasanya untuk Sarah menceritakan masa kelam Hanna, namun, ini mungkin satu-satunya jalan agar Haekal kembali menyayangi Hanna seperti dahulu kala.

“Hanna akhirnya menurunkan egonya, Kal, menelpon Kakek kamu, meminta bantuan untuk biaya operasi kamu. Dan, Kakek kamu bersedia membantu, dengan syarat Hanna harus menjauh dari kamu, dan publik tidak boleh mengetahui jati diri kamu.”

“Berat jadi Hanna, keadaan selalu memaksa dia, keadaan juga yang membuat hatinya mati, dan membuat dia kehilangan kesempatan menjadi seorang Mamah yang memiliki ikatan emosi yang baik dengan anaknya sendiri.”

“Haekal, mulai sekarang harus hilangin pikiran seperti tadi, ya? Karena, Ibu yang tau bagaimana perjuangan Mamah kamu untuk bertahan, Kal. Memang, Hanna salah memperlakukan kamu, tapi percaya sama Ibu, kalau Hanna saat ini sedang berusaha untuk bisa membayar semua luka yang kamu rasakan dari kecil.”

“Butuh waktu, Kal, karena Mamah kamu juga menyimpan luka yang sangat mendalam. Dari masa kehamilan kamu, melahirkan kamu yang ia lewati seorang diri, bahkan sampai saat ini. Banyak trauma yang sedang pelan-pelan Mamah kamu sembuhkan, itu semua dia lakukan demi kamu, Kal. Demi bisa dekat dengan kamu, dan membayar luka dan duka yang selama ini menyakiti kamu.”

Haekal diam, tak bisa berkata apa-apa, pandangannya kosong selama mendengar cerita panjang nan menyakitkan itu, hatinya terasa sakit sekali. Tanpa ia sadari, tangannya sudah naik, meremas tepat dibagian dadanya yang terasa sesak, dan sesekali memukul dadanya itu.

“Haekal?” Panggil Sarah panik, baru saja ia hendak bangkit untuk memanggil perawat yang menjaga, Haekal menahan lengannya untuk tetap duduk.

“Dada saya sesak, rasanya, Bu...” Ucap Haekal pelan, dilihat Sarah mata Haekal sudah mulai memerah, seperti akan menumpahkan butiran bening dari sana.

“Ibu panggilkan dokter, ya?”

“Jangan, Bu, Dokter enggak bisa sembuhkan...” Tolak Haekal segera, Sarah masih tak tenang melihat Haekal yang nampaknya benar-benar merasakan sesak di dadanya. Diambilnya gelas berisikan air putih untuk diberikan kepada Haekal, dengan harapan Haekal bisa sedikit tenang setelahnya. Dan benar saja, setelah meminumkan air putih itu, Haekal terlihat sedikit lebih tenang dari sebelumnya, walau napas berat masih terdengar dari telinga Sarah, tapi setidaknya saat ini tangan Haekal sudah tidak meremas bagian bajunya dengan kencang.

Setelah itu keduanya diam, Sarah hanya memperhatikan Haekal yang saat ini hanya menatap kosong ke arah sofa yang terdapat pada ruangan tersebut, entah apa yang sedang Haekal pikirkan saat ini, yang jelas Sarah bisa melihat tatap penuh kesedihan dari mata Haekal.

“Bu...”

“Iya, Haekal?”

“Mamah besok pulang, kan?” Sarah tersenyum haru mendengar pertanyaan itu, dan mengangguk mengiyakan pertanyaan itu.

“Iya, besok Mamah kamu pulang, Kal.” Haekal mengangguk paham, dan menyenderkan tubuhnya pada ranjang, kemudian mengambil remote tv yang ada di sebelahnya, ia hendak menyalakan televisi guna mengalihkan fokus Sarah agar tak menatapnya dengan Iba lagi. Sarah seakan mengerti, ia pun mengambil ponselnya, dan mengentik pesan untuk Hanna untuk segera pulang, tanpa menunda-nunda, agar Haekal tak terlalu lama menunggunya.

“Pesawat dengan nomer GRD-184 rute Jakarta-Bali dikabarkan hilang kontak dari dua jam yang lalu.”

Suara dari televisi yang baru saja dinyalakan oleh Haekal membuat jemari Sarah yang tadinya dengan lancar mengetikkan pesan, terhenti seketika. Begitupun dengan Haekal yang membeku setelah mendengar berita tersebut, bahkan detik kemudian, remote yang sedang ia pegang, terjatuh ke lantai.

“Bu...” Panggil Haekal pelan dan terdengar bergetar, “Bukan pesawat Mamah, kan?” Sambung Haekal bertanya pelan. Sarah tak bisa menjawab itu, namun dengan segera ia menelpon sekretaris Hanna yang pastinya mengetahui pesawat mana yang Hanna gunakan untuk menuju Bali.

“Halo?! Hanna enggak pakai pesawat yang diberitakan kehilangan kontak, kan? Pasti beda pesawat, kan?” Tanpa banyak basa-basi, Sarah segera bertanya kepada sekretaris Hanna. Entah apa jawaban dari pertanyaan itu, yang Haekal lihat hanyalah mimik wajah Sarah yang semakin tak karuan.

“Bu?” Panggil Haekal, Sarah tak menjawab, handphone yang tadinya berada dalam genggamannya seketika terjatuh, seolah sang empu sudah sangat kehabisan tenaga.

“Bu?! Bukan pesawat Mamah, kan?!” Intonasi Haekal meninggi kali ini, ia mulai panik ketika melihat Sarah yang saat ini malah menunduk tak mampu menatap wajah Haekal dan memberikan jawaban yang ia dapat dari sekretaris Hanna.

“Bu, jawab saya! Bukan pesawat Mamah, kan?”

“Haekal...”

“Bukan, kan? Tolong jawab bukan, Bu...”

“Kita doakan..., doakan segera ditemukan, ya... Hanna... ada disana...”

Layaknya petir yang menyambar, jawaban tersebut berhasil membuat jantung Haekal seperti berhenti berdetak seperkian detiknya. Haekal merasakan runtuh, ia seperti ditimpa beban yang berat pada tubuhnya, matanya kembali memanas, tangannya kembali mengepal keras setelah mendengar berita itu.

“Enggak, enggak mungkin, Bu... Enggak mungkin!” Teriak Haekal tak bisa menguasai dirinya, matanya sudah berair, “Jawab saya Bu! Itu bukan pesawat yang Mamah naikin!” Sarah hanya mampu diam dan menunduk, tak bisa ia menjawab pertanyaan Haekal, tak bisa juga ia menenangkan Haekal, karena saat ini, ia pun merasakan sangat kalut setelah mendengar berita itu.

“Enggak, Bu, Mamah udah janji bakalan pulang besok. Mamah pasti pulang! Itu bukan pesawat Mamah, Mamah pulang kok besok, pasti.” Ucapan Haekal mulai tak karuan, ia berusaha bangkit dari ranjangnya, dan dengan cepat menarik infus yang masih tertancap pada tangannya secara paksa.

“Enggak... Mamah udah janji kok sama saya akan pulang,” Haekal berhasil berdiri, dengan tangannya yang bertumpuh kepada Nakas pasien agar tak terjatuh, mengingat fakta bahwa tubuhnya masih terasa lemas sekali untuk berdiri, apalagi untuk berjalan.

“Haekal, Ibu tau sulit untuk tenang saat ini, tapi kamu jangan banyak bergerak, ya? Kamu belum terlalu pulih.” Sarah berusaha untuk mendudukan Haekal pada sisi ranjang, namun, Haekal nampaknya tak mau, ia malah berusaha untuk berjalan menuju pintu keluar, entah untuk apa.

“Haekal!” Pekik Sarah setengah berteriak ketika dilihatnya Haekal terjatuh karena kakinya belum mampu untuk melangkah jauh, ditambah lagi darah yang menetes di lantai akibat ulah Haekal yang menarik paksa infusannya.

“Sebentar, Ibu panggil perawat, ya...” Setelah itu Sarah bergegeas melangkah ke luar untuk memanggil perawat yang berjaga.

Tangis Haekal tumpah ruah, bahkan isakannya terdengar keras dipenjuru ruangan ini, tak henti tangannya memukul lantai dingin dengan emosi, beberapa kali mencoba untuk bangkit, namun gagal, karena tubuhnya yang terasa lemas bukan main.

“Mah...” Setelah lelah menangis dan berteriak menyalahkan tubuhnya yang lemah, Haekal hanya bisa memanggil lirih Mamahnya pelan. Ketika datang beberapa perawat menghampirinya, dan menyuntikkan sesuatu pada tubuhnya, Haekal merasakan kepalanya berputar-putar, dan rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya, hingga akhirnya ia hanya bisa lihat cahaya terang putih yang mendominasi, dalam hati diam-diam berbisik, berharap agar semua ini hanya mimpi semata, dan Haekal hanya perlu bangun untuk menyelesaikan mimpi buruk ini.

“Pulang, Mah...” Lirihnya lemah sebelum semuanya terlihat gelap.


“Saya besok ke sana.” “Gak perlu, saya gak berharap ketemu Mamah.”

Haekal mengusap kasar wajahnya karena kalimat tersebut terus-terusan menghantui pikirannya, terhitung sejak tiga puluh menit ia sadarkan diri. Ia harap ini hanyalah mimpi buruk semata, namun, sayang, kecelakaan pesawat itu benar terjadi, dan menimpa Mamahnya.

Hancur rasanya, sesal merundung Haekal, permintaan untuk tidak mau bertemu dengan Mamahnya seakan segera direstui oleh semesta, tepat disaat masa lalu pedih yang telah mamahnya lalui baru saja diketahui Haekal. Saat ini dunia Haekal runtuh, tak berbentuk lagi, rasa bersalah menusuk hatinya, apalagi ketika mengingat kembali bagaimana sikap dingin dan ketusnya kepada sang Mamah akhir-akhir ini.

Kembali mata Haekal memanas, untungnya ia hanya sendiri di ruang ini, karena Sarah pergi untuk menanyakan kabar terbaru dari pesawat yang Hanna tumpangi. Tak kuasa Haekal membayangkan bagaimana hidupnya nanti tanpa Mamah, hanya Mamahnya yang ia punya, hanya itulah satu-satunya permata indah yang Haekal miliki.

Haekal tak berani melihat handphone dan televisi, karena semuanya berisikan berita terkait hilangnya pesawat itu, sebagaian dari dirinya masih menolak untuk mempercayai bahwa Mamahnya telah hilang bersama pesawat itu, dan sebagian lagi sudah terpuruk untuk berduka, karena belum ada pertanda baik yang datang kepadanya.

“Mah, maaf...” Hanya itu yang dapat terucap, selebihnya hanya tangis dan sesak tak tertahan yang menyiksa Haekal. “Maafin Haekal... Maaf, Mah...” Semakin deras bulir bening berjatuhan, menyebabkan pandangan Haekal kabur, dan tak dapat melihat sekitar dengan jelas.

Terdengar suara pintu ruangan yang dibuka, entahlah siapa itu, Haekal tak dapat melihat dengan jelas, lagipula kali ini ia benar-benar tak mau diganggu oleh siapapun. Haekal hanya mampu memberi kode dari tangannya agar orang tersebut tak masuk ke dalam ruangannya.

“Haekal?” Panggil dari suara itu, Haekal yang sangat mengenali suara itu, segera mengusap air mata yang memenuhi netranya untuk dapat melihat jelas siapa orang itu. Haekal tak percaya dengan yang dilihatnya saat ini, bahkan butuh beberapa kali untuk Haekal menggosok matanya, memastikan bahwa saat ini ia tak salah melihat.

“Mah?” Suara Haekal bergetar, ia berpikir bahwa ini hanyalah halusinasi semata karena dirinya merasa terlalu tepukul dengan berita yang beberapa waktu lalu ia terima. “Mamah?” Sekali lagi Haekal memanggil wanita yang sedang berdiri memandangnya khawatir.

“Iya, Haekal, ini Saya.” Jawab Hanna segera mendekati Haekal yang masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. “Kamu kenapa sampai lepaskan infusan, Kal? Ini apa?” Hanna sangat khawatir ketika melihat luka bekas infusan yang Haekal tarik dengan paksa, ditambah lagi dengan beberapa memar merah yang terdapat pada tangan Haekal akibat jatuh dari usahanya yang hendak melangkahkan kakinya pergi.

“Haekal? Ini saya, benar-benar saya.” Hanna menyadari Haekal yang tak kunjung meresponnya, Haekal masih menatap tak percaya ke arahnya, seperti belum yakin bahwa saat ini ia sedang tidak berhalusinasi.

“Saya takut,” Ungkap Haekal pada akhirnya, “Beberapa menit yang lalu juga saya berhalusinasi ada Mamah duduk di samping saya, namun, setelah sadar, ternyata enggak ada siapa-siapa di samping saya.” Lanjut Haekal dengan air mata yang masih belum berhenti terjatuh.

“Ini saya, ini benar-benar saya, Haekal. Haekal sedang tidak berhalusinasi. Ini Mamah...” Hanna berusaha meyakini Haekal yang masih tak percaya dengan yang dilihat, Haekal menggeleng, masih juga belum percaya, ia benar-benar takut kali ini adalah halusinasi ia semata.

Tanpa berpikir panjang lagi, Hanna segera memeluk Haekal yang nampak sangat ketakutan, ia dekap putranya itu dengan erat, “Ini Mamah, Haekal... Ini Mamah, Mamah gak naik pesawat itu, Mamah masih punya janji kan untuk bertemu kamu. Ini Mamah, Haekal harus percaya dengan apa yang Haekal lihat.” Ucapnya selagi mengusap bahu Haekal yang bergetar akibat tangisan hebatnya.

“Mah, Mamah... Mamah... Ini Mamah, kan?” Isak Haekal tak henti selama berada dalam pelukan Hanna.

“Iya, Kal, ini Mamah...” Jawab Hanna tak bosannya. Baru kali ini ia memeluk Haekal, baru kali ini juga ia melihat Haekal menangis terisak-isak seakan tak mau kehilangannya, perasaan Hanna campur aduk saat ini.

“Haekal pikir akan kehilangan Mamah selama-lamanya, Haekal pikir Tuhan enggak beri kesempatan lagi untuk Haekal bisa peluk Mamah, Haekal pikir dunia Haekal sudah hancur seutuhnya, Mah...” Tak ada lagi ragu dan gengsi pada diri Haekal, ia menumpahkan semuanya saat ini juga, dari mulai tangis, sampai ketakutan yang menimpanya. Haekal yang saat ini berada pada pelukan Hanna, mirip sekali dengan anak kecil yang menangis sesegukkan bertemu dengan Ibunya setelah tertinggal di pusat perbelanjaan.

“Saya ada Haekal, saya selalu ada untuk kamu. Jangan khawatir lagi, ya?” Perlahan Hanna lepas pelukan tersebut, kedua tangannya yang hangat menangkup wajah Haekal, jemari lembutnya mengusap air mata Haekal yang membasahi. “Saya ada, dan saya kembali untuk ketemu kamu, Haekal. Mamah kan udah janji mau pulang dan kita bakalan pulang dari rumah sakit untuk ke rumah.” Dengan begitu lembutnya Hanna menenangkan Haekal, senyum ia kembangkan agar Haekal percaya bahwa semuanya baik-baik saja, dan tak ada hal buruk yang menimpanya. Tak ada lagi bulir bening yang terjun dari mata sayu bengkak milik Haekal, walau isakkan masih terdengar akibat tangis luar biasa yang Haekal tumpahkan, ini adalah tangisan paling dahsyat yang Haekal titihkan selama hidup belasan tahun di dunia.

“Maaf...” Pelan sekali Haekal mengatakan itu. Setelahnya, dengan lembut ia meraih tangan Hanna, dan mencium tangan tersebut, walau masih terlihat sedikit ragu dari gerakannya. Hanna terkejut, bingung dengan Haekal yang tiba-tiba mencium punggung tangannya.

“Kal?”

“Maafkan Haekal, Mah. Haekal salah selama ini, Haekal juga udah kasar ke Mamah, Haekal sudah menyakiti perasaan Mamah berkali-kali, bahkan Haekal sampai tega hati mengusir Mamah, Maafkan Haekal, Mah... Maaf...” Dengan penuh sesal, Haekal meminta maaf kepada Hanna. Hanna tak mampu menjawab, air mata yang ia tahan untuk tidak jatuh di hadapan Haekal akhirnya tumpah juga ketika mendengar permintaan maaf penuh penyesalan itu.

“Haekal salah, Mah, Haekal terlalu egois, Haekal terlalu gegabah, Maaf Mah...”

“Haekal takut Mamah pergi selamanya disaat Haekal belum sempat minta maaf kepada Mamah, Haekal benar-benar setakut itu Tuhan kabulkan permintaan Haekal yang salah.”

“Mah, maaf juga kerena hadirnya Haekal yang membuat hidup Mamah penuh duka, Maaf karena hadirnya Haekal Mamah merasakan hinaan, kesengsaraan yang menyiksa. Maaf, Mah, Maaf... Haekal sudah bikin kehidupan Mamah susah, bahkan Haekal juga yang bikin Mamah penuh trauma, Maafkan Haekal, Mah... Maaf karena sudah terlahir.” Hanna menggeleng, tak menyetujui kalimat-kalimat Haekal barusan.

“Bukan salah kamu, udah, ya? Jangan minta maaf kayak gini, hati saya sakit mendengarnya, Haekal.”

“Salah Haekal, Mah, kalau Haekal enggak ada, mungkin Mamah sudah hidup bahagia saat ini. Semuanya salah Haekal, Mah. Mamah wajar kok benci Haekal, karena memang pantas Haekal dibenci setelah semua yang menimpa Mamah karena hadirnya Haekal.”

“Haekal, dengerin Mamah,” Perlahan Hanna membantu agar Haekal tegak lagi, dikokohkannya bahu Haekal, ditatapnya lekat kedua netra Haekal, “Saya yang salah. Dan saya enggak akan mampu bertahan di dunia yang kejam ini kalau bukan karena kamu. Kamu alasan saya untuk tetap hidup, jadi, jangan pernah berpikiran seperti itu, ya?” Tak mau Haekal berlarut menyalahkan diri sendiri, tanpa ragu Hanna kembali memeluk Haekal, dengan harapan pelukan tersebut dapat menenangkan Haekal lagi.

“Mah, Maaf...”

“Bicara yang lain, ya? Asalkan jangan bicara masa lalu yang masih abu-abu untuk kamu tau. Haekal enggak salah, saya yang salah. Kita sudahi dulu ya obrolan ini, suatu saat ini kalau kondisi Haekal sudah membaik, kita lanjutkan lagi.” Ucapan Hanna seperti hipnotis bagi Haekal, karena setelah itu Haekal mengangguk menyetujui permintaan Hanna.

“Mah...” Panggil Haekal pelan.

“Iya?”

“Sedikit lebih lama, ya?” Pinta Haekal, Hanna tak mengerti maksud dari permintaan Haekal barusan. “Apa yang sedikit lama?” Tanya Hanna.

“Pelukan, Mah. Sedikit lebih lama lagi, ya? Baru kali ini Haekal bisa memeluk dunia Haekal.” Tanpa banyak pertimbangan, Hanna langsung mengeratkan pelukannya kepada Haekal, memejamkan matanya, merasakan betapa tenangnya saat ini. Begitupun dengan Haekal yang ikut memejamkan matanya, merasakan betapa hangatnya pelukan sang Ibu yang selama ini ia dambakan.

“Mah...” Lagi Haekal memanggil Hanna, walau pelukan masih melekat diantara keduanya, Hanna tak menjawab, hanya berdeham pelan merespon panggilan tersebut.

“Mah, Haekal ini celaka yang sebenar-benarnya ada, ya?”

IMG-20210926-WA0019

-Ara